Kelantan Darul Naim merupakan salah satu negara bagian dari 14 buah
negera bagian di Malaysia yang kaya dengan sumber alam. Mempunyai
wilayah lebih kurang 14.922 km², terletak di timur laut Semenanjung
Malaysia, berhadapan dengan Laut China Selatan, dan berbatasan dengan
Thailand.
Sejarah awal Kelantan belum diketahui secara pasti. Catatan bangsa Eropa
dan China yang ditulis pada masa lalu dapat dijadikan sebagai rujukan
untuk memotret fakta dan gambaran tentang asal-usul keberadaan Negeri
Kelantan. Berikut ini adalah catatan-catatan singkat yang dimaksud:
Berdasarkan catatan Claudius Ptolemy, ahli bumi dan ilmu falak
berkebangsaan Yunani, dalam bukunya Geography of Eastern Asia yang
ditulis pada abad ke-2 M, disebutkan nama tiga buah tempat, yaitu “Kole
Polis”, “Primula”, dan “Tharra” yang terletak di pantai timur
Semenanjung Melayu.
G. E. Gerini, peneliti berkebangsaan Italia, mengatakan bahwa “Kole
Polis” terletak di Kelantan. Ia menganggap nama Kelantan adalah gabungan
kata dari “Kolo” dengan kata “Thana” atau “Tanah”, hingga menjadi
“Kolathana” atau “Kolamtanah” atau “Kolantan”.
Sejak abad ke-6 M, catatan-catatan sejarah China menyebut Kelantan
dengan berbagai nama. Pada masa Kerajaan Liang (502-557 M), orang China
menyebut “Tan-Tan”. Pada masa Kerajaan Tang (618-906 M), orang China
menyebut “Tann-Tann”. Sedangkan pada masa Kerajaan Sung (960-1279 M),
Kelantan disebut dengan kata “Chi-lan-chau” atau “Chi-lan-tan”. Pada
awal abad ke-17 M, Kelantan disebut dengan “Ko-lan-tan” atau
“Ku-lan-tan”.
Selain “Tan-Tan” atau “Tann-Tann”, ada sebuah negeri lagi yang
disebut-sebut oleh orang-orang China, yaitu “Chit-tu” yang berarti
Negeri Tanah Merah dan dikaitkan dengan Negeri Kelantan.
Berdasarkan letak geografisnya, sebagian ahli sejarah justru beranggapan
bahwa Chit-tu (Tanah Merah) atau “Raktamrittika” adalah Kelantan itu
sendiri. Seorang ahli sejarah Eropa, Paul Wheatley cenderung mempercayai
bahwa Chit-tu itu terletak di Kelantan. Hal itu bermula dari sejarah
Kerajaan Raktamrittika yang didirikan pada abad ke-6 M oleh Raja
Gautama, putra Raja Kalahtana. Chit-tu pernah menjadi wilayah taklukan
Kerajaan Funan. Pada tahun 1225 M, Kelantan pernah ditaklukan oleh
Sriwijaya.
Pada tahun1411 M (814 H), Negeri Kelantan mulai dipimpin oleh seseorang
bernama Raja Kumar. Namun, pakar-pakar sejarah belum dapat menentukan
darimana asal Raja Kumar. Hanya ada sebuah data yang menyebutkan bahwa
Raja Kumar pernah menjalin hubungan dengan Raja China. Misalnya, pada
tahun 1412 M, Raja Kumar menerima pemberian berupa kain-kain sutera dan
surat puji-pujian dari Raja China.
Raja Kumar mangkat pada tahun 1418 M. Ia digantikan oleh Sultan Iskandar
Syah. Berdasarkan manuskrip Sejarah Melayu, Sultan Iskandar merupakan
cucu Raja Culan, Raja Negeri Ganggayu atau Klang Kio yang terletak di
hulu Sungai Johor. Ada sumber lain, misalnya buku karya Nik Mahmud
Ismail, Ringkasan Cetera Kelantan, menyebut bahwa Raja Culan adalah Raja
Negeri Perak. Belum ditemukan data yang pasti tentang bagaimana
hubungan kekerabatan antara Raja Kumar dan Sultan Iskandar Syah.
Demikian pula, belum ditemukan data yang menjelaskan bagaimana mulai
masuknya Islam di Kelantan mengingat Sultan Iskandar Syah telah menganut
agama Islam.
Sultan Iskandar Syah mangkat pada tahun 1465 M. Ia kemudian digantikan
oleh Sultan Mansur Syah. Ada tiga versi sumber yang menyebutkan hubungan
darah Sultan Mansur Syah dengan Sultan Iskandar Syah, yaitu: (1)
Sejarah Melayumenyebut Sultan Mansur Syah adalah anak saudara sepupu
Sultan Iskandar Syah; (2) Ringkasan Cetera Kelantan menyebut Sultan
Mansur Syah adalah putra Sultan Iskandar Syah; dan (3) Sejarah
Negeri-Negeri Melayu karya Haji Muhammad Sidi Haji Muhd Rasyid menyebut
Sultan Mansur Syah adalah sepupu Sultan Iskandar Syah.
Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah, Kelantan mencapai masa
kejayaan. Ketika itu, Kelantan dikenal dengan hasil perekonomiannya.
Nama Kelantan rupanya terdengar hingga ke Melaka (yang ketika itu
dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah). Pada tahun 1477 M, Sultan Mahmud Syah
memerintah bala tentaranya untuk menyerang Kelantan. Sultan Mansur Syah
mempunyai tiga orang anak, yaitu Raja Gombak, Unang Kening, dan Cubak.
Sultan Mahmud Syah pada perkembangan selanjutnya ternyata justru
menikahi putri Sultan Mansur Syah, Unang Kening. Sultan Mahmud Syah dan
Unang Kening dikaruniai tiga orang anak, yaitu Raja Mah (putri), Raja
Muzaffar (putra), dan Raja Dewi (putri). Raja Muzaffar yang lahir pada
tahun 1505 M kemudian diketahui menjadi Sultan Perak I dengan gelar
Sultan Muzaffar Syah (1528-1540 M). Setelah Sultan Mansur Syah mangkat
pada tahun 1526 M, Raja Gombak menggantikan posisi ayahnya sebagai
Sultan Kelantan ke-IV dengan gelar Sultan Gombak (1526-1584 M).
Sultan Gombak mangkat pada tahun 1584 M. Ia digantikan oleh cucunya yang
kemudian dijadikan anak angkatnya, Raja Ahmad dengan gelar Sultan
Ahmad. Sultan Ahmad menikah dengan Cik Banun, anak bungsu Seri Nara
Diraja, seorang pembesar Kelantan, dan melahirkan seorang putri bernama
Cik Wan Kembang. Ketika Sultan Ahmad mangkat pada tahun 1588 M, Cik Wan
Kembang masih berusia 4 tahun. Sehingga, Raja Hussin, putra Raja Umar
yang bergelar Sultan Ala Jalla Abdul Jalil Syah (Raja Johor, 1580-1597
M) diminta datang ke Kelantan dengan maksud agar dirinya bersedia
menjadi Sultan Kelantan ke-VI dengan gelar Sultan Hussin. Ada sumber
lain yang menyebutkan fakta lain bahwa diangkatnya Raja Hussin bukan
lantaran diminta oleh para pembesar Kelantan, namun karena kondisi
sejarah pada saat itu, yakni pada abad ke-16, Kelantan berada di bawah
kekuasaan Johor.
Setelah Raja Hussin mangkat pada tahun 1610 M, Cik Wan Kembang yang
sudah berumur dewasa diangkat sebagai Sultan Kelantan ke-VII (1610-1663
M). Cik Wan Kembang merupakan sultan perempuan pertama di Kelantan.
Ketika memerintah, ia bertempat tinggal di Gunung Chinta Wangsa, Ulu
Kelantan, yang jaraknya kira-kira 40 kilometer ke arah tenggara Kuala
Krai. Letak pemerintahan yang strategis tersebut menyebabkan banyak
pedagang dari dalam maupun luar yang mengunjungi Kelantan.
Pada masa pemerintahan Cik Wan Kembang, telah berdiri sebuah kerajaan
kecil di bagian timur laut Kelantan, yaitu Kerajaan Jembal yang dipimpin
oleh Raja Sakti (1638 M). Raja Sakti adalah anak angkat Raja Bersiung
Kedah. Raja Sakti mangkat pada tahun 1649 M dan digantikan oleh
putranya, Raja Loyor. Cik Wan Kembang memiliki hubungan yang baik dengan
Raja Loyor. Cik Wan Kembang pernah mengambil Puteri Saadong, putri Raja
Loyor, sebagai anak angkatnya yang kelak akan dijadikan penggantinya.
Cik Wan Kembang mangkat pada tahun 1663 M. Sepeninggalan dirinya boleh
dibilang sebagai masa berakhirnya pemerintahan keturunan Sultan Iskandar
Syah. Kelantan kemudian diperintah oleh raja-raja Jembal (pada masa
pemerintahan ini tidak digunakan istilah sultan).
Berbicara tentang Puteri Saadong, ketika masih hidup Cik Wan Kembang
pernah menikahkan anak angkatnya itu dengan Raja Abdullah, sepupu Puteri
Saadong sendiri. Puteri Saadong dan Raja Abdullah menetap di Kota
Tegayong (Tanah Serendah Sekebun Bunga Cherang Tegayong), yang kemudian
pindah ke Kota Jelasin di Kota Mahligai. Puteri Saadong pernah diculik
oleh Panglima Tentera Siam bernama Phraya Decho untuk dibawa ke hadapan
Narai Maharaja Siam (1656-1688 M). Tidak ketahui data yang jelas apa
maksud penculikan tersebut. Ketika kembali ke Kelantan, Puteri Saadong
pernah berselisih dengan suaminya, Raja Abdullah. Entah apa yang
diperselisihkan. Dalam perselisihan tersebut, tanpa sengaja Raja
Abdullah terkena cucuk sanggul Puteri Saadong. Raja Abdullah akhirnya
meninggal. Sepeninggalan Raja Abdullah, Puteri Saadong mengangkat Raja
Abdul Rahim, saudara Raja Abdullah, sebagai Sultan di Kota Mahligai.
Tidak banyak data yang menyebutkan masa pemerintahan Raja Loyor. Ia
mangkat pada tahun 1675 M. Ia digantikan oleh adiknya, Temenggong Umar
yang bergelar Raja Umar (1675-1719 M). Raja Umar memiliki lima orang
putra-putri, yaitu Raja Kecil Sulung, Raja Ngah yang bergelar Raja
Hudang, Raja Nah, Raja Sakti, dan Raja Pah. Setelah Raja Umar mangkat
pada tahun 1719 M, Long Besar atau Long Bahar diangkat sebagai Raja di
Jembal (1719-1733 M). Pengangkatan tersebut adalah atas permintaan putri
sulu Raja Umar, Raja Kecil Sulung. Long Bahar adalah putra Raja Petani
(Wan Daim) yang bergelar Datuk Pengkalan Tua yang pernah merantau ke
Kelantan bersama ayahnya. Long Bahar menikah dengan Raja Pah, putri
Sultan Omar.
Long Bahar mangkat pada tahun 1733 M. Ia digantikan oleh putranya, Long
Sulaiman atau Wan Anom Long Nik dengan gelar Mas Kelantan. Long Sulaiman
memiliki tiga orang putra-putri, yaitu Long Yunus, Tuan Dewi, dan Tuan
Kembang. Tuan Kembang menikah dengan Long Deraman, putra Tuan Senik
Getting yang memerintah di Legeh. Pada tahun 1756 M, terjadi sebuah
serangan misterius yang bermaksud ingin membunuh Long Sulaiman. Dalam
serangan ini, Long Sulaiman meninggal. Ia kemudian diganti oleh
sepupunya, Long Pendak, sebagai Raja Kubang Labu, sementara adiknya,
Long Muhammad dilantik menjadi Raja Muda.
Pada tahun 1758 M, Long Pendak meninggal. Ia dibunuh oleh Long Deraman
yang membalas dendam atas perbuatan Long Pendak. Long Pendak pernah
membunuh isterinya sendiri dan juga adik Long Deraman, Tengku Tengah.
Long Muhammad kemudian menjadi Raja di Kota Kubang Labu. Pada masa
pemerintahannya, terjadi peperangan antara Long Muhammad yang dibantu
oleh Long Deraman dengan Long Yunus yang dibantu oleh Long Gaffar, putra
Raja Reman di Hulu Perak. Pada tahun 1762 M, Long Muhammad dan Long
Deraman tewas dalam sebuah peperangan sengit. Akhirnya, Kerajaan Kubang
Labu dapat dikuasai oleh Long Yunus. Sebagai bentuk penghargaan terhadap
jasa Long Gaffar, Long Yunus mengangkat Long Gaffar sebagai Perdana
Menteri di Kelantan yang memerintah dari Jeram hingga ke Pasir Tumbuh.
Long Yunus memerintah Kelantan antara tahun 1775-1794 M. Ia dikenal
sebagai pemimpin yang mampu menyatukan kembali seluruh wilayah Kelantan
yang sebelumnya terpecah-pecah hingga menjadi ke dalam satu sistem
pemerintahan saja.
Silsilah
Berikut ini adalah daftar silsilah sultan-sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Kelantan:
1- Raja Kumar (1411-1418 M)
2- Sultan Iskandar (1418-1465 M)
3- Sultan Mansur Syah (1465-1526 M)
4- Sultan Gombak (1526-1584 M)
5- Sultan Ahmad (1584-1588 M)
6- Sultan Hussin (1588-1610 M)
7- Cik Wan Kembang (1610-1663 M)
8- Raja Loyor (1649-1675 M)
9- Raja Umar (1675-1719 M)
10- Long Besar atau Long Bahar (1719-1733 M)
11- Long Sulaiman (1733-1756 M)
12- Long Pendak (1756-1758 M)
13- Long Muhammad (1758-1762 M)
14- Long Gaffar (1762-1775 M)
15- Long Yunus (1775-1794 M)
16- Sultan Muhammad (1794-1839 M)
17- Sultan Muhammad II atau Sultan Mulut Merah (1839-1886 M)
18- Sultan Muhammad III (1886-1900 M)
19- Sultan Muhammad IV atau Long Senik bin Long Kundur (1900-1920 M)
20- Sultan Ismail (1920-1944 M)
21- Sultan Ibrahim (1944-1960 M)
22- Sultan Yahya Petra (1960-1979 M)
23- Sultan Ismail Petra (1979 M-sekarang)
Periode Pemerintahan
Kesultanan Kelantan telah berdiri selama hampir enam abad lamanya. Dalam
rentang sejarah yang begitu panjang, Kelantan pernah mengalami masa
perpecahan. Hal itu bermula pada masa pemerintahan Cik Wan Kembang
(1610-1663 M). Pada masanya, di dalam wilayah Kelantan mulai berdiri
sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Jembal. Kelantan kemudian dikuasai
oleh keturunan dari Patani yang merantau ke Kelantan, yaitu sejak masa
pemerintahan Long Bahar. Pada masa Long Yunus, Kelantan mulai dapat
bersatu kembali.
Dalam perkembangan masa modern, Kesultanan Kelantan menjadi salah satu
bagian dari 14 negeri dalam federasi Kerajaan Malaysia. Kelantan yang
juga disebut dengan nama Negeri Kelantan Dar`ul Naim kini dipimpin oleh
Sultan Ismail Petra (sejak tahun 1979 M).
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Kelantan meliputi daerah-daerah berikut
ini: Gua Musang (8,177 km2), Kuala Krai (2,277 km2), Jeli (1,318 km2),
Tanah Merah (880 km2), Pasir Mas (569 km2), Machang (527 km2), Pasir
Puteh (424 km2), Kota Bharu (394 km2), Bachok (279 km2), Tumpat (177
km2). Kesultanan ini terletak di sebelah timur laut Semenanjung
Malaysia, berhadapan dengan Laut China Selatan, dan berbatasan dengan
Thailand Selatan.
Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan Kesultanan Kelantan merupakan warisan sistem
politik Melayu tradisional. Sultan merupakan penguasa tertinggi di
Kesultanan Kelantan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, ia dibantu
oleh tiga kelompok pembantu sultan, yaitu:
Kelompok kerabat sultan yang merupakan keturunan sultan itu sendiri.
Kelompok bangsawan yang bergelar syed, nik, dan wan.
Kelompok masyarakat biasa yang memegang jabatan tinggi di pemerintahan.
Tugas utama tiga kelompok pembesar kesultanan tersebut adalah
menjalankan segala pekerjaan yang memang menjadi kewajibannya dan juga
menjalankan apa yang menjadi perintah sultan. Tugas mereka meliputi
hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat istana, pemerintahan,
keuangan, kehakiman, keamanan, pertahanan, dan hubungan luar negeri.
Salah satu fungsi utama kelompok kerabat sultan adalah melantik sultan
yang akan memerintah.
Struktur dan sistem pemerintahan tersebut baru diterapkan pada akhir
abad ke-18 M, yaitu pada masa pemerintahan Long Yunus (1775-1794 M).
Long Yunus melantik putra-putranya sebagai berikut: Long Ismail (Raja
Muda), Long Jenal (Bendahara), dan Long Tan (Temenggung). Sementara itu,
sahabat karibnya, Long Ghafar dilantik sebagai mangkubumi dan panglima
perang dengan gelar Tengku Seri Maharaja Perdana Menteri. Sebenarnya ada
empat jabatan dan gelar lagi, yaitu Raja Bukit Pancor (yang dijabat
oleh Long Yunus bin Long Yunus), Tengku Kota (Long Muda atau Tuan Dagang
bin Long Yunus), Dato‘ Kaya Hulubalang (anak Penghulu Adas).
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II atau Sultan Mulut Merah
(1839-1886 M), struktur pemerintah Kelantan mengalami perubahan dengan
adanya tambahan jabatan atau gelar baru, sebagai berikut:
Sultan (Tuan Senik Mulut Merah)
Sultan Dewa (Tuan Senik Kota atau Tuan Senik Penambang-baharu)
Hakim (Syed Jaafar-baharu)
Mufti (Tuan Abdul Rahman Muda bin Wan Othman-baharu)
Kadi (tidak diketahui datanya)
Perdana Menteri (Engku Limbat bin Long Jaafar)
Pembantu Menteri Besar (Nik Abdul Majid atau Wan Abdul Majid bin Wan Yusuf bersama Nik Yahya)
Juru Tulis Diraja atau Setiausaha Sultan (Wan Abdul Kadir)
Ketua Istiadat bergelar Dato Megat Mahkota
Pada tahun 1845 M, terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan
dengan terbentuknya jamaah Ahli Mensyuarat yang anggotanya adalah
sejumlah pembesar kesultanan. Perubahan tersebut terjadi setelah Bandar
Kota Bharu dan Istana Balai Besar dibangun setahun sebelumnya (1844 M).
Berikut ini adalah tugas-tugas pemerintahan pada masa tersebut:
1. Tugas keuangan, yang diemban oleh:
Bendahara (gelar awalnya Tengku jika penyandangnya adalah keturunan sultan)
Seri Maharaja (gelar awalnya ditambah Tengku jika penyandangnya keturunan sultan)
Seri Pakerma Raja
Seri Akar Raja
2. Tugas peperangan, yang diemban oleh:
Temenggung Aria Pahlawan
Seri Nara Diraja
Laksamana
Seri Kelana Diraja
3. Tugas pemerintahan, yang diemban oleh:
Seri Paduka Raja
Seri Amar Diraja
Seri Setia Diraja
Seri Diraja
4. Hubungan luar negeri, yang diemban oleh:
Biji Sura
Biji Wangsa
Lela Utama
Lela Negara
5. Urusan dalam negeri, yang diemban oleh:
Kaya Perba
Kaya Pahlawan
Kaya Hulubalang
Kaya Perwira
6. Urusan istana, yang diemban oleh:
Seri Rakna Diraja
Bentara Guna
Penghulu Balai
7. Urusan keadilan dan kehakiman, yang diemban oleh:
Ketua Hakim (disandang oleh Hakim)
Kadi (bertanggung jawab terhadap masalah hukum atau syariat Islam)
Hakim (bertanggung jawab terhadap masalah di luar hukum Islam)
8. Penasehat sultan, yang diemban oleh:
Tengku Bendahara
Tengku Temenggung
Seri Paduka
Secara umum, gelar bagi seseorang yang akan menggantikan posisi sultan
adalah Raja Muda. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad IV (Long Senik
bin Long Kundur, 1900-1920 M), tepatnya pada tahun 1911, gelar Raja
Kelantan diadakan untuk menempati posisi sultan berikutnya. Namun pada
tahun 1944 M, gelar tersebut dihapus karena ada anggapan dari
orang-orang di luar Kelantan bahwa gelar itu dimaksudkan untuk
menggantikan posisi sultan yang sedang ada urusan ke luar kesultanan.
Mareka menganggap bahwa istilah Raja Kelantan dan Sultan Kelantan adalah
sama saja. Untuk mengatasi masalah tersebut, Tengku Ibrahim, putera
kedua Sultan Ismail yang bergelar Raja Kelantan, naik menjadi Sultan
Kelantan pada Juni 1944 M. Gelar seseorang yang akan menggantikan posisi
sultan dikembalikan ke semula, yaitu Raja Muda.
Kehidupan Sosial-Budaya
Berdasarkan sensus tahun 2005, jumlah penduduk Kelantan Daru`l Naim
berjumlah 1,373,173 jiwa, yang terdiri sebagai berikut: Gua Musang
(80,167), Kuala Krai (97,836), Jeli (38,185), Tanah Merah (108,228),
Pasir Mas (172,692), Machang (82,653), Pasir Puteh (111,001), Kota Bharu
(425,294), Bachok (116,128), Tumpat (140,989). Bangsa Melayu merupakan
penduduk mayoritas di Kelantan (95 %), sementara sebagian yang lain
diisi oleh keturunan China (3,8 %), keturunan India (0,3 %), dan
lain-lain (0,9 %). Komposisi penganut agama-agama di Kelantan adalah:
Islam (95 %), Buddha (4,4 %), Kristen (0,2 %), Hindu (0,2 %), dan
penganut agama lainnya (0,2 %).
Perekonomian masyarakat Kelantan bersumber dari hasil pertanian dan
industri. Secara umum, tanaman pertanian yang banyak ditanam oleh
penduduk Kelantan adalah tanaman getah, kelapa sawit, dan padi.
Sedangkan industri yang banyak dikerjakan masyarakat Kelantan adalah
industri kayu, terutama kayu balak dan kayu gergaji.
Sejak masa lalu, Kesultanan Kelantan dikenal memiliki hubungan yang baik
dengan Kesultanan Patani. Secara geografis, letak kedua kesultanan ini
sangat berdekatan. Kelantan memiliki kebudayaan yang unik dan menarik
yang merupakan bentuk asimilasi antara budaya Melayu, Islam, dan Siam.
Di antara sebagian kebudayaan tersebut adalah berupa permainan rakyat,
seperti Dikir Barat, Main Puteri, Mak Yong, dan sebagainya. Mak Yong
dipengaruhi budaya Siam, Dikir Barat memiliki unsur-unsur keislaman, dan
Main Puteri berasal dari budaya Hindu-Siam. Di samping itu, Kelantan
mempunyai makanan tradisional yang khas dan berbeda dari negeri-negeri
Melayu lainnya, seperti makanan Budu.
Hubungan Kelantan – Jawa Yang Dilupakan Oleh Sejarah
Kelantan dan Jawa bagi orang zaman moden ini, dua budaya ini nampak
terlalu asing untuk ada kaitan antara satu sama lain. Seperti tidak
pernah berketemu antara satu sama lain.
Namun sejarah yang dilupakan akan dibongkar kembali. Dahulu Kelantan dan
Jawa mempunyai hubungan yang amat rapat. Sebelum pergi dengan lebih
lanjut atau sebelum dikatakan merapu, sila kaji beberapa fakta:
1) Keris kebesaran Sultan Kelantan bernama Keris Majapahit.
2) Sebut wayang kulit, maka orang tahu ianya daripada Kelantan, dan juga
Jawa.
3) Orang Kelantan sangat suka pakai kain batik Jawa. Sehingga zaman
tahun 60an, orang lelaki Kelantan menggunakan kain batik Jawa sebagai
semutar di atas kepala dan diikat pada pinggang. Inilah trade mark orang
Kelantan. Kain batik Jawa merupakan pakan harian yang wajib.
4) Ada banyak perkataan Jawa yang difahami oleh orang Kelantan, tetapi tidak Difahami oleh orang Kuala Lumpur.
5) Orang Kelantan mungkin tidak pernah bertemu orang Jawa pada tahun
1960an-70an, tetapi mereka secara lisan dan tradisi amat anti orang
Jawa.
Kelantan purba dikenali dengan gelaran Jawa Kotti yang bermaksud ‘TITIK
JAWA’. Pada zaman yang paling awal dalam tahun Masehi, pusat penyebaran
budaya Melayu dan Jawa berpusat di Kelantan. Ini kerana zaman dahulu
kala Kelantan dikenali orang sebagai Jawa Kotti ( Jawa Point). Kalau
menurut dalam “Ikhtisar Sejarah Kelantan” oleh Abdul Razak Mahmud (Ustaz
Mat), Bab 2, muka surat 7 & 8, negeri Kelantan dikatakan bernama
“Medang Kamulan”. Dalam History Of Java oleh Stamford Raffles muka surat
74, pada lebih kurang tahun 600 Masehi seorang lelaki bernama Aji Saka
dari negara asing ( quote: Aji Saka from a foreign country) datang ke
Jawa dan memerintah. Menurutnya Aji Saka dari Medang Kamulan.
” The controversy over the true location of Sri Wijaya arises because of
the fact that after the death of Maharaja Sri Jayanaga around 692,
during the mission to capture Jawa Island, Sri Wijaya seems to have been
divided into two states. The eldest son Maharaja Dipang ruled over
Amdan Negara, that is, the Malay Isthmus, probably Kelantan/Kedah. The
second son, Maharaja Dhiraja, ruled the islands (Sumatera and other
islands of the Indonesian archipelago), based at Palembang. After the
division into east and west, the name of Sri Wijaya remained in
Sumatera, but on the Malay peninsula, a poetic title emerged for the
Kelantan/Kedah area, namely, Tanah Serendah Sekebun Bunga (Valley of
Flower Garden Land). This title is still found in traditional performing
arts such as Mak Yong dance, Wayang Kulit puppet theatre, etc. By 730
the capital of Sri Wijaya in Sumatera moved from Palembang, known as
Langkapura, to Kota Mutajap near the river mouth of Jambi in Sumatera.
It is reasonable to speculate that some elements of the Sri Wijayan
culture originated in Sumatera, but later spread to other parts of South
East Asia from Kelantan/Kedah. Yawakoti meaning Jawa Point, is situated
at Bukit Panau hill along the upper Kelantan river near Pergau; some
believe this place to be from which Jawanese politics and culture spread
out. Jawa Duipa, an ancient name for Kelantan means Tanah Jawa (“land
owned by the Jawanese”), or Kawasan Jawa (“Jawanese area”).
Al Tabari states that the word Jawa or Jva was used more widely in
ancient times. Jawa in those days meant “Jawanese culture” (i.e. Malay
culture), including its centres on the Isthmus, as compared to now when
Jawa only refers to Jawa Island in Indonesia. According to one
tradition, the Jawanese moved down from Kemboja and spread out to the
archipelago.”
Dalam bahasa Jawa asli, tiada perkataan GAJAH. Oleh itu Patih Gajah Mada
ini sebenarnya agak misteri bagi ahli sejarah Jawa sendiri.
Gajah Mada is a mysterious historical figure. No historical records
about his origin, there’s no tomb to commemorate his magnificent
achievement.
He’s probably the only Majapahit historical figure quite unknown where
he’s born and where he died. But his legacy, the unified archipelagic
empire of Majapahit is quite is the testament of his ambition and genius
vision, a bright politician and warrior. Majapahit as the ancient
incarnation of modern Indonesia stay forever as inspirations, source of
pride and dignity for Indonesian.
According to books and articles I’ve reads here’s the speculations about his origin:
” Using animal name as people name is quite common in ancient Java,
Lembu Tal, Kebo Ijo, Kebo Anabrang, Mundingwangi Dikusumah, Ciung
Wanara, Mahesa Cempaka, etc. Gajah (means elephant) is known in ancient
Java, In Borobudur relief we can find the image of Elephant, probably
back then there’s an original Javanese elephant sub-species, but if not
it’s possible to import them from Sumatra, since ancient Indonesian ship
quite reliable to transport large things. But Gajah is abundant in
Sumatra up until now. So the speculations arose.
Gajah Mada probably Malayu or Srivijayan origin, but since young he
serve Javanese Majapahit special forces (Bhayangkara, the royal guard).
This theory probably based after the congquest of Malayu by Singhasari.
The Pamalayu expedition led by King Kertanegara conquer the court of
Malayupura (now Jambi), part of Srivijayan empire that already weaken.
Malayupura once stood as rival for Srivijaya before Srivijaya conquer
it. Then as Srivijaya weaken, Malayu began to be more important and
enjoy certain degree of independence.
This conquest (some says alliance, cause Kertanegara gave gift for the
people of Malayu, a huge 6 metres statue made in Java, then transport it
to Sumatra) brough many royalties (princess of Malayu like Dara Jingga
and Dara Petak), scholars, Buddhist priest (Dharmaputras), artisans,
warriors, etc, to Javanese courts. Gajah Mada vast knowledge about
various kingdoms, islands, and area around archipelago probably due to
Srivijayan knowledge, is he Malayu soldier, that’s why he really know
his way when he launch naval attack to Srivijayan capital like he’s ever
been there before.”
p/s : orang Jawa totok mengaku bahawa mereka tak tahu siapa Patih Gajah
Mada ini, tetapi sombong tak mahu mengaku dia ni orang Kelantan.
Pateh Gajah Mada adalah anak dari Puteri Linang Cahaya anak perempuan
Raja Kelantan. Ayah Pateh Gajah Mada pula ialah Syeikh Hussein
Jamaluddin Al-Kubra. Syeikh Jamaludin Al-Kubra ini banyak melahirkan
keturunan yang menjadi pemimpin dan Ulamak yang berpusat di
Patani-Kelantan seterusnya tersebar Islam ke seluruh Kepulauan Melayu
dan Jawa. Pada masa itu Patani-Kelantan dikenali sebagai Kerajaan Cermin
kerana banyak ulamak berada di situ sehinggakan belajar agama Islam di
Kota Mekah mesti sambung belajar di Patani-Kelantan. Patani-Kelantan
diberi nama jolokan Kerajaan Cermin Mekah. Sebab itulah sehingga
sekarang Kelantan digelar “Kelantan Negeri di bawah Serambi Mekah” dan
kerajaan Islam PAS masih kukuh berkuasa. Orang Kelantan sejak lebih 800
tahun telah memilih Islam sebagai kehidupan mereka.