Perang Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada
1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan
rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret
1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, & mulai melepaskan
tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah
pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, & langsung bisa menguasai
Masjid Raya Baiturrahman.Köhler saat itu membawa 3. 198 tentara.
Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Penyebab Terjadinya Perang Aceh
Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana
Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang
kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda,
berada di bawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London
tahun 1824. Isi perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya
membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia
Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui
kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda
yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh
ini didukung Britania.
Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan
Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda,
yg isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk
mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di
Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak
& menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik
dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di
Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia &
Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk
menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas
Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta
keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yg sudah dibicarakan di
Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan
keterangan.
Strategi Siasat Snouck Hurgronje Mata-mata Belanda
Untuk mengalahkan pertahanan & perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga
ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yg menyamar selama 2 tahun di
pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan & ketatanegaraan Aceh.
Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh [De Acehers].
Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes
Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala [yaitu Sultan yg
berkedudukan di Keumala] dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu.
Tetap menyerang terus & menghantam terus kaum ulama. Jangan mau
berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap
di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan
cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi &
membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Ternyata siasat Dr Snouck
Hurgronje diterima oleh Van Heutz yg menjadi Gubernur militer &
sipil di Aceh [1898-1904]. Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai
penasehatnya.
Perang Aceh merupakan salah satu perang terhebat di nusantara dalam
melawan penjajah Belanda. Perang yang meletus di tahun 1873-1904 ini
merupakan perang yang menelan korban serdadu Belanda paling banyak .
Belanda sendiri mengakui bahwa perang Aceh adalah perang yang paling
pahit, melebihi pahitnya pengalaman mereka dalam Perang Napoleon. Hal
ini bisa dibuktikan oleh saksi bisu sejarah, yaitu kuburan Kerkhof.
Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak
di luar negeri Belanda. Kuburan tentara ini adalah salah satu yang
terluas di dunia. Sekitar 2.200 tentara termasuk empat orang jenderal
dimakamkan di sini. Serdadu-serdadu Belanda tersebut menjadi saksi
kegigihan perjuangan rakyat Aceh yang tak pernah lelah mengobarkan jihad
melawan “kaphee” (si kafir) Belanda.
Bahkan Belanda sempat putus asa dalam menghadapai perlawanan rakyat
Aceh, tidak tahu harus bagaimana lagi untuk memadamkannya. Atas jasa Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje lah Belanda dapat mengusai Kesultanan Aceh.
Snouck Hurgronje berpura-pura masuk Islam untuk mencari informasi
sebanyak-banyaknya tentang kelemahan rakyat Aceh. Selama dua tahun Ia
berbaur dengan rakyat Aceh. Dari hasil penelitiannya yang dibukukan
dalam buku berjudul De Acehers (Rakyat Aceh) Ia memberi pandangan bahwa
pemimpin perang sebenarnya bukanlah sultan Aceh tetapi para ulama.
Ia menyarankan agar tentara Belanda berkonsentrasi dalam menumpas dan
memberangus para ulama. Setelah para ulama tertangkap dan diasingkan
atau bahkan dibunuh barulah perjuangan rakyat Aceh bisa dipadamkan.
Saran Snouck Hurgronje dijalankan oleh Belanda, dan ternyata berhasil
dengan baik. Perang Aceh bisa dipadamkan sedikit demi sedikit.
Tak ada yang menyangkal keheroikan rakyat Aceh dalam berjuang. Bahkan
ketika Sultan Aceh, Sultan Muhammad Daud Syah menyerah pada tahun 1904,
rakyat Aceh tetap melanjutkan perang secara gerilya. Mereka berjuang
bukan demi Sultan, tetapi karena panggilan jihad suci mempertahankan
tanah air. Perang gerilya tetap berlangsung hingga tahun 1942, tahun
berakhirnya penjajahan Belanda karena kedatangan tentara Jepang.
Perang Aceh telah begitu banyak melahirkan para pahlawan, tak hanya
laki-laki tetapi juga pahlawan perempuan. Salah satu pahlawan tersebut
adalah Teungku Fakinah, seorang ulama perempuan yang menjadi panglima
perang di daerahnya.
Teungku adalah sebutan bagi alim ulama Aceh. Sedangkan Teuku adalah
gelar kebangsawanan. Teungku Fakinah merupakan salah satu ulama
perempuan yang hidup sezaman dengan Cut Nyak Dien. Ia sahabat karib Cut
Nyak Dien dalam berjuang. Ia juga sering menjadi penasihat spiritual Cut
Nyak Dien.
Teungku Fakinah dilahirkan tahun 1856 di desa Lam Krak. Ayahnya bernama
Datuk Mahmud, seorang pejabat pemerintahan kesultanan Aceh. Sedangkan
ibunya bernama Teungku Muhammad Sa’at pendiri pesantren Lam Pucok.
Ibunya adalah seorang ulama. Pesantren Lam Pucok menghasilkan banyak
pejuang gigih Aceh, salah satunya adalah Teungku Chik Ditiro.
Teungku Fakinah tidak pernah menempuh pendidikan formal. Ia menempuh
pendidikan agama di pesantren milik kedua orang tuanya. Ia belajar agama
dengan tekun seperti ilmu Tauhid, tafsir, hadits, Bahasa Arab.
Sedangkan ilmu keputrian ia peroleh dari ibunya.
Teungku Fakinah dibesarkan dalam kondisi perang Aceh. Semua masyarakat
Aceh bersatu padu mengobarkan semangat jihad. Tua, muda, laki-laki,
perempuan semuanya membenci kaphee Belanda. Terlebih lagi ketika Masjid
agung Baiturrahman di kuasai Belanda, semua rakyat Aceh bersumpah untuk
merebutnya kembali. Tercatat terjadi empat kali pertempuran besar dalam
merebut Masjid Agung Baiturrahman.
Meskipun perempuan, tetapi Teungku Fakinah memiliki keberanian yang
tidak kalah dengan laki-laki. Ia dikarunia wajah yang rupawan.
Kecantikan wajahnya tidak membuat ia lupa diri. Tidak membuat ia
mengeksploitasi dirinya sendiri untuk kepentingan duniawi semata.
Kecantikan wajahnya ia lengkapi dengan kecantikan hatinya. Teungku
Fakinah memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam kehidupannya. Ia
hanya mau menerima pinangan pemuda yang taat beragama.
Ketika berusia 16 tahun, yaitu di tahun 1872, Teungku Fakinah
menggenapkan separuh agamanya. Ia menikah dengan Teungku Ahmad, seorang
pemuda shalih dari kampung Lam Beunot. Pasangan suami istri ini telah
mewakafkan dirinya untuk berjuang bersama di jalan Alloh. Mereka
mendirikan pesantren di Lam Beunot. Disamping aktif mengajar di
pesantren, Teungku Ahmad juga gigih berjuang mengusir Belanda.Ia
bersumpah untuk berjuang di jalan Alloh hingga syahid menjelang.
Tatkala pecah perang Aceh untuk pertama kalinya di tahun 1873, tanpa
ragu Teungku Ahmad turut berjuang memenuhi panggilan jihad suci. Ia
memperkuat barisan pasukan Panglima Polim (Panglima Kesultanan Aceh) .
Meskipun masih pengantin baru dan mempunyai istri cantik, tetapi hal
tersebut tidak menyurutkan langkahnya untuk berjihad. Ia berjuang dengan
gagah berani di garis depan. Pertempuran terjadi dengan dahsyatnya.
Banyak kaum mujahidin yang syahid, termasuk di dalamnya Teungku Ahmad.
Teungku Fakinah berduka sekaligus bangga memiliki suami yang syahid di
jalan Alloh. Ia menjadi janda dalam usia yang sangat muda yaitu 17
tahun. Teungku Fakinah adalah tipe mukmin sejati yang menyerahkan
seluruh hidupnya untuk berjuang di jalan Alloh. Meskipun suaminya telah
tiada, bukan berarti ia harus larut dalam kedukaan. Ia bahkan bangkit
meneruskan perjuangan suaminya.
Kiprah pertamanya adalah membentuk Badan Amal bagi kaum mujahidin. Ia
mengkoordinir para perempuan terutama para janda untuk bangkit berjuang.
Ia berkeliling Aceh mengumpulkan sumbangan untuk menyokong perang Aceh.
Berbagai sumbangan yang ia peroleh baik berupa uang, makanan, senjata,
ataupun pakaian diserahkan sepenuhnya bagi kepetingan kaum mujahidin. Ia
juga mendirikan dapur umum dan tenda darurat bagi mujahidin yang
terluka.
Ketika Kutaraja (Banda Aceh) berhasil dikuasai Belanda, para pejuang
memindahkan pertahanannya di Lam Bhouk. Tetapi pertahanan tesebut tidak
bisa bertahan lama, Lam Bhouk berhasil dikuasai Belanda pada tahun 1883.
Para pejuang kemudian bergerilya dan memindahkan pusat pertahanannya di
Aneuk Galung. Dengan dipimpin oleh Teungku Cik Di Tiro, para pejuang
berjuang mati-matian mempertahankan daerah Aneuk Galung. Dahulunya,
daerah Aneuk Galung ini merupakan markas pertahanan Panglima Polim.
Tetapi Panglima Polim berhasil ditangkap Belanda pada tahun 1878.
Disamping memperkuat pertahanana daerah Aneuk Galung, para pejuang juga
membangun basis-basis pertahanan di daerah lain. Diantaranya yaitu
daerah Lam Sa Yeun yang dipimpin oleh Tengku Mat Saleh, daerah Cut Weue
yang dipimpin oleh Tengku Fakinah, daerah Bak Balee dipimpin Habib
Lhong, dan daerah Bak Garot yang dipimpin oleh Tengku Amat. Tengku Amat
merupakan paman Teungku Fakinah, yaitu adik dari Teungku Muhammad Sa’at.
Tengku Fakinah merupakan satu-satunya panglima perang perempuan. Ia
memimpin langsung pembangunan benteng di daerah Cut Weue. Ia mengerahkan
anak buahnya untuk memasang pagar, menggali parit dan memasang ranjau.
Ia memiliki pasukan perempuan yang hebat, pasukan perempuan berani mati.
Tercatat nama-nama hebat seperti Cutpo Fatimah Blang Preh, Nyak Raniah,
Cutpo Habi, Cutpo Nyak Cut, dan Cut Puteh menjadi anggota pasukannya.
Semua pejuang menghormati Teungku Fakinah. Semua rakyat Aceh mencintai
Teungku Fakinah. Ia sering menghadiri rapat koordinasi dengan para
panglima perang daerah lain. Waktu itu Teungku Fakinah adalah seorang
janda. Adat dan tradisi masyrakat Aceh memandang kurang baik apabila
seorang perempuan menghadiri pertemuan dengan para panglima laki-laki
seorang diri. Atas desakan anak buahnya, akhirnya Teungku Fakinah
menikah untuk kedua kalinya dengan Teungku Nyak Badai, seorang pejuang
dari Pidie.
Pernikahan mereka adalah hasil dari perjodohan kaum mujahidin. Dengan
harapan, sepasang mujahidin ini semakin teguh berjuang di jalan Alloh.
Akan tetapi pernikahan mereka pun tidak berumur panjang. Teungku Nyak
Badai mati syahid dalam sebuah pertempuran di tahun 1896. Ketika itu
Belanda di bawah pimpinan Kolonel J. W Stempoort menyerbu markas Teungku
Fakinah. Teungku Nyak Badai beserta istrinya berjuang mati-matian
mempertahankan benteng. Akhirnya Teungku Nyak Badai menunaikan janji
sucinya untuk menjadi syuhada.
Sepeninggal suaminya, Teungku Fakinah tidak mundur setapak pun dari
jalan perjuangan. Salah satu jasa besar yang tercatat oleh sejarah
adalah ketika Teungku Fakinah berhasil mengembalikan Teuku Umar (suami
Cut Nyak Dien) untuk insyaf berjuang kembali melawan kaphee Belanda.
Waktu itu Teuku Umar sempat membelot, memihak kepada Belanda. Ia bahkan
dianugerahi gelar Johan Pahlawan oleh Belanda atas jasa-jasanya menumpas
pemberontakan rakyat Aceh. Padahal sebelumnya Teuku Umar adalah seorang
pejuang yang gigih melawan Belanda. Entah karena alasan taktik atau
bukan, Teuku Umar sempat membelot. Rakyat Aceh sangat bersedih dengan
keadaan ini, mereka kehilangan sosok Teuku Umar yang selama ini memimpin
perjuangan.
Teungku Fakinah tak cukup hanya bersedih, ia menyusun taktik agar Teuku
Umur dapat insyaf kembali, berjuang bersama rakyat kembali. Ia
mengirimkan pesan kepada Cut Nyak Dien yang merupakan sahabatnya. Ia
berkata, sampaikan kepada Teuku Umar untuk membawa pasukannya ke Cut
Weue, untuk memerangi kaum janda dan anak-anak. Cut Nyak Dien terdiam
mendapat pesan tersebut. Hatinya tertohok. Ia malu mendapati suaminya
berpihak kepada musuh, terlebih lagi memerangi janda dan anak-anak
bangsanya sendiri. Kemudian Cut Nyak Dien mempengaruhi suaminya agar
kembali ke pangkuan ibu pertiwi, kembali berjuang bersama rakyat Aceh.
Akhirnya Teuku Umur tersadar, ia menyadari kekeliruannya. Ia merasa
sangat malu mendapati pesan dari Teungku Fakinah untuk memerangi janda
dan anak-anak. Teuku Umar pun kembali berjuang bersama rakyat Aceh. Ia
melarikan 800 pucuk senapan beserta berkarung-karung makanan. Kemudian
senapan-senapan tersebut ia bagikan kepada kaum mujahidin. Belanda
merasa tertipu, merasa dipermainkan oleh Teuku Umur. Sejak saat itu
Teuku Umar dan Cut Nyak Dien menjadi buronan nomor wahid. Hingga akhir
hayatnya Teuku Umar dan Cut Nyak Dien tetap setia membela ibu pertiwi.
Sesudah jatuhnya markas pertahanannya, Teungku Fakinah berpindah-pindah
tempat. Mula-mula ia tinggal di Lammeulo. Setelah itu ia tinggal di
Blang Peuneuleun (Pucok Peuneuleun). Daerah ini merupakan daerah yang
sangat indah dan lahan yang sangat subur, sehingga ditempat ini
dijadikan perkampungan dan sekaligus membuka lahan pertanian. Teungku
Fakinah pun sempat membuka pesantren di daerah ini. Akan tetapi pada
tahun 1899 menyerbu tempat ini dan memporak-porandakan semua bangunan
yang ada. Teungku Fakinah berhasil lolos dari pengepungan.
Sejak saat itu Teungku Fakinah tidak pernah membuat markas pertahanan
lagi. Ia mengobarkan perang gerilya bersama perempuan hebat lainnya
seperti Pocut Awan (ibunda Panglima Polim), Pocut Lam Gugob (kerabat
sultan),dll.
Mereka mengarungi hutan belantara, berpindah-pindah sampai kepegunungan
Pasai, Gayo Luas, serta tempat-tempat lain disekitar Laut Tawar.
Sekalipun Teungku Fakinah tidak lagi memegang peranan sebagai Panglima
Perang, namun beliau tetap aktif dalam bidang pendidikan agama, terutama
mengajar wanita-wanita yang turut bergerilya. Ia mengobarkan semangat
jihad mujahidah-mujahidah hebat tersebut.
Setelah Panglima Polim dan Kesultanan Aceh menyerah, Teungku Fakinah
kembali ke kampung halamannya pada tanggal 21 Mei 1910. Dia kembali ke
kampung halamannya di desa lam Kraak dalam usia 54 tahun. Kemudian ia
pun mendirikan pesantren pada tahun 1911. Teungku Fakinah sangat
dihormati dan dicintai rakyat Aceh. Banyak tokoh masyarakat yang
menyumbangkan dana untuk pembangunan pesantren tersebut. Teungku Fakinah
pun mengisi hari tuanya dengan mengajar agama di pesantren.
Murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru Aceh.
Teungku Fakinah mempunyai cita-cita untuk berangkat haji ke tanah suci.
Ia sudah berumur tetapi niatnya belum terlaksana. Di tahun 1914 ia
bertekad untuk berangkat haji. Tetapi ia seorang janda, dan tidak
diperkenankan seorang janda untuk berangkat haji sendiri. Akhirnya ia
memutuskan untuk menikah lagi agar ada muhrim yang menemani
perjalanannya naik haji. Teungku Fakinah menikah lagi dengan Ibrahim.
Akhirnya di tahun 1915 mereka menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Waktu itu Teungku Fakinah sudah berusia 58 tahun.
Selesai menunaikan ibadah haji, Teungku Fakinah memutuskan tinggal
sementara di Mekkah untuk memperdalam ilmu agama. Di tahun keempat di
tanah suci,sang suami yaitu Ibrahim meninggal dunia. Maka pada tahun
1918 Teungku Fakinah memutuskan untuk kembali ke Aceh.
Sesampainya di Aceh, ia memimpin kembali pesantren di Lam Krak. Ia
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para muridnya. Ia mengabdikan dirinya
di pesantren hingga ajal menjemputnya. Teungku Fakinah menghembuskan
nafas terakhir pada tahun 1938 di usianya yang ke-75 . Aceh berduka.
Seorang ulama perempuan sekaligus panglima perang telah tutup usia.
Teungku Fakinah telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengibarkan
panji-panji Islam. Meski namanya tak pernah tercatat dalam buku-buku
sejarah Indonesia, tetapi namanya tetap abadi di sisi pencipta alam
semesta. Salam penuh takzim untuk sang ulama panglima perang…….
Merenungi kembali mozaik sejarah…Kita tidak pernah menemukan materi
perang Aceh dalam buku-buku pelajaran sejarah dari SD,SMP,SMA….padahal
perang Aceh adalah perang terhebat dan terlama di nusantara. Bahkan
Belanda pun mengakuinya sebagai perang paling pahit, melebihi pahitnya
perang Napoleon…..Kuburan Berkhoff menjadi saksi bisu kehebatan rakyat
Aceh….Aceh menjadi mimpi buruk bagi 2200 serdadu Belanda yang mati dalam
perang ini....