عَنْ حُصَيْن بْنِ عَبْدِ الرَّ حْـمَنٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ
جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ
الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُـمَّ قُلتُ أَمَا إِنِّـي لَـمْ أَكُنْ فِـي
صَلاَةٍ وَلَكِنِّـي لُدِغْتُ قَالَ فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ
اسْـتَرْقَيْـتُ قَالَ فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قُلْتُ حَدِيثٌ
حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِـيُّ فَقَالَ وَمَا حَدَّثَكُمُ الشَّعْبِـيُّ
قُلْتُ حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ اْلأَسْلَمِـيِّ أَنَّهُ
قَالَ لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْـنٍ أَوْ حُـمَةٍ فَقَالَ قَدْ
أَحْسَـنَ مَنِ انْتَهَى إِلَـى مَا سَـمِـعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ
عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ
عُرِضَتْ عَلَـيَّ اْلأُمَـمُ فَرَأَيْتُ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ
الرَّهَيْطُ وَ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ الرَّجُلُ وَ الرَّجُلاَنِ وَ
النَّبِـيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِـي سَوَادٌ عَظِيمٌ
فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِـي فَقِيلَ لِـي هَذَا مُوسَـى عَلَيْهِ
السَّلاَمَ وَ قَوْمُهُ وَ لَكِنِ انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ فَنَظَرْتُ
فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ اْلآخَرِ
فإِذَا سَـوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَ مَعَهُمْ
سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ
ثُـمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِـي أُولَئِكَ
الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ فَقَالَ
بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ وُلِدُوا
فِـي اْلإِسْلاَمِ وَ لَـمْ يُشْرِكُوا بِاللهِ وَ ذَكَرُوا أَشْيَاءَ
فَـخَرَخَ عَلَيْهِمْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
فَقَالَ مَا الَّذِي تَـخُوضُونَ فِـيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمُ
الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ وَ
عَلَى رَبِّـهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِـحْصَنٍ
فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ
ثُـمَّ قَامَ رَجُلٌ آجَرُ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ
فَقَالَ سَبَقَكَ بِـهَا عُكَّاشَةُ
Dari Hushain bin Abdurrahman berkata: "Ketika saya berada di dekat Sa'id
bin Jubair, dia berkata: "Siapakah diantara kalian yang melihat bintang
jatuh semalam?" Saya menjawab: "Saya.” Kemudian saya berkata: "Adapun
saya ketika itu tidak dalam keadaan sholat, tetapi terkena sengatan
kalajengking." Lalu ia bertanya: "Lalu apa yang anda kerjakan?" Saya
menjawab: "Saya minta diruqya" Ia bertanya lagi: "Apa yang mendorong
anda melakukan hal tersebut?"Jawabku: "Sebuah hadits yang dituturkan
Asy-Sya'bi kepada kami." Ia bertanya lagi: "Apakah hadits yang
dituturkan oleh Asy-Sya'bi kepada anda?" Saya katakan: "Dia menuturkan
hadits dari Buraidah bin Hushaib: 'Tidak ada ruqyah kecuali karena 'ain
atau terkena sengatan.'"
"Sa'id pun berkata: "Alangkah baiknya orang yang beramal sesuai dengan
nash yang telah didengarnya, akan tetapi Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu
menuturkan kepada kami hadits dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
Beliau bersabda: 'Saya telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allâh,
lalu saya melihat seorang Nabi bersama beberapa orang, seorang Nabi
bersama seorang dan dua orang dan seorang Nabi sendiri, tidak seorangpun
menyertainya. Tiba-tiba ditampakkan kepada saya sekelompok orang yang
sangat banyak. Lalu saya mengira mereka itu umatku, tetapi disampaikan
kepada saya: "Itu adalah Musa dan kaumnya". Lalu tiba-tiba saya melihat
lagi sejumlah besar orang, dan disampaikan kepada saya: "Ini adalah
umatmu, bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang, mereka akan masuk
surga tanpa hisab dan adzab.".'Kemudian Beliau bangkit dan masuk rumah.
Orang-orang pun saling berbicara satu dengan yang lainnya, 'Siapakah
gerangan mereka itu?' Ada diantara mereka yang mengatakan: 'Mungkin saja
mereka itu sahabat Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.' Ada lagi
yang mengatakan: 'Mungkin saja mereka orang-orang yang dilahirkan dalam
lingkungan Islam dan tidak pernah berbuat syirik terhadap Allâh.' dan
menyebutkan yang lainnya. Ketika Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Beliau
bersabda: 'Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah,
tidak meminta di kay dan tidak pernah melakukan tathayyur serta mereka
bertawakkal kepada Rabb mereka.'Lalu Ukasyah bin Mihshon berdiri dan
berkata: "Mohonkanlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan
mereka!' Beliau menjawab: 'Engkau termasuk mereka', Kemudian berdirilah
seorang yang lain dan berkata:'Mohonlah kepada Allâh, mudah-mudahan
saya termasuk golongan mereka!' Beliau menjawab:'Kamu sudah didahului
Ukasyah.'." (HR. Bukhari no. 5752 dan Muslim no. 220)
Dalam riwayat Bukhari disebutkan,
هُمْ الَّذِينَ لَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka itu tidak melakukan thiyaroh (beranggapan sial), tidak meminta
untuk diruqyah, dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan besi
panas), dan hanya kepada Rabb merekalah, mereka bertawakkal.” (HR.
Bukhari no. 5752)
TAKHRIJ HADIST
Hadits ini diriwayatkan oleh (HR. Bukhari no. 5752 dan Muslim no. 220)
BIOGRAFI SINGKAT RAWI DAN SAHABAT YANG TERDAPAT DALAM HADITS
1. Hushain bin Abdurrahman, beliau adalah As-Sulami Abu Hudzail Al-Kûfi,
seorang yang tsiqah. Wafat pada tahun 136 H pada usia 93 tahun.
2. Sa'id bin Jubair, beliau adalah seorang imam yang faqih termasuk
murid senior Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu. Periwayatannya dari Aisyah
radhiyallâhu'anha dan Abu Musa adalah mursal, beliau seorang pemimpin
Bani As'ad yang dibunuh oleh Al-Hajâj bin Yusuf ats-Tsaqafiy tahun 95 H
dalam usia 50 tahun.
3. Asy-Sya'bi, beliau bernama Amir bin Surahil al-Hamadani, dilahirkan
pada masa kekhalifahan Umar radhiyallâhu'anhu dan termasuk tabi'in
terkenal dan ahli fiqih mereka, wafat tahun 103 H.
4. Buraaidah bin al-Hushaib, beliau adalah Ibnul Harits al-Aslamy, shahabat masyhur, wafat tahun 63 menurut pendapat Ibnu Sa'ad.
5. Ukasyah bin Mihshon radhiyallâhu'anhu, beliau berasal dari Bani As'ad
bin Khuzaimah dan termasuk pendahulu dalam Islam. Beliau hijrah dan
menyaksikan perang Badar dan perang-perang lainnya. Beliau mati syahid
dalam perang Riddah dibunuh Thulaihah al-Asady tahun 12 H. Kemudian
Thulaihah masuk Islam setelah itu, ikut berjihad melawan Persi pada hari
Al-Qadisiyah bersama Sa'ad bin Abu Waqash dan mati syahid di Waqi'atûl
Jasri'al-Mashurah.
KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini menjelaskan beberapa hal, diantaranya : Pentingnya beramal
dengan dalil, Penjelasan tidak semua Nabi punya pengikut, dan Penjelasan
mengenai golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.
KETERANGAN HADITS
1. Beramal dengan dalil.
Hushain bin Abdurrahman terkena sengatan kalajengking, lalu meminta
ruqyah dalam pengobatannya. Beliau lakukan hal itu bukan tanpa dalil.
Beliau berdalil dengan hadits dari Buraidah bin al-Husaib
لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْـنٍ أَوْ حُـمَةٍ
"Tidak ada ruqyah kecuali karena ain atau sengatan kalajengking".
2. Jumlah Pengikut Nabi.
Sa'id mendengar hadits dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, berisi
keterangan diperlihatkan kepada Nabi beberapa umat. Beliau melihat
seorang nabi beserta pengikutnya yang jumlahnya tidak lebih dari
sepuluh. Seorang nabi beserta satu atau dua orang pengikutnya, dan
seorang nabi yang tidak memiliki pengikut. Kemudian diperlihatkan kepada
beliau sekelompok manusia yang banyak dan ternyata adalah umat Nabi
Musa 'alaihissalam. Kemudian baru diperlihatkan umat Beliau sebanyak 70
ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab. Hal ini menunjukkan
kebenaran itu tidak dilihat dari banyaknya pengikut.
3. Golongan Yang Masuk Surga Tanpa Hisab Dan Adzab.
Mereka adalah umat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa sallam yang merealisasikan tauhid. Sebagaimana dalam riwayat Ibnu Fudhail:
وَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ هَؤُلاَءِ مِنْ أُمَّتِكَ سَبْعُوْنَ أَلْفًا
"Dan akan masuk surga diantara mereka 70 ribu orang."
Demikian juga dalam hadits Abu Hurairah dalam shahihain:
أَنَّهُمْ تُضِيْءُ وُجُوْهُهُمْ إِضَاءَةَ لَيْلَةِ الْبَدْرِ
"Wajah-wajah mereka bersinar seperti sinar bulan pada malam purnama".
Dalam hal yang sama Imam Ahmad rahimahullâh dan Baihaqi rahimahullâh
meriwayatkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu dengan lafadz:
فَاسْتَزَدْتُ رَبِّي فَزَادَنِي مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعِيْنَ أَلْفًا
"Maka saya minta tambah (kepada Rabbku), kemudian Allâh memberi saya
tambahan setiap seribu orang itu membawa 70 ribu orang lagi".
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits ini: "Sanadnya jayyid (bagus)". Mereka itu adalah orang-orang yang:
a. Tidak minta diruqyah.
Demikianlah yang ada dalam shahihain. Juga pada hadits Ibnu Mas'ud
radhiyallâhu'anhu dalam musnad Imam Ahmad rahimahullâh. Sedangkan dalam
riwayat Imam Muslim (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) artinya yang tidak meruqyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata "Ini merupakan lafadz tambahan dari
prasangka rawi dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak bersabda
(وَلاَ يَرْقُوْنَ ) karena Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah
ditanya tentang ruqyah, lalu beliau menjawab:
“Barangsiapa diantara kalian mampu memberi manfaat kepada saudaranya,
maka berilah padanya manfaat" dan bersabda: "Boleh menggunakan ruqyah
selama tidak terjadi kesyirikan padanya."
Ditambah lagi dengan amalan Jibril 'alaihissalam yang meruqyah Nabi
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
meruqyah shahabat-shahabatnya. Beliaupun menjelaskan perbedaan antara
orang yang meruqyah dengan orang yang meminta diruqyah: "Mustarqi (orang
yang meminta diruqyah) adalah orang yang minta diobati, dan hatinya
sedikit berpaling kepada selain Allâh. Hal ini akan mengurangi nilai
tawakkalnya kepada Allâh. Sedangkan arrâqi (orang yang meruqyah) adalah
orang yang berbuat baik."
Beliau berkata pula: "Dan yang dimaksud sifat golongan yang termasuk 70
ribu itu adalah tidak meruqyah karena kesempurnaan tawakkal mereka
kepada Allâh dan tidak meminta kepada selain mereka untuk meruqyahnya
serta tidak pula minta di kay." Demikian pula hal ini disampaikan Ibnul
Qayyim.
b. Tidak Minta di kay (وَلاَ يَكْتَوُوْنَ)
Mereka tidak minta kepada orang lain untuk mengkay sebagaimana mereka
tidak minta diruqyah. Mereka menerima qadha' dan menikmati musibah yang
menimpa mereka.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata: "Sabda Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (لاَ يَكْتَوُوْنَ) lebih umum dari pada
sekedar minta di kay atau melakukannya dengan kemauan mereka.
Sedangkan hukum kay sendiri dalam Islam tidak dilarang, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم بَعَثَ إِلَى أُبَيِّ ابْنِ كَعْبٍ طَبِيْبًا فَقَطَّعَ لَهُ عرقًا وَكَوَّاهُ بِالنَّارِ
Bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengutus seorang tabib kepada
Ubay bin Ka'ab, lalu dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.
Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas radhiyallâhu'anhu :
Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah dalam sedangkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup.”
Dan dalam riwayat dari Tirmidzi dan yang lainnya dari Anas:
Sesungguhnya Nabi mengkay As'ad bin Zurarah karena sengatan kalajengking
juga dalam shahih Bukhari dari Ibnu Abbas secara marfu':
اَلشِّفَاءُ فِى الثَّلاَثَةِ : شُرْبَةُ عَسَلٍ وَشرْطَةُ مِحْجَمٍ وَكَيَّةٍ بِالنَّارِ وَأَنَا أَنْهَى أُمَّتِي عَنِ الْكَيِّ
“Pengobatan itu dengan tiga cara yaitu dengan berbekam, minum madu dan
kay dengan api dan saya melarang umatku dari kay. (Dalam riwayat yang
lain: "Dan saya tidak menyukai kay").
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Hadits-hadits tentang kay itu mengandung empat hal yaitu:
1. Perbuatan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa sallam. Hal itu menunjukkan bolehnya melakukan kay.
2. Rasulullah tidak menyukainya. Hal itu tidak menunjukkan larangan.
3. Pujian bagi orang yang meninggalkan. Menunjukkan meninggalkan kay itu lebih utama dan lebih baik.
4. Larangan melakukan kay. Hal itu menunjukkan jalan pilihan dan makruhnya kay.
c. Tidak Melakukan Tathayyur
Mereka tidak merasa pesimis, tidak merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau binatang yang lainnya.
4. Mereka Bertawakal Kepada Allâh
Disebutkan dalam hadits ini, perbuatan dan kebiasaan itu bercabang dari
rasa tawakkal dan berlindung serta bersandar hanya kepada Allâh. Hal
tersebut merupakan puncak realisasi tauhid yang membuahkan kedudukan
yang mulia berupa mahabbah (rasa cinta), raja' (pengharapan), khauf
(takut) dan ridha kepada Allâh sebagai Rabb dan Ilah serta ridha dengan
qadha'-Nya.
Ketahuilah makna hadits di atas tidak menunjukkan bahwa mereka tidak
mencari sebab sama sekali. Karena mencari sebab (supaya sakitnya sembuh)
termasuk fitrah dan sesuatu yang tidak terpisah darinya.
Allâh Ta'ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh, maka Allâh akan cukupi segala kebutuhannya." [Ath-Thalaq: 3]
Mereka meninggalkan perkara-perkara (ikhtiyar) makruh walaupun mereka
sangat butuh dengan cara bertawakkal kepada Allâh. Seperti kay dan
ruqyah, mereka meninggalkan hal itu karena termasuk sebab yang makruh.
Apalagi perkara yang haram.
Adapun mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cara yang
tidak dimakruhkan, maka tidak membuat cacat dalam tawakkal.
Dengan demikian kita tidaklah meninggalkan sebab-sebab yang
disyari'atkan, sebagaimana dijelaskan dalam shahihain dari Abu Hurairah
Radhiyallâhu’anhu secara marfu'.
”Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan obat
untuknya, mengetahui obat itu orang yang mengetahuinya dan tidak tahu
obat itu bagi orang yang tidak mengetahuinya.”
Dari Usamah bin Syarik dia berkata: Suatu ketika saya di sisi Nabi
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, datanglah orang Badui dan mereka bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah kami saling mengobati?"
Beliau menjawab: "Ya, wahai hamba-hamba Allâh saling mengobatilah,
sesungguhnya Ta'ala tidaklah menimpakan sesuatu kecuali Dia telah
meletakkan obat baginya, kecuali satu penyakit saja, yaitu pikun.” [HR.
Ahmad]
Berkata Ibnu Qoyyim rahimahullah: Hadits-hadits ini mengandung penetapan
sebab dan akibat, dan sebagai pembatal perkataan orang yang
mengingkarinya.
Perintah untuk saling mengobati tidak bertentangan dengan tawakkal.
Sebagaimana menolak lapar dan haus, panas dan dingin dengan
lawan-lawannya (misalnya lapar dengan makan). Itu semua tidak menentang
tawakkal. Bahkan tidaklah sempurna hakikat tauhid kecuali dengan mencari
sebab yang telah Allâh Ta'ala jadikan sebab dengan qadar dan syar'i.
Orang yang menolak sebab itu malah membuat cacat tawakkalnya.
Hakikat tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allâh Ta’ala kepada
perkara yang bermanfaat bagi hamba untuk diri dan dunianya. Maka
bersandarnya hati itu harus diimbangi dengan mencari sebab. Kalau tidak
berarti ia menolak hikmah dan syari'at. Maka seseorang hamba tidak boleh
menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan tidaklah tawakkal sebagai
kelemahan.
Para ulama berselisih dalam masalah berobat, apakah termasuk mubah,
lebih baik ditinggalkan atau mustahab atau wajib dilakukan? Yang masyhur
menurut Imam Ahmad adalah pendapat pertama, yaitu mubah dengan dasar
hadits ini dan yang semakna dengannya.
Sedangkan pendapat yang menyatakan lebih utama dilakukan adalah madzhab
Syafi'i dan jumhur salaf dan khalaf serta al-Wazir Abul Midhfar,
Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Sedangkan
Madzhab Abu Hanifah menguatkan sampai mendekati wajib untuk berobat dan
Madzhab Imam Malik menyatakan sama saja antara berobat dan
meninggalkannya, sebagaimana disampaikan oleh Imam Malik: "Boleh berobat
dan boleh juga meninggalkannya."
Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Tidaklah
wajib menurut jumhur para imam, sedangkan yang mewajibkan hanyalah
sebagian kecil dari murid Imam Syafi'i dan Imam Ahmad.”
5. Kisah 'Ukasyah bin Mihshan 'Ukasyah
'Ukasyah bin Mihshan 'Ukasyah meminta kepada Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam supaya mendo'akannya masuk dalam golongan orang yang
masuk surga tanpa hisab dan adzab.
Lalu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab: "Engkau termasuk
dari mereka." Sebagaimana dalam riwayat Bukhari beliau berdo'a: "Ya
Allâh jadikanlah dia termasuk mereka."
Dari sini diambil sebagai dalil dibolehkan minta do'a kepada orang yang
lebih utama. Kemudian temannya yang tidak disebutkan namanya meminta
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mendo'akannya pula, tapi
Rasullullah SalAllâhu ‘Alaihi Wassalam menjawab: "Engkau telah didahului
'Ukasyah."
Berkata Al-Qurthubi: "Bagi orang yang kedua keadaanya tidak seperti
'Ukasyah, oleh karena itu permintaannya tidak dikabulkan, jika
dikabulkan tentu akan membuka pintu orang lain yang hadir untuk minta
dido'akan dan perkara itu akan terus berlanjut. Dengan itu beliau
menutup pintu tersebut dengan jawabannya yang singkat. Berkata Syaikh
Abdirrahman bin Hasan Alu Syaikh: "Didalamnya terdapat penggunaan
ungkapan sindiran oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan
keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.”
Faedah dari hadits di atas:
1- Hushain bin ‘Abdurrahman khawatir jika orang-orang menyangka ia
melakukan shalat malam ketika melihat bintang. Ia tidak mau dinilai
melakukan ibadah saat itu padahal ia tidak melakukannya. Inilah yang
menunjukkan keutamaan salafush sholeh dan menunjukkan bagaimana
keikhlasan pada diri mereka. Mereka berusaha menjauhkan diri dari riya’.
Mereka tidak mau mengatakan bahwa ia telah melakukan seperti ini dan
seperti itu supaya orang-orang sangka ia adalah wali Allah. Ada yang
memakai biji tasbih di leher atau sengaja membawa tasbih di tangannya
ketika berjalan, supaya orang-orang sangka ia sedang berdzikir. Dan
memang memamerkan biji tasbih di leher ketika jalan lebih cenderung pada
riya’ (ingin memamerkan amalan).
2- Hushain ketika tersengat kalajengking mengambil pilihan untuk meminta
diruqyah karena ia punya pegangan dalil dari Asy Sya’bi (‘Amir bin
Syarohil Al Hamdani Asy Sya’bi) dari Buraidah bin Al Hushaib. Dalilnya
mengatakan bahwa tidak ada ruqyah yang lebih manjur kecuali pada
penyakit ‘ain (mata dengki) atau pada humah (sengatan kalajengking). Ini
menunjukkan bahwa boleh meminta diruqyah dalam hal seperti ini, namun
ada jalan yang lebih baik sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair.
3- Ketika Sa’id bin Jubair meminta dalil pada Hushain kenapa ia meminta
diruqyah, ini menunjukkan bahwa para ulama salaf dahulu sudah biasa
saling menanyakan dalil atas pendapat yang mereka anut. Saling bertanya
ilmiah ini adalah kebiasaan yang baik yang patut dicontoh, “Apa dalil
Anda dalam masalah ini?”
4- Al Khottobi mengatakan bahwa maksud hadits “Tidak ada ruqyah kecuali
disebabkan oleh penyakit ‘ain dan racun (sengatan binatang berbisa)”
yaitu tidak ada ruqyah yang lebih mujarab kecuali pada ‘ain dan humah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah meruqyah dan diruqyah.
(Lihat Ma’alimus Sunan, 4: 210 dan Masyariqul Anwar, 1: 366).
Yang dimaksud ‘ain adalah pandangan tidak suka dari orang yang hasad.
Sedangkan humah adalah sengatan kalajengking dan semacamnya.
5- Sa’id bin Jubair mengatakan, “Sungguh sangat baik orang melaksanakan
dalil yang telah ia dengar”. Ini menunjukkan bahwa jika seseorang telah
mengamalkan ilmu yang telah sampai padanya, maka itu sudah disebut baik
karena ia telah melakukan kewajibannya. Beda halnya dengan orang yang
beramal dilandasi kebodohan atau tidak mengamalkan ilmunya, maka ia
jelas berdosa.
6- Perkataan Sa’id bin Jubair juga menunjukkan baiknya adab salaf dalam
menyampaikan ilmu dan bagaimana menyatakan pendapatnya dengan lemah
lembut. Lalu Sa’id menunjukkan pada Hushain tentang manakah cara yang
lebih baik ditempuh, padahal apa yang dilakukan oleh Hushain masih
boleh.
7- Siapa yang telah mengamalkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya sudah
disebut baik, bukan hanya sekedar berdiam pada perkataan ulama madzhab.
8- Hadits yang disampaikan pertama yaitu tidak ada ruqyah yang lebih
mujarab kecuali pada ‘ain dan humah dan hadits kedua dari Ibnu ‘Abbas
tentang orang-orang yang meninggalkan meminta ruqyah tidaklah
kontradiksi atau bertentangan.
9- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditampakkan umat yang disebutkan dalam hadits adalah saat peristiwa Isra’ Mi’raj.
10- Ada Nabi yang pengikutnya banyak, ada nabi yang pengikutnya sedikit.
Ini menunjukkan bahwa tidak selamanya jumlah pengikut yang banyak
menunjukkan atas kebenaran. Yang jadi patokan kebenaran bukanlah jumlah,
namun diilihat dari pedoman mengikuti Al Qur’an dan hadits, siapa pun
dia dan di mana pun dia berada.
11- Sekelompok orang yang disebutkan dalam hadits, yang dimaksud adalah jumlah orang yang banyak yang dilihat dari jauh.
12- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyaksikan umat Nabi Musa yang
begitu banyak, itu menunjukkan keutamaan Musa dan pengikutnya.
13- Lalu dilihat lagi sekelompok umat yang besar yang itu adalah umatnya
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.Di tengah-tengah umat
Muhammad terdapat 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa
siksa. Mereka itulah orang-orang yang mentahqiq tauhid atau
merealisasikan tauhid dengan benar.
14- Umat Muhammad bisa terbedakan dari umat lainnya karena dilihat dari
bekas wudhu mereka. Umat Muhammad nampak bekas wudhu mereka pada wajah,
tangan dan kaki mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits riwayat Muslim,
إِنَّ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ
“Sesungguhnya umatku datang pada hari kiamat dalam keadaan wajah, tangan
dan kakinya bercahaya karena bekas wudhu” (HR. Muslim no. 246).
15- Ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa setiap 1000 dari 70.000 tadi ada 70.000
lagi.
Dari Abu Umamah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
وَعَدَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِى
سَبْعِينَ أَلْفاً بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ مَعَ كُلِّ أَلْفٍ
سَبْعُونَ أَلْفاً
“Rabbku ‘azza wa jalla telah menjajikan padaku bahwa 70.000 orang dari
umatku akan dimasukkan surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Setiap 1000
dari jumlah tersebut terdapat 70.000 orang lagi.” (HR. Ahmad 5: 268.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits inishahih dan sanad
hadits ini hasan). Berarti berdasarkan hadits ini ada 4.900.000 orang
yang dimaksud.
16- Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan ada 70.000
orang dari umatnya yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa, lalu
beliau masuk rumah. Para sahabat pun berbincang-bincang siapakah
orang-orang yang dimaksud tersebut. Ini menunjukkan bahwa boleh
berdiskusi ilmiah dalam masalah ilmu untuk mengambil faedah dan
mendapatkan kebenaran.
17- Apa yang mereka diskusikan menunjukkan bagaimana dalamnya ilmu para
sahabat. Mereka mengetahui bahwa untuk menggapai keutamaan tersebut
harus dengan beramal. Itu pun menunjukkan semangat mereka dalam
kebaikan.
18- Sifat pertama dari 70.000 orang tersebut adalah tidak meminta
diruqyah. Dalam riwayat Muslim disebutkan “laa yarqun”, artinya tidak
meruqyah. Tambahan tidak meruqyah di sini keliru karena orang yang
meruqyah adalah orang yang berbuat baik. Padahal Nabishallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika ditanya tentang ruqyah, beliau bersabda,
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Siapa yang mampu di antara kalian untuk memberi kemanfaatan pada saudaranya, maka lakukanlah“(HR. Muslim no. 2199).
‘Auf bin Malik berkata,
كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ
تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ « اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ
بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا »
“Kami dahulu pernah meruqyah di masa jahiliyah, kami berkata, “Wahai
Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang ruqyah yang kami lakukan?”
Beliau bersabda, “Tunjukkan ruqyah kalian. Yang namanya ruqyah tidaklah
mengapa selama tidak ada kesyirikan di dalamnya.” (HR. Abu Daud no.
3886)
.
Alasan lainnya, meruqyah orang lain tidaklah masalah karena Jibril
pernah meruqyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meruqyah para sahabatnya.
19- Perbedaannya jelas antara orang yang meruqyah dan orang yang meminta
diruqyah. Orang yang meminta diruqyah cenderung hatinya bergantung pada
selain Allah. Adapun orang yang meruqyah orang lain adalah orang yang
berbuat baik.
20- Sifat 70.000 orang tersebut yang lainnya adalah tidak meminta
diruqyah. Namun pengobatan kay yaitu penyembuhan luka dengan besi panas
asalnya boleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus dokter
pada Ubay bin Ka’ab untuk mengobati lukanya dengan cara kay.
Hadits-hadits yang membicarakan tentang pengobatan kay ada empat macam:
(1) Nabi shallallahu 'Alaihi Wasallam melakukannya,
(2) beliau tidak suka dengan pengobatan kay,
(3) beliau memuji orang yang tidak dikay,
(4) beliau melarang pengobatan kay.
Yang beliau lakukan menunjukkan bahwa kay itu boleh. Beliau tidak pada
kay bukan berarti pengobatan kay itu terlarang. Hadits yang menunjukkan
beliau memuji orang yang meninggalkan kay berarti meninggalkan kay lebih
utama. Adapun hadits yang menyatakan beliau melarangnya menunjukkan
bahwa kay itu makruh. Jadi dalil-dalil yang ada tidak saling
bertentangan. Demikian kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad.
21- Sifat 70.000 orang tersebut selanjutnya adalah mereka tidak
bertathoyyur. Tathoyyur adalah beranggapan sial dengan burung atau
lainnya. Kalau di tengah-tengah kita misalnya menganggap sial dengan
bulan Suro dan Shofar.
22- Ibnul Qayyim mengatakan bahwa sifat utama dari 70.000 orang tersebut
terkumpul pada sifat tawakkal. Karena tawakkal mereka yang sempurna,
mereka tidak meminta diruqyah, tidak meminta dikay, dan tidak
beranggapan sial. Lihat Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al
Jauziyah.
23- Hadits yang dibicarakan saat ini tidaklah menunjukkan untuk
meninggalkan usaha atau sebab. Dan tawakkal itu adalah cara yang utama
untuk meraih sebab. Allah Ta’alaberfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal pada Allah, Dialah yang mencukupinya.“(QS. Ath Thalaq: 3).
Jadi mereka punya enggan melakukan yang dimakruhkan yaitu meminta
diruqyah dan meminta dikay, mereka lebih memilih tawakkal daripada
mengambil sebab yang makruh tersebut.
24- Adapun mengambil sebab dan berobat dengan cara yang tidak makruh,
maka seperti itu boleh dan tidak mencacati tawakkal. Dari Abu Hurairah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Allah tidaklah menurunkan penyakit melainkan menurunkan pula penawar (obatnya)” (HR. Bukhari no. 5678).
25- ‘Ukkasyah bin Mihshan adalah di antara 70.000 orang tersebut. Ia
adalah di antara penunggang kuda terbaik di kalangan Arab dahulu. Beliau
mati syahid tahun 12 H ketika berperang bersama Kholid bin Walid
memerangi orang-orang yang murtad.
26- Hadits ini menunjukkan boleh meminta do’a pada orang yang punya
keutamaan yang lebih seperti yang dilakukan oleh Ukkasyah pada
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
27- Lantas orang berikutnya setelah ‘Ukkasyah ingin meminta lagi pada
Nabi agar berdo’a pada Allah supaya ia juga termasuk dalam 70.000
golongan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau
sudah kedahuluan oleh ‘Ukkasyah”. Ini adalah cara Nabi supaya yang
lainnya tidak meminta seperti itu lagi. Ini menunjukkan kelemah lembutan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akhlak beliau yang baik.
28- Orang yang meminta kedua kalinya bukanlah munafik dengan dua alasan:
(a) para sahabat Nabi asalnya bukanlah orang munafik, (2) orang yang
meminta seperti itu pada Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berarti
yakin akan benarnya Rasul dan itu tidak muncul dari orang munafik.
29- Boleh menolak sesuatu dengan cara yang terlihat seperti berbohong, namun maksudnya tidak demikian.
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq