Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ
عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى
الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ «
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا
الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »
Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua
berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin
Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam
ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di
sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku
untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan
melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku
pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau
akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)
Keutamaan Ziarah kubur :
Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan
kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]).
Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)
Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim
Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar
untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk
mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al
Janaaiz Lil Albani, 187)
Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka
berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh
(Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).
Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi
Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan
diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)
An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa
ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan
Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup.
Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat
hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan
hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور
“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)
Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325).
Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita
karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan
mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun
perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).
Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة
“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)
Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat
melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian
akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak
(qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)
Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud
terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat
kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR.
Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang
kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat
kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya
yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang
kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya
untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa.
Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang
berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil
Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun
bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa
disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari
peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين
والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم
للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul
qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa
ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul
mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum
lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin
penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului
(mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh,
Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang
diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan
mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan
orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada
shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah
kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain
disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul
qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti
suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk
surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin
melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui
disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan
menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak
sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang
menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat
syirik.
Manaqib Mbah Kholil
Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi
pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga
kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon
kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul
Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul
Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut
terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin
Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan
Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya
kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih
terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang
menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu
Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik
Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda.
Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu
yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai
pesantren untuk menimba ilmu.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya
menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur
di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau
pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau
pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok
Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di
Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya,
masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk
mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang
terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari
Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini
dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.
Orang yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama
nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi
dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda
sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup
berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam
bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan
tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di
Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi
buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi
kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan,
seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu
beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an
dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk
menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah
merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali
ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada
orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya,
akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi.
Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang
cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi
menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia
mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung.
Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak
mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru
masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk
ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri
di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah
Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka
menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah,
agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah
Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia
dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan
Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad
Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa
sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan
Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk
menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para
Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun
kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat
disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak
mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah
semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi
teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara
lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan
Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan
kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.
Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi
ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang
dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim
Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama
dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil
yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah
Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang
diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah
timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani,
Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah
penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan
untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak
ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa
Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan
Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai
ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk
mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil
selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1
kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun
kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan
Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang
Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal
sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil
dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1
Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa
sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan
keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan
itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri
mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota;
sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan.
Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren
lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi,
bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau
Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim
Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu
Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,”
weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang
terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
Geo Sosio Politika
Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas
sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada
siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van
Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil
belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah
Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap
penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan
perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah
Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang
berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama
maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa
yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim
Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan
ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia
tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga
dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan pesantrennya
dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan
harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil,
malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang
tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara,
sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan
diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan
memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut
ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan
sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab
terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan
bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah
dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang
dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama
Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama
Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang
telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam
medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di
pondok pesantren yang diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh
melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok
pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya
yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang
pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam
sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim
Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas
Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok
Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok
Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren
Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa
(pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin
(pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).
Karomah Mbah Kholil
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru
kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa
dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang
dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar
seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia,
Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah
mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada
seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:
a. Tertawa Keras didalam Sholat
Pada suatu hari, didalam sholat jemaah yang dipimpin oleh kyai disebuah
pesantren tempat kyai Kholil mencari ilmu, Kyai Kholil muda tertawa
cukup keras sehingga teman-temannya takut kalau-kalau kyai akan marah
karna sikapnya itu.
Dugaan mereka tidak keliru,setelah selesai sholat sang kyai menegur Kyai
Kholil muda dengan sikapnya yang tertawa cukup keras waktu solat
tersebut yang memang dilarang dalam Islam. Ternyata, Kyai Kholil muda
masih terus tertawa meskipun kyai sangat marah terhadapnya.
Akhirnya Kyai Kholil menjawab bahwa ketika sholat berjamaah berlangsung
dia melihat sebuahberkat (wadah nasi waktu kenduri) diatas kepala sang
Kyai. Mendengar jawaban tersebut, sang kyai menjadi sadar dan merasa
malu atas sholat yang ia pimpin tersebut. Karena sang kyai ingat bahwa
selama sholat berlangsung, dia memang merasa tergesa-gesa untuk
menghadiri kenduri sehingga mengakibatkan solatnya tidak khusyuk.
b. Debat kepiting dan Rajungan
Pada suatu hari, para ulama Mekah berkumpul di Masjidil Haram untuk
berdiskusi membahas masalah dan hukum Islam yang sedang terjadi di
Makah. Semua persoalan didiskusikan tanpa hambatan dan selalu
mendapatkan solusi dan kesepakatan semua Ulama tersebut. Akan tetapi
pada masalah mengenai halal atau haramnya kepiting dan rajungan terjadi
banyak pendapat dan tidak menemukan solusi.
Kyai Kholil pada waktu itu berada diantara peserta diskusi sambil
mendengarkan dengan tekun sambil sekali-sekali tersenyum melihat silang
pendapat para peserta diskusi. Melihat jalan buntu permasalahan yang ada
dihadapnya, Kyai Kholil minta izin untuk menawarkan solusi untuk
masalah tersebut. Akhirnya Kyai Kholil dipersilahkan untuk naik ke atas
mimbar oleh pimpinan diskusi.
Setelah tiba diatas mimbar, Kyai Kholil berkata, “ Saudara sekalian,
ketidaksepakatan kita dalam menentukan hukum kepiting dan rajungan ini
menurut saya disebabkan karena saudara sekalian belum melihat secara
pasti wujud kepiting dan rajungan” ujar kyai Kholil. Semua ulama yg
hadir dalam diskusi tersebut menyetujui keterangan kyai Kholil tersebut.
“ saudara sekalian, adapun wujud kepiting seperti ini” ucap kyai
Kholil sambil memegang kepiting yang masih basah. “sedangkan yang
rajungan seperti ini” lanjut Kyai Kholil sambil memegang rajungan yang
masih basah, seakan baru mengambil dari laut. Semua hadirin merasa
terpana dan suasana menjadi gaduh karna keanehan tersebut. Mereka hanya
bisa merasa heran dan bingung dari mana sang Kyai Kholil
mendapatkankepiting dan rajungan dengan sekejap saja. Maka setelah
kejadian tersebut, masalah halal atau haramnya kepiting dan rajungan
telah menemukan solusinya. Sejak kejadian itu, Kyai Kholil menjadi ulama
yg disegani di antara ulama Masjidil Haram.
c. Ke Makkah Naik Kerocok (sejenis daun aren yg dapat mengapung di air)
Pada suatu sore di pinggir pantai daerah Bangkalan, Kyai Kholol hanya
ditemani oleh Kyai Syamsul Arifin, salah seorang murid dan sahabatnya.
Mereka membicarakan perihal urusan pesantren dan persoalan umat, tak
terasa waktu sudah berlangsung lama dan matahari hampir terbenam.
“ kita belum solat Ashar kyai” kata Kyai Syamsul Arifin.
“ Astaghfirullah ” kata kyai Kholil menyadari Kekhilafannya. “ waktu
ashar hampir habis, kita tidak mungkin sholat secara sempurna Kyai”
ucap Kyai syamsul Arifin.
“ kalau begitu, ambil kerocok untuk kita pakai ke Makkah ” kata Kyai
Kholil. Setelah mendapatkan kerocok, mereka menumpanginya di atas
kerocoktersebut. Beberapa saat ketika Kyai Kholil menatap ke Makkah,
tiba-tiba kerocok yang ditumpanginya melesat dengan cepat ke arah
Makkah. Sesampainya ke Makkah, Azan solat ashar baru saja dikumandangkan
dan mereka mendapatkan Shaf pertama sholat Ashar berjamaah di Masjidil
Haram.
d. Mengubah Arah Kiblat Masjid
Pada suatu hari, Kyai Kholil sedang melihat masjid yang sedang dibangun
oleh menantu beliau yaitu Kyai Muntaha. Ketika melihat arah kiblat pada
masjid tersebut, Kyai Kholil menegur sang menantu yang alim itu untuk
membetulkan arah kiblat masjid yang sedang dibangunnya itu. Sebagai
orang yg alim, Kyai Muntaha mempunyai alasan dalam menentukan arah
kiblat tersebut, beberapa argumen ditunjukan kepada Kyai Kholil dalam
penentuan arah kiblat tersebut.
Melihat menantunya tidak ada tanda-tanda untuk mendengar nasihatnya,
Kyai Kholil tersenyum sambil berjalan kearah tempat pengimaman di ikuti
sang menantu. Kyai Kholil mengambil sebuah kayu untuk melubangi dinding
tembok arah kiblat dan menyuruh Kyai Muntaha untuk melihat lubang pada
dinding masjid di tempat pengimaman. Betapa kagetnya Kyai Muntaha
setelah melihat lubang itu, sang menantu melihat dalam lubang kecil itu
terlihat Ka’bah yang berada di Makkah dengan sangat jelas. Dengan
penglihatan itu, Kyai Muntaha heran dan sadar bahwa arah kiblat yang
menjadi kiblat bangunan masjidnya salah. Arah kiblat bangunan masjid
terlalu miring dan terbukti benar apa yang di koreksi Kyai Kholil.
e. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia
bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada
peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah
Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan
sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan
sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat
perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian,
Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan
nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam
sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH.
Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
f. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari
Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru
Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa.
Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah
dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia
mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan
penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk
berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak
ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena
sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama
berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk
jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil,
muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya
berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.”
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung
lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan
membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah
Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.
g. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap
timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu
peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi.
Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil.
Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut
sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu
kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling,
kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon
penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat
“qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah
Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini
saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang
ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal
dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah
masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di
hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa
duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela
diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin
melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan,
namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat
pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan
wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah
Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke
badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan
para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di
ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan
makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan
hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak
itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan
hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan
timun.
h. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya
angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan
bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak,
tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan
memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun
mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak
ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke
pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama,
toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami
mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke
kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai
ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh.
Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa
yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki
datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada
Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!”
Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia
menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu
berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan
yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke
Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan
ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal
hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini
bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan
sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke
Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu
dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah
Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya
bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami
sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah
meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah
beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya
dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub
heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya.
Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya
mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di
salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh
arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari
arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali
yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah
Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya
dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang
sangat luar biasa.
i. Kyai Kholil dipenjara oleh Penjajah
Masa hidup Kiai Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap
penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Kholil melakukan
perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam
bidang ini, Kiai Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi
pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas,
baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya
pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu di
antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, Kiai Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka,
melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar,
bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin,
tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Kholil tidak keberatan
pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Kholil ditangkap dengan
harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Kholil,
malah membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang
tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara,
sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan
diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan
memberi makanan kepada Kiai Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut
ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan
sekutunya merelakan Kiai Kholil untuk di bebaskan saja.
j. Kyai kholil berguru ke kyai pasuruan
Ketika Kiai Kholil masih muda, dia mendengar bahwa di Pasuruan ada
seorang kiai yang sangat sakti mandraguna. Namanya Abu Darin. Kholil
muda ingin sekali belajar kepada Abu Darin. Semangat untuk menimba ilmu
itu begitu menggebu-gebu pada dirinya sehingga jarak tempuh yang
begitu jauh dari Bangkalan di Pulau Madura ke Pasuruan di Pulau Jawa
tidak dianggapnya sebagai rintangan berarti, meski harus berjalan kaki.
Namun apa daya, sesampainya Kholil muda di Desa Wilungan, Pasuruan,
tempat kiai Abu Darin membuka pesantren, ternyata Kiai Abu Darin sudah
wafat. Dia meninggal hanya beberapa hari sebelum kedatangan Kholil muda.
Habislah harapannya untuk mewujudkan cita-citanya berguru kepada kiai
yang mempunyai ilmu tinggi tersebut.
Dengan langkah gontai karena capai fisik dan penat mental, hari
berikutnya Kholil berta’ziyah ke makam Kiai Abu Darin. Di depan pusara
Kiai Darin, Kholil membaca Al-Qur’an hingga 40 hari. Dan pada hari yang
ke-41, ketika Kholil tengah ketiduran di makam, Kiai Abu Darin hadir
dalam mimpinya.
Dalam kesempatan itu almarhum mengatakan kepada Kholil, “Niatmu untuk
belajar sungguh terpuji. Telah aku ajarkan kepadamu beberapa ilmu, maka
peliharalah.” Kholil lalu terbangun, dan serta merta dia sudah hafal
kandungan kitab Imrithi, Asymuni,dan Alfiyah, kitab utama pesantren
itu. Subhanallah.
k. Melindungi calon santrinya dari musibah
Pada kisah yang lain, Kiai Kholil berusaha melindungi calon santrinya
dari musibah, padahal dia berada di Bangkalan, sementara si calon
santri di tengah Alas Roban, Batang, Pekalongan.
Menurut cerita si calon santri yang bernama Muhammad Amin, ia
berangkat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju
Bangkalan, Madura, untuk berguru kepada Kiai Kholil. Mereka tidak
membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana
untuk tidur, parang, serta thithikan, alat pemantik api yang terbuat
dari batu.
Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi
sungai, mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang,
Pekalongan.
Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya.
Pohon-pohon yang ada di hutan itu besar-besar, semak belukar sangat
tinggi, banyak binatang buas di dalamnya. Namun yang lebih menyeramkan,
banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok
yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsanya kalau melawan.
Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari
tempat untuk tidur, tiba-tiba muncul sesosok laki-laki. Namun karena
tampangnya biasa-biasa saja, mereka tidak menaruh curiga. Bahkan orang
itu kemudian bertanya apa mereka punyathithikan, karena ia akan
menyulut rokok.
Namun setelah benda itu dipegangnya, ia mengatakan bahwa batu itu
terlalu halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu
dibikin kasar sedikit,” kata orang itu sambil memasukkan batu tersebut
ke mulutnya lalu menggigitnya sehingga pecah menjadi dua.
Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut
laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang
kalian,” hardik orang itu. Amin, yang paling berani di antara mereka,
menjawab, “Kalau barang-barang kami diambil, kami tidak bisa
melanjutkan perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang
itu tampak waswas. “Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami
mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.
Tersentak laki-laki itu, seperti pemburu tergigit ular berbisa.
Wajahnya pucat pasi, bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama
Kiai Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu bersamaan. Mereka
gembira karena merasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset.
“Kalau begitu, serahkan semua barangmu kepadaku,” kata lelaki itu.
“Kalian tidur saja di sini, dan aku akan menjaga kalian semalaman.”
Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang
membaringkan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur semalaman. Maut
seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh,
lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke
mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar kalian ke luar dari
hutan ini agar tidak diganggu oleh perampok lain,” jawabnya tampak
ramah.
Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum
pertanyaan itu terjawab, orang itu berkata. “Sebenarnya kalian akan aku
rampok, dan menjual kalian kepada onderneming untuk dijadikan kuli
kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri
saya kalau berani mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru
saya pernah dikalahkan Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”
Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan.
Terlebih lagi baru di perjalanan saja untuk menuju pesantren Kiai
Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemimpin pesantren
tersebut.
l. Kedatangan macan
Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya.
Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok
pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada
macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri
mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat
hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan
semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak
juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak
berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam.
Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai
malah berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada
macan….macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru
Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan perang. Mendengar teriakan
Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa
yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang
baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan
lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke
Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk
datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung
disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.
Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki
pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu,
yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah
kentongan surau. Secara tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil datang
dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda
itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu
alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai
santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak
kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama
KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat,
pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab
Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan
maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh
Kholil.
m. Santri yang tidak ikut jamaah
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama
Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak
bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh
berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam
Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan
Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa
sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri kurang
ajar…..Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah
merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang
ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi
di belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil
menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri
yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik. Semua
santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti
itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak
hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai
Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah
diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam
kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat
subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di
belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah
sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput.
Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus.
Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat
yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan
tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan
dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan
dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di
nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri
Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar
melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan
buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia.
Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada
di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya
berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai
Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap
santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung
halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri
ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin
sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama
Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di
Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
n. Kedatangan habib
Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil
mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan
Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab.
Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil
menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai
orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai
Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang
fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib
dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat
wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai
sambil menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan
munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa
Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu.
Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan
tutul, namun macan itu tidak pergi juga. Mendengar ribut-ribut di
sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan
yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah
dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar
kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu,
macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa
sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa
suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan
sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
o. Berselisih
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang
ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’,
maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah
‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya
sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Kholil
bangkalan.
Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang
duduk didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke
Mushola sontak saja kiyahi Kholil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib,
Maaliki yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Kholil bangkalan menyambut
kedatangan Habib Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak
perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah
maaliki yaumiddin itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika
menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir
Thabari.
p. Didatangi tamu
Di Bangkalan Madura, hidup sepasang suami-isteri yang cukup bahagia.
Pada suatu hari, sang suami berkata kepada isterinya. “Bu, saya ingin
sekali sowan (berkunjung) ke Kyai Kholil,” katanya pada suatu pagi. “Itu
bagus sekali Pak, tetapi apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh
kepada Kyai Kholil, kita tidak mempunyai apa-apa kecuali sebuah bentul,”
jawab isterinya. “Tidak apa-apa, bentul itu saja yang kita bawa.
Asalkan kita ikhlas, Insya Allah akan diterima,” tegas sang suami
meyakinkan isterinya.
Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke Kyai Kholil. Dengan berbekal
tawakkal dan sebuah bentul, mereka yakin akan diterima Kyai Kholil
dengan baik. Bentul adalah makanan sangat sederhana sejenis talas.
Sesampainya di kediaman Kyai Kholil kedatangannya sudah ditunggu. Mereka
disambut dengan hangat. “Kyai, saya tidak membawa apa-apa, hanya sebuah
bentul ini yang bisa kami haturkan untuk Kyai.” ucap sang suami rada
malu-malu.
“Wah kebetulan, saya memang ingin makan bentul,” jawab Kyai Kholil
menghibur. Kemudian Kyai Kholil memanggil beberapa santri dan
menyuruhnya untuk merebus bentul yang baru diterimanya itu. Tak lama
setelah itu, santri datang membawa bentul yang sudah direbus itu. Kyai
Kholil kelihatan sangat senang dan suka terhadap bentul itu, lalu
dimakannya sampai habis.
Suami-isteri yang sowan ke Kyai Kholil itu merasa senang, sebab apa yang
dikhawatirkan selama ini menjadi kegembiraan. Beberapa hari kemudian,
suami-isteri itu ingin sowan kembali ke kyai Kholil. Masih segar di
ingatan suami isteri itu akan kesukaan Kyai Kholil. Kali ini, tidak
seperti terdahulu. Mereka membawa oleh-oleh bentul sebanyak-banyaknya
dengan harapan Kyai Kholil sangat senang menerimanya. Maka berangkatlah
suami isteri tersebut ke ulama karismatik itu. Tidak seperti dahulu,
dugaan mereka meleset. Mereka disambut dingin. Begitu juga dengan
oleh-oleh yang banyak itu. Kyai Kholil tidak menerima oleh-olehnya dan
disuruh bawa pulang kembali.
Pada saat mereka pulang disadarinya apa yang telah mereka lakukan selama
ini. Ternyata, oleh-oleh bentul yang pertama diniatkan semata-mata
karena keikhlasan dan tawakkal kepada Allah, sedangkan sowan yang kedua
tidak dilanda ikhlas, tetapi rasa pamrih. Mereka meyakini atas
kekuatannya sendiri dan merasa dirinya mampu membawa oleh-oleh kepada
kyai. Dan itu sangat tidak disukai Kyai Kholil.
q. Hanya disuruh perbanyak baca istighfar
Suatu hari Kyai Kholil kedatangan tiga tamu yang menghadap secara
bersamaan. Sang kyai bertanya kepada tamu yang pertama: “Sampeyan ada
keperluan apa?” “Saya pedagang, Kyai. Tetapi hasil tidak didapat, malah
rugi terus-menerus,” ucap tamu pertama. Beberapa saat Kyai Kholil
menjawab, “Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, perbanyak baca
istighfar,” pesan kyai mantap. Kemudian kyai bertanya kepada tamu
kedua:“Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya sudah berkeluarga selama 18
tahun, tapi sampai saat ini masih belum diberi keturunan,” kata tamu
kedua. Setelah memandang kepada tamunya itu, Kyai Kholil menjawab, “Jika
kamu ingin punya keturunan, perbanyak baca istighfar,” tandas kyai.
Kini, tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kyai juga bertanya, “Sampeyan
ada keperluan apa?” “Saya usaha tani, Kyai. Namun, makin hari hutang
saya makin banyak, sehingga tak mampu membayarnya, ” ucap tamu yang
ketiga, dengan raut muka serius. “Jika kamu ingin berhasil dan mampu
melunasi hutangmu, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai kepada tamu
yang terakhir.
Berapa murid Kyai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran.
Masalah yang berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, resep yang sama,
yaitu menyuruh memperbanyak membaca istighfar.
Kyai Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang,
maka dipanggillah para santri yang penuh tanda tanya itu. Lalu, Kyai
Kholil membacakan al-Qur’an Surat Nuh ayat 10-12.
Mendengar jawaban kyai ini, para santri mengerti bahwa jawaban itu
memang merupakan janji Allah bagi siapa yang memperbanyak baca
istighfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamunya
semuanya berhasil apa yang dihajatkan.
#Ketika anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran
dengan ucapan orang-orang yang sudah bermakrifat, bisa berjumpa dengan
Malaikat, berjumpa dengan Rasulullah SAW dan melihat Allah SWT, dan anda
menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah pasti anda mengumpulkan lagi
puluhan bahkan ratusan dalil untuk membantah ucapan para ahli makrifat
tersebut dengan dalil yang menurut anda sudah benar, padahal kadangkala
dalil yang anda berikan justru sangat mendukung ucapan para Ahli
Makrifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh hawa nafsu, dalam
Al-Qur’an disebuat Khatamallahu ‘ala Qulubihim (Tertutup mata hati
mereka) itulah hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan.
Hubungan Syaikh Kholil dan NU
Murid Kiyai Kholil, Kiyai Hasyim Asy’ari, sebagai sesepuh Pulau Jawa
waktu itu, sedang memusatkan perhatiannya terhadap rencana berdirinya
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kiyai Hasyim Asy’ari tampak resah, beberapa
kali memohon petunjuk Allah SWT dengan melaksanakan sholat Istikharah.
Sungguhpun sudah melakukan sholat istikharah berkali-kali, namun
petunjuk tak kunjung datang. Rupanya petunjuk Allah terhadap rencana
berdirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama tidak diberikan langsung kepada
Kiyai Hasyim Asy’ari, tetapi melalui Kiyai Kholil.
Pada tahun 1924, ketika petunjuk Allah datang, Syeikh Kholil segera
memanggil muridnya, As’ad Syamsul Arifin, santri senior berumur 27 tahun
untuk menghadap.
“As’ad,” kata Syeikh Kholil, “Ya, Kiyai, “ jawab As’ad santri.
“As’ad, tongkat ini antarkan ke Tebu Ireng dan sampaikan langsung kepada
Kiyai Hasyim Asy-’ari,“ pesan Syeikh Kholil sambil menyerahkan sebuah
tongkat. “Tetapi ada syaratnya. Kamu harus hafal Al-Quran ayat 17-23
surat Thoha,” pesan Syeikh Kholil lebih lanjut, “Bacakanlah kepada Kiyai
Hasyim ayat-ayat itu,” pesan Syeikh Kholil menutup pembicaraan.
Begitu menerima perintah, As’ad santri segera berangkat ke Tebu Ireng,
kediaman KH. Hasyim Asy’ari. Setelah As’ad santri menempuh perjalanan
cukup panjang dengan berjalan kaki yang tentu saja banyak mengalami suka
dan duka, akhirnya tibalah di Tebu Ireng. Mendengar kedatangan utusan
Syeikh Kholil, Kiyai Hasyim Asy’ari menduga pasti ada sesuatu yang
sangat penting. Ternyata benar.
“Kiyai, saya diutus Kiyai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan
tongkat ini kepada Kiyai.” Kata As’ad santri sambil menyerahkan sebuah
tongkat. Tongkat itu diterima dengan penuh perasaan haru. Kiyai Hasyim
lalu bertanya kepada As’ad santri, “Apa tidak ada pesan dari Kiyai
Kholil?” As’ad santri lalu membaca :
وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يـمُوْسى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ
عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلى غَنَمِيْ وَلِيَ فِيْهَا مَآرِبُ أُخْرى
(18) قَالَ أَلْقِهَا يـمُوْسى (19) فَأَلْقـهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ
تَسْعى (20) قَالَ خُذْهَا وَلاتَخَفْ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الأُوْلى
(21) وَاضْمُمُ يَدَكَ إِلى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ
سُوْءٍ آيَةً أُخْرى (22) لِنُرِيَكَ مِنْ آيـتِنَا الكُبْرى (23)
Artinya:
“Apakah itu yang ditanganmu, hai Musa?” Berkata Musa: “Ini adalah
tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk
kambing dan bagiku ada lagi keperluan lain padanya.” Allah berfirman:
“Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkan tongkat itu, maka
tiba-tiba menjadi sekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman:
“Peganglah ia dan jangan kau takut, kami akan mengembalikannya pada
keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu diketiakmu niscaya keluar
menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk
Kami perlihatkan kepadau sebagian dari tanda-tanda kekuasan Kami yang
sangat besar”.
Mendengar ayat-ayat yang dibacakan As’ad santri, hati Kiyai Hasyim
bergetar. Matanya menerawang. Terbayang wajah Syeikh Kholil yang sangat
tua dan bijaksana. “Oh ya, berarti ini berkaitan dengan rencana
mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama itu,” kata Kiyai Hasyim Asy’ari
terharu. Kiyai Hasyim menangkap isyarat berarti gurunya tidak
berkeberatan kalau mendirikan sebuah organisasi jam’iyah. Sejak saat
itulah keinginan Kiyai Hasyim untuk mendirikan sebuah organisasi
jami’yyah sudah mantap. Lalu dimusyawarahkan dan dirumuskannya segala
sesuatu yang berkenaan dengan organisasi itu.
Sungguhpun demikian, hari demi hari, bulan demi bulan, organisasi
jam’iyyah yang dicita-citakan belum berdiri. Sampai suatu saat datang
utusan Syeikh Kholil ke Tebui Ireng. Memang, dalam pertengahan tahun
1925, Syeikh Kholil memanggil As’ad santri kembali menghadap. Seperti
satu setengah tahun yang lalu, As’ad santri dipanggil untuk maksud yang
sama, yaitu diutus ke Tebu Ireng. Bedanya, kalau dahulu diutus untuk
menyerahkan tongkat, maka kali ini untuk menyerahkan tasbih. Seperti
halnya tongkat, tasbih inipun disertai pesan Syeikh Kholil padaAs’ad
santri berupa bacaan salah satu Asma’ul Husna, yaitu Ya Jabbar Ya Qohhar
sebanyak tiga kali. Berangkatlah As’ad santri ke Tebu Ireng sebagai
utusan Syeikh Kholil Bangkalan.
Setelah As’ad santri menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan
kaki. Tentu saja suka dukapun dialami Kiyai As’ad dalam tugas ini,
seperti yang dituturkan oleh beliau sendiri bahwa dalam perjalanan itu
sampai ada yang mengatakan dirinya sebagai orang gila karena
berkalungkan tasbih sambil berjalan kaki. Tetapi ada juga yangmengatakan
sebagai seorang wali Allah.
Akhirnya, As’ad santri tiba di Tebu Ireng. Kiyai As’ad berkata:
”Sesampainya di Tebu Ireng, saya bertemu dengan Kiyai Hasyim dan
menyerahkan tasbih sambil membungkuk. Kiyai hasyim sendiri yang
mengambil tasbih itu dari leher saya.” Tasbih yang diserahkan kepada
Kiyai Hasyim tidak berubah dari posisi semula sejak dikalungkan oleh
Syeikh Kholil di Bangkalan. “Saya tidak berani mengubahnya, meskipun di
jalan banyak orang yang menertawakan dan mungkin saya dianggap gila.”
Kata Kiyai As’ad mengenang perjalanan yang katanya tidak bisa melupakan
kejadian itu. Setahun setelah kejadian itu, di Surabaya berkumpul para
ulama se-Jawa-madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan
organisasi Islam Jami’yyah Nahdlatul Ulama di Indonesia. Pada hari itu
juga, tangal 31 Desember 1926, jam’iyyah Nahdlatul Ulama resmi berdiri.
Kemudian para ulama sepakat memilih KH. Hasyim Asy’ari menjabat sebagai
ketua umumnya.
Latar belakang sejarah kelahiran NU yang tidak mudah. Untuk
mendirikannya memohon izin terlebih dahulu kepada Allah SWT. Permohonan
petunjuk yang diprakarsai oleh Kiyai Hasyim Asy’ari rupanya tidak datang
langsung kepada beliau. Tetapi petunjuk datang melalui Syeikh Kholil.
Jadi, jelas posisi Syeikh Kholil didalam kesejarahan proses berdirinya
jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah sebagai inspirator.
Kemudian, Kiyai Kholili bin Abdul Lathif meriwayatkan, sebagaimana yang
yang dituturkan oleh Kiyai Thoha Kholili Jangkibuan, bahwa pada tahun
1925, beberapa waktu sebelum Syeikh Kholil wafat, Kiyai Hasyim Asy’ari
bersama beberapa Kiyai Jawa datang ke Bangkalan untuk memohon restu
Syeikh Kholil didalam meresmikan NU. Namun saat itu kesehatan Syeikh
Kholil sudah sangat lemah, sehingga beberapa saat sebelum kedatangan
rombongan Kiyai Hasyim Asy’ari, Syeikh Kholil menitip pesan kepada Kiyai
Muhammad Thoha (menantu Syeikh Kholil), bahwa sebentar lagi rombongan
Kiyai Hasyim datang, mereka tidak usah bertemu Syeikh Kholil. Melalui
Kiyai Muhammad Thoha, Syeikh Kholil memberi restu atas peresmian NU. Dan
memang, pada akhir hayat Syeikh Kholil, ketika beliau tidak lagi sehat,
beliau jarang sekali menerima tamu. Apabila ada pertanyaan masalah
hukum, beliau sering melemparkan kepada Kiyai Muhammad Thoha untuk
menjawabnya. Maka rombongan Kiyai Hasyim Asy’ari langsung menuju Kiyai
Muhammad Thoha di Pesantren Jangkibuan.
Peninggalan Syeikh Kholil untuk Ummat
Syeikh Kholil wafat pada hari kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M)
jam 04 pagi. Jenazah beliau dishalati di Masjid Agung Bangkalan pada
sore harinya setelah shalat ashar, kemudian dimakamkan di Pemakaman
Martajasah, Bangkalan.
Syeikh Kholil banyak meninggalkan “warisan” yang bermanfaat untuk ummat. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Pesantren Jangkibuan. Pesantren ini terus aktif sampai kini dan diasuh
oleh keurunan Nyai Khotimah bin Kholil dengan Kiyai Thoha. Pesantren ini
diberi nama “Pesantren Al-Muntaha Al-Kholili”.
Pesantren Kademangan. Sepeninggal Syeikh Kholil, pesantren ini diasuh
oleh keturunan beliau sendiri. Saya mendapatkan tiga nama urutan
pengasuh Pesantren Kedemangan, yaitu Kiyai Abdul Fattah bin Nyai Aminah
binti Nyai Muthmainnah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiyai Fakhrur
Rozi bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiyai Abdullah
Sachal bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil.
Kitab “As-Silah fi Bayanin-nikah”. Sebuah kitab tentang pernikahan,
meliputi segi hukum dan adab. Dicetak oleh Maktabah Nabhan bin Salim
Surabaya.
Rangkaian Shalawat. Dihimpun oleh KH. Muhammad Kholid dalam kitab
“I’anatur Roqibin” dan dicetak oleh Pesantren Roudlotul Ulum, Sumber
Wringin, Jember. Jawa Timur.
Dzikir dan wirid. Dihimpun oleh KH. Mushthofa Bisri, Rembang, , kitab berjudul “Al-Haqibah”.
Semoga ALLOH selalu melimpahkan Rahmat dan AmpunanNya untuk Beliau dan
para Ulama lain yang telah berpulang ke Rohmatulloh. Amiin
Itulah sedikit riwayat Syaikhona Muhammad Kholil Al-Bangkalani semoga bermanfaat untuk kita semua.