Tebuireng adalah nama sebuah pedukuhan yang termasuk wilayah
administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, berada
pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan. Nama pedukuhan
seluas 25,311 hektar ini kemudian dijadikan nama pesantren yang
didirikan oleh Kiai Hasyim.
Menurut penuturan masyarakat sekitar, nama Tebuireng berasal dari kata
”kebo ireng” (kerbau hitam). Konon, ada seorang penduduk yang memiliki
kerbau berkulit kuning. Suatu hari, kerbau tersebut menghilang dan
setelah dicari kian kemari, kerbau itu ditemukan dalam keadaan hampir
mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur
tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula berwarna kuning
kini berubah menjadi hitam. Peristiwa ini menyebabkan pemilik kerbau
berteriak ”kebo ireng …! kebo ireng …!”Sejak sat itu, dusun tempat
ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika penduduk dusun tersebut mulai
ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan
pasti kapan perubahan itu terjadi dan apakah hal itu ada kaitannya
dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut, yang banyak
mendorong masyarakat untuk menanam tebu? Karena ada kemungkinan, karena
tebu yang ditanam berwarna hitam maka dusun tersebut berubah nama
menjadi Tebuireng. Dan awal Mbah Hasyim Rawuh ke Dusun tersebut untuk
mencari tempat berupa hutan (kebun) tebu ireng.
Berdirinya Pesantren Tebuireng
Pondok Pesantren Tebu ireng didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari pada
tahun 1899 M. dan mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada
16 Rabiul Awwal 1324 H / 6 Februari 1899 M.
Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzul Qa’dah 1287 H.
bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Kelahiran beliau berlangsung di
rumah kakeknya, Kyai Utsman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang
Jombang. Hasyim kecil tumbuh dibawah asuhan ayah, ibu dan kakeknya di
Gedang. Dan seperti lazimnya anak kyai pada saat itu, Hasyim tak puas
hanya belajar kepada ayahnya, pada usia 15 tahun ia pergi ke Pondok
Pesantren Wonokoyo Pasuruan lalu pindah ke Pondok Pesantren Langitan
Tuban dan ke Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar bahwa di
Madura ada seorang kyai yang masyhur, maka setelah menyelesaikan
belajarnya di Pesantren Tenggilis ia berangkat ke Madura untuk belajar
pada Kyai Muhammad Kholil. Dan masih banyak lagi tempat Hasyim menimba
ilmu pengetahuan agama, hingga ahirnya beliau diambil menantu oleh salah
satu gurunya yaitu Kyai Ya’qub, pada usia 21 tahun Hasyim dinikahkan
dengan putrinya yang bernama Nafisah pada tahun 1892.
Selanjutnya bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah
seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh
sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat
puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya.
Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar yaitu
Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan
Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya.
Sejak pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok
pesantren terkemuka dan bahkan ke tanah suci Mekkah, beliau ingin
mengamalkan ilmu yang telah beliau dapatkan.
Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng bermunculan
pabrik-pabrik milik orang asing (terutama pabrik gula). Bila dilihat
dari aspek ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut memang
menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja. Akan tetapi
secara psikologis justru merugikan, karena masyarakat belum siap
menghadapi industrialisasi. Mereka belum terbiasa menerima upah sebagai
buruh pabrik. Upah yang mereka terima biasanya digunakan untuk hal-hal
yang bersifat konsumtif-hedonis. Budaya judi dan minum minuman keras pun
menjadi tradisi.
Ketergantungan rakyat terhadap pabrik kemudian berlanjut pada penjualan
tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah.
Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat yang amat jauh dari
nilai-nilai agama.
Kondisi ini menyebabkan keprihatinan mendalam pada diri Kiai Hasyim.
Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di
dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (bertepatan
dengan tanggal 3 Agustus 1899 M.), Kiai Hasyim mendirikan sebuah
bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu (Jawa: tratak), berukuran
6 X 8 meter. Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian
belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai
Khodijah, dan bagian depan dijadikan tempat salat (mushalla). Saat itu
santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi
28 orang.
Kehadiran Kiai Hasyim di Tebuireng tidak langsung diterima dengan baik
oleh masyarakat. Gangguan, fitnah, hingga ancaman datang bertubi-tubi.
Tidak hanya Kiai Hasyim yang diganggu, para santripun sering diteror.
Teror itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai kehadiran
pesantren di Tebuireng. Bentuknya beraneka ragam. Ada yang berupa
pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke dinding tratak.
Para santri seringkali harus tidur bergerombol di tengah-tengah ruangan,
karena takut tertusuk benda tajam. Gangguan juga dilakukan di luar
pondok, dengan mengancam para santri agar meninggalkan pengaruh Kiai
Hasyim. Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah
tahun, sehingga para santri disiagakan untuk berjaga secara bergiliran.
Ketika gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktifitas
santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santri untuk pergi ke Cirebon,
Jawa Barat, guna menemui Kiai Saleh Benda kerep, Kiai Abdullah
Panguragan, Kiai samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet.
Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka sengaja
didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama
kurang lebih 8 bulan.
Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak silat ini, para santri tidak
khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering
mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu
fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan banyak
diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan
bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai
diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat.
Selain dikenal memiliki ilmu pencak silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli
di bidang pertanian, pertanahan, dan produktif dalam menulis. Karena
itu, Kiai Hasyim menjadi figur yang amat dibutuhkan masyarakat sekitar
yang rata-rata berprofesi sebagai petani. Ketika seorang anak majikan
Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan Belanda, sakit parah dan kritis,
kemudian dimintakan air do’a kepada Kiai Hasyim, anak tersebut pun
sembuh.
Luasnya pengaruh Kiai Hasyim
Dengan tumbuhnya pengakuan masyarakat, para santri yang datang berguru
kepada Kiai Hasyim bertambah banyak dan datang dari berbagai daerah baik
di Jawa maupun Madura. Bermula dari 28 orang santri pada tahun 1899,
kemudian menjadi 200 orang pada tahun 1910, dan 10 tahun berikutnya
melonjak menjadi 2000-an orang, sebagian di antaranya berasal dari
Malaysia dan Singapura. Pembangunan dan perluasan pondok pun
ditingkatkan, termasuk peningkatan kegiatan pendidikan untuk menguasai
kitab kuning.
Kiai Hasyim mendidik santri dengan sabar dantelaten. Beliau memusatkan
perhatiannya pada usaha mendidik santri sampai sempurna menyeleseaikan
pelajarannya, untuk kemudian mendirikan pesantren di daerahnya
masing-masing. Beliau juga ikut aktif membantu pendirian
pesantren-pesantren yang didirikan oleh murid-muridnya, seperti
Pesantren Lasem (Rembang, Jawa Tengah), Darul Ulum (Peterongan,
Jombang), Mambaul Ma’arif (Denanyar, Jombang), Lirboyo (Kediri),
Salafiyah-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Nurul Jadid (Paiton
Probolinggo), dan lain sebagainya.
Pada masa pemerintahan Jepang, tepatnya tahun 1942, Sambu Beppang
(Gestapo Jepang) berhasil menyusun data jumlah kiai dan ulama di Pulau
Jawa. Ketika itu jumlahnya mencapai 25.000an orang, dan mereka rata-rata
pernah menjadi santri di Tebuireng. Hal ini menunjukkan batapa basar
pengaruh Pesantren Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di
Jawa pada awal abad ke-20.
Karena kemasyhurannya, para kiai di tanah Jawa mempersembahkan gelar
”Hadratusy Syeikh” yang artinya ”Tuan Guru Besar” kepada Kiai Hasyim.
Beliau semakin dianggap keramat, manakala Kiai Kholil Bangkalan yang
dikeramatkan oleh para kiai di seluruh tanah Jawa-Madura, sebelum
wafatnya tahun 1926, telah memberi sinyal bahwa Kiai Hasyim adalah
pewaris kekeramatannya. Diantara sinyal itu ialah ketika Kiai Kholil
secara diam-diam hadir di Tebuireng untuk mendengarkan pengajian kitab
hadis Bukhari-Muslim yang disampaikan Kiai Hasyim. Kehadiran Kiai Kholil
dalam pengajian tersebut dinilai sebagai petunjuk bahwa setelah
meninggalnya Kiai Kholil, para Kiai di Jawa-Madura diisyaratkan untuk
berguru kepada Kiai Hasyim.
Bisa dikatakan, Pesantren Tebuireng pada masa Kiai Hasyim merupakan
pusatnya pesantren di tanah Jawa. Dan Kiai Hasyim merupakan kiainya para
kiai. Terbukti, ketika bulan Ramadhan tiba, para kiai dari berbagai
penjuru tanah Jawa dan Madura datang ke Tebuireng untuk ikut berpuasa
dan mengaji Kitab Shahih Bukhari-Muslim.
Keberadaan Pesantren Tebuireng akhirnya berimplikasi pada perubahan
sikap dan kebiasaan hidup masyarakat sekitar. Bahkan dalam
perkembangannya, Pesantren Tebuireng tidak saja dianggap sebagai pusat
pendidikan keagamaan, melainkan juga sebagai pusat kegiatan politik
menentang penjajah. Dari pesantren Tebuireng lahir partai-partai besar
Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulam (NU), Masyumi (Majelis Syuro
A’la Indonesia), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), serta
laskar-laskar perjuangan seperti Sabilillah, Hizbullah, dsb.
Pada awal berdirinya, materi pelajaran yang diajarkan di Tebuireng hanya
berupa materi keagamaan dengan sistem sorogan danbandongan..Namun
seiring perkembangan waktu, sistem pengajaran secara bertahap dibenahi,
diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi,
lalu pengenalan sistem klasikal (madrasah) tahun 1919, kemudian
pendirian Madrasah Nidzamiyah yang di dalamnya diajarkan materi
pengetahuan umum, tahun 1933.
Tebuireng Sekarang
Menapaki akhir abad ke-20, Pesantren Tebuireng menambah beberapa unit
pendidikan, seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga
Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY, kini IKAHA). Bahkan unit-unit
tersebut kini ditambah lagi dengan Madrasah Diniyah, Madrasah
Mu’allimin, dan Ma’had Aly, disamping unit-unit penunjang lainnya
seperti Unit Penerbitan Buku dan Majalah, Unit Koperasi, Unit Pengolahan
Sampah, Poliklinik, Unit Penjamin Mutu, unit perpustakaan, dan lain
sebagainya (akan dijelaskan kemudian). Semua unit tersebut (selain
UNHASY), merupakan ikon dari eksistensi Pesantren Tebuireng sekarang.
Secara geografis, letak Pesantren Tebuireng cukup strategis, karena
berada di tepi jalan raya Jombang-Malang dan Jombang-Kediri. Lalu lintas
yang melewati Desa Cukir terbagi dalam tiga jalur.Pertama jalur
utara-barat daya yang merupakan lintasan dari kota Jombang menuju
Kediri-Tulungagung-Trenggalek melewati Pare. Keduaadalah jalur
utara-tenggara yang merupakan lintasan dari kota Jombang menuju Malang
melalui kota Batu. Ketiga ialah jalur barat-timur yang merupakan
lintasan dari Desa Cukir menuju Kecamatan Mojowarno. Mencari kendaraan
umum tidak terlalu sulit di desa ini, karena hampir setiap 2-3 menit
sekali, ada mikrolet yang lewat. Pada jalur pertama dan kedua tidak
hanya dilalui mikrolet (sebagaimana jalur ketiga), melainkan juga
dilalui bus dan truk angkutan barang dari
Surabaya-Kediri-Tulungagung-Trenggalek lewat Jombang dan Pare. Kondisi
seperti ini sudah tampak sejak awal tahun 1990-an, sebagaimana hasil
penelitian Imron Arifin (1993).
Pada awal tahun 1900-an, penduduk Tebuireng rata-rata berprofesi sebagai
petani dan pedagang. Namun sekarang keadaannya sudah berbeda. Mayoritas
penduduk Tebuireng kini bekerja sebagai pedagang, pegawai pemerintah
dan swasta, dan sebagian lagi berprofesi sebagai guru. Jarang sekali
yang berprofesi sebagai petani.
Penduduknya rata-rata memiliki sepeda motor. Rumah mereka sudah
tergolong bagus, tidak ada lagi yang terbuat dari anyaman bambu (gedek)
seperti pada awal pendirian Pesantren Tebuireng. Pesawat TV yang dulu
hanya dimiliki oleh sebagian pegawai Pabrik Gula Tjoekir, kini sudah
menghiasi setiap rumah penduduk. Banyak diantara mereka sudah memiliki
mobil dan komputer.
Suasana sehari-hari di Dukuh Tebuireng lebih ramai dibanding dengan kota
kecamatannya, Diwek. Keberadaan Pabrik Gula Tjoekir, Pasar Cukir,
Puskesmas dan poliklinik yang melayani rawat-inap, keberadaan Kantor
Pos, bank-bank swasta dan pemerintah yang dilengkapi ATM, mengudaranya
beberapa pemancar radio, serta banyaknya mini market, toko-toko
kelontong, warung-warung dan kedai-kedai yang berjejer di sepanjang
jalan, membuat kawasan ini selalu ramai dengan beragam aktivitas.
Semaraknya suasana Tebuireng dan sekitarnya, ditopang oleh keberadaan
pesantren-pesantren yang tersebar di hampir setiap sudut desa. Suasana
kahidupan pesantren sangat terasa di kawasan ini. Setiap hari,
orang-orang bersarung, berpeci, dan berjilbab, berlalu-lalang di sekitar
jalan raya. Bila lebaran tiba, kawasan Tebuireng dan sekitarnya menjadi
sepi karena para santri/siswa pulang kampung (mudik). Ini membuktikan
bahwa keberadaan santri/siswa merupakan faktor utama yang membuat
semarak kehidupan di Tebuireng dan sekitarnya.
***
Dari uraian di muka, terlihat jelas bahwa Pesantren Tebuireng memiliki
peran yang sangat signifikan, sejak awal berdirinya hingga sekarang.
Peran itu dimulai dari perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan
RI, perjuangan menyebarkan ajaran agama dan mencerdaskan kehidupan
bangsa, pengembangan ekonomi masyarakat dan penguatan civil society.
Banyaknya kader-kader terbaik bangsa yang lahir dari lembaga ini, juga
merupakan bukti bahwa Pesantren Tebuireng tidak pernah lelah berjuang.
Peran vital itu semakin dikukuhkan dengan keikutsertaan para pengasuh
dan alumninya dalam percaturan politik nasional.
Dua orang tokohnya, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim, bahkan
mendapat gelar pahlawan nasional. Keduanya juga merupakan tokoh pendiri
dan penerus perjuangan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di
Indonesia dan Asia Tenggara. Salah seorang keturunan Kiai Hasyim, yaitu
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menjadi presiden keempat
Republik Indonesia. Karena itu, tidak berlebihan kiranya bila sebagian
masyarakat menyebut Tebuireng sebagai ”Pesantren Perjuangan”.
___________
Versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebuireng berawal dari pemberian
nama oleh seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan
kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.
Tanggal pendirian tratak ini dicatat sebagai awal berdirinya Pesantren Tebuireng.
Konon, kedelapan orang santri itu dibawa oleh Kiai Hasyim dari pesantren Keras (asuhan Kiai Asy’ari).
Metode sorogan diterapkan baik bagi santri pemula maupun bagi santri
senior. Untuk santri pemula, dilakukan dengan cara maju satu persatu dan
menyodorkan kitabnya masing-masing. Lantas gurunya membacakan salah
satu kalimat dalam bahasa Arab, kemudian menerjemahkan dalam bahasa
setempat dan menerangkan maksudnya. Santri yang mengaji diharuskan
menyimak kitabnya sambil memberi tanda tertentu pada kalimat yang baru
dibacakan. Metode sorogan untuk pemula ini biasanya dilaksanakan oleh
santri senior pembantu Kiai, yang disebut qori’ atau badal. Sedang untuk
santri senior, metode sorogan lazim diterapkan untuk pengajian yang
bersifat khusus. Caranya, santri yang bersangkutan menghadap kiai sambil
membawa kitab yang akan dibaca. Kiai hanya tinggal menyimak dan
meluruskan bacaan yang salah, serta memberikan komentar bila diperlukan.
Metode ini cukup efektif untuk memacu kemajuan santri dalam hal
penguasaan kitab klasik.
Pengembangan Pesantren Tebuireng
Pendidikan semula berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru
menyimak) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak). Sejak tahun
1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih
sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami
penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk tambahan
pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Berhitung.
Untuk meningkatkan pendidikan di Tebuireng, Kyai Hasyim menunjuk Abdul
Wahid Hasyim (putra) dan Moh. Ilyas (santri), -sebelumnya telah diutus
untuk belajar di Makkah- untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng.
Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk mengadakan
pembaharuan dalam tiga bidang yakni:
Memperluas pengetahuan para santri
Memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah
Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif
Sebagai langkah pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis
Madrasah Nidhomiyah yang banyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang
dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku-buku pengetahuan umum yang
berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Perkembangan sistem pendidikan
ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas pondok pesantren yaitu
pengajian kitab klasik (kuning).
Usaha pembaharuan ini memang tidak menampak hasil nyata dalam waktu
dekat. Namun saat penjajahan Jepang diberlakukan larangan surat menyurat
selain dengan huruf latin, hal itu tidak menimbulkan masalah bagi
santri Tebuireng. Dengan modal mempelajari pengetahuan umum di
Tebuireng, banyak alumni Tebuireng dengan cepat mampu menguasai keadaan
untuk menolong umat Islam yang terjajah. Misalnya di bidang politik
menjadi anggota ‘sangi kay’ (DPR tingkat Karesidenan), menguasai
sentra-sentra ekonomi, bahkan pasca kemerdekaan banyak yang menduduki
jabatan kepala di suata jawatan.
Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari
dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam,
pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok
Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya
dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di
luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid
Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan
pelajar-pelajar dari Barat.
Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan
pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang
memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi
menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh
digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang
pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul
Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior
Divisi Brawijaya.
Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama
menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya
diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran
agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan
pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada
masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan
bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain
sebagainya.
Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6
tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas
(aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata
pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak
beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan
kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci
Mekkah.
Kedudukan selanjutnya dipegang KHM. Yusuf Hasyim yang telah menjadi
pengasuh dari tahun 1965 hingga tahun 2006 dan beberapa bulan sebelum
beliau meninggal posisi pengasuh dipegang KH. Ir. Solahuddin Wahid putra
dari KH. A. Wahid Hasyim hingga kini.
Di samping itu salah seorang menantu Kyai Hasyim yaitu Kyai Idris
Kamali, secara tekun memimpin pengajian agama dalam bentuk pengajian
sorogan sejak tahun 1950 an hingga tahun 1972, ketika beliau berangkat
ke tanah suci untuk menetap di sana hingga beberapa waktu dan akhirnya
wafat pada tahun 1986 di Cirebon.
Langkah Antisipatif
Pada masa berikutnya dikembangkan beberapa jalur pendidikan formal.
Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan.
Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri
putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU,
SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2
tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas.
Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur
pertama pada tingkat lanjutan.
Ketiga, jalur SMP dan SMU A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975.
Tujuannya adalah untuk menampung mereka yang ingin bersekolah umum,
dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian atau
kursus.
Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan
tinggi, telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967
dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah
menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas
Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.
Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan
tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi
dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang
pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid
setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan
mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.
Disamping disediakan lembaga pendidikan formal, juga disediakan sarana
penunjang kegiatan untuk kelancaran belajar para santri. Misalnya
Koperasi Pondok Pesantren (1973), Perpustakaan A. Wahid Hasyim (1974),
Pusat Data Pesantren (PDP) 1977, Usaha Kesehatan Pondok Pesantren,
Koperasi Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi (1994), dan Warung
Internet (1998).
KITAB-KITAB KARYA HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI PENDIRI
PONDOK PESANTREN TEBUIRENG JOMBANG DAN JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA’
Adabul ‘Alim Wal Muta’allim
Adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan
menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy’ari
menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan
cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini,
memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan
ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh
yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada kita adalah bahwa ilmu
akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci
atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa
kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.
Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah
Merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang
disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau sering disingkat dengan ASWAJA.
Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa
persoalan yang berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut
dengan bid’ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi
pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa mereka juga
merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa’h. Akan tetapi dalam ibadah,
amal perbuatannya banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Dalam
kitab ini diuraikan dengan jelas tentang bagaimana sebenarnya ahlus
sunnah wal jama’ah tersebut.
At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan
Merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan
Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin
silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturohim.
Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang dasar
berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan
dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah
karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat
sekitar sehingga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin
Merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjelaskan tentang
rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan
pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi
suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita
taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan
melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah
keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata,
dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan
menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan kamil.
Ziyadatut Ta’liqot
Merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah
Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu.
Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara
pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak
sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal
dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti
Adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari
tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan
perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa
pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat nabi, para
pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri
silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid
serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para
pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu,
mereka sedang memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut
menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sehingga beliau
mengarang kitab ini.
Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah
Kitab ini berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari
tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap
betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi
tidak mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata
cara / sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi
bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat
yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah
keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama.
KITAB-KITAB KARYA KH.ISHOM HADZIQ (GUS ISHOM) CUCU HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI
Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah
Adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab
Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom
Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik
dalam rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang
berlandaskan tuntunan syariat Islam.
Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allaq Bi Wadhoifir Ramadhan
Adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi
hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari
beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita
tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita
ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan
ramadhan.
Irsyadul Mukminin
Merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang
lebih mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita
pengetahuan tentang ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh,
sebagaimana kitab lainnya, kitab ini jika kita kaji dengan mendalam,
akan menemukan pencerahan batiniah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
kita yang lebih baik dimasa mendatang.