Sumpah pamangmang ni lebu ni paduka haji i Sunda irikita kamung hyang
kabeh pakadya umapala ikan i sanghyang tapak ya patyanantaya Kamung
hyang dentat patiyasiwak kapalanya cucup uteknya belah dadanya inum
rahnya rantan ususnya wekasaken pranantika i sanghyang kabeh tawat hana
wwang baribari shila irikang lwah i sanghyang tapak apan iwak pakan
prannahnya kapangguh i sanghyang Maneh ka liliran pakanya katake dlaha
ning dlahaPaduka haji i sunda Umade maka kadarmaning samangkana wekawet
paduka haji i sunda sanggum nti ring kulit kata kamanah ing kanang i
sanghyang tapak makatepa lwah watesnya i hulu sanghyang tapak i hilir
mahingan irikan Umpi ing wungkal gde kalihi wruhhanta kamung hyang
kabeh
Kalimat di atas adalah penggalan dan prasasti Sang Hyang Tapak di Sungai
Cicatih Sukabumi. Prasasti berpenanggalan 952 tahun Caka itu bertepatan
dengan 11 Oktober 1030. Nama lengkap sang Prabu adalah Sri Jayabupati
Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro
Gowardhana Wikramottunggadewa.
Beliau adalah Raja di Kerajaan Sunda. Sri Jayabupati memerintah selama
12 tahun (952 – 964) Saka (1030 -1042 M). Dalam prasasti itu, Raja Sunda
Sang Prabu Sri Jayabupati memerintahkan dan bersumpah agar rakyatnya
menjaga dan memelihara wilayah Kabuyutan Sang Hyang Tapak. Segenap
kekuatan gaib dipanggil dan diperintahkan untuk menghukum barang siapa
yang berani merusak dan mengambil ikan di wilayah kabuyutan, dengan
ancaman siapa pun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan kepada
semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup
darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya sebagai hukuman.
Namun barang siapa yang menjaga dan mengindahkan perintah tersebut akan
mendapat anugerah yang cukup, sandang, pangan, dan papan. Sumpah dengan
hukuman yang sangat berat tersebut yang diucapkan oleh Raja Sunda,
lengkapnya tertera pada prasasti keempat, terdiri atas dua puluh baris.
Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh
(ketahuilah olehmu parahiyang semuanya). Menjadi bukti nyata bahwa sang
Raja sangat teguh dalam menjaga kelestarian wilayah yang disebut dengan
kabuyutan.
Kabuyutan dalam arti di sini adalah merujuk pada suatu tempat yang
dikeramatkan, tempat yang mempunyai pantangan, dan merupakan
tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wilayah kabuyutan bisa
berupa bangunan yang dikeramatkan atau wilayah dan lahan bersungai yang
ditumbuhi pepohonan. Kabuyutan di Jawa Barat misalnya wilayah Sang Hyang
Tapak di Sukabumi dan Kanekes di kecamatan Leuwidamar Banten, Kabuyutan
Ciburuy di Bayongbong, Kabupaten Garut.
Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yaitu
sebagai sacred place atau devasasana; tempat pemuka kerajaan, pendeta
atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di
kabuyutan-lah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan
ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius,
kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Hindu di
tatar Sunda.
Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala. Astana Gede di
Kawali adalah contoh kabuyutan berupa situs seluas lima hektare dengan
kekayaan peninggalan sejarah di mana terdapat prasasti, susunan batu dan
lingga, ma-kam kuno, berbagai jenis pepohonan, dan tetumbuhan. Di
wilayah yang asri dan rapat oleh pepohonan itu terdapat mata air
Cikawali yang konon airnya tidak pernah kering walaupun di musim
kemarau.
Dalam mengelola hutan, masyarakat Baduy di Kanekes menjadi contoh yang
baik bagaimana manusia menjaga alam, termasuk dengan menjaga hutan
sebagai sumber penghidupan mereka. Bagi masyarakat Baduy, hutan memegang
peran penting kehidupan dan mata pencaharian.
Keberadaan masyarakat Baduy menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam
rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai
utama pada jaman Kerajaan Pajajaran waktu itu.
Pengolahan tanah dilakukan sesedikit mungkin tanpa mengubah kontur
tanah. Di hutan tertentu, pengolahan tanah untuk pertanian hanya untuk
hal substansial bertahan hidup saja tanpa dikomersialkan untuk
perda-gangan. Bahkan hewan ternak berkaki empat pun dijaga untuk masuk
ke wilayah hutan yang ditabukan. Hal tersebut untuk mencegah agar bekas
injakan dan kebutuhan makanan atas daun-daunan ternak tersebut tidak
mengganggu kelestarian hutan.
Para raja leluhur Sunda dahulu menjaga wilayah kabuyutan dengan sumpah
dan perintah yang tegas bahkan dengan hukuman mati bagi siapa yang
mengganggu dan merusaknya. Tidak hanya Prabu Jayabhupati yang sangat
tegas dalam menghukum perusak wilayah kabuyutan. Dalam prasasti
Kebantenan III terdapat supata atau perintah dari Sang Prabu Sri Baduga
sebagai berikut: ”Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan
piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya.
Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya.
Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa, aku perintahkan
agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.” Kita
sadari bahwa selain sebagai warisan sejarah, kabuyutan sendiri ditinjau
dari sisi sumber daya alam adalah tempat yang perlu kita jaga dan kelola
sebagai tempat untuk konservasi air, pelestarian hutan, dan habitat
satwa. Apakah Bandung memiliki tempat kabuyutan?
Tanpa adanya prasasti pun kita harus bisa mengetahui bahwa kabuyutan
untuk Kota Bandung adalah tempat-tempat di mana hutan perlu
dilestarikan, sungai yang perlu kita jaga kebersihannya, dan situ yang
perlu kita jaga debit airnya. Saat ini dapat kita lihat, hujan lebat
yang mendera Bandung dalam satu dua hari saja telah mampu membuat
perumahan dan jalan-jalan digenangi air dengan ketinggian yang
memprihatinkan. Ironisnya apabila musim kemarau, air sulit didapatkan di
mana-mana.
Kita sejak kecil telah belajar bahwa penyebab banjir di musim hujan
adalah rusaknya hutan, hilangnya danau sebagai penampung air, dan
mampetnya sungai-sungai akibat sampah. Namun dari musim hujan ke hujan
berikutnya, masalah yang sama masih kita hadapi disitu-situ saja.
Banjir, kekeringan, dan rusaknya kawasan hutan diatasnamakan oleh
pembangunan. Barusan di hari Minggu yang cerah ini saya pergi ke daerah
Bandung ke punggungan bukit-bukit dekat Gunung Manglayang di Bandung
Timur.
Saya tercengang melihat betapa pembangunan perumahan dan alih guna lahan
telah merambah ke pegunungan dimana seharusnya daerah tersebut
dilestarikan sebagai daerah resapan air dan hutan lindung. Betapa air
kan melimpah ruah membanjiri kota Bandung dengan kondisi gunungnya yang
sudah luar biasa rusak ini. Sangat diharapkan pemerintah dapat secara
tegas menetapkan wilayah dimana perlu kita lestarikan dan kita jaga.
Apabila raja dahulu menetapkan hukuman mati bagi perusak dan pengganggu
kabuyutan, setidaknya pada zaman sekarang ini sanksi yang tegas berupa
hukuman denda dan kurungan dapat diterapkan agar ditaatinya hukum bagi
perusak alam. Kalau bukan pemerintah yang membuat aturan lalu siapa
lagi?
Selain itu kesadaran warga. Sekali lagi masalah kesadaran. Kapankah kita akan sadar?
Leluhur kita sendiri telah menetapkan, melarang, dan memerintahkan agar
kita menjaga kawasan kabuyutan yang terbukti berfungsi sebagai penjaga
kelestarian sumber daya alam, yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat
dan kelangsungan hidup anak cucu kita di kemudian hari. Apa yang kita
lakukan sekarang ternyata hanya membuat alam semakin marah, akibat
kelalaian kita sendiri.