Setelah Ki Ageng Mataram ( Ki Ageng Pemanahan ) meninggal dunia, Sultan
Hadiwijaya ( Pajang ) memberi kekuasaan kepada Sutawijaya untuk menjadi
pemimpin di Mataram. Sebagai pemimpin yang masih muda, Sutawijaya dengan
gelar Senapati Ing Ngalaga, didampingi oleh Ki Juru Martani, yang juga
merupakan penasehat Ki Ageng Mataram. Dengan mandat yang didapat,
Sutawijaya mulai membangun Mataram dengan mendirikan benteng di pusat
kota. Pembangunan benteng ini sebenarnya kurang disetujui oleh Ki Juru
Martani, karena dianggap sebagai salah satu bentuk pembangkangan Mataram
atas kekuasaan Pajang. Apalagi Sutawijaya selama setahun tidak pernah
ke Mataram lagi seperti yang pernah diminta Sultan Hadiwijaya.
Pembangkangan Sutawijaya, berdasarkan pendapat Sunan Giri saat Ki Ageng
Pemanahan masih hidup bahwa Mataram akan menjadi kerajaan yang besar.
Sebagai, pengganti Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya merasa mendapat
dukungan untuk menjadi raja Mataram. Apalagi setelah Senapati juga
mendapat dukungan dari Kanjeng Ratu Kidul, yang telah menemani
‘bersemedi’ di kerajaannya di laut selatan. Bahkan, setelah keluar dari
kerajaan Kerajaan Bawah Lain pun, Senapati mendapat dukungan spiritual
dari Kanjeng Sunan Kalijogo.
Perilaku Senapati ini, tentu saja membuat galau Sultan Hadiwijaya, yang
tak menyangka bahwa salah satu anak angkatnya akan melakukan hal ini.
Karena Sutawijaya telah tiga tahun tidak sowan ke Pajang , Hadiwijaya
mulai curiga, lebih lebih setelah di kompori kedua menantunya, Adipati
tuban(permalat) dan Adipati Demak (pangiri). Dengan dukungan dari para
bupati Tuban, Demak, dan Banten yang setia pada Pajang, Sultan
Hadiwijaya merencanakan penyerangan terhadap Mataram. Sultan Hadiwijaya
naik gajah dengan diiringi ribuan pasukannya.
Senapati yang baru saja memukul wadyabala Pajang di Jatijajar, kini
bersiap-siap menghadapi pembalasan Pajang di Prambanan. Ki Juru Martani
sebagai pangasuh Senapati, tentu saja berharap bahwa peperangan ini tak
akan terjadi.
Sultan Hadiwijaya sendiri sebenarnya galau. Beliau tak ingin menyerang
Mataram, yang dipimpin oleh anaknya sendiri. Di sisi lain, juga tak
ingin Mataram melepaskan diri dari Pajang. Di sisi lain pula, berdirinya
Mataram mendapat dukungan dari Sunan Giri.
Peperangan antara tentara kerajaan Pajang dan tentara Mataram tak dapat
dihindarkan. Sultan Adiwijaya dan Panembahan Senopati berdiri
berseberangan sebagai lawan, berada di belakang tentaranya masing-masing
dengan membawa tanda-tanda kebesarannya sendiri-sendiri. Sultan
Adiwijaya duduk di atas seekor gajah tanda kebesaran Pajang, mengenakan
keris Kyai Sengkelat di belakang pinggangnya. Panembahan Senopati duduk
di atas pelana kuda putih kesayangannya dan memegang tombak Kyai Plered
di tangan kanannya, wesi kuning di sakunya. dan pusaka Bende Mataram di
tangan pengawalnya di sebelah kirinya.
Tetapi tentara Pajang masih lebih tangguh dan lebih terlatih daripada
tentara Mataram. Sepanjang pertempuran pasukan Mataram selalu terdesak
dan korban berjatuhan. Bala bantuan prajurit dan orang-orang sakti dari
sekutu Mataram terus berdatangan, tetapi tetap saja mereka selalu
terdesak dan korban terus berjatuhan, bahkan sekalipun Bende Mataram
sudah sering dibunyikan (Bende Mataram adalah pusaka Mataram yang
kegaibannya berguna untuk menaikkan moral dan semangat tempur pasukan
dan sekaligus melemahkan semangat dan konsentrasi lawan). Setiap bende
tersebut dibunyikan, semangat tempur pasukan Mataram bangkit lagi dan
mendesak pasukan Pajang yang menurun konsentrasinya. Tetapi setelah itu
pula kekuatan batin Sultan Hadiwijaya dikonsentrasikan, menetralisir
pengaruh gaib pusaka Bende Mataram.
Dengan demikian pengaruh gaib Bende Mataram hampir tak berarti dan
pasukan Pajang yang memang lebih tangguh dapat selalu menekan pasukan
Mataram sehingga korban terus berjatuhan di pihak Mataram. Kalau hanya
menghadapi Panembahan Senopati dan pasukannya beserta gabungan pasukan
dari kadipaten / kabupaten yang bersatu di bawah Mataram dan orang-orang
sakti mereka di pihak Panembahan Senopati, sebenarnya bila
dikehendakinya, Sultan Hadiwijaya tidak memerlukan tentara untuk
menghadapinya. Sekalipun dirinya sudah tua, tetapi tenaganya dan
kesaktiannya, ditambah dengan kesaktian pusakanya, masih cukup mumpuni
untuk sendirian menumpas mereka semua.
Apalagi ilmunya Lembu Sekilan sudah matang sempurna dalam dirinya,
menjadikannya tak dapat dikenai pukulan dan serangan berbagai macam
pusaka dan senjata tajam. Tetapi Sultan Hadiwijaya sengaja datang untuk
menunjukkan kebesarannya. Ia datang sebagai seorang raja dengan
tentaranya dan menunggangi seekor gajah tanda kebesaran kerajaan Pajang.
Ia sengaja tidak turun dari tunggangannya, tidak turun ke gelanggang
perang, hanya memperhatikan saja dari jauh. Ia menunggu sampai
Panembahan Senopati, anak angkatnya, datang sendiri kepadanya.
Ia ingin mendengar langsung dari mulut Panembahan Senopati, mengapa ia
berani kurang ajar kepadanya, ayahnya, dan berani berhadapan perang
melawannya, rajanya. Sultan Hadiwijaya tetap menganggap Panembahan
Senopati adalah anak angkatnya, yang sudah dianggapnya sama dengan
anaknya sendiri, yang bahkan anak-anaknya pun memandang saudara kepada
Panembahan Senopati. Dan di matanya, tidak sepantasnya seorang anak
kurang ajar kepada ayahnya, apalagi melawannya. Ia tidak ingin
menurunkan tangan besi kepada anaknya itu bila sang anak mau meminta
maaf kepadanya. Sekalipun Panembahan Senopati diberinya kekuasaan di
tempat yang sekarang disebut Mataram, sebagai warisan dari Ki
Pamanahan, tetap saja Mataram adalah bawahan Pajang dan harus tunduk
kepada Pajang. Dan semua tentara yang dibawanya untuk mengalahkan
tentara Mataram, hanyalah sebagai pelajaran saja supaya Mataram tidak
menentang kebesaran Pajang. Peperangan terlihat berat sebelah.
Tentara Mataram, walaupun dibantu oleh orang-orang sakti dan tentara
kiriman kadipaten dan kabupaten yang bersekutu dengannya, memang belum
sekelas dan tidak dapat disejajarkan dengan tentara kerajaan Pajang.
Apalagi ketentaraan kerajaan Pajang sekarang sudah jauh lebih kuat
daripada kerajaan Demak dulu. Korban terus berjatuhan di pihak Mataram.
Tinggal menunggu waktu saja sampai semua tentara Mataram menyerah atau
mati.
Sasmita Ghoib Kanjeng Sultan Pajang
Tetapi tiba-tiba suatu fenomena gaib meliputi Sultan Hadiwijaya. Para
leluhurnya, mantan raja-raja penguasa Singasari dan Majapahit datang
berkumpul di sekitarnya. Sri Rajasa Kertanegara, Raden Wijaya beserta
istri-istrinya, Ratu Tribhuana Tunggadewi dan adik-adiknya,
pembesar-pembesar dan para bangsawan yang setia kepada Singasari dan
Majapahit, bersama-sama datang kepadanya. Ibu Kanjeng Ratu Kidul, di
sebelah kirinya. Raden Rangga duduk di belakangnya. Berbagai macam
sasmita gaib masuk ke kepalanya.
Ibu Ratu Tribhuana Tunggadewi lembut berkata kepadanya : " Tidak usah
dilanjutkan ambisimu menjadi penguasa tanah Jawa. Sudah cukup kiranya
kamu menjadi penerus kami, menjadi pamungkas raja-raja Singasari dan
Majapahit. Mulai hari ini juga wahyu raja yang ada padamu sudah akan
pergi, kembali kepada yang memberi wahyu. Biarkan saja Mataram dengan
Panembahan Senopatinya. Ia bukanlah penerusmu ataupun penggantimu.
Kerajaannya hanyalah transisi sebelum tanah Jawa masuk ke dalam jaman
yang baru. Jaman yang penuh dengan kesusahan dan penderitaan. Tanah Jawa
akan masuk ke dalam jaman baru. Jaman yang penuh dengan kesusahan dan
penderitaan. Dan tidak ada satupun raja Jawa sesudah kamu yang akan
dapat melindungi tanah Jawa dan rakyatnya pada jaman itu. Penguasa tanah
Jawa yang sesungguhnya akan datang dari seberang. Kejayaan tanah Jawa
sudah berakhir. Tidak akan ada lagi panji-panji yang akan dikibarkan,
karena tanah Jawa akan menjadi jajahan orang-orang seberang. Kebesaran
tanah Jawa akan menjadi rampasan perang.
Tak ada lagi yang akan tersisa. Kebesaran tanah Jawa sudah habis. Bahkan
kebanggaan sebagai orang tanah Jawa pun tidak akan lagi ada. Tetapi
akan ada masanya nanti tanah Jawa akan bangkit kembali. Batas-batas
Singasari - Majapahit akan dipulihkan lagi. Dipimpin oleh raja-raja
keturunan kami. Tapi mereka bukanlah raja-raja yang utama. Mereka
hanyalah pembuka jalan saja bagi raja yang sesungguhnya, raja besar yang
akan menerima semua restu dari para leluhur raja-raja pendahulunya,
Singasari - Majapahit di timur dan tengah dan Galuh di barat. Ia raja
manusia. Ia juga raja kami dan semua mahluk halus. Pusaka-pusaka tanah
Jawa dan pusaka-pusaka dewa akan diwariskan kepadanya. Wahyu-wahyu raja
akan tumpuk padanya. Dewa-dewa pun menyertainya. Ia akan datang sesudah
bumi porak-poranda. Itulah tanda kebesarannya. Ia tidak butuh tentara.
Ia sendiri bisa memporak-porandakan dunia. Kami sedih menyampaikan ini
kepadamu. Kami tahu kamu sangat menghormati kami leluhurmu dan ingin
kejayaan Majapahit kembali berkibar.
Tetapi sudah tiba waktunya bahwa tanah Jawa akan menerima karma,
hukuman, karena keburukan perbuatan mereka sendiri. Tetapi pada waktunya
nanti kamu juga akan berbangga. Karena dia, raja yang akan datang itu,
juga adalah bagian dari kita. Keluarga kita ".
Sultan Hadiwijaya tidak lagi berkonsentrasi pada perang yang sedang
berlangsung. Para prajurit dan senopatinya harus bekerja keras, karena
tidak lagi mendapatkan arahan langsung dari rajanya. Bahkan dorongan
moril pun tidak ada lagi.
Saat Sultan Hadiwijaya dalam kegalauan hati yang tak terkira, Merapi
menyemburkan awan dan debu panas. Lahar dan bebatuan pijar menghantam
Kali Opak dan daerah yang dilewatinya. Beliau tertegun dan terdiam.
Dalam hati bertanya: “ Inikah pertanda akan runtuhnya Pajang? “
Sesaat setelah letusan reda,Adipati Tuban meminta kepada Sultan
Hadiwijaya agar menyerang Mataram “ Sinuwun, sarehne prahara njeblugipun
Redi Merapi lan jawah awu sampun sirep, mbenjing enjing kula badhe
nggecak wadyabala Mataram.” ( Yang Mulia, karena prahara meletusnya
Gunung Merapi dan hujan abu sudah reda, besok pagi saya akan memukul
pasukan Mataram )
Di luar dugaan, Sultan Hadiwijaya berkata : “ Wruhanana, prahara
njebluge Redi Merapi, lindhu, lan udan awu kuwi pratandha yen Pajang ora
pareng mangsah jurit Mataram.” ( Ketahuilah, kejadian meletusnya Gunung
Merapi, gempa bumi dan hujan abu itu pertanda kalau Pajang tidak boleh
perang melawan Mataram )
Keesokan paginya, Sultan Hadiwijaya pulang ke Pajang dengan perasaan semakin galau. Di tengah kegalauannya dalam perjalanan,
Tiba-tiba gajah tunggangan Sultan Hadiwijaya berputar berbalik arah.
Berjalan kembali pulang ke Pajang. Para pengawal dan senopatinya bingung
bukan kepalang. Segera semua prajuritnya diperintahkan mundur,
mengikuti dan mengawal raja mereka kembali ke Pajang. Sepanjang jalan ke
Pajang Sultan Hadiwijaya tidak sadarkan diri. Tatapannya kosong dan
tidak tanggap atas sapaan para bawahannya yang terus berusaha
menyadarkannya.
Fenomena gaib masih terus menyelimutinya. Sultan Hadiwijaya yang memang
juga menguasai berbagai ilmu kebatinan dan kegaiban sukmanya semakin
jauh dan dalam masuk ke alam gaib. Sesampainya di Pajang, kondisi sang
Sultan tidak juga membaik. Hanya beberapa kali sang Sultan sempat sadar,
tetapi kemudian kembali lagi tak sadarkan diri. Panembahan Senopati
yang dikabari tentang kondisi ayah angkatnya itu juga datang untuk
menjenguknya dengan dikawal 40 orang prajurit. Melihat hal ini Benawa
segera bersiap untuk menumpasnya, namun di cegah oleh ayahnya…”
tetapi sang Panembahan tidak masuk menemuinya, dan selama ia berada di Pajang, ayah angkatnya itu tetap tidak sadarkan diri.
Ketika suatu saat Sultan Hadiwijaya sadar dan dapat berkomunikasi,
beliau menyampaikan pesan terakhirnya kepada anak-anaknya. Diharapkannya
supaya anak-anaknya tidak memperebutkan kekuasaan. Juga jangan ada
pertentangan antara Pajang dengan Mataram. Biarlah Pajang dan Mataram
hidup sendiri-sendiri. Mereka juga harus hidup rukun satu dengan
lainnya. Beberapa hari kemudian Sultan Hadiwijaya wafat, kembali kepada
para Sang Pencipta. Beliau wafat. Saat Merapi masih melontarkan abu dan
lahar panas.
Pangeran Benawa, Panembahan Senopati, dan Ki juru Martani sangat
bersedih dalam merawat jenasah Sultan Pajang. Jenasahnya kemudian di
makamkan di desa butuh.
Tetapi sejak itu juga pusaka kesayangannya keris Kyai Sengkelat juga
menghilang dari kehidupan manusia. Moksa. Masuk ke alam gaib bersama
dengan fisik kerisnya. Yang masih ada hanyalah keris-keris sengkelat
tiruan atau turunannya saja.