Nama, Nasab, Penisbatan, dan Julukannya
Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin
An-Nadhr bin Kinanah, Al-Qurasyi At-Taimi Al-Makki dan Kemudian
Al-Madani.
Julukannya Abu Muhammad, dengan ini ia dipanggil oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat.
Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
pada Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay, dan dengan nasab Abu Bakar Ash-Shiddiq
pada Taim bin Murrah. Mereka berdua berasal dari Kabilah Taim.
Adapun garis keturunan inilah shahabat mulia, Thalhah berasal. Dan ia
lahir di negeri Islam. Dan tempat yang terbaik di bumi. Ia pertama kali
membuka matanya dan melihat dunia ini dalam naungan Baitul Atiq, Ka’bah.
Disanalah pertama kali ia mendongakkan kepalanya melihat langit dan
menerima cahaya dan kebaikannya, dan ia pun menyatakan berlepas diri
dari segala hal yang berkaitan dengan penyembahan berhaka dan mensucikan
dirinya dari hal tersebut. Ia hanya menerima kemurnian tauhid. Maka ia
pun menunggu kabar langit dan membuka kedua tangannya untuk menerima
kebenaran wahyu yang mulai turun dan membawa akidah yang berdasarkan
kepada keikhlasan ibadah hanya untuk Alllah, dan mencampakkan semua
sesembahan selainnya.
Hari-hari pun berganti, siang dan malam datang silih berganti, dan
kemudian menjadi hitungan tahun. Thalhah mulai tumbuh di lingkungan kota
Mekah, dan ia menerima berbagai kelebihan yang ada di sana, mulai dari
keturuna yang baik, keluarga yang mulia, dan kaum kerabat yang
terhormat.
Dari garis keturunan dan hubungan kerabat yang ia miliki, ia dikelilingi
oleh sosok terbaik dan sangat terhormat di kalangan Quraisy, baik pada
masa jahiliyah maupun Islam. Ayahnya berasal dari kabilah Taim Quraisy.
Dan tampaknya ia telah wafat pada masa jahiliyah, karena tidak ada
satupun riwayat yang menceritakan tentang sikapnya pada saat kedatangan
Islam. Ibunya adalah Ash-Sha’bah binti Al-Hadhrami, saudari Al-Ala’ bin
Al-Hadhrami, seorang shahabiyah mulia yang masuk Islam dan ikut
berhijrah. Pamannya Amru bin Utsman juga masuk Islam, hijrah ke Madinah,
dan ikut dalam perang Qadisiyah. Lalu neneknya dari garis ibunya adalah
Atikah binti Wahab bin Abdu bin Qushay bin Kilab, dan Wahab bin Abdu
adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab mengurus makanan jamaah
haji. Thalhah merupakan ipar Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
melalui empat istrinya Thalhah menikahi Ummu Kultsum binti Abu Bakar
yang merupakan saudari dari Aisyah Ummul Mukminin, dan Hamnah binti
Jahsy yang merupakan saudari dari Ummul mukminin Zainab, lalu Rafa’ah
binti Abu Sufyan yang merupakan saudari dari Ummul mukminin Habibah, dan
Qaribah binti Abi Umayyah yang merupakan saudari dari Ummul mukminin
Ummu Salamah. Dan ia juga menikahi Khaulah binti Qa’qa’ bin Mu’id, yang
dijuluki aliran sungai Eufrat karena kedermawanannya!
Ia mempunyai keturunan yang banyak, di antara putra-putranya yang
terkenal adalah Muhammad bin Thalhah yang bergelar As-Sajjad (yang
banyak bersujud), Musa, dan Isa, mereka semua adalah tokoh-tokoh
terhormat. Dan di antara putri-putrinya yang menonjol adalah Aisyah
binti Thalhah, kakeknya adalah Abu Bakar, dan ayahnya adalah Thalhah,
dan ia merupakan wanita paling berpengaruh di zamannya. Lalu ummu Ishaq
yang dinikahi oleh Husain bin Ali, dan kemudian dinikahi oleh adiknya,
Husain.
Ini Cuplikan tentang garis keturunan Thalhah yang mulia, dan kekerabatan
yang terhormat melalui istri-istrinya, yang menunjukkan tentang
tingginya kedudukannya, dan kemurnian lingkungan keluarnya, sejak
kelahirannya hingga masa dewasa, dan kemudian membangun keluarganya
sendiri.
Sifat dan kepribadiannya
Jikalau seseorang mempunyai keberuntungan tersendiri dengan namanya,
maka Thalhah telah mendapatkan yang terbaik dan tertinggi dari
keberuntungan tersebut.
Ath-Thalhu, merupakan bentuk jamak dari Thalhah dan nama ini diberikan
untuk laki-laki. Dan ia merupakan sebuah pohon di wilayah Hijaz yang
tumbuh di dalam lembah pada tanah yang keras, subur, dan sulit
dijangkau. Pohon ini mempunyai batang yang besar, daun yang lebat,
sangat hijau, dahannya keras, dan mempunyai daya perekat yang terbaik.
Pohon ini tinggi sehingga serin digunakan sebagai tempat berteduh para
musafir dan unta-unta mereka, batang pohonnya sangat besar sehingga
tidak bisa dipeluk oleh satu orang laki-laki, mempunyai dahan-dahan yang
besar dan panjang sehingga melambai kea rah langit. Ia juga mempunyai
duri yang besar dan panjang, namun tidak membahayakan, sehingga
duri-duri ini banyak dimakan oleh unta.
Bagi yang pernah membaca perjalanan hidup Thalhah, ia akan menemukan
banyak sifat dan ciri-ciri yang sesuai dengan pohon tersebut, baik dalam
hal kekuatannya, ketegarannya, kebaikannya, keutamaannya, dan juga
manfaat yang dipetik orang lain darinya!
Ia dilahirkan di pusat wilayah Hijaz, tumbuh di padang pasirnya, dan
berkembang dalam naungannya. Ia mempunyai tubuh yang kuat dan kokoh,
tegar, memiliki hati yang tak tergoyahkan. Ia merupakan pribadi yang
dermawan, tangannya senantiasa terulur memberikan bantuan, dan sangat
baik hati. Ia tak ragu menempuh kesulitan dalam menghadapi musuh-musuh
Allah. Tidak ada lawan yang ditakutinya, dan ia tak gentar menghadapi
kebisingan dan kerasnya medan pertempuran. Ia menghabiskan hartanya demi
kebaikan dan membela Islam serta menolong mereka yang membutuhkan. Ia
juga melibatkan dirinya dalam banyak medan jihad dan melindungi
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan membela dakwahnya serta
menyebarkan risalahnya. Ia bagaikan pohon Ath-Thalhu dalam kekokohannya,
kedermawanannya, dan banyaknya manfaat yang ia berikan sehingga tidak
ada yang menandingi kedermawanannya. Sungguh ayahnya sangat tepat ketika
memilihkan nama ini untuknya.
Ketampanan dan keindahan tubuhnya menjadi keistimewaan lain bagi
kepribadiannya. Sehingga terkumpul dalam dirinya ketampanan dan
kemuliaan pekerti. Putranya, Musa bin Thalhah menggambarkannya sebagai
berikut, “Thalhah bin Ubaidillah mempunyai kulit putih kemerah-merahan,
tingginya sedang dan cenderung agak pendek, dadanya bidang, kedua
bahunya lebar, dan jika ia menoleh, ia akan menggerakkan semuanya.
Kakinya besar, wajahnya tampan, batang hidungnya ramping, jika berjalan
ia bergegas, dan ia tidak pernah mengubah warna rambutnya.”
Dan pada bagian akhir ia menggambarkan, “Rambutnya lebat, tidak terlalu keriting dan juga tidak lurus.”
Dapat dilihat bahwa pada sebagian ciri-ciri ini ia mirip dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Pertumbuhannya dan Keislamannya
Remaja ini tumbuh dan berkembang di Mekah dan lingkungan sekelilingnya,
hingga ia menjadi kuat dan pola pikirnya mulai terbentuk sempurna. Ia
tumbuh bersama-sama dengan teman-teman seusianya seperti Zubair bin
Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Mereka bertiga sangat dekat, dan ketika
cahaya wahyu mulai terbit dan turun kepada hati Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, Thalhah baru berusia lima belas tahun, yang berarti
bahwa ia masih sangat remaja dan baru akan memasuki tahap kedewasaannya.
Pikirannya tidak pernah terkontaminasi oleh keburukan jahiliyah,
hatinya juga tidak pernah tertarik kan akidah mereka, dan ia juga tidak
tertarik untuk mengikuti kebiasaan nenek moyangnya. Dalam hal ini ia
tidak berbeda dengan banyak remaja yang belum memasuki kancah kehidupan
yang dihiasi dengan berbagai macam akidah, ritual keagamaan, dan aneka
bentuk ibadah yang ada. Ia masih menapaki langkah-langkah awal dari
jalan kehidupan yang amat panjang.
Saat itu, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dikenal sebagai orang
yang menjauhi akidah Quraisy dan berbagai kebathilan mereka. Ia seolah
mempresentasikan suatu gambaran yang bersih suci dalam lingkungannya,
dan bukan sebagai gambaran dari lingkungan tersebut. Jalan yang di
ambilnya telah menarik perhatian sejumlah orang. Kemuliaan akhlaknya
juga telah dikenal luas, dan bahkan ia dijuluki Ash-Shadiq Al-Amin (yang
jujur dan terpercaya). Thalhah pun telah mendengar tentang hal itu,
namun ia tidak tahu banyak tentang Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
sebelum kenabiannya, karena jarak umur yang cukup jauh di antara mereka
yaitu sekitar dua puluh lima tahun. Dan ini tentunya berpengaruh kepada
pola fikir dan cara hidup mereka, juga pada hal-hal yang berkaitan
dengan minat, kecenderungan, dan cita-cita serta tujuan hidup yang ingin
dicapai.
Pada suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di
Bushra, Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang
mengubah garis hidupnya. Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak,
"Wahai para pedagang, apakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota
Makkah?." "Ya, aku penduduk Makkah," sahut Thalhah. "Sudah munculkah
orang di antara kalian orang bernama Ahmad?" tanyanya. "Ahmad yang
mana?" "Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul
sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke
negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke
negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau
segera menemuinya wahai anak muda," kata pendeta itu.
Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah,
sampai tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke
Makkah. Setibanya di Mekkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya,
"Ada peristiwa apa sepeninggalku?" "Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan
dirinya Nabi dan Abu Bakar As Siddiq telah mempercayai dan mengikuti
apa yang dikatakannya," jawab mereka.
"Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah
lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik,
banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy,"
gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.
Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung menemui Abu Bakar As Siddiq
dan bertanya: "Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan
engkau mengikutinya?" Abu Bakar menjawab:"Betul." Kemudian Abu Bakar
As-Siddiq menceritakan kisah Muhammad sejak peristiwa di gua Hira'
sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin
Ubaidillah untuk masuk Islam.
Usai Abu Bakar As-Siddiq bercerita Thalhah bin Ubaidillah ganti
bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar
As-Siddiq tercengang. Lalu Abu Bakar As-Siddiq mengajak Thalhah bin
Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang
dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah bin
Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
Meskipun pengetahuan Thalhah tentang NabiShallallahu Alaihi wa Sallam,
baik tentang pertumbuhannya, budi pekertinya, akhlaknya, dan
kelebihan-kelebihannya sangat sedikit, dan tidak cukup untuk membuat nya
yaking tentang perkara yang begitu agung, namun remaja yang cerdas ini
tidak ingin menyimpang dari jalannya. Ia juga tidak meremehkan apa yang
diucapkan oleh sang rahib, dan tidak menganggapnya remeh dan menunggu
hingga perkara tersebut telah menyebar dan menjadi pembicaraan seleuruh
kalangan. Ia juga tidak begitu saja beriman kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam dan membenarkan apa yang dibawanya tanpa melihat
dahhulu tentang latar belakang kehidupannya.
Remaja ini telah dianugerahi oleh Allah sebuah akal yang cerdas, hati
yang tajam, serta pemikiran yang tepat. Hal ini mulai terlihat ketika ia
bertemu dengan rahib tersebut, dan terus menjadi bagian dari
kepribadiannya sepanjang hidupnya. Ia memikirkan tentang perkara yang
agung tersebut, menggunakan ketajaman pikirannya, dan berusaha
melihatnya dari banyak sudut pandang. Maka kemudian ia berkesimpulan
untuk menanyakan hal itu kepada orang yang paling dapat ia percaya,
orang yang paling tepat untuk menerangkan tentang hal-hal yang
membingungkan, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Salah satu kerabat terdekat
nya dari Bani Taim, yang paling terkemuka dari kaumnya, dan merupakan
orang yang paling mengenal Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan
paling dekat dengannya. Ia juga orang yang paling mengenal sifat-sifat
dan perjalanan hidupnya, dan tentunya orang yang paling jujur yang dapat
memberitahukan tentang segala hal yang berkaitan dengannya.
Maka Begitu Thalhah sampai di Mekah dari Bushra, dan mendengar berita
tentang kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan bahwa Abu
Bakar telah membenarkan dan mengikutinya, ia segera mendatanginya. Ia
melangkah kakinya menuju rumah Abu Bakar, dan masuk menemuinya, dan
berkata, “Ya, Maka segeralah pergi menemuinya, dan ikutilah dia,
sesungguhnya ia menyeru kepada kebenaran.”
Adapun Abu Bakar, maka sejak detik pertama dari keislamannya, ia telah
membebankan di pundaknya kewajiban untuk menyampaikan apa yang
diwahyukan Allah kepada RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam. Maka ia
pun segera menyeru mereka yang ia percayai dan dapat memperkuat
kelangsungan dakwah. Keinginan Ash-Shiddiq ini bertepatan dengan
kedatangan Thalhah dari Syam dengan membawa sebuah berita menarik yang
menyuruhnya untuk mengikuti Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan
Abu Bakar lah yang menjadi perantara bagi Islamnya Thalhah.
Berita ini diperkuat, dan disempurnakan oleh riwayat dari Imam Muhammad
bin Ishaq yang juga menerangkan dari sisi lain dari kisah di atas, ia
berkata, “Ketika Abu Bakar masuk Islam, ia menunjukkan keislamannya. Dan
menyeru kepada Allah dan Rasullnya Shallallahu Alaihi wa Sallam. Abu
Bakar adalah seorang yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai
karena ia serba mudah. Paling mengenak nasab Quraisy, memahami dengan
baik seluk beluk kabilah itu, yang baik maupun yang jahat. Ia adalah
seorarng pedagang, dan berakhlak mulia. Dia sering didatangi oleh
orang-orang dari kaumnya untuk masalah yang berbeda-beda. Baik itu
karena pengetahuannya, karena perdagangannya, ataupun juga karena
kerahamahannya dalam bergaul. Maka ia pun mengajak mereka yang ia
percaya dari kaumnya kepada Islam, terdiri dari mereka yang sering
bergaul dengannya, sehingga masuk Islamlah karena seruannya orang-orang
seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad
bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu Anhum. Saat
mereka menerima ajakannya, ia membawa mereka kehadapan Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau menawarkan Islam kepada mereka,
membacakan Al-Qur’an, menerangkan tentang kebenaran Islam, dan merekapun
beriman. Merekalah delapan orang yang paling pertama masuk Islam.
Mereka membenarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan
mengimani apa yang beliau bawa dari Allah.”
Dan sejak detik pertama, Thalhah melangkahkan kakinya pada jalan yang
benar, dan bergabung dengan kelompok Islam yang pertama, yang merupakan
cikal bakal dari masyarakat muslim, dan titik awal dakwah, serta titik
tolak dari penyampaian risalah kepada seluruh alam.
Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir
di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha
mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena
pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak
kasar.
Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu.
Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya,
orang-orang berlari sambil mendorong, memacu dan memukuli kepalanya, dan
ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin
Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha'bah. Tak hanya itu, pernah seorang
lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar As-Siddiq
dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong
ke algojo sampai darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini.
Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar As-Siddiq dan Thalhah bin
Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia. Tidak
hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah bin
Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar
bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan
sebutan yang didapatnya antara lain "Assyahidul Hayy", atau syahid yang
hidup.
Julukan ini diperolehnya dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum
muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari samping Rasulullah. Yang
tersisa di dekat beliau hanya 11 orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah
dari Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengontrol beliau naik
ke bukit tadi dihadang oleh kaum musyrikin.
"Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga,"
seru Rasulullah. "Aku Wahai Rasulullah," kata Thalhah bin Ubaidillah.
"Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu." "Aku ya
Rasulullah," kata seorang prajurit Anshar. "Ya, majulah," kata
Rasulullah. Lalu prajurit Anshar itu maju melawan prajurit-prajurit
kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.
Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk melawan orang-orang kafir
dan selalu saja Thalhah bin Ubaidillah mengajukan diri pertama kali.
Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan untuk tetap
ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal
Thalhah bin Ubaidillah sendirian bersama Rasulullah.
Saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah bin Ubaidillah, "Sekarang
engkau, wahai Thalhah." Dan majulah Thalhah bin Ubaidillah dengan
semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan mengusir
agar jangan mendekati Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan
Rasulullah sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak
sedikit orang kafir yang tewas.
Saat itu Abu Bakar As-Siddiq dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang berada
agak jauh dari Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. "Tinggalkan
aku, bantulah Thalhah, kawan kalian," seru Rasulullah. Keduanya bergegas
mencari Thalhah bin Ubaidillah, ketika ditemukan, ini dalam kondisi
pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 79 luka
bekas tebasan pedang, tusukan tombak dan lemparan panah memenuhi
tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah.
Dikiranya Thalhah sudah gugur, ternyata masih hidup. Karena itulah gelar
syahid yang hidup diberikan Rasulullah. " Siapa yang ingin melihat
orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah
Thalhah," sabda Rasulullah.
Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud dihadapan Abu Bakar
As-Siddiq, maka beliau selalu menyahut, " Perang hari itu adalah
peperangan Thalhah seluruhnya sampai akhir hayatnya . "
Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan
kita teladani. Dalam hidupnya ia memiliki tujuan utama yaitu bermurah
dalam pengorbanan jiwa. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah seorang
dari sepuluh orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu satu
orang bernilai seribu orang.
Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah
mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang
jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Thalhah bin Ubaidillah
bagaikan sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan
lembah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi
pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf.
Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah bin Ubaidillah sedang murung
dan duduk termenung sedih. Melihat kondisi suaminya, sang istri segera
menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, " Uang yang ada di
tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang
harus kulakukan? "Maka istrinya berkata, "Uang yang ada ditanganmu itu
bagi-Bagikanlah kepada fakir-miskin." Maka dibagi-bagikannyalah seluruh
uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun.
As-Saib bin Zaid berkata tentang Thalhah bin Ubaidillah, katanya, " Aku
berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim.
Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap
kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya."
Jabir bin Abdullah berbicara, " Aku tidak pernah melihat orang yang
lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta." Oleh karena itu
patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", " Thalhah si konduktor
harta "," Thalhah kebaikan dan kebajikan ".
Pengorbanan Thalhah kepada Rasulullah SAW
Bila diingatkan tentang perang Uhud, Abubakar Ra selalu teringat pada
Thalhah ra. Ia berkata, "Perang Uhud adalah harinya Thalhah ra. Pada
waktu itu akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah SAW. Ketika
melihat aku dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami: "Lihatlah
saudaramu ini." Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih
dari tujuh puluh tikaman atau panah dan jari tangannya putus."
Diceritakan ketika tentara Muslim terdesak mundur dan Rasulullah SAW
dalam bahaya akibat ketidakdisiplinan pemanah-pemanah dalam menjaga
pos-pos di bukit, di saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan
merangsek maju untuk melumat tentara muslim dan Rasulullah SAW,
terbayang di pikiran mereka kekalahan yang amat memalukan di perang
Badar.
Mereka masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka
sewaktu perang Badar dan berniat akan membunuh dan memotong-motong
dengan sadis. Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah SAW. Dengan
pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari
Rasulullah SAW. Tetapi kaum muslimin dengan sekuat tenaga melindungi
Rasulullah SAW, melindungi dengan tubuhnya dengan daya upaya, mereka
rela terkena sabetan, tikaman pedang dan anak panah. Tombak dan panah
menghunjam mereka, tetapi mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin
Quraisy. Hati mereka berucap dengan teguh, "Aku korbankan ayah ibuku
untuk engkau, ya Rasulullah saw.". Salah satu diantara mujahid yang
melindungi Nabi SAW adalah Thalhah ra. Ia berperawakan tinggi kekar. Ia
ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia melompat ke arah Rasulullah
saw. yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan
dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah
lawan yang mengelilinginya bagai laron yang tidak memperdulikan maut.
Alhamdulillah, Rasulullah saw. selamat.
Thalhah memang merupakan salah satu pahlawan dalam barisan tentara
perang Uhud. Ia siap berkorban demi membela Nabi SAW. Ia memang patut
ditempatkan pada barisan depan karena ALLAH menganugrahkan kepada
dirinya tubuh kuat dan kekar, keimanan yang teguh dan keikhlasan pada
agama ALLAH. Akhirnya kaum musyrikin pergi meninggalkan medan perang.
Mereka mengira Rasulullah SAW telah tewas. Alhamdulillah, Rasulullah
saw. selamat walaupun dalam keadaan menderita luka-luka. Baginda dipapah
oleh Thalhah menaiki bukit yang ada di ujung medan pertempuran. Tangan,
tubuh dan kakinya diciumi oleh Thalhah, seraya berkata, "Aku tebus
engkau Ya Rasulullah saw. dengan ayah ibuku." Nabi SAW tersenyum dan
berkata, " Engkau adalah Thalhah kebajikan." Di hadapan para sahabat
Nabi SAW bersabda, " Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh ...." Yang
dimaksud nabi SAW adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah
Thalhah mendapat julukan "Burung elang hari Uhud."
Thalhah Yang Dermawan
Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus
mengairi dataran dan lembah ? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia
adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan
dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. Pada suatu hari istrinya
melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan
suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan
Thalhah mejawab, " Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak
sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?" Maka istrinya
berkata, "Uang yang ada ditanganmu itu bagi-bagikanlah kepada
fakir-miskin."
Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa
meninggalkan sepeserpun. Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah,
katanya, "Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun
sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan
dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan
pangannya." Jaabir bin Abdullah bertutur, " Aku tidak pernah melihat
orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta." Oleh
karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", "Thalhah si
pengalir harta", "Thalhah kebaikan dan kebajikan".
Wafatnya Thalhah bin Ubaidillah
Sewaktu terjadi pertempuran "Aljamal", Thalhah (di pihak lain) bertemu
dengan Ali Ra dan Ali Ra memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling
belakang. Sebuah panah mengenai betisnya maka dia segera dipindahkan ke
Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalam ia
wafat. Thalhah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu
tempat dekat padang rumput di Basra. Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah
berharap bisa gugur ketika berjuang bersama Rasulullah Saw. saat
menghadapi musuh Islam. Namun, ketentuan Ilahi menghendaki dia tewas di
tangan orang Islam sendiri. Rasulullah pernah berkata kepada para
sahabat, "Orang ini termasuk yang gugur, dan barang siapa senang melihat
seorang syahid berjalan diatas bumi maka lihatlah Thalhah bin
Ubaidillah".
Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firmanNya : "Di antara orang-orang
mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan
kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka
ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah
janjinya." (Al-Ahzaab: 23)
Tempat pemakamannya dan Pemindahannya
Ketika Thalhah wafat, orang-orang menguburkannya di tepi Kalla’.
Khalla’ adalah tempat dimana kapal-kapal berlabuh, yaitu tepian sungai-sungai, dan yang dikenal dengan nama dermaga.
Sa’id bin Amir Adh-Dhuba’I meriwayatkan dari Al-Mutsanna bin Sa’id
berkata, “Seseorang mendatangi Aisyah binti Thalhah dan berkata, “Aku
bermimpi bertemu dengan Thalhah dan ia berkata, “Katakanlah kepada
Aisyah agar ia memindahkanku dari tempat ini, sesungguhnya rembesan
lumpurnya menggangguku.” Maka Aisyah segera berangkat dengan para
pembantunya, mereka membuatkan tempat baru untuknya, dan kemudian
mengeluarkannya. Ia berkata, “Tidak ada yang berubah darinya selain
beberapa helai rambut dari salah satu sisi jenggotnya, atau ia
mengatakan, “Kepalanya.” Dan itu terjadi setelah lebih dari tiga puluh
tahun!”
Dalam riwayat lain, “Sebagian keluarganya melihatnya dalam mimpi dan ia
berkata, “Bebaskanlah aku dari air ini, sungguh aku telah tenggelam.”
Maka mereka mengali kuburannya yang hijau dengan tanaman, mereka
mengeringkan airnya dan kemudian mengeluarkannya. Dan ternyata hanya
bagian jenggot dan wajahnya yang menghadap tanah yang telah dimakan oleh
tanah. Lalu mereka membeli sebagian tanah milik Abu Bakrah dan
memakamkannya di sana.”
Harta Warisannya
Allah memberkahi Thalhah dalam hartanya sebagaimana Dia memberkahi
untuknya. Allah melapangkan rezekinya, dan membukakan pintu-pintu rahmat
untuknya. Harta-harta tercurah kepadanya sehingga mengalir di kedua
tangannya, dan Allah memuliakannya dengan jiwa yang pemurah dan lapang,
dan dengan tangan yang suka memberi. Ia sering memberi dalam jumlah yang
banyak, dan menghibahkan dalam jumlah yang banyak pula. Ia menginfakkan
ini dan itu, sehingga keberkahan semakin meliputi hartanya, dan Allah
pun meninggalkan harta yang banyak setelahnya. Ia meninggalkan untuk
keluarganya harta yang sangat banyak sehingga mereka bisa hidup dalam
keadaan kaya dan terhormat. Malaikat telah mencatat di lembaran amalnya
begitu banyak kebaikan dan pahala yang amat besar yang tidak diketahui
kecuali oleh Allah Ta’ala semata.
Ibnu Sa’ad dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Musa bin Thalhah,
“Bahwasanya Mu’awiyah bertanya kepadanya, “Berapakah harta yang
ditinggalkan oleh Abu Muhammad?” Ia menjawab, “Dua juga dua ratus ribu
dirham, dan dari emas sebanyak dua ratus ribu dinar.” Maka Mu’awiyah
berkata, “Ia telah hidup dalam keadaan terpuji, dermawan, dan mulia, dan
terbunuh sebagai orang yang dirindukan, semoga Allah merahmatinya.”
Dan mereka berdua juga meriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad bin
Thalhah berkata, “Nilai harta yang ditinggalkan Thalhah dari property
dan hartanya yang berupa perhiasan sebanyak tiga puluh juta dirham, dan
ia meninggalkan ua sebanyak dua juta dua ratus ribu dirham dan dua ratus
ribu dinar, dan sisanya adalah ‘Urudh (bentuk jamak, dan mufradnya
adalah ‘Ardh, yaitu menyelisihi harga dirham dan dinar).
Ibnu Sa’ad dan Al-Hakim meriwayatkan dari Su’da binti Auf Al-Murriyyah,
istri Thalhah – ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah, semoga Allah
merahmatinya, terbunuh dan saat itu di tangan bendaharanya terdapat dua
juta dua ratus ribu dirham dan kemudian tanah serta propertinya ditaksir
bernilai tiga puluh juta dirham.”
Ibnu Sa’ad menuturkan sebuah riwayat yang mencengangkan dari Amru bin
Al-Ash, ia berkata, “Aku diberitahu bahwasanya Thalhah bin Ubaidillah
meninggalkan seratus buhar, setiap buhar berisi tiga kwintal emas, dan
aku mendengar bahwa buhar adalah kantung dari kulit sapi jantan.”