Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pendidik adalah adanya jurang
yang cukup dalam antara yang diajarkan dengan apa yang sebenarnya
terjadi (realita). Materi yang diberikan oleh para pengajar umumnya
adalah hanya mendasarkan kepada body of knowledge bukan pada frontier
areas .Kendati sudah ada upaya untuk menerapkan link and match yang
orientasinya kearah praktis atau aplikatis keilmuan tetapi kerangka
dasar konsep keilmuan tidak dijadikan landasan methodologi pengembangan,
tentulah kreativitas keilmuan tidak dapat dikembangkan secara maksimal.
Menyadari kelemahan yang ada maka sangat urgen kiranya bagi pendidikan
untuk mendalami filsafat, terutama filsafat ilmu, sebagai landasan yang
pakem meletakkan landasan yang benar bagi pengembangan keilmuan itu
sendiri.
Diakui atau tidak umat Islam era sekarang ini sering terjebak dengan
patron Islamisasi ilmu, yang menurut Kuntowijoyo; menyatakan agar umat
Islam berusaha untuk tidak begitu saja meniru methode-methode dari luar
dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Dari
tauhid, akan ada tiga macam kesatuan,yaitu kesatuan pengetahuan,
kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak
mempunyai methodology sendiri maka umat Islam akan selalu dalam bahaya.
Dalam kontek sejarah perlu kiranya seorang pendidik mengetahui sejarah
perkembangan ilmu dan falsafahnya. Sinergi dengan pernyataan tentang
kesatuan sejarah, yang artinya bahwa pengetahuan harus mengabdi pada
umat dan manusia. Disinilah perlunya kita tinjau filsafat ilmu dan
sejarah perkembangannya secara integral. Dalam mempelajari sejarah
perkembangan ilmu tentu saja kita tidak bisa berpaling dari asal
filsafat itu sendiri yaitu Yunani, dengan pembagian klasifikasi secara
periodik.
Karena setiap periode mempunyai ciri khas tertentu dalam perkembangan
ilmu pengetahuan. Penemuan-penemuan demi penemuan yang diakukan oleh
manusia hingga zaman sekarang ini tidaklah terpusat di satu tempat atau
wilayah tertentu. Penemuan-penemuan itu menyebar dari babylonia, Mesir,
China, India, Irak, Yunani, hingga ke daratan Eropha.
Filsafat Ilmu
Pengertian Filsafat Ilmu
Istilah filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah
(Arab), philosophy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman,
Belanda, Perancis) Semua istilah itu bersumber dari pada istilah Yunani
philosophia. Istilah Yunani philien berarti mencintai sedangkan philos
berarti teman. Selanjutnya istilah sophos berarti bijaksana, sedangkan
Sophia berarti kebijaksanaan.
Sedangkan kata ilmu merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris;
science. Kata science berasal dari kata latin scienntia yang berarti
pengetahuan. Kata scientia ini berasal dari kata kerja scire yang
artinya mempelajari, mengetahui.
Filsafat Ilmu adalah reperentasi realitas oleh para ilmuwan dengan jerih
payahnya, dan dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu
dan sebagai landasan filosofis ilmu pengetahuan.
Pertama, sebagai disiplin ilmu, mempelajari Filsafat Ilmu berarti
mempelajari secara filosofis berbagai hal yang terkait dengan ilmu
pengetahuan. Filsafat Ilmu merupakan sebuah disiplin ilmu yang tidak
menarik bagi orang yang tidak mengalami ketersinggungan dengan dunia
keilmuan, lebih-lebih bagi mereka yang tidak mempunyai kepekaan ilmiah
dan cenderung pragmatis. Tetapi bagi mereka yang membaca karya ilmiah,
apalagi memanfaatkan temuan-temuan ilmiah, maka mempelajari Filsafat
Ilmu adalah sangat menarik, karena dengan begitu mereka tidak hanya
menerimanya secara mentah mentah(secara taqlid).
Kedua, sebagai landasan filosofis bagi ilmu pengetahuan. Sepanjang
sejarah perkembangan ilmu, peran Filsafat Ilmu dalam struktur bangunan
keilmuan tidak bisa disangsikan, karena ia merupakan landasan filosofis
bagi tegaknya suatu ilmu. Maka, mustahil para ilmuan menafikan peran
Filsafat Ilmu dalam setiap kegiatan keilmuan.
Filsafat Ilmu tidak hanya sebagai sarana (instrument) atau kerangka
dalam proses penggalian ilmu, tetapi juga memberikan kerangka pada taraf
pra danpost kegiatan keilmuan.
Sejarah Filsafat Ilmu
Menurut sejarahnya, pada awalnya yang dimaksud dengan Filsafat Ilmu
adalah filsafat sains. Namun pada kenyataannya Filsafat Ilmu sebagai
sebuah disiplin memiliki objek kajian yang cukup luas yaitu baik natural
sciences maupun social sciencessampai yang tergolong dalam ilmu
humanities, termasuk ilmu–ilmu keagaamaan dan kebahasaan.
Dalam pandangan Filsafat Ilmu, proses dan hasil keilmuan pada jenis
ilmu apapun, sangat ditentukan oleh landasan filosofis yang
mendasarinya. Landasan filosofis dimaksud adalah asumsi dasar, paradigma
dan kerangka teori (theoretical framework).
Dalam sejarah perkembangan ilmu, ketiga hal ini memiliki keterkaitan
tidak saja historis, tetapi juga sistematis. Disebut demikian, karena
suatu paradigma tertentu lahir berdasarkan asumsi dasar tertentu, begitu
pula teori tertentu bekerja tidak keluar dari ‘wilayah’
paradigmanya.dari ketiganya mengambil bentuk kerucut, dalam arti mulai
dari yang umum ke yang lebih khusus.
Asumsi dasar proses keilmuan diidentifikasikan oleh Filsafat Ilmu
menjadi beberapa aliran pemikiran, yang meliputi : rasionalisme,
empirisme, kritisisme, dan intuisionisme, sementara paradigma keilmuan
(dalam tradisi sains ) meliputi : positivisme, neo-positivisme,
konstruktifisme, dan teori kritis (critical theory). Masing-masing
paradigma tersebut bisa mencangkup beberapa kerangka teori, yang secara
serius dibangun dan ditawarkan oleh seorang ilmuwan atau kelompok
ilmuwan tertentu.
Dari sini bisa dipahami, jika beberapa ilmu kemudian dapat
diklasifikasikan menurut kesamaan karakteristiknya, yakni atas dasar
kesamaan teori atau paradigma, misalnya seperti apa yang dilakukan
Habermas, sebagaimana telah disampaikan diatas.
Filsafat Ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan
perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat
itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang
dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan
perkembangan paradigma dalam Filsafat Ilmu di Barat yaitu era
prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era
prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah Filsafat Ilmu
yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.
Namun Jujun Suryasumantri mengemukakan bahwa ilmu adalah merupakan suatu
pengetatahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah
tersebut tidak lagi merupakan misteri. Penjelasan ini memungkinkan kita
untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Dengan demikian, penjelasan ini
memungkinkan kita untuk mengontrol gejala tersebut. Untuk itu ilmu
membatasi ruang jelajah kegiatan pada daerah pengalaman manusia.
Artinya, obyek penjelajahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat
ditangkap dengan oleh pengalaman manusia lewat pancaindera.
Filsafat ilmu adalah cabang dari ilmu filsafat. Kalau didefinisikan
filsafat ilmu adalah refleksi kegiatan secara mendasar dan integral,
maka filsafat ilmu adalah refleksi mendasar dan integral mengenai
hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu (Philosophy of
Sciensi, Wisssenchaftlehre, Wetenschapsleer) merupakan penerusan dalam
pengembangan filsafat pengetahuan, sebab pengetahuan ilmiah tidak lain
adalah a’higher level dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti
umum sebagaimana diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya
obyek pengetahuan disana-sini sering berhimpitan, namun berbeda dalam
aspek dan motif pembahasannya.
Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu
Dalam sejarah perkembangannya sebagaimana yang terjadi di dunia Islam
dengan kelahiran mu’tazilah yang mengedepankan akal (rasio) sekitar
(abad 2 H/8M), di dunia Eropha juga lahir gerakan Aufklarung (abad 11
H/17 M). kedua sisi ini hendak merasionalkan agama. Mu’tazilah menolak
adanya sifat-sifat Tuhan dan Aufklarung menolak trinitas sebagai sifat
Tuan. Alam Aufklarung inilah dalam perkembangannya telah membuat
peradaban Eropa menjurus pada pemujaan akal. Mereka berpendapat bahwa
antara ilmu dan agama terjadi pertentangan yang keras, ilmu pengetahuan
berkembang pada dunianya dan agama pada dunia yang lain. Dalam persoalan
ini lahirlah sikap sekuleristik dalam ilmu pengetahuan.
Liberalisasi, emensipasi, otonomi pribadi, dan otoritas rasio yang
begitu diagungkan merupakan nilai-nilai kejiwaan yang selalu mewarnai
sikap mental manusia Barat semenjak zaman renaissance (abad 15) dan
Aufklaerung (abad ke 18) yang memungkinkan mereka melakukan tinggal
landas mengarungi dirgantara ilmu pengetahuan yang tiada bertepi dengan
hasil-hasil sebagaimana mereka miliki hingga sekarang ini.
Tokoh-tokoh renaissance dan Aufklaerung seperti Copernicus (1473- 1543),
Kepler (1571-16300, Galilie (1564-1642), Descrates (1596-1650), Newton
(1643-1727), Immanuel Kant(1724-1804), adalah sebagaian dari deretan
panjang nama-nama yang dalam sejarah kehidupan umat manusia meupakan
pelopor dan peletak dasar ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahun
sebagai pengejawantahan peradaban manusia telah dan akan terus
berkembang menurut proses dialektis, eksternalisasi, tempat manusia
membangun dunianya, menciptakan alam lingkungannya, objektiivitas,
tempat terciptanya hasil-hail karya manusia secara objektif kemudian
terlepas dan akan berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri,
internalisasi , struktural dunia objektif ke dalam kesadaran
subjektifnya.
Namun perkembangan fisafat ilmu itu sendiri berbanding lurus dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Tentang ilmu terutama amat penting
karangan-karangan dan buah pikiran Ibnu Rusyd (Averroism) sangat
berpengaruh atas perkembangan ilmu pada universitas-universitas yang
terkenal di Eropa, seperti Bologna, Napoli, Paris dan lain-lain sehingga
menjadi faktor yang penting dalam bangkitnya sikap pikiran ilmu manusia
baru dizaman renaissance.
Zaman perkembangan ilmu yang palnig menentukan dasar kemajuan ilmu
sekarang ini ialah sejak zaman sekarang ini ialah sejak abad ke 17
dengan dorongan beberapa hal : pertama : untuk mengembalikan keputusan
dan pernyataan-pernyataan ilmiah lalu menonjolkan peranan matematik
sebagai sarana penunjang pemikiran ilmiah. Dalam angka inilah mulainya
menonjol peranan penggunaan angka Arab di Eropa (angka yang kita kenal
di dunia sekarang) karena dinilai lebih sederhana dan praktis dari pada
angka –angka Romawi. Adapun angka Arab itu sendiri dikembangkan dan
berasal dari kebudayaan India. Faktor yang kedua dalam revolusi ilmu di
abad ke 17, ialah makin gigihnya para ilmuwan menggunakan pengamatan dan
eksperimen, dalam membuktikan kebenaran-kebenaran preposisi ilmu.
Namun J.B.Bury menyangkal bahwa kemajuan ilmu tidak terdapat pada abad
pertengahan bahkan tidak terdapat pada awal Renaissance ,tetapi baru
abad ke -17, sebagai hasil dari rumusan Cartesius tentang dua aksioma
yaitu :
1) berkuasanya akal manusia dan
2) tak berubah-ubahnya hukum alam.
Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada
peradaban Yunani .Oleh karena itu periodesasi perkembangan ilmu disusun
mulai dari peradaban Yunani kemudian diakhiri pada penemuan-penemuan
pada zaman kontemporer. Secara singkat periodesasi perkembangan ilmu
dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Pra Yunani Kuno (abad 15-7 SM)
Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Yakni ketika belum
mengenal peralatan seperti yang dipakai sekarang ini. Pada masa itu
manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan. Masa zaman batu
berkisar antara 4 juta tahun sampai 20.000 tahun sebelum masehi. Sisa
peradaban manusia yang ditemukan pada masa ini antara lain: alat-alat
dari batu, tulang belulang dari hewan, sisa beberapa tanaman,
gambar-gambar digua-gua, tempat-tempat penguburan, tulang belulang
manusia purba. Evolusi ilmu pengetahuan dapat diruntut melalui sejarah
perkembangan pemikiran yang terjadi di Yunani, Babilonia, Mesir, China,
Timur Tengah dan Eropa.
2. Zaman Yunani kuno (abad-7-2 SM)
Zaman Yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada
masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengeluarkan ide-ide atau
pendapatnya, Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudangnya ilmu dan
filsafat, karena Yunani pada masa itu tidak mempercayai
mitologi-mitologi.Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima
pengalaman-pengalaman yang didasarkan pada sikap menerima saja
(receptive attitude) tetapi menumbuhkan anquiring attitude (senang
menyelidiki secara kritis).
Sikap inilah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli-ahli
pikir yang terkenal sepanjang masa. Beberapa tokoh yang terkenal pada
masa ini antara lain : Thales, Demokrates dan Aristoteles.
3. Zaman Pertengahan (Abad 2- 14 SM)
Zaman pertengahan (middle age) ditandai dengan para tampilnya theolog di
lapangan ilmu pengetahuan. Ilmuwan pada masa ini adalah hampir semuanya
para theolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas
keagamaan. Atau dengan kata lain kegiatan ilmiah diarahkan untuk
mendukung kebenaran agama. Semboyan pada masa ini adalah Anchila
Theologia (abdi agama). Peradaban dunia Islam terutama abad 7 yaitu
Zaman bani Umayah telah menemukan suatu cara pengamatan stronomi, 8 abad
sebelum Galileo Galilie dan Copernicus. Sedangkan peradaban Islam yang
menaklukan Persia pada abad 8 Masehi, telah mendirikan Sekolah
kedokteran dan Astronomi di Jundishapur. Pada masa keemasan kebudayaan
Islam, dilakukan penerjemahan berbagai karya Yunani. Dan bahkan khalifah
Al_Makmun telah mendirikan rumah Kebijaksanaan (House of Wisdom) /
Baitul Hikmah pada abad 9. Pada abad ini Eropa mengalami zaman kegelapan
(dark age).
4. Masa Renaissance (14-17 M)
Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran
yang bebas dari dogma-dogma agama, Renaissanse adalah zaman peralihan
ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi suatu
kebudayaan modern. Tokoh-tokohnya adalah : Roger Bacon, Copernicus,
Tycho Brahe, yohanes Keppler, Galilio Galilei. Yang menarik disini
adalah pendapat Roger Bacon, ia berpendapat bahwa pengalaman empirik
menjadi landasan utama bagi awal dan ujian akhir bagi semua ilmu
pengetahuan. Matematik merupakan syarat mutlak untuk mengolah semua
pengetahuan. Menurut Bacon, filsafat harus dipisahkan dari theologi.
Agama yang lama masih juga diterimanya. Ia berpendapat bahwa akal dapat
membuktikan adanya Allah. Akan tetapi mengenai hal-hal yang lain didalam
theology hanya dikenal melalui wahyu. Menurut dia kemenangan iman
adalah besar, jika dogma-dogma tampak sebagai hal-hal yang tidak masuk
akal sama sekali.
Sedangkan Copernicus adalah tokoh gereja ortodok, yang menerangkan bahwa
matahari berada di pusat jagat raya, dan bumi memiliki dua macam gerak,
yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerakan tahunan
mengelilingi matahari. Teori ini disebut Heliosentrisme. Namun teorinya
ditentang kalangan gereja yang mempertahankan prinsip Geosentrisme yang
dianggap lebih benar dari pada prinsip Heliosentrisme. Setiap siang kita
melihat semua mengelilingi bumi. Hal ini ditetapkan Tuhan, oleh agama,
karena manusia menjadi pusat perhatian Tuhan, untuk manusialah semuanya,
paham demikian disebut Homosentrisme. dengan kata lain prinsip
Geosentrisme tidak dapat dipisahkan dari prinsip Homosentrisme.
5. Perkembangan Filsafat Zaman Modern (17-19 M)
Zaman ini ditandai dengan berbagai dalam bidang ilmiah, serta filsafat
dari berbagai aliran muncul. Pada dasarnya corak secara keseluruhan
bercorak sufisme Yunani. Paham–paham yang muncul dalam garis besarnya
adalah Rasionalisme, Idialisme, dengan Empirisme. Paham Rasionalisme
mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam memperoleh dan
menguji pengetahuan. Ada tiga tokoh penting pendukung rasionalisme,
yaitu Descartes, Spinoza, dan Leibniz.
Sedangkan aliran Idialisme mengajarkan hakekat fisik adalah jiwa.,
spirit, Para pengikut aliran/paham ini pada umumnya, sumber filsafatnya
mengikuti filsafat kritisisismenya Immanuel Kant. Fitche (1762-1814)
yang dijuluki sebagai penganut Idealisme subyektif merupakan murid Kant.
Sedangkan Scelling, filsafatnya dikenal dengan filsafat Idealisme
Objektif .Kedua Idealisme ini kemudian disintesakan dalam Filsafat
Idealisme Mutlak Hegel.
Pada Paham Empirisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran
kita selain didahului oleh pengalaman. ini bertolak belakang dengan
paham rasionalisme. Mereka menentang para penganut rasionalisme yang
berdasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Pelopor
aliran ini adalah Thomas Hobes Jonh locke,dan David Hume.
6. Zaman Kontemporer
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer adalah dalam kontek ini adalah
era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang. Hal yang
membedakan pengamatan tentang ilmu pada zaman sekarang adalah bahwa
zaman modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar
abad ke-15, sedangkan kontemporer memfokuskan sorotannya pada berbagai
perkembangan terakhir yang terjadi hingga saat sekarang. Beberapa contoh
perkembangan ilmu kontemporer adalah : Santri, Priyayi, dan Abangan,
dalam kajian ilmu social keagamaan, penelitiannya Clifford Geert yang
dalam versi aslinya berjudul The Religion of Java. Teknologi rekayasa
genetika, teknologi Informasi, adanya teori Partikel Elementer dan
kemajuan sains dan teknologi dibidang-bidang lain .
Lebih lanjut Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan
yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu
dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui
penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai
penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan.
Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin
dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan
teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu
itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong
benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di
Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa
genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau
mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk
menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam
mencetak berbagai produk nano technology, dalam bentuk mesin-mesin
micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.
Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia
terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi
bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan
free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya,
serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia
seperti sekarang ini.
Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan
persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan,
krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam
menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia
telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan
keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi
di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.
Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa
ternyata telah menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan
berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu
manusia.
Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi
yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan
berbagai kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam
muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik Masyarakat”, sebagaimana
diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik terhadap positivisme,
kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi,
karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi
dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga
diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa
berkecenderungan meretifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme
dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas
pasif yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan
teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide
bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan
tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa
positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang
sistem yang eksis.
Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula
tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme yang
bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika.
Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran,.Rich
(1979) mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth is not
one thing, - or even a system. It is an increasing completely”
Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat
oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan
netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.
Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan
karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive”
atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan
ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam
penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu
ilusi.Dalam penelitian sosial tidak ada apa yang disebut “obyektivitas”.
“ Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and
valuationally.
Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif
semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan
diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat
kepercayaan hasil penelitian. Jelasnya, apabila kita mengacu kepada
pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific
Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak
tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran
dari paradigma positivisme-empirik, yang dianggap telah mengalami titik
jenuh dan banyak mengandung kelemahan, menuju paradigma baru ke arah
post-positivisme yang lebih etik.
Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar
(1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini,
perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan
:
(1) antihumanisme,
(2) dekonstruksi dan
(3) fragmentasi identitas.
Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan dengan
fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural, terutama
dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.