Salah seorang ulama Indonesia paling berpengaruh sepanjang abad 19, yang
juga pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah (TQN) yang tersebar
luas di Nusantara, terutama di Jawa. Beliau juga dikenal sebagai
cendekiawan ulung terutama di bidang ilmu agama, seperti Qur’an, hadits,
fiqih, kalam, dan, tentu saja, tasawuf.
Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah seorang ulama yang mendirikan
perkumpulan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Perkumpulan Tarekat ini
merupakan penyatuan dan pengembangan terhadap metode dua Tarekat sufi
besar. yakni Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Kehidupan Awal Beliau
Syaikh Achmad Khotib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas,
Kalimantan Barat, pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun
1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin
Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga
perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau
(nomaden) memang masih menjadi bagian cara hidup masyarakat di
Kalimantan Barat.Sebagai sebuah daerah yang dibangun oleh Raja Tengah,
keturunan dari Raja Brunei Darussalam, pada tahun 1620 M. dan menobatkan
diri sebagai sebuah kerajaan sepuluh tahun kemudian. Maka wilayah
Sambas adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri kemusliman khusus
sejakRaden Sulaiman yang bergelar Muhammad Tsafiuddin dinobatkan sebagai
Sultan Sambas pertama.
Pada waktu itu, rakyat Sambas hidup dari garis agraris dan nelayan.
Hingga ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Muhammad Ali
Tsafiuddin (1815-1828) dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun
1819 M. Perjanjian ini membentuk sebuah pola baru bagi masyarakat Sambas
yakni, perdagangan maritim.
Dalam suasana demikianlah, Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil
dan masa remajanya. Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh
oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut.
Masa pendidikan Beliau
Achmad khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari
ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah
kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut
adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.
Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan,
Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan
pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya Mekkah. Maka pada tahun 1820
M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan
dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita
Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad
Khatib Sambas memutuskan menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875
M.
Dari pernikahannya Ia dikaruniai tiga orang anak. Putera-puterinya
bernama: Syekh Yahya, Siti Khadijah, dan Syekh Abdul Gaffar. Dari 3
orang anak Syekh Ahmad Khatib Sambas tersebut seterusnya mempunyai
keturunan dan beranak cucu, hingga di antara keturunan beliau itu
sekarang banyak yang tinggal di Singkawang. Mereka diperkirakan adalah
keturunan kelima dan keenam. Di antara mereka itu ialah: Bapak S Chalidi
(almarhum) yang tinggal di Sekip Lama Singkawang, Bapak S Hamidi,
tinggal di Jl Ali Anyang Singkawang dan Saihah, Aminah, S Ramli,
Fatomah, Haimunah, dan S Ahmadi yang tinggal di Jalan Ali Anyang
Singkawang.
Guru-gurunya :
1. H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.
2. Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari
3. Syeh Daud Bin Abdullah Al Fatani (ulama asal Patani Thailand Selatan
yang bermukim di Mekkah) seorang alim besar dan mursyid tarekat
Syattariyah.
4. Syeh Abdusshomad Al Palimbani (ulama asal Palembang yang bermukim di Mekkah)
5. Syeikh Abdul hafidzz al-Ajami
6. Syeh Ahmad al-Marzuqi
7. Syeh Syamsudin, mursyid tarekat Qadiriyah yang tinggal dan mengajar di Jabal Qubays Mekkah.
Syekh al-Fatani lah yang memperkenalkan Syekh Ahmad Khatib kepada Syekh
Syams al-Din, seorang mursyid dari Tarekat Qadiriyyah. Peristiwa agak
aneh dan menimbulkan tanda tanya, yakni mengapa Syekh Ahmad Khatib
Sambas tidak ikut pada tarekat guru pertamanya itu, padahal pada waktu
itu Tarekat Syattariyyah bisa dikatakan cukup dominan dalam
penyebarannya hingga akhir abad 19.
Syekh Syams al-Din ini amat mempengaruhi kehidupan Syekh Ahmad Khatib
Sambas, dan Syekh Ahmad Khatib menjadi muridnya yang terbaik. Kelak
Syekh Ahmad Khatib inilah yang menggantikan posisi gurunya sebagai
mursyid Tarekat Qadiriyyah. Tetapi tidak diketahui dengan pasti dari
siapa Syekh Ahmad Khatib Sambas menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyyah.
Guru-guru lainnya diantaranya adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
(mursyid Tarekat Sammaniyah), Syekh Bisyri al-Jabarti, Sayyid Ahmad
al-Marzuqi, Sayyid Abd Allah ibn Muhammad al-Mirghani dan Utsman ibn
Hasan al-Dimyati.
Peran Perjuangan Syaikh
Ketika kemudian Ahmad Khatib telah menjadi seorang ulama, ia pun
memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kehidupan keagamaan
di Nusantara, meskipun sejak kepergiannya ke tanah suci, ia tidaklah
pernah kembali lagi ke tanah air. Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui
disiplin ilmu Syeikh Sambas, demikian para ulama menyebutnya kemudian,
melalui ajaran-ajarannya setelah mereka kembali dari Makkah.
Syekh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid dari dua tarekat, meskipun
kemudian dia tidak mengajarkannya secara terpisah, melainkan
dikombinasikan. Kombinasi ini bisa dianggap sebagai bentuk tarekat baru
yang berbeda dari dua tarekat sumbernya. Karenanya di Indonesia beliau
dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Penyebaran tarekat ini juga dibantu oleh tersebar luasnya kitab karangan
beliau, Fath al-Arifin, salah satu karya paling populer untuk praktik
sufi di dunia Melayu. Kitab ini menjelaskan unsur-unsur dasar ajaran
sufi, seperti baiat, zikir, muraqabah, silsilah (mata rantai spiritual)
Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Syeikh Sambas merupakan ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak
melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, termasuk
Syeikh Nawawi al-Bantani adalah salah seorang di antara murid-murid
Beliau yang berhasil menjadi ulama termasyhur. Salah satunya adalah
Syeikh Abdul Karim Banten yang terkenal sebagai Sulthanus Syeikh. Ulama
ini terkenal keras dalam imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan
mengobarkan pemberontakan yang terkenal sebagai pemberontakan Petani
Banten. Namun sayang, perjuangan fisiknya ini gagal, kemudian
meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syeikh Ahmad Khatib
Sambas. Syeikh Ahmad Khatob Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu
Islam bekerja sama dengan para Syeikh besar lainnya yang bukan pengikut
thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah
bin Muhammad dari Madura, keduanya pernah menetap di Makkah.
Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka
menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan
pengikut sufi.
Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Sambas adalah
sebagai seorang Ulama (dalam asti intelektual), yan g juga sebagai
seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat
yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara. Hal ini dikarenakan
perkumpulan Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah yang didirikannya,
telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya
di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke
Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Peranan dan Karyanya Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut
Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yang dipimpin oleh Syeikh Guru
Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani
Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh
keikutsertaan mereka pada perkumpulan Thariqoh yang didirikan oleh
Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini. Thariqat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah
mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama
dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata
karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari
Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para
pejuang yang dengan gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap
imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan
dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari
karyanya berupa kitab FATHUL ARIFIN nang merupakah notulensi dari
ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad
Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tanggal
tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir,
muqarobah dan silsilah Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah. Buku
inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid
dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah untuk melaksanakan
prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu
saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di panjatkan
dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini. Walaupun Syeikh
Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun Beliau
juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip
risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas
koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau.
Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal
tanah Melayu.
Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga
membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam. Pada bagian akhir
naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini
ditutup dengan beberapa amalan wirid Beliau selain amalan Tariqat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Karya lain (juga berupa manuskrip)
membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan
jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten
Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Disember 2001 M.
karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan
dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281 H.
oleh Haji Ahmad bin Penggawa Nashir.
Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah
kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah
ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib
Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar.
Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya
Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa’id
al-’Amudi dan Ahmad Ali.
Ajaran Beliau
Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama
dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para
pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling
efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan
pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari
kalanganSalafus shalihin.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam
kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu
dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syekh Ahmad
Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi para
pengikut kedua Tarekat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap
imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan
dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Survey tentang sejarah Tarekat Qadiriyahdan Tarekat Naqsyabandiyah
mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia.
Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia,
bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktek-praktek
Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyahsecara substansial merupakan
aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek
kehidupan. Tujuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tujuan
Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama
diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan
keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di
akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).
Pandangan filosofis Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mengenai
hubungan kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim mahupun dengan yang
bukan muslim, dapat dilihat dalam bagian uraian Tanbih berikut:
1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi dari kita, baik zahir maupun
batin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun saling
menghargai.
2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya
jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah
hati bergotong- royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara,
jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaaan, kalau-kalau kita
terkena firmanNya “Adzabun Alim” yang artinya duka nestapa untuk
selama-lamanya dari dunia hingga akhirat;
3. Terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah
menghinanya atau berbuat tidak senonoh bersika angkuh, sebaliknya harus
bersikap belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan
gembira hatinya harus dituntun dan dibimbing dengan nasihat yang lemah
lembut yang akan memberi keinsafan dalam menginjak jalan kebajikan;
4. Terhadap fakir miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis
budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa kita sadar. Coba
rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan
kekurangan.
Metode dan ajaran zikir
Metode zikir tarekat ini menggunakan dua bentuk, zikir keras (jahar) dan
diam (khafi). Untuk zikir keras beliau menggunakan teknik zikir dengan
membaca laa ilaha illa Allah (kalimat nafy-itsbat) sebagaimana
dipraktikkan dalam Tarekat Qadiriyyah. Sedangkan zikir “diam”
menggunakan teknik dari Naqsyabandiyyah, yakni menyebut ism al-dzat:
Allah. Namun praktik ini sedikit dimodifikasi dengan memasukkan unsur
zikir Naqsyabandiyyah, di mana zikir kalimat tahlil itu dilakukan dengan
mengacu pada titik-titik latha’if (pl: lathifah) yang ada dalam tubuh
manusia sebagaimana diajarkan dalam Tarekat Naqsyabandiyyah.
Tetapi dalam perkembangannya, meski prinsip dasarnya sama, namun
kaifiyyah dalam beberapa otoritas TQN yang belakangan tampak sedikit
berbeda, misalnya kaifiyyat zikir jahr TQN Suryalaya dengan TQN
al-Utsmani memiliki sedikit perbedaan dalam penekanan pada hentakan dan
tempo zikir, dan juga ada perbedaan dalam zikir khafinya. Demikian pula
ada sedikit perbedaan dalam jumlah zikir khafi TQN Suryalaya dengan TQN
Mranggen di bawah otoritas Kyai Muslih.. Walau demikian, prinsip dan
tujuannya tetaplah sama – variasi itu tidak mengubah substansi dari
amalan TQN secara keseluruhan. Berikut sedikit prinsip umum metode zikir
TQN – namun penjelasan di bawah lebih didasarkan pada kaifiyyah dari
TQN Suryalaya.
Zikir jahar la ilaha illa Allah dilakukan dengan membayangkan semacam
garis imajiner yang melewati lathaif. Fungsi “penarikan” garis zikir
itu, yakni dari bawah ke atas, lalu ke kanan dan kiri (untuk pemula yang
belum berpengalaman dianjurkan dengan menggunakan gerak kepala,
sehingga dari luar tampak mereka berzikir dengan menggeleng-gelengkan
kepala) adalah agar kekuatan kalimat itu menyentuh titik-titik lthaif.
Gerakan simbolik dari zikir nafi-itsbat dimaksudkan agar semua lathifah
tersebut, yang diyakini merupakan pusat pengendalian nafsu dan kesadaran
jiwa dan spiritual, teraliri dan terkena energi dan panas zikir tahlil
tersebut. Zikir pada mulanya pelan, dan cenderung lebih panjang tarikan
bacaannya, tetapi kemudian temponya dipercepat dan suara makin meninggi,
agar tercapai kondisi semacam “ekstase.” Percepatan bacaan ini juga
dimaksudkan untuk membentengi pikiran dari “lintasan pikiran” (khatir)
yang mengganggu hati, sehingga seluruh konsentrasi tertuju pada Allah
saja.
Kitab Fath al-Arifin menggambarkan sepuluh lathifah, lima diantaranya yg
utama adalah qalb,ruh, sirr, khafi, dan akhfa, yang dikenal sebagai
alam al-amr (alam perintah). Lima lathifah lainnya adalah nafs, plus
empat unsur: air, udara, tanah dan api (alam al-khalq).
Pada Naqsybandi dan tarekat cabang-cabangnya, termasuk TQN, ada satu
lathaif yang barangkali paling tinggi dan sulit dicapai, yakni kullu
jasad. Ini adalah kondisi “tanpa titik” di mana totalitas insan (dimensi
ruh, kognitif, dan fisik) telah dawam dalam berzikir dan “menjadi”
zikir itu sendiri. Itu adalah saat laya r kesadaran menjadi tanpa tepi
dan siap menerima limpahan (faid) ilmu dan rahasia-rahasia ruhani dari
Allah.
Murid-Muridnya antara lain
1. Syeh Nawawi Al Bantani
2. Syeh Muhammad Kholil Bangkalan Madura
3. Syeh Abdul Karim Banten
4. Syeh Tolhah Cirebon
Syeh Nawawi Al Bantani dan Syeh Muhammad Kholil selain berguru kepada
Syeh Ahmad Khatib Sambas juga berguru kepada Syeh Ahmad Zaini Dahlan,
mufti mazhab Syafii di Masjidil Haram Mekkah.
Sepeninggal Syeh Ahmad Khatib Sambas, Imam Nawawi Al Bantani ditunjuk
meneruskan mengajar di Madrasah beliau di Mekkah tapi tidak diberi hak
membaiat murid dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Sedangkan Syeh Muhammad Kholil, Syeh Abdul Karim dan Syeh Tolhah
diperintahkan pulang ke tanah Jawa dan ditunjuk sebagai Khalifah yang
berhak menyebarkan dan membaiat murid dalam tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah.
Murid murid Syeh Ahmad Khatib Sambas diatas adalah guru para Ulama-Ulama
Nusantara generasi berikutnya yang dikemudian hari menjadi ulama yang
mendirikan pondok pesantren dan biasa dipanggil dan digelari sebagai
KYAI, Tuan Guru, Ajengan, dsb.
Sebagai contoh, Syeh Muhammad Kholil Bangkalan Madura mempunyai murid-murid antara lain :
1. KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng
Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul
Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
2. KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang
memiliki belasan ribu orang santri.
3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras
Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).
4. KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
5. KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah
6. KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang,
Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat
dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal
berhuruf jawa pegon.
7. KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8. KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren
Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari
seluruh penjuru Indonesia.
9. KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton,
Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri
dan sebuah Universitas yang cukup megah.
10. KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
11. KH. Asy’ari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember.
Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya
tentang ilmu nahwu dan sharaf.
14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep
17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18. KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta
20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan.
Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap
dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering
kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.
22. KH. Abdul Hadi : Lamongan.
23. KH. Zainudin : Nganjuk
24. KH. Maksum : Lasem
25. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
26. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
27. KH. Munajad : Kertosono
28. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
29. KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang
30. KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura
31. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi
32. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
33. KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso
34. KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat
35. KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik
36. KH. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.
Dari tiga murid Syeh Ahmad Khatib Sambas, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berkembang luas :
1-. Syeh Abdul Karim Banten mempunyai murid : H. Sangadeli Kaloran, H.
Asnawi Bendung Lempuyang, H. Abu Bakar Pontang, H. Tubagus Isma’il
Gulatjir dan H. Marzuki Tanara. Dari semua muridnya ini yang paling
terkenal adalah yang disebut paling akhir. Dimana, sepulang dari Mekkah
H. Marzuki Tanara mendirikan pondok pesantren di tempat kelahirannya
(Tanara). Di Tanara ia mengajar dari tahun 1877-1888. Dua ulama
terkemuka Banten, Wasid dan Tubagus Isma’il sering berkonsultasi
kepadanya tentang masalah agama dan masalah yang ditimbulkan oleh
kolonialisme. Syeh Abdul Karim Banten sempat pulang ke Banten pada tahun
1872, membangkitkan perlawanan terhadap Belanda yaitu peristiwa
pemberontakan petani Banten yang sejatinya adalah perlawanan para
pengilkut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Pada tahun 1876 Syeh Abdul Karim Banten kembali ke Mekkah menggantikan
posisi Syeh Ahmad Khatib Sambas yang telah wafat. TQN centre dari jalur
Syeh Abdul Karim Banten selanjutnya berpusat di Pagentongan Bogor
dibawah asuhan Syeh Thohir Falak.
2- Syeh Tolhah Cirebon mempunyai murid Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur
Muhammad (Abah Sepuh) yang berguru selama 25 tahun kepada Syeh Tolhah,
kemudian diperintahkan oleh gurunya untuk mendirikan pesantren Suryalaya
di Tasikmalaya yang kemudian diteruskan oleh anaknya Syeikh Ahmad
Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom).
3- Syeh Muhammad Kholil Bangkalan Madura memberikan estafet Mursyid
kepada Syeh Ahmad Hasbullah di Rejoso Jombang, kemudian diteruskan
kepada Syeh Khalil diteruskan kepada Syeh Romli Tamim, pimpinan
pesantren Rejoso Jombang, diteruskan kepada anaknya Musta’in Romli ketua
Jamiah Ahlul Thoriqot Muktabaroh. Ketika Syeh Mustain Romli berafiliasi
ke Golkar, para pengurus Jamiah Ahlul Thoriqoh Muktabaroh membentuk
JATMAN (Jamiah Ahlul Thoriqoh Muktabaroh An Nahdliyah) yang tetap
berafiliasi ke NU dengan ketua Syeh Adlan Ali, salah satu murid Syeh
Romli Tamim, pimpinan pesantren Cukir Jombang.
Sepeninggal Kyai Adelan Ali ketua JATMAN dijabat oleh Habib Luthfi Bin
Yahya Pekalongan (Tarekat Syadziliyah) sampai sekarang. Syeh Romli Tamim
juga mempunyai murid Syeh Muslih pesantren Mranggen Semarang yang
mengembangkan tarekat TQN di Jawa Tengah.