Salah satu ulama Banyumas yang menjadi guru para ulama di Mekkah adalah
Syaikh Achmad Nahrawi Mukhtarom Al Banyumasi Al Makki. Dari tangan
beliau Thariqah Syadziliyah, berkembang sampai ke Indonesia
Bentang alam wilayah Banyumas berupa dataran tinggi dan pegunungan serta
lembah-lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan
pertanian dengan irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan
kenyataan kesuburan wilayah ini (gemah ripah loh jinawi). Karisedenan
Banyumas terdiri dari 4 Kabupaten yakni Banyumas, Cilacap, Purbalingga
dan Banjarnegara.
Dulunya, kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran
Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda.
Maka tidak aneh, bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali
keluarga-keluarga yang memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan
para tokoh pengikutnya.
Keluarga-keluarga keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang
telah menyingkir dari pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian
menurunkan para pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini.
Tak terkecuali Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom al Banyumasi, salah satu
ulama Banyumas adalah Syaikh Achmad Nahrawi Mukhtarom Al Banyumasi lama
berkiprah di Masjidil Harom. Beliau lahir di sekitar Banyumas pada 1800
M. Putra pasangan KH Hardja Muhammad dan Nyai Salamah merupakan
generasi ketiga imam Masjid Darussalam (Masjid Kauman Purbalingga).
Dari pasangan ini lahir Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom dan KH Abu
‘Ammar, dua Ulama terkemuka dari Purbalingga Jawa Tengah. Masa kecil
Nahrowi sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan remaja Nahrowi
dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama kepada KH Harja
Muhammad yang juga dikenal Imam Masjid Darussalam Purbalingga, sebelum
meninggalkan tanah airnya.
Sebagaimana para Ulama Jawa, kakak beradik ini, Nahrowi Mukhtarom dan
Abu ‘Amar kemudian belajar ke Mekkah yang pada waktu menjadi pusat Ilmu
pengetahuan Islam. Apalagi pada saat itu ada puncak geger Perang
Diponegoro (1825-1830 M) yang membuat banyak sekali santri dan kalangan
terpelajar dari tanah Jawa pergi ke luar negeri terutama sekali Mekkah
untuk mempelajari agama dan menghabiskan waktu di sana sampai suasana
tanah air tenang, baru mereka pulang.
Mekkah saat itu memang menjadi pusat peradaban ilmu dengan guru-guru
ulama yang sangat mumpuni seperti Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri
al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah, Syaikh Ahmad An-Nahrawi
al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah
seorang guru di Masjid Nabawi dll.
Syaikh Nahrowi tidak kembali ke Nusantara, memilih berkarier di Makkah,
di tempat dia menimba ilmu dan menjadi guru yang ulung. Berbeda dengan
Syekh Achmad Nahrowi Mukhtarom, sang Kakak, Abu ‘Ammar pulang ke tanah
air dan menjadi Imam Masjid Agung Purbalingga, Jawa Tengah. KH Abu
Ammar begitu pulang dari Mekkah langsung menghidupkan dan memakmurkan
Masjid Agung Purbalingga. Masjid Agung Purbalingga, merupakan
peninggalan Mbah Abu ‘Amar dan keluarganya. Sebab, tanah wakaf itu atas
nama KH Hardja Muhammad yang tidak lain adalah ayah Mbah Abu ‘Amar. KH
Abu Ammar juga dikenal dengan kelapangan dan luwes dalam bergaul. Hal
itu dibuktikan dengan kedekatan Mbah Abu ‘Amar dengan tokoh lintas
organisasi, seperti KH Hasyim Asy’ari (NU) dan Kiai Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah) pernah datang dan berdiskusi di Masjid Kauman semasa Mbah
Abu ‘Amar. Bahkan Syaikh Syurkati, pendiri Al Irsyad Al Islamiyah dari
Mekkah dikabarkan juga pernah bertandang.
KH Abu ‘Amar, adalah kakak dari Syekh Achmad Nahrowi Mukhtarom al
Banyumasi. KH Abu ‘Amar ini adalah seorang intelektual muslim yang
sangat disegani tidak saja pada regional Banyumas akan tetapi juga
nasional. Kancah KH Abu ‘Ammar di tingkat nasional bisa ditelusur ketika
berteman akrab dengan seorang hakim Belanda yang sangat terkenal yaitu
Prof. Terrhar. Diskusi yang intens KH ‘Abu ‘Amar ini dengan Terrhar ini
kemudian memunculkan perlunya sebuah peradilan bagi kaum inderland
tersendiri yang terpisah dengan landrat yang ada ketika itu. Peradilan
ini hanya diberlakukan buat kaum inderlands yang berhubungan dengan
hukum-hukum perdata (Begerlijc Wetbook).
Sektor yang diurus oleh peradilan ini meliputi pernikahan, perceraian,
hukum waris. Peradilan ini kemudian dikenal dengan Pengadilan Agama,
yang peradilan agama ini telah berkembang sekarang sampai keseluruh
persada nusantara. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, pengadilan
agama ini sekarang telah menjadi salah satu dari empat peradilan di
Indonesia. Dan sekarang pengadilan Agama telah sama kedudukannya dengan
pengadilan umum serta dibawah satu atap Mahkamah Agung. Bahkan
kewenangan Pengadilan Agama kini telah meluas tidak saja hal-hal yang
berkenaan denngan hukum Perdata tapi juga menerima sengketa pidana yang
bersifat syariah.
Kembali kepada sang adik Abu ‘Ammar, Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom Al
Banyumasi rupa-rupanya tidak mau pulang ke tanah Jawa. Bahkan oleh
Pemerintah Saudi Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom diangkat menjadi guru
mengajar santri dari berbagai Negara. Banyak mempunyai murid dan bahkan
menjadi hakim agung di Arab Saudi (lihat; Islam transformasi; Azyumardi
Azra; Gramedia; 1997).
Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama
ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya,
sebelum ada pengesahan dari Syaikh Ahmad Nahrowi Mukhtarom Al
Banyumasi. Jadi bisa dipastikan waktu Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom al
Banyumasi ini bisa dikatakan habis untuk mengkoreksi dan mentahshih
ratusan kitab karya ulama-ulama Nusantara pada waktu itu terkenal sangat
produktif menulis karya tulis seperti Syaikh Mahfudz Al Tremasi, Syaikh
Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Cholil Al Bangkalani,
Syaikh Junaid Al Batawi dll. Diibaratkan Syaikh Nahrowi adalah editor
handal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama Nusantara pada masa itu.
Sebagaimana ulama Banyumas yang terkenal jujur, rendah hati dan tidak
mau menonjolkan ilmu, Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom disebut banyak
ulama justru melahirkan kitab-kitab berjalan, yang tiada lain
murid-muridnya yang kebanyakan belajar ilmu thariqah kepadanya. Selain
mengasas kitab, Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom juga menjadi Mursyid
Thariqah Syadziliyah. Thariqah Syadziliyah muncul secara Besar-besaran
di tanah Jawa baru di abad 19, ketika para santri Jawa yang sebelumnya
berbondong-bondong belajar di Makkah dan Madinah pulang ke tanah air.
Generasi awal adalah K.H. Idris, pendiri Pesantren Jamsaren, Solo, yang
mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang
mufti Madzhab Hanafi di Makkah. Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah
Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah Syaikh Shalih, yakni
Syaikh Achmad Nahrawi Mukhtarom, ulama Haramain asal Purbalingga
Banyumas, Jawa Tengah, yang seangkatan –atau lebih tinggi– dengan Kyai
Idris Jamsaren saat berguru kepada Syaikh Muhammad Shalih.
Ulama-ulama Jawa yang berguru thariqah Syadziliyyah kepada Syaikh Achmad
Nahrowi Mukhtarom al Banyumasi antara lain : K.H. Muhammad
Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Achmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan Syaikh Abdul Malik, Kedungparuk Mersi, Purwokerto, Banyumas. Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya K.H. Achmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga).
Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Achmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan Syaikh Abdul Malik, Kedungparuk Mersi, Purwokerto, Banyumas. Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya K.H. Achmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga).
Thariqah Syadziliyyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syaikh Abu
al-Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili Al Hasany, ulama
kelahiran Ghamarah, sebuah kampung di wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang
sekarang dikenal dengan Maroko, pada tahun 593 H (1197 M), dan wafat di
Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H (1258M). Beliau adalah seorang sufi
pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir dan
berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’
(ketiadaan diri di hadapan Allah). Beliau juga mengajarkan pada muridnya
untuk bersikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan
Allah). Beliau juga mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’
Ulumuddin dan kitab Qutul Qulub.
Syaikh Syadzili menjelaskan pada muridnya bahwa thariqahnya berdiri di
atas lima perkara yang pokok, yaitu: Taqwa pada Allah Swt dalam keadaan
rahasia maupun terbuka, Mengikuti sunnah Nabi dalam perkataan maupun
perbuatan, Berpaling dari makhluk (tidak menumpukan harapan) ketika
berada di depan atau di belakang mereka, Ridlo terhadap Allah Swt dalam
(pemberianNya) sedikit maupun banyak, Kembali kepada Allah Swt dalam
keadaan senang maupun duka.
Di samping itu beliau juga mengajak mereka untuk mengiringi thariqahnya
dengan dzikir-dzikir dan do’a– do’a sebagaimana termuat dalam
kitab-kitabnya, seperti Al-Ikhwah, Hizb Al-barr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al
Kabir, Hizb Al-Lathif, Hizb Al Anwar dan sebagainya.
Thariqah Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia,
Tunisia, Al-Jazair, Negeri utara Afrika, Syiria dan juga Indonesia. Dan
belakangan thariqah ini kian digemari di Indonesia karena amalan
wiridnya yang ringan, mudah dan tidak memakan banyak waktu, sangat cocok
u ntuk kalangan pegawai atau karyawan yang jam kerjanya padat. Dan
–untuk di Pulau Jawa saat ini—tentu karena ketokohan para mursyidnya,
khususnya Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya yang saat ini
menjabat sebagai tokoh sentral dalam Jam’iyyah Ahlith Thariqah
Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal thariqah
mu’tabarah yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama.
Syaikh Nahrawi Mukhtarom Al Makki Al Banyumasi wafat pada tahun 1926 M,
pada usia 125 tahun dan di makamkan di Mekkah. Namun kiprah dakwahnya di
tanah air tidak pernah terputus. Dakwah Islamiyah itu juga terus
bersambung dilanjutkan oleh keluarganya yang ada di Purbalingga hingga
kini. Salah satu putra terpilih Mbah Abu ‘Amar adalah KH Muhammad
‘Isyom. Dia merupakan putera Mbah Abu ‘Amar dengan Ny Murtafingah binti
KH Hasan Mu’min, Penghulu Banjarnegara. Almarhum KH Muhammad ‘Isyom
dikenal fasih bahasa Inggris dan Arab. Sosok cerdas yang wafat 1976
tersebut, pernah menjadi juru bicara ulama-ulama Indonesia saat
melakukan kunjungan ke beberapa negara di dunia.
Pada saat KH ‘Isyom menjadi imam masjid jami’ Darussalam Purbalingga ,
mulailah dibangun lembaga pendidikan Al Ushriyyah di bawah naungan
Yayasan KH Abu ‘Amar. Ini merupakan salah satu usaha untuk melestarikan
perjuangan Mbah Abu ‘Amar. MTs Al Ushriyyah Purbalingga saat ini membuka
pendidikan formal Madrasah Tsanawiyyah (MTs). Berdiri pada 1949,
lembaga pendidikan yang berada di sisi utara bagian belakang masjid
Darussalam Purbalingga-Jawa Tengah masih bertahan sampai sekarang.
Itulah sedikit sejarah Ulama Agung Dari Purbalingga yang Menjadi Ulama dan Mursyid di Makkah al-Mukarromah. Semoga bermanfaat.