بسم الله الرحمن الرحيم
Diriwayatkan oleh Thabrani, dari Ibnu Abbasr.a., katanya: Rasulullah
saw. mengirim seorang utusan kepada Wahsyi bin Harb – Pembunuh Hamzah
r.a. – agar ia memeluk Islam. Maka Wahsyi balik mengutus seseorang
dengan kata-kata, “Wahai Muhammad! Bagaiman Engkau menyeru aku (untuk
memeluk Islam) sedangkan engkau mengatakan bahwa barangsiapa membunuh
atau mempersekutukan Allah dengan sesuatu atau meakukan zina, maka ia
berdosa dan siksa untuknya akan digandakan pada hari Kiamat nanti dan
kekal di dalam neraka dalam kehinaan, sedangkan aku telah melakukan
perbuatan-perbuatan itu? Apakah engkau menjumpai satu keringanan bagiku?
Inilah tang menyebabkan Allah swt.Menurunkan wahyu:
اِلَّامَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلً صَالِحًا فَاُولٰٓئِكَ
يُبَدِّلُ اللهُسَيِّاٰتِهِمْ حَسَنَاتٍۗ وَكَانَ اللهُغَفُوْرًا
رَّحِيْمًا
“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan
kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Qs. Al Furqan: 70)
Kisah Kehidupan Wahsyi
Sebuah tombak melesat dengan tepat mengenai tubuh sang nabi palsu,
Musailamah Al-Kadzab. Terbunuhnya sang nabi palsu ini, menandakan
kemenangan bagi kaum Muslimin atas kekalahan kaum Murtad. Hal ini
sekaligus menumpas gerakan murtad di Perang Yamamah di tahun 12 H.
Wahsyi bin Harb sang pemilik tombak in, membuktikan keseriusannya untuk
membela agama Allah dengan membunuh manusia terburuk di zamannya. Ini
dilakukannya untuk menebus kesalahannya di masa lampau, yakni sebuah
kesalahan yang selalu mengusik kehidupannya karena ia telah membunuh
sosok yang amat dicintai oleh Rasulullah.
Wahsyi bin Harb, sebuah nama yang menunjukkan kebuasan dirinya. Dalam
bahasa Arab, Wahsyi berarti buas dan Harb memiliki arti perang. Sejarah
mulai mencatat kehidupan Wahsyi, seorang berkulit hitam asal Habasyah
saat ia berada di Mekkah menjadi budak seprang pembeasr Quraisy, Jubair
bin Muth’im.
Seperti kebanyakan orang di zaman itu, orang-orang Quraisy memperlakukan
budak dengan tidak semestinya. Seperti halnya Jubair bin Muth’im, ia
memperlakukan Wahsyi dengan tidak manusiawi. Saat itu bdak dianggap
tidak memiliki nilai. Mereka seolah terlahir hanya untuk mengabdikan
seluruh hidupnya kepada sang majikan. Maka begitu wajar jika para budak
termasuk Wahsyi begitu merindukan kebebasan.
Namun bagi Wahsyi, impian menjadi manusia yang mereka hanya bisa menjadi
angan-angannya saja. Sebab ia merasa tak memiliki kesempatan untuk
bebas dari perbudakan yang selama ini mengikatnya. Hingga tiba saatnya
Allah mengutus Rasulullah menebarkan hidayah di muka bumi.
Saat itulah Islam mulai mengajarkan persamaan derajat manusia. Saat itu
juga penduduk Mekkah terutama dari kaum lemah satu persatu mulai
mengikuti ajaran Rasulullah. Termasuk di antaranya adalah Bilal bin
Rabah. Namun tidak dengan Wahsyi bin Harb, ia tak percaya Islam mampu
memberinya persamaan derajat manusia. Ia juga tidak mau menerima resiko
kemarahan sang majikan apabila ia memeluk Islam.
Nampaknya ada hal yang perlu kita amati mengapa ada perbedaan di antara
Bilal dan Wahsyi. Padahal secara status sosial, keberadaan mereka, asal
mereka, dan warna kulit mereka sama. Tetapi ketika Islam mulai menerangi
Mekkah, tentu saja Bilal kedudukannya lebih tinggi daripada Wahsyi. Dan
tidak mengherankan ketika kita membaca sejarah awal keduanya, sejak
mereka berdua berada di Mekkah, dan sejak Rasulullah memulai dakwahnya,
Bilal bin Rabah itu sudah bersemangat sekali untuk menerima hidayah itu.
Sementara Wahsyi belum semangat untuk menerima hidayah dari Rasulullah,
maka dari itu berbeda sekali kedudukan di antara keduanya. Bilal dengan
semua keberaniannya mempertahankan ketauhidannya walaupun disiksa oleh
majikannya. Sementara Wahsyi ia ingin mempertahankan hidupnya dengan
pertukaran apapun walaupun dengan membunuh sebaik-baik orang, Hamzah bin
Abdul Muthalib.
Datangnya Islam benar-benar memancing kemarahan masyarakat Quraisy.
Apalagi setelah mereka dikalahkan oleh kaum Muslimin di Perang Perdana,
Perang badar di tahun 2 H. Tidak sedikit tokoh Quraisy yang tewas
dikalahkan oleh kaum Muslimin. Kekalahan tersebut menyisakan duka dan
dendam yang mendalam. Tidak ada jalan lain selain menuntut balas di
peperangan selanjutnya.
Akhirnya, waktu Perang Uhud pun tiba. Orang-orang Quraish keluar,
disertai oleh sekutu mereka dari berbagai kabilah Arab lainnya. Mereka
dipimpin oleh Abu Sufyan. Target utama para pemuka Quraish kali ini
adalah dua orang saja, yaitu Rasulullah dan Hamzah. Memang benar, dari
buah pembicaraan dan provokasi yang mereka gembor-gemborkan sebelum
perang, dapat diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah
Rasulullah sebagai sasaran dan target peperangan ini.
Momen balas dendam inilah yang membuka jalan Wahsyi menuju gerbang
kebebasannya. Karena sang majikan, Jubair bin Muth’im akan memberinya
imbalan yang sangat berharga, yakni membebaskannya jika ia berhasil
membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah. Kala perang
meletus, paman Jubair ini tewas di tengah medan perang dan ia ingin
menuntut balas, sehingga ia berkata kepada Wahsyi, “Berangkatlah bersama
orang-orang itu! Jika kamu berhasil membunuh Hamzah, kamu bebas.”
Kemudian mereka bawa budak itu kepada Hindun binti Utbah, yakni istri
Abu Sufyan, agar dihasut dan didesak untuk melaksanakan rencana yang
mereka inginkan. Pada Perang Badar, Hindun telah kehilangan ayahnya,
pamannya, saudaranya, dan putranya. Ia mendengar berita bahwa Hamzah-lah
yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang menyebabkan
terbunuhnya yang lain. Karena itu, tidak aneh bila di antara orang-orang
Quraish, baik laki-laki maupun perempuan, dialah yang paling getol
menghasut orang untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk
mendapatkan kepala Hamzah, meski harus dibayar dengan harga berapa pun.
Berhari-hari lamanya sebelum peperangan dimulai, tidak ada sesuatu pun
yang dilakukan oleh Hindun selain menghasut Wahsyi, serta menumpahkan
segala dendam dan kebenciannya Hamzah dan merencanakan peran yang akan
dimainkan oleh budak itu. Ia telah menjanjikan kepada budak itu,
andainya ia berhasil membunuh Hamzah, ia akan memberikannya kekayaan dan
perhiasan yang paling berharga yang dimiliki oleh wanita tersebut.
Sambil memegang anting-anting, permata yang mahal, serta kalung emas
yang melilit lehernya dengan jari-jari yang penuh dengan kebencian, dan
dengan pandangan yang tajam, ia berbisik kepada Wahsyi, “Jika kamu dapat
membunuh Hamzah, semua ini menjadi milikmu.”
Air liur Wahsyi pun mengalir mendengar itu. Angan-angannya terbang
melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat bertemu dengan peperangan
yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan mangsanya, hingga ia tidak
lagi menjadi budak, selain keinginan untuk segera memiliki barang-barang
perhiasan yang selama ini menghiasi leher istri pemimpin dan putri
tokoh suku Quraisy.
Maka sembari membawa tombaknya, Wahsyi dengan semangat berangkat ke
medan Uhud bersama pasukan Quraisy lainnya. Tujuannya bukan untuk
membunuh musuh sebanyak-banyaknya, melainkan hanya satu yang menjadi
incarannya, yaitu dengan membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib yang tak
lain adalah paman Rasulullah. Hal ini dilakukannya adalah hanya untuk
menemui kebebasannya sebagai manusia seutuhnya.
Di saat sedang berlangsung, Wahsyi terus menyelinap di tengah-tengah
medan perang sambil mengintai paman Rasulullah. Di tengah-tengah
semangat jihad Hamzah bin Abdul Muthalib melawan para musyrikin, ia
terus membidik Hamzah menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan
tombaknya. Hingga tibalah saat yang tepat, dengan sigap ia melamparkan
tombaknya dengan penuh harapan.
Sekarang, mari kita persilahkan Wahsyi sendiri yang menuturkan tentang peristiwa tersebut:
“Saya seorang Habasyah yang mahir melemparkan tombak dengan teknik khas
Habasyah, hinnga jarang sekali lemparanku meleset. Tatkala orang-orang
telah mulai berperang, saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah, hingga
tampak di antara manusia tidak ubahnya bagai unta kelabu yang mengancam
orang-orang dengan pedangnya hingga tidak seorang pun yang dapat
bertahan di depannya.
Demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya, saya bersembunyi
di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya dekat.
Tiba-tiba saya didahului oleh Siba’ bin Abdul ‘Uzza yang tampil di
hadapannya. Tatkala Hamzah melihat mukanya, ia pun berkata, ‘Mendekatlah
ke sini, wahai anak tukang potong kelintit <tukang sunat>!’
sejurus kemudianHamzah menebasnya dan tepat mengenai kepalanya.
Ketika itu saya pun menggerakkan tombak dan mengambil ancang-ancang,
hingga setelah terasa tepat, saya melemparkannya hingga mengenai
pinggang bagian bawah dan tembus ke bagian muka di antara dua pahanya.
ia mencoba bangkit ke arahku, tetapi ia tidak berdaya lalu roboh dan
meninggal.
Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku, lalu kembali ke
perkemahan dan duduk-duduk di sana, karena tidak ada lagi tugas dan
keperluanku. Saya telah membunuhnya semata-mata demi kebebasan dari
perbudakan yang menguasai.”
Tombaknya tepat mengenai tubuh Hamzah bin Abdul Muthalib. Wahsyi bin
Harb berhasil membunuh paman tercinta Rasulullah. Di saat itu juga
Hindun binti Utbah melampiaskan dendamnya dengan memakan jantung Hamzah
bin Abdul Muthalib.
Tragedi Uhud mengubah nasib Wahsyi bin Harb dan Kerinduannya menjadi
manusia yang merdeka puntelah ia capai. Ia pun segera mengubah
penampilannya menjadi layaknya manusia yang merdeka dari perbudakan.
Namun, bukan sambutan baik yang ia terima. Ia justru mendapatkan
cemoohan dari masyarakat Quraisy. Wahsyi masih saja direndahkan oleh
masyarakat Quraisy. Perlakuan buruk yang ia terima tidak juga membuka
hatinya untuk memeluk Islam. Padahal ia telah melihat kemerdekaan sejati
pada diri Bilal bin Rabah yang dulunya bernasib sama seperti dirinya.
Hidayah Islam justru baru hinggap di hatinya saat peristiwa pembebasan
kota Mekkah. Di tahun 8 H, saat Rasulullah dan 10.000 umat Muslim
lainnya berbindong-bondong datang ke Mekkah untuk mengembalikan kesucian
kota Mekkah. Di saat kota Mekkah mulai dibebaskan oleh kaum Muslimin,
Wahsyi justru melarikan diri menuju ke Tha’if.
Kisah Wahsyi bin Harb Ra
Siapakah orang yang melukai hati Rasulullah Saw. ketika membunuh paman
beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib pada perang Uhud? Siapakah yang
menyenangkan hati beliau dengan membunuh Musailamah al-Kadzdzab pada
perang Yamamah.
Dia adalah Wahsyi bin Harb, atau yang mempunyai julukan Abi Dasamah.
Wahsyi mempunyai kisah yang sangat menarik, menyedihkan dan menegangkan.
Siapkanlah pendengaran anda untuk mendengarkan kisah yang akan
diceritakan sendiri oleh Wahsyi bin Harb. Wahsyi bercerita,
Dulu aku adalah seorang budak muda milik Muth’im bin ‘Adi, salah seorang
pemimpin suku Quraisy. Pamannya bernama Thu’aimah. Thuaimah terbunuh di
tangan Hamzah bin Abdul Muthalib pada perang badar. Muth’im bin Adi
sangat sedih sekali dengan kematiannya. Dia bersumpah demi Latta dan
‘Uzza untuk membalas dendam kematian pamannya, dia juga berjanji akan
membunuh pembunuh pamannya.
Muth’im bin Adi menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk membunuh Hamzah.
Tidak berselang lama setelah perang Badar kaum Qurasiy mengadakan
kesepakatan untuk keluar ke Uhud, melampiaskan pembalasan mereka kepada
Muhammad bin Abdillah, dan membalas kematian saudara-saudara mereka
yang terbunuh di perang Badar. Kaum Quraisy menyiapkan pasukan perang
mereka. Mereka menyatukan persekutuan mereka, lalu menyerahkan
kepemimpinan mereka kepada Abu Sufyan bin Harb.
Abu Sufyan mempunyai gagasan untuk mengikutsertakan para pemimpin
Quraisy yang mempunyai anak, ayah, saudara atau kerabat mereka yang
terbunuh di Badar. Hal itu agar menambah semangat pasukan mereka dalam
berperang dan meminimalisir pasukan yang melarikan diri. Di antara
perempuan yang ikut serta dalam peperangan tersebut adalah istri Abu
Sufyan, Hindun binti ‘Utbah. Semua saudaranya, pamannya dan ayahnya
terbunuh dalam perang Badar.
Ketika pasukan Quraisy hampir berangkat, Jubair bin Muth’im menoleh ke
arahku dan berkata, “Wahai Abu Dasamah (Wahsyi), apakah engkau ingin
membebaskan dirimu dari perbudakan?”
Aku bertanya, “Siapakah yang akan membebaskanku?”
Jubair berkata, “Aku yang akan membebaskanmu.”
Aku bertanya, “Apa syaratnya?”
Jubair menjawab, “Jika engkau berhasil membunuh Hamzah bin Abdil
Muthalib, paman nabi Muhammad, demi pamanku Thu’aimah bin ‘Adi, aku akan
membebaskanmu.”
Aku bertanya, “Siapakah yang akan memberikan jaminan padaku dengan janjimu?”
Jubair berkata, “Terserah kamu. Aku akan mempersaksikan janjiku ini kepada semua manusia.”
Aku menjawab, “Aku akan melakukannya. Dan aku akan merdeka.”
Wahsyi melanjutkan ceritanya,
Aku adalah orang Habasyi, aku adalah pelempar panah Habasyi yang tidak pernah meleset sama sekali.
Akhirnya aku mengambil tombakku dan aku berangkat dengan pasukan kaum
musyrikin. Aku berjalan di barisan belakang di dekat perempuan. Aku
tidak mempunyai tujuan yang jelas dalam peperangan tersebut.
Setiap kali aku melewati Hindun, istri Abu Sufyan atau ketika dia
melewatiku dan melihat tombak yang berkilauan di tanganku di bawah terik
matahari, dia berkata, “Wahai Abu Dasamah! Sembuhkanlah luka hati kami
(dengan membunuh muslimin), niscaya engkau akan merdeka.”
Ketika kami sampai di Uhud dan dua pasukan bertemu, aku mencari-cari
keberadaan Hamzah bin Abdul Muthalib. Sebelumnya aku sudah mengenalnya.
Hamzah tidak asing bagi siapapun, karena dia memakai bulu burung onta di
kepalanya untuk menunjukkan kepahlawanannya. Sebagaimana yang biasa
dilakukan orang-orang perkasa dari orang-orang Arab yang pemberani.
Tidak berselang lama, aku melihat Hamzah bin Abdil Muthalib. Hamzah
berperang dengan dahsyat di arena peperangan, laksana unta yang sangat
ganas. Dia menebas leher musuh dengan sangat mengerikan. Tidak ada orang
yang bertahan dengan kuat di depannya dan tidak ada orang yang bisa
menghadapinya.
Ketika aku bersiap-siap untuk membunuhnya, aku bersembunyi di balik
pohon atau di balik batu besar sambil menunggu agar dia mendekat padaku.
Tiba-tiba ada salah seorang penunggang kuda yang mendahuluiku. Orang
itu bernama Siba’ bin Abdul ‘Uzza. Dia berkata, “Wahai Hamzah, hadapilah
aku, hadapilah aku..”
Lalu Hamzahpun menghadapinya seraya berkata, “Marilah berhadap-hadapan denganku wahai anak musyrik! Majulah!”
Seketika itu juga Hamzah bin Abdil Muthalib menyabetkan pedangnya dan
mengenai Siba’. Siba’ bin Abdul ‘Uzzah tersungkur mati dengan bersimbah
darah di hadapan Hamzah.
Pada waktu itulah aku mencari posisi untuk membunuh Hamzah. Aku
mengarahkan tombakku. Dan ketika aku sudah tenang, aku melemparkan
tombakku hingga mengenai bawah perutnya dan tombak itu tembus di bagian
antara dua kakinya.
Hamzah melangkah dua langkah dengan berat ke arahku. Kemudian Hamzah
terjatuh dan tombak masih tertancap di tubuhnya. Aku membiarkan tombakku
dalam tubuhnya sampai aku sangat yakin bahwa dia benar-benar sudah
meninggal. Kemudian aku menghampiri jasadnya dan mencabut tombakku dari
tubuhnya, setelah itu aku kembali ke tenda. Setelah itu aku duduk di
dalam tenda, karena aku tidak mempunyai tujuan selain membunuh Hamzah.
Aku membunuhnya agar aku bisa merdeka.
Peperangan berlangsung sangat sengit. Banyak di antara mereka yang tetap
bertahan dalam peperangan namun ada juga yang melarikan diri. Hanya
saja kekalahan nampak pada pasukan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya.
Banyak sekali di antara mereka yang meninggal dunia.
Pada waktu itulah pergilah Hindun binti ‘Utbah menuju korba-korban tewas
dari kalangan kaum muslimin. Di belakang Hindun terdapat para wanita
dari kalangan musyrikin yang mengikuti Hindun. Mereka berdiri di depan
mayat kaum muslimin, mereka membelah perut mayat-mayat kaum muslimin,
mencukil mata mereka, memotong hidung mereka, bahkan memotong telinga
mereka.
Mereka membuat potongan telinga dan hidung kaum muslimin menjadi kalung
dan anting-anting lalu memakainya. Di antara mereka ada yang menyerahkan
kalung dan anting kuping serta hidung itu kepadaku. Mereka berkata,
“Kalung dan anting itu untukmu wahai Abu Dasamah! Simpanlah, karena
harganya mahal!”
Ketika perang sudah mereda dan usai. Aku bersama dengan para pasukan
kembali ke Makkah. Jubair bin Muth’im berbuat baik padaku dengan
menepati janjinya, memerdekakan diriku. Akhirnya aku merdeka.
****
Namun tenyata agama yang dibawa oleh Muhammad semakin hari semakin
berkembang. Pengikutnya semakin hari semakin bertambah. Dan setiap kali
agama Muhammad bertambah kuat, aku semakin dilanda kesusahan. Aku selalu
merasakan ketakutan dan kecemasan dalam diriku.
Aku terus merasakan hal tersebut, hingga akhirnya Rasulullah Saw.
beserta pasukannya yang sangat banyak berhasil menaklukkan kota Makkah.
Pada waktu itu aku pergi melarikan diri untuk mencari aman di Thaif.
Namun ternyata lambat laun kebanyakan penduduk Thaif juga memeluk Islam.
Mereka menyiapkan utusan mereka untuk bertemu dengan nabi Muhammad
serta mengikrarkan keislaman mereka.
Aku semakin bertambah menyesal dan bertambah bingung. Dunia yang luas
terasa sempit olehku. Semua jalan terasa buntu. Aku berkata dalam
diriku, “Aku akan pergi ke Syam, ke Yaman, atau ke negeri-negeri lain.
Demi Allah, ketika aku dalam kondisi yang sangat kesusahan seperti ini,
tiba-tiba datang seorang yang mau berbelas kasihan dan memberikan
nasehat padaku. Orang tersebut berkata, “Celakalah kamu wahai Wahsyi!
Sungguh Muhammad tidak akan membunuh seorangpun yang masuk ke dalam
agamanya dan mau bersyahadat dengan benar.”
Setelah mendengar nasihatnya, seketika aku langsung keluar dan pergi
menuju Madinah untuk mencari nabi Muhammad. Ketika aku sampai di
Madinah, aku mencari tahu keberadaan beliau, dan ternyata beliau berada
di masjid. Akupun memberanikan diri masuk ke dalam masjid dengan sangat
takut dan khawatir. Aku pergi menghadapnya hingga aku berada di atas
kepalanya. Aku mengatakan, “Aku bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan Yang
berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba Allah dan RasulNya.”
Ketika beliau mendengar ucapan dua kalimat syahadat, beliau mengangkat
pandangannya ke arahku. Ketika beliau mengetahui bahwa yang mengucapkan
dua kalimat syahadat adalah diriku, belaiau kembali menundukkan
pandangan beliau. Rasulullah bertanya, “Apakah engkau Wahsyi?”
Aku menjawab, “Betul wahai Rasulullah.”
Rasulullah berkata, “Duduklah dan ceritakanlah kepadaku bagaimana engkau membunuh Hamzah?”
Lalu aku duduk dan menceritakan peristiwa pembunuhan Hamzah kepada
beliau. Ketika aku selesai menceritakannya, Rasulullah memalingkan
wajahnya dariku seraya berkata, “Celakalah kamu wahai Wahsyi!
Sembunyikanlah wajahku dariku. Aku tidak akan melihat wajahmu lagi
setelah hari ini.”
Sejak hari itulah aku selalu menghindarkan wajahku agar tidak sampai
terlihat oleh Rasulullah Saw.. Apabila para sahabat duduk di depan
beliau, aku justru duduk di belakang beliau. Aku terus melakukan hal
tersebut hingga Rasulullah wafat.
****
Wahsyi melanjutkan ceritanya, meskipun aku tahu bahwa agama Islam
menghapus semua perbuatan di waktu kafir, namun aku masih selalu
terbayang-bayang dengan perbuatan keji yang aku lakukan maupun musibah
besar yang aku timpakan kepada Islam dan kaum muslimin. Aku selalu
mencari kesempatan untuk melakukan perbuatan yang dapat menghapuskan
kesalahan masa laluku.
****
Ketika Rasulullah Saw. wafat dan kepemimpinan kaum muslimin berada di
tangan sahabatnya, Abu Bakar, penduduk Bani Hanifah, para pengikut
Musailamah al-Kadzdzab murtad dari Islam. Akhirnya khalifah Rasulullah
Saw. Abu Bakar mengerahkan pasukannya untuk memerangi Musailamah dan
mengembalikan Bani Hanifah kepada Islam.
Aku berkata dalam diriku, “Wahai Wahsyi, Demi Allah, sungguh ini
merupakan kesempatan yang harus kau gunakan. Jangan sampai kesempatan
ini lepas darimu.”
Lalu aku keluar bersama tentara kaum muslimin. Aku membawa tombak yang
aku gunakan untuk membunuh pemuka para syuhada’ Hamzah bin Abdul
Muthalib. Aku bertekad kuat dalam diriku untuk melemparkan tombak
tersebut ke tubuh Musailamah hingga dia tewas, atau aku yang akan
menemui syahid.
Ketika kaum muslimin bertempur dengan para pengikut Musailamah dan
menyerang musuh-musuh Allah di kebun kematian, aku mengawasi
gerak-gerik Musailamah. Aku melihat Musailamah berdiri dengan pedang di
tangannya. Aku juga melihat ada salah seorang sahabat dari kalangan
anshar yang juga mengintainya seperti diriku. Kami berdua-dua bertekad
untuk membunuhnya.
Ketika aku sudah berada pada posisi yang sangat strategis, aku
menyiapkan tombakku. Ketika sudah siap, aku langsung melemparkannya ke
arah Musailamah. Dan ternyata tombakku berhasil menembus tubuhnya.
Pada saat yang sama ketika aku melemparkan tombakku, orang anshar itu
berada di atas tubuh Musailamah lalu menyabetkan pedangnya ke tubuhnya
dengan sekali sabetan.
Allah lebih tahu, siapa sebenarnya yang membunuhnya. Jika ternyata aku
yang berhasil membunuhnya, maka sungguh aku sudah membunuh sebaik-baik
orang sesudah nabi Muhammad dan juga membunuh sejelek-jelek manusia.”
Salman bin Yasar dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Saya mendengar
teriakan saat perang Yamamah; ‘Budak hitam itu telah membunuhnya!’.”
Sementara menurut penuturan A’idz bin Yahya dari Muhammad bin Umar,
Wahsyi dan Abdullah bin Zaid al-Anshari yang telah membunuhnya
bersama-sama.
Saat kaum muslimin mengadakan ekspansi ke Syam, Wahsyi juga turut serta
hingga ia memutuskan untuk menetap di Homs, Suriah sampai wafat. Ia
dimakamkan di sana berdampingan dengan makam Tsauban pembantu Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Masjid yang didirikan dekat makamnya
terkenal dengan nama Masjid Jami’ Wahsyi Tsauban. Namun saat ini,
kondisi masjid ini hancur akibat ulah pemberontak.
Kisah masuk Islam nya Sayidina Wahsyi Bin Harb
Diriwayatkan oleh Thabrani, dari Ibnu Abbasr.a., katanya: Rasulullah
saw. mengirim seorang utusan kepada Wahsyi bin Harb – Pembunuh Hamzah
r.a. – agar ia memeluk Islam. Maka Wahsyi balik mengutus seseorang
dengan kata-kata, “Wahai Muhammad! Bagaiman Engkau menyeru aku (untuk
memeluk Islam) sedangkan engkau mengatakan bahwa barangsiapa membunuh
atau mempersekutukan Allah dengan sesuatu atau meakukan zina, maka ia
berdosa dan siksa untuknya akan digandakan pada hari Kiamat nanti dan
kekal di dalam neraka dalam kehinaan, sedangkan aku telah melakukan
perbuatan-perbuatan itu? Apakah engkau menjumpai satu keringanan bagiku?
Inilah tang menyebabkan Allah swt.Menurunkan wahyu:
اِلَّامَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلً صَالِحًا فَاُولٰٓئِكَ
يُبَدِّلُ اللهُسَيِّاٰتِهِمْ حَسَنَاتٍۗ وَكَانَ اللهُغَفُوْرًا
رَّحِيْمًا
“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan
kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Qs. Al Furqan: 70)
Wahsyi berkata, “Wahai Muhammad, syarat ini sangat berat bagiku, yaitu
aku harus bertaubat dan beriman serta melakukan amal shalih. Aku tidak
sanggup melakukan hal-hal seperti itu.”
Peristiwa ini menyebabkan Allah swt.Menurunkan wahyu:
اِنَّ اللهَ لَايَغْفِرُاَنْ يُشْرِكَ بِهٰوَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاءُۚ
“SesungguhnyaAllah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengetahui
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya” (Qs. An Nisaa: 48)
Wahsyi berkata lagi, “Wahai Rasulullah, aku melihat ampunan itu
tergantung kepada kehendak Allah. Aku tidak mengetahui apakah Allah
mengampuni atau tidak. Adakah yang lain?”
Maka Allah mewahyukan ayat di bawah inikepada Rasulullah saw.:
قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِنَ اَسْرَفُوْاعَلٰٓ اَنْفُسِهِمْ
لَاتَقْنَطُوْامِنْ رَّحْمَتِاللهِۗ اِنَّ اللهَ يَغْفِرُالذُّنُوْبَ
جَمِيْعًاۗ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُالرَّحِيْمُ
“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az Zumar: 53)
Wahsyi berkata lagi, “Wahai Muhammad, syarat ini mudah bagiku.”
Maka ia pun memeluk Islam. Para sahabat yang berada di sekitar itu
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah melakukan perbuatan
yang dilakukan oleh Wahsyi.”
Rasulullah saw. bersabda, “Ayat itu ditujukan kepada seluruh orang Islam.”
Al Haitsami (juz 7, hal.100) berkata bahwa dalam sanadnya ada Abyan bin Sufyan. Adz Dzahabi menganggapnya lemah.
Diriwayatkan oleh Bukhari (2/710) dari Ibnu Abbas r.a., katanya:
Sesungguhnya orang-orang yang berasal dari kaum musyrik, dulu mereka
telah membunuh dan banyak melakukannya, begitu juga mereka telah
berzinadan banyak melakukannya, kemudian mereka menemui Rasulullah saw.
dan berkata, “Sesungguhnya segala yang telah engkau katakan dan engkau
dakwahkan adalah ajaran yang sangat bagus, kalau saja engkau memberi
tahu kami bahwa ada penebus untuk segala (dosa) yang kami lakukan selama
ini.”
Maka Allah swt. Telah menurunkan ayat sebagai berikut:
وَالَّذِيْنَ لَايَدْعُوْنَ مَعَ اللهِ اِلٰهًا اٰخَرَوَلَايَقْتُلُوْنَ
النَّفْسَ الَّتِىْ حَرَّمَ اللهُ اِلَّابِالْحَقِّ وَلَايَزْنُوْنَۚ
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain
dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan)
yang benar dan tidak berzina.” (Qs. Al Furqan: 68)
Kemudian ayat yang lain turun:
قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِنَ اَسْرَفُوْاعَلٰٓ اَنْفُسِهِمْ لَاتَقْنَطُوْامِنْ رَّحْمَتِاللهِۗ
“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah….” (Qs. Az
Zumar: 53)
Muslim juga meriwayatkannya (juz 1 hal. 76), juga Abu Dawud (juz 2 hal.
238), dan an Nasa’I, seperti yang ada dalam al Aini (juz 9 hal. 121). Al
Baihaqi meriwayatkannya (juz 9 hal.98) semisal itu.Dari Kitab
Hayatusshohabah
Di dalam naungan Islam, Wahsyi menghabiskan sisa hidupnya dalamkebaikan.
Dalam cahaya Islam, Wahsyi merasakan benar-benar menjadi manusia
merdeka yang hanya mengabdikan hidupnya kepada Allah. Begitulah Islam
mengajarkan persamaan derajat manusia.
Islam adalah agama yang sangat bersemangat untuk menghilangkan sistem
perbudakan. Namun, Islam tidak bisa memaksa seseorang untuk membebaskan
budak dari tuannya. Yang ada adalah Islam hanya memberikan motivasi.
Umpamanya adalah orang yang melanggar sumpah atas nama Allah, maka salah
satu tebusan dari kesalah itu adalah membebaskan budak. Kemudian
umpamanya kesalahan sepasang suami istri yang berhubungan di siang hari
di saat bulan Ramadhan, maka tebusannya juga membebaskan budak, dan
begitulah seterusnya. Secara tak langsung, Islam memberikan motivasi
kepada masyarakatnya untuk membebaskan budak.
Begitulah kisah kehidupan dari manusia yang mulia ini, Wahsyi bin Harb. Semoga Allah meridhaimu, wahai Wahsyi.