Adalah kenyataan pahit yang tidak bisa dipungkiri jika umat islam pada
zaman ini telah berpecah belah dan terkotak-kotak, setiap kelompok
merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.
Di antara keistimewaan ajaran Islam adalah seruan kepada penganutnya
untuk mempertahankan persatuan di antara umat Islam (Ukhuwah Islamiah )
dan cercaan terhadap perpecahan yang terjadi di tengah umat ini.
Rasulullah saw. bersabda:
يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ
إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ
بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ
السَّيْلِ
وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ
وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ
الْمَوْتِ
"Hampir-hampir berbagai bangsa memangsa kalian seperti orang-orang lapar
memangsa tempat makanannya." Seseorang bertanya: ''Apakah hal itu
disebabkan karena jumlah kami sedikit pada saat itu, wahai Rasulullah?"
Rasulullah saw. menjawab: "Tidak, jumlah kalian pada saat itu banyak,
tetapi kalian seperti buih di lautan. Sesungguhnya ALLAH akan mencabut
perasaan takut kepada kalian dari hati musuh-musuh kalian, lalu ALLAH
akan menanamkan penyakit wahn dalam hati kalian." Seseorang bertanya:
"Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan penyakit wahn
itu?"Rasulullah pun menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR. Abu
Daud, Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah)
Beliau juga bersabda:
فَوَاللَّهِ لَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخَشَى عَلَيْكُمْ
أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا
أَهْلَكَتْهُمْ
"Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas diri kalian,
melainkan aku khawatirkan akan dibuka lebar (pintu) dunia untuk kalian
sebagaimana (pintu) dunia itu telah dibuka untuk orang-orang sebelum
kalian, sehingga kalian pun saling bersaing untuk mendapatkannya
sebagaimana mereka telah bersaing juga, (yang karenanya) dunia itu akan
membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka." (HR.
Bukhari & Muslim)
Persatuan kaum muslimin di atas al haq dan larangan berpecah-belah,
merupakan prinsip yang agung dalam agama Islam. Namun layak disesalkan,
kenyataan yang nampak di kalangan kaum muslimin berbeda dengan ajaran
agama yang suci ini. Maka di sini, kami sampaikan sebagian keterangan
agama mengenai masalah besar ini. Semoga bermanfaat untuk kita semua.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا
نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara”. (QS Ali Imran:103)
Rasululloh juga memerintahkan umat Islam supaya bersatu padu dan jangan bercerai berai, sebagai mana sabda beliau:
اِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثاً وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثاً يَرْضَى
لَكُمْ اَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَئاُ, وَاَنْ تَعْصَمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جَمشيْعاً وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ
وَلاَّهُ اللهُ اَمْرَكُمْ وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثاً: قِيْلَ وَقَالَ
وَكَثْرَةُ السُّؤَالِ وَاِضاَعَةُ المَالِ (روه مسلم)
Artinya: “sesungguhnya Allah meridloi kamu dalam tiga perkara, meridloi
kamu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun;
kamu berpegang teguh pada tali (agama) Allah dan tidak bercerai berai;
dan kamu mengikhlaskan kecintaanmu terhadap orang yang diberi kekuasaan
oleh Allah atau urusanmu. Dia membencimu dalam tiga perkara, yaitu
cerita dari mulut ke mulut; terlalu banyak meminta; dan menyia-nyiakan
harta”. (HR. Muslim)
Ibnu Jarir Ath Thabari berkata tentang tafsir ayat ini: Allah Ta’ala
menghendaki dengan ayat ini, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada agama
Allah yang telah Dia perintahkan, dan (berpeganglah kamu semuanya)
kepada janjiNya yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas kamu
di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat
yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. [Jami’ul Bayan
4/30.]
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata,“Dia (Allah) memerintahkan
mereka (umat Islam) untuk berjama’ah dan melarang perpecahan. Dan telah
datang banyak hadits, yang (berisi) larangan perpecahan dan perintah
persatuan. Mereka dijamin terjaga dari kesalahan manakala mereka
bersepakat, sebagaimana tersebut banyak hadits tentang hal itu juga.
Dikhawatirkan terjadi perpecahan dan perselisihan atas mereka. Namun hal
itu telah terjadi pada umat ini, sehingga mereka berpecah menjadi 73
firqah. Diantaranya terdapat satu firqah najiyah (yang selamat) menuju
surga dan selamat dari siksa neraka. Mereka ialah orang-orang yang
berada di atas apa-apa yang ada pada diri Nabi n dan para sahabat
beliau.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim, surat Ali Imran:103.]
Al Qurthubi berkata tentang tafsir ayat ini,“Sesungguhnya Allah Ta’ala
memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan. Karena
sesungguhnya perpecahan merupakan kebinasaan dan al jama’ah (persatuan)
merupakan keselamatan.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159.]
Al Qurthubi juga mengatakan,“Maka Allah Ta’ala mewajibkan kita berpegang
kepada kitabNya dan Sunnah NabiNya, serta -ketika berselisih- kembali
kepada keduanya. Dan memerintahkan kita bersatu di atas landasan Al
Kitab dan As Sunnah, baik dalam keyakinan dan perbuatan. Hal itu
merupakan sebab persatuan kalimat dan tersusunnya perpecahan (menjadi
persatuan), yang dengannya mashlahat-mashlahat dunia dan agama menjadi
sempurna, dan selamat dari perselisihan. Dan Allah memerintahkan
persatuan dan melarang dari perpecahan yang telah terjadi pada kedua
ahli kitab”. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/164)
Beliau juga mengatakan,“Boleh juga maknanya, janganlah kamu
berpecah-belah karena mengikuti hawa nafsu dan tujuan-tujuan yang
bermacam-macam. Jadilah kamu saudara-saudara di dalam agama Allah,
sehingga hal itu menghalangi dari (sikap) saling memutuskan dan
membelakangi.” (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159).
Asy Syaukani berkata tentang tafsir ayat ini,“Allah memerintahkan mereka
bersatu di atas landasan agama Islam, atau kepada Al Qur’an. Dan
melarang mereka dari perpecahan yang muncul akibat perselisihan di dalam
agama.” (Fahul Qadir 1/367).
Dari penjelasan para ulama di atas, dapat diambil beberapa perkara penting berkaitan dengan masalah persatuan.
Pertama. Perkataan Imam Ath Thabari: “Berpeganglah kamu kepada janjiNya,
yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas kamu di dalam
kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq
dan berserah diri terhadap perintah Allah”, menunjukkan kaidah dan
landasan penting tentang persatuan yang benar. Yaitu: persatuan di atas
kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. Kalimat yang
haq, sering diistilahkan untuk kalimat la ilaha illa Allah, termasuk
Muhammad Rasulullah. Dengan demikian, asas persatuan ialah tauhid dan
Sunnah. Tidak ada persatuan tanpa tauhid dan Sunnah Rasulullah.
Persatuan yang dibangun tidak berdasarkan tauhid, merupakan model
persatuan orang-orang musyrik. Dan persatuan yang tidak di atas Sunnah,
merupakan persatuan ahli bid’ah. Bukan Ahlus Sunnah!
Kedua. Penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah yang menghubungkan ayat di
atas -yang memerintahkan persatuan- dengan hadits firqah
najiyah-menunjukkan- bahwa persatuan yang haq, ialah dengan mengikuti
apa-apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat beliau. Membangun
persatuan, yaitu dengan mengikuti Al Kitab dan As Sunnah berdasarkan
pemahaman para sahabat, dan Salafush Sholih, dan menolak Bid'ah yang
menyesatkan.
Ketiga. Perkataan Al Qurhubi rahimahullah menjadi jelas bagi kita,
bahwa langkah menuju persatuan yaitu dengan berpegang kepada kitab Allah
dan Sunnah NabiNya, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Dan jika
terjadi perselisihan, maka dikembalikan kepada keduanya.
Keempat. Demikian juga penjelasan Asy Syaukani. Bahwa persatuan, ialah
dengan berpegang kepada agama Allah; dengan berpegang kepada Al Qur’an.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَأَنَّ هذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (QS Al
An’am:153).
Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata, “Ayat ini memuat perintah
agar konsisten terhadap agama Islam, dalam masalah aqidah, ibadah,
hukum, akhlaq, dan adab. Ayat ini juga memuat larangan mengikuti selain
Islam, yaitu seluruh agama-agama dan sekte-sekte, yang Allah istilahkan
dengan ‘jalan-jalan’ (Aisarut Tafasir).
Menjelaskan firman Allah: dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain); Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,”Yaitu
jalan-jalan yang menyelisihi jalan ini.” (Firman Allah: karena
jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya), yaitu akan
menyesatkan dan mencerai-beraikan kamu darinya. Maka jika kamu telah
sesat dari jalan yang lurus, maka di sana tidak ada lagi, kecuali
jalan-jalan yang akan menghantarkan menuju neraka jahim.” (Taisir
Karimir Rahman).
Kemudian dari ayat di atas dapat diambil petunjuk, bahwa diantara
langkah menuju dan menjaga persatuan ialah dengan menetapi agama Islam
sampai mati, dan berlepas diri dari selainnya, yang berupa: segala
bentuk perpecahan dari Madzhab ataupun Aliran.
Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa perpecahan adalah sifat orang yang tidak mendapat rahmatNya. Firman Allah ta’ala :
وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِيْنَ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“ Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang Allah rahmati…”. (Hud : 118-119).
Abu Muhammad bin Hazm berkata :” Allah mengecualikan orang yang
dirahmati dari himpunan orang-orang yang berselisih “. (Al Ihkam 5/66).
Imam Malik berkata :” orang-orang yang dirahmati tidak akan berpecah belah “. (idem).
Syeikhul islam Ibnu Taimiyah berkata :” Allah mengabarkan bahwa orang
yang diberikan rahmat tidak akan berpecah belah, mereka adalah pengikut
para nabi baik perkataan maupun perbuatan, mereka adalah ahli Al Qur’an
dan hadits dari umat ini, barang siapa yang menyalahi mereka akan hilang
rahmat tersebut darinya sesuai dengan kadar penyimpangannya “. (Majmu’
fatawa 4/25). Firman Allah Ta’ala :
وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْ بَعْدِ
مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“ Janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih
setelah datang kepada mereka keterangan. Dan bagi mereka adzab yang
pedih “. (Ali Imran : 105).
Al Muzany rahimahullah berkata :” Allah mencela perpecahan, dan
memerintahkan untuk kembali kepada al qur’an dan sunnah, kalaulah
perpecahan itu termasuk dari agamaNya tentu Dia tak akan mencelanya,
kalaulah perselisihan itu termasuk dari hukumNya, tentu Allah tidak
menyuruh untuk kembali kepada Al Qur’an dan sunnah “. (Jami’ bayanil
‘ilmi wa fadllihi 2/910).
Tujuan persatuan dan tolok ukurnya
Setelah kita menjawab pertanyaan pertama, maka mudah untuk menjawab
pertanyaan selanjutnya, yaitu untuk tujuan apa kita bersatu dan apa
tolak ukurnya ?
Jawabannya yaitu untuk meninggikan agama Allah dengan cara berpegang
kepadanya, bukan meninggikan madzhab anu, partai anu, kiyai atau ustadz
fulan karena hal itu hanya akan mencerai beraikan kaum muslimin dan
menjadi terkotak-kotak, dan inilah yang dimaksud ayat :
وَلاَ تَكُوْنُوْا مِنَ المُشْرِكِيْنَ مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا
دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
“ Dan janganlah kalian seperti orang-orang musyrikin. (yaitu)
orang-orang yang memecah belah agama mereka sedangkan mereka
berkelompok-kelompok setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang ada
pada mereka “. (Ar-Rum : 31-32).
Di dalam At Tafsiirul muyassar (hal 407) diterangkan makna ayat tersebut
:” (maksudnya) janganlah kalian seperti kaum musyrikin, ahli bid’ah dan
pengekor hawa nafsu yang merubah-rubah agama, mereka mengambil sebagian
agama dan meninggalkan sebagian lainnya karena mengikuti hawa nafsu,
sehingga merekapun berkelompok-kelompok (hizbiy) karena mengikuti dan
membela tokoh dan pendapat kelompok mereka, sebagian mereka membantu
sebagian lainnya didalam kebatilan…”.
Dari sinipun kita dapat mengetahui bahwa tolak ukur persatuan adalah al
qur’an, sunnah dan pemahaman sahabat bukan pendapat mayoritas,
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ
“ Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RosulNya…(An Nisa : 59).
Kalaulah pendapat terbanyak itu merupakan tolak ukur dalam perselisihan
tentu Allah tidak akan menyuruh untuk kembali kepada al qur’an dan
sunnah.
Adapun hadits yang sering didengungkan oleh sebagian orang
عَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ
“Hendaklah kamu berpegang kepada assawadul a’dzom “. Ia adalah hadits
yang lemah menurut para ahli hadits, semua jalannya tidak lepas dari
kelemahan, kalaupun dikatakan shohih maka yang dimaksud assawadul a’dzom
dalam hadits tersebut adalah al haq dan pelakunya sebagaimana yang
dikatakan oleh imam Al Barbahari dalam kitab syarhussunnah yaitu para
shohabat,tabi’in dan tabi’uttabi’in karena kebenaran pada zaman itu
mayoritas jumlahnya.
Banyaknya pengikut bukan bukti kebenaran
Seringkali kita tertipu dengan jumlah banyak, sehingga banyak manusia
menganggap bahwa banyaknya pengikut merupakan bukti kebenaran, padahal
opini tersebut telah dibantah oleh Al Qur’an dalam ayat-ayat yang
banyak, diantaranya firman Allah Ta’ala :
وَ ِإْن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“ Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi Ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah “. (Al An’am : 116).
Ayat ini begitu jelas menyatakan bahwa banyaknya jumlah bukan standar
dalam menilai sebuah kebenaran. Lebih jelas lagi disebutkan dalam sebuah
hadits yang sahih Rasulullah saw Bersabda :” diperlihatkan kepadaku
umat-umat pada hari kiamat, maka aku melihat ada nabi yang diikuti suatu
kaum, ada nabi yang diikuti seorang atau dua orang dan ada nabi yang
tidak mempunyai pengikut sama sekali…(HR Bukhary dan Muslim dari Ibnu
‘Abbas).
Dalam hadits tersebut diceritakan adanya nabi yang pengikutnya seorang
atau dua orang saja bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama
sekali, tentu tidak boleh seorang muslimpun mengatakan bahwa nabi
tersebut salah karena pengikutnya sedikit !!
Oleh karena itu Syeikh Muhammad At Tamimiy menyatakan bahwa menilai
kebenaran dengan jumlah terbanyak adalah salah satu perkara jahiliyyah
(masail jahiliyyah no 5).
Persatuan ala yahudi.
Dalam surat Al Hasyr : 14 disebutkan :
تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى
“ Kamu kira mereka (yahudi) itu bersatu padu padahal hati mereka bercerai berai “.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang yahudi badannya bersatu padu
tapi hatinya bercerai berai. Maka persatuan yang hanya mengutamakan
kesatuan badan dan tidak peduli terhadap kesatuan aqidah adalah
menyerupai persatuan yahudi, karena aqidah tempatnya adalah hati.
Maka persatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak menerangkan
aqidah yang benar dari aqidah yang batil. Bahkan persatuan tersebut sama
saja menghancurkan sebuah pondasi islam yang sangat penting yaitu amar
ma’ruf nahi mungkar.
Menjelaskan kesalahan adalah wajib.
Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa apabila kita menjelaskan
kesalahan suatu kelompok atau seseorang sama saja memecah belah umat.
Padahal kemashlahatan menyelamatkan umat dari bahaya pemikiran sesat
lebih besar, karena jika kebatilan itu dibiarkan maka akan semakin
samarlah kebenaran kepada manusia.
Ibnu Taimiyah berkata :” para nabi terlindung dari diam untuk
mengingkari kesalahan, berbeda dengan ulama. Oleh karena itu selayaknya
bahkan wajib hukumnya menerangkan kebenaran yang wajib diikuti, walaupun
konskwensinya harus menerangkan kesalahan ulama “. (Majmu’ fatawa
19/123).
Maka jika anda mendengar seseorang menjelaskan tentang kesesatan suatu
jama’ah atau individu, tentunya dengan bukti-bukti akurat dan ilmiyyah,
janganlah menggapnya sebagai pemecah belah umat, karena telah kita
ketahui tadi bahwa justru kesesatanlah yang memecah belah umat dari
jalan yang lurus.
Perselisihan yang terjadi akibat bantahan lebih ringan dari pada tersebarnya bid’ah dan kesalahan.
Imam Asy Syathiby ketika membantah sebagian ahli bid’ah berkata :”
orang-orang seperti mereka haruslah disebut dan diingkari, karena
kerusakan (bid’ah) mereka terhadap kaum muslimin lebih besar dari
kerusakan menyebut (nama) mereka…”. (Al I’tisham 2/229).
Kaidah fiqih pun menguatkan hal itu yaitu :” apabila bertemu dua
kerusakan maka diambil yang paling ringan dari keduanya “. Maksudnya
perselisihan yang terjadi akibat bantahan lebih ringan kerusakannya dari
tersebarnya kesesatan orang tersebut.
tapi kita harus tetap berpegang kepada adab islami dalam menjelaskan
kesalahan orang seperti menjauhi kata-kata kasar dan sikap arogan.
Peringatan …!!!
Ada sebagian orang yang mempunyai pemahaman yang harus diluruskan, yaitu
ketika kita menyebutkan kesesatan seseorang atau sebuah kelompok
berarti kita telah memastikannya sebagai ahli neraka. Ini adalah dugaan
yang sangat jauh dari ilmu, karena diantara keyakinan ahlussunnah bahwa
tidak boleh kita memastikan seorangpun dari ahli kiblat sebagai penduduk
api neraka kecuali dengan dalil dari al qur’an dan hadits.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam majmu’ fatawa (4/484) :”
Nash-nash ancaman bersifat umum, maka tidak boleh kita memastikan
seseorang sebagai penduduk api neraka, karena boleh jadi ada penghalang
yang kuat seperti taubat, atau kebaikan yang dapat menghapus kesalahan,
atau mushibah yang menimpanya, atau syafa’at yang diterima untuknya atau
yang lainnya “.
Harus engkau bedakan antara memvonis orang sesat dengan vonis sebagai
ahli neraka, karena yang pertama adalah vonis di dunia yang bersandarkan
pada sesuatu yang tampak, sedangkan yang kedua adalah vonis di akhirat
yang merupakan hak tunggal bagi Allah saja.
Permisalan yang indah
Dalam sebuah hadits Nabi Salallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَثَلُ المُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَ تَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ
الجَسَدِ إِذَا اشْتَكىَ مِنْهُ عُضْوٌ تًَدَاعَى سَائِرُ الجَسَدِ.
“ Permisalan kaum mukminin dalam cinta dan kasih sayang mereka bagaikan
satu jasad, apabila salah satu anggota merasa sakit, maka seluruh badan
merasakannya “. (HR Muslim).
Bid’ah dan kesesatan adalah penyakit yang menimpa umat ini, kita harus
merasa sakit bila ada orang melakukannya, tentu dengan mencari obatnya
yang mujarab yaitu sunnah.
Nabi menyebutkan “ dalam cinta dan kasih sayang” seseorang dikatakan
sayang kepada saudaranya adalah bila ia menginginkan untuknya kebaikan
bagi dunia dan akhiratnya. Maka bila kita melihat seseorang hendak jatuh
kedalam jurang tentulah kita tidak boleh membiarkanya, tapi kita
selamatkan dia. sebaliknya bila anda diam dan membiarkannya jatuh
kedalam jurang berarti anda telah berbuat zalim dan kehilangan kasih
sayang.
Kemaksiatan baik berupa syirik, bid’ah, khurofat dan lain-lain dapat
menjerumuskan pelakunya ke dalam api neraka, bila kita biarkan pelakunya
tanpa diberi nasehat berarti kita telah kehilangan kasih sayang kepada
saudara kita sesama muslim.
Bagai bangunan yang kokoh
Dalam hadits lain, nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan
persatuan umat islam bak sebuah bangunan kokoh yang saling menguatkan
satu sama lainnya (HR Bukhary & Muslim).
Sebuah bangunan tentu harus mempunyai pondasi yang kuat, dan pondasi itu
adalah aqidah yang benar. Tiang bangunan tersebut adalah amar ma’ruf
nahi mungkar, karena bila kemungkaran dibiarkan merajalela akan robohlah
bangunan itu. Dan atapnya adalah cinta karena Allah dan benci karena
Allah.
Akan tetapi ada seorang da’i yang memahami hadits itu dengan pemahaman
yang aneh, katanya bangunan itu terdiri dari batu, semen, pasir maka
bila direkatkan akan membentuk sebuah bangunan yang kokoh, batu itu ia
ibaratkan kelompok keras, semen kelompok lembut dan pasir bagaikan
kelompok tengah-tengah, kalau semua kelompok itu semuanya direkatkan
tentu akan menjadi sebuah bangunan yang kokoh.
Kita katakan, sungguh benar apa yang bapak katakan, akan tetapi
merekatkan kelompok-kelompok yang ada dalam tubuh umat islam dengan apa
?? apakah dengan cara mendiamkan penyimpangan-penyimpangan yang ada
ataukah dengan cara saling menasehati dan rujuk kepada kebenaran ? bila
masing-masing kelompok mau kembali kepada Al qur’an dan sunnah sesuai
dengan pemahaman salaful ummah tentu bangunan itu akan sangat kuat
merekat. Adapun kita biarkan kesyirikan, khurofat dan tahayyul
merajalela, perdukunan, bid’ah dan maksiat berkuasa maka tidak akan
dapat mengokohkan bangunan itu selama-lamanya bahkan akan membuatnya
hancur berkeping-keping.
Dosa penyebab perpecahan.
Rasululah Sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
مَا تَوَادَّ اثنَانِ فِي اللهِ ثُمَّ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا إلاَّ بِذَنْبٍ يُحْدِثُهُ أَحَدُهُمَا.
“ Tidaklah dua orang yang tadinya saling mencintai karena Allah kemudian
berpisah kecuali disebabkan oleh dosa yang dilakukan oleh salah satunya
“. (HR Bukhary dalam kitab adabul mufrad dari hadits Anas, sahih).
Imam Qatadah berkata :” Ahli rahmat Allah adalah ahli persatuan walaupun
rumah dan badannya berjauhan, dan ahli maksiat adalah ahli perpecahan
walaupun rumah dan badan mereka berkumpul “. (Jami’ al bayan 12/85 karya
Ath Thabary).
Jadi untuk mewujudkan persatuan hendaknya kita jauhi sebab utama
perpecahan yaitu dosa, yang paling besar adalah syirik, lalu bid’ah
kemudian maksiat.
Langkah Menuju Persatuan
Setelah kita sampaikan perintah Allah tentang masalah persatuan ini,
maka bagaimana keadaan umat yang sudah terpecah-belah ini dapat
dipersatukan lagi? Tidakkah persatuan umat itu merupakan impian semata
yang mustahil diwujudkan?
Sesungguhnya, agama kita mengajarkan segala kebaikan yang dibutuhkan
umat manusia. Sedangkan persatuan umat Islam merupakan salah satu
prinsip terbesar agama ini. Maka sudah pasti terdapat cara mengobati
penyakit perpecahan umat yang sudah berabad-abad lamanya menggerogoti
tubuh ini!
Berikut diantara langkah menuju persatuan umat Islam yang didambakan.
Pertama. Memutuskan Perkara Dengan Al Kitab dan As Sunnah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya),
dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS An Nisa’:59).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,“Allah memerintahkan
untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia -yang
berupa ushuluddin dan furu’ kepada Allah dan RasulNya, yaitu kepada
kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Karena sesungguhnya, di dalam keduanya
terdapat penyelesaian untuk seluruh perkara yang diperselisihkan.
Mungkin dengan jelas di dalam keduanya, atau dengan keumumannya, atau
isyarat, atau peringatan, atau pemahaman, atau keumuman makna, yang
serupa dengannya dapat dikiaskan padanya. Karena sesungguhnya kitab
Allah dan Sunnah RasulNya merupakan fondasi bangunan agama. Keimanan
tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya. Maka, mengembalikan (perkara
yang diperselisihkan) kepada keduanya merupakan syarat keimanan.”
(Taisir Karimir Rahman).
Barangsipa bersungguh-sungguh mengikuti petunjuk Allah, niscaya akan terhindar dari kesesatan. Allah berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى
“Barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”. (QS Thaha:123).
Kedua. Menetapi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan meninggalkan seluruh
bid’ah agama yang menyesatkan; mengikuti Sunnah Rasullah , mengikuti
Sunnah dan pemahaman sahabat terhadap agama ini. Baik dalam perkara
aqidah, ibadah, akhlaq, politik, ekonomi, dan seluruh sisi kehidupan
beragama lainnya. Kemudian, harus bisa memahami tentang masalah
bid’ah. Karena bid’ah, sesungguhnya merupakan salah satu penyebab
perpecahan terbesar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا
حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan
taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi.
Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat
perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku
dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah
dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam
agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua
bid’ah adalah sesat”. (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad
Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).
Ketiga. Ikhlas dan memurnikan mutaba’ah.
Ketika Nabi Yusuf mengikhlaskan untuk Rabbnya, Allah memalingkan darinya pendorong-pendorong keburukan dan kekejian.
Allah Ta’ala berfirman,
كَذلِكَ لِنَصْرِفُ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan
kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang
dijadikan ikhlas” (QS Yusuf:24).
Oleh karena inilah ketika Iblis mengetahui bahwa dia tidak memiliki
jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan
mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan membinasakan
(manusia). Iblis mengatakan,
فَبِعِزَّتِكَ لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ . إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
“Demi kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlas diantara mereka” (QS Shad:82-83).
Maka ikhlas merupakan jalan kebebasan, Islam sebagai kendaraan
keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan. [Al ‘Ilmu Fadhluhu Wa
Syarafuhu, tansiq: Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.]
Hendaklah kaum muslimin menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagi satu-satunya manusia yang diikuti secara mutlak. Adapun
selain beliau, maka perkataannya dapat diterima atau ditolak, sesuai
dengan ukuran kebenaran. Karena seluruh apa yang datang dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq, sedangkan yang menyelisihinya
adalah batil. Amalan yang menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk menjadikan amal tersebut tertolak.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini
apa-apa yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak”” (HR Bukhari dan
Muslim).
Keempat. Menuntut ilmu syar’i dan mendalami agama dari ahlinya.
Untuk mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya, tidaklah dapat dijalankan kecuali dengan bimbingan para
ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Karena para ulama itu sebagai Ahli
Waris Para Nabi. Maka seseorang yang ingin selalu menetapi kebenaran dan
persatuan, harus selalu mendalami agama dengan bimbingan para ulama
Ahlus Sunnah yang lurus aqidahnya, terpercaya amanahnya dan agamanya.
Bergaul dengan ahli ilmu, meneladani akhlak, mengambil ilmu mereka
dengan manhaj yang lurus merupakan langkah untuk menjauhi perpecahan dan
menjaga persatuan. Dan para ulama itu akan selalu ada sepanjang zaman,
sampai dikehendaki oleh Allah. Mereka itu adalah thaifah al manshurah
(kelompok yang ditolong oleh Allah).
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl:43)
Demikianlah sebagian langkah untuk merajut persatuan. Jika umat ini
benar-benar mengikuti agamanya, maka mereka akan hidup bersaudara
sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan sabda beliau di bawah ini,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا
يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Muslim adalah saudara muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya,
membiarkannya (dalam kesusahan), dan merendahkannya. Takwa itu di sini,
-beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah keburukan bagi seseorang,
jika dia merendahkan saudaranya seorang muslim. Setiap orang muslim
terhadap muslim yang lain haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya”
(HR Muslim no. 2564; dan lainnya dari Abu Hurairah).
Juga dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa Al Asy’ari, dari Nabi, beliau bersabda,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Seorang mukmin terhadap orang mukmin yang lain seperti satu bangunan,
sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain, dan beliau menjalin
antara jari-jarinya”.
Islam cinta persahabatan dan persatuan, dan membenci perselisihan yang
menyebabkan per-pecahan dan permusuhan. Rasulullah SAW bersabda:
اِيـَّاكُمْ وَ الظَّنَّ فَاِنَّ الظَّنَّ اَكْذَبُ اْلحَدِيْثِ، وَ لاَ
تَـحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَ لاَ تَـنَافَسُوْا، وَ لاَ
تَحَاسَدُوْا، وَ لاَ تـَبَاغَضُوْا، وَ كُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ
اِخْوَانــًا، اَلمُسْلِمُ اَخُو اْلمُسْلِمُ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ
يَخـْذُ لُهُ ، وَ لاَ يَحْقِرُهُ. اَلـتَّقْوَى ههُنَا (وَ يُشِيْرُ اِلىَ
صَدْرِهِ) بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ اَنْ يَحْقِرَ اَخَاهُ
اْلمُسْلِمَ كُلُّ اْلمُسْلِمِ عَلَى اْلمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَ
عِرْضُهُ وَ مَالُهُ.
"Jauhkanlah dirimu dari buruk sangka, karena buruk sangka itu
sedusta-dusta omongan (hati), janganlah kamu mencari-cari aib, janganlah
kamu mengintai-intai (tajassus), janganlah kamu bersaing (yang tidak
sehat), janganlah kamu dengki-mendengki, janganlah kamu benci-membenci.
Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah
saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh menganiaya, tidak boleh
membiarkannya (tidak tolong-menolong) dan tidak boleh menghinanya. Taqwa
itu disini (sambil beliau mengisyaratkan dengan menunjuk ke dadanya).
Seorang Muslim cukup menjadi jahat karena dia menghina saudaranya sesama
Muslim. Tiap seorang Muslim terhadap Muslim lainnya adalah haram
darahnya, kehormatannya dan hartanya". [HR. Bukhari dari Abu Hurairah].
اُوْصِيْكُمْ بِاَصْحَابِى، ثُمَّ الَّذِيـْنَ يَـلُوْنَـهُمْ ...
عَلَيـْكُمْ بِاْلجَمَاعَةِ. وَ اِيـَّاكُمْ وَ اْلـفُرْقَةَ، فَاِنَّ
الشَّيـْطَانَ مَعَ اْلـوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ اْلاِثــْنَـيْنِ اَبـْعَدَ.
مَنْ اَرَادَ بُحْبُوْحَةَ اْلجَنَّةِ فَـلْـيُـلْزِمِ اْلجَمَاعَةَ.
التـرمذى
"Aku washiyatkan kepada kalian (agar mengikuti) para sahabatku, kemudian
generasi berikutnya,......... . Kalian harus berjama'ah (bersatu padu),
waspadalah terhadap perpecahan karena sesungguhnya syaitan bersama
orang yang sendirian, dan dia (syaitan) akan menjauh (memi-sahkan diri)
dari dua orang. Barangsiapa yang menginginkan surga, hendaklah tetap
dalam jama'ah ya'ni dalam kesatuan dan persatuan". [HR. Tirmidzi].
اَلاَ اُخْبِرُكُمْ بِاَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصَّلاَةِ وَ الصِّيَامِ وَ
الصَّدَقَةِ؟ قَالُـوْا: بَـلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ.صَلاَحُ ذَاتِ
اْلـبَـيْنِ، فَاِنَّ فَسَادَ ذَاتِ اْلـبَـيْنِ هِيَ اْلحَالِـقَةُ. قَالَ
التِّرْمِذِىُّ، وَ يـُرْوَى عَنِ الـنَّبِيِّ ص اَنـَّهُ قَالَ: هِيَ
اْلحَالـِقَةُ. لاَ اَقُوْلُ تَحْلِقُ الشَّعْرَ، وَلكِنَّ تَحْلِقُ
الدِّيـْنَ. التـرمذى و ابو داود
"Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari pada pahala
shalat, puasa dan shadaqah ?" Para sahabat menjawab : "Tentu ya
Rasulullah". Nabi SAW bersabda : "Memperbaiki hubungan sesama saudara,
karena rusaknya persaudaraan itu adalah pencukur". Tirmidzi berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Aku tidak memaksudkan mencukur rambut,
tetapi mencukur (menghilangkan) agama".
[HR. Tirmidzi dan Abu Dawud].
دَبَّ اِلَـيْكُمْ دَاءُ اْلاُمَمِ قَـبْلَكُمْ: اَلْحَسَدُ وَ
اْلبَغْضَاءُ هِيَ اْلحَالِـقَةُ. لاَ اَقُوْلُ تَحْلِقُ الشَّعْرَ،
وَلكِنْ تَحْلِقُ الدِّيـْنَ. وَ الَّذِيْ نَـفْسِى بِيَدِهِ، لاَ
تَدْخُلُوا اْلجَنَّةَ حَتَّى تُـؤْمِنُوْا، وَ لاَ تُـؤْمِنُوْا حَتَّى
تَحَابُّـوْا. الـتـرمذى
"Penyakit umat-umat sebelum kamu telah menjangkiti kepada kamu sekalian,
yaitu kedengkian dan permusuhan. Itulah sang pencukur. Aku tidak
mengatakan mencukur rambut, tetapi mencukur agama. Demi Dzat yang diriku
berada di tangan-Nya, kamu sekalian tidak akan masuk surga sehingga
kamu sekalian beriman, dan kamu tidak beriman sehingga saling berkasih
sayang". [HR. Tirmidzi].
Persaudaraan sesama Muslim tidak bisa dihalangi oleh lautan maupun
daratan yang luas, suku maupun bangsa, apalagi hanya perbedaan tanda
gambar.
Nabi SAW bersabda :
تَرَى اْلمُؤْمِنِيْنَ فِى تَـوَادِّهِمْ وَ تَرَاحُمِهِمْ وَ
تَـعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ اْلجَسَدِ اْلـوَاحِدِ، اِذَا اشْتَكَى مِنْهُ
عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ اْلاَعْضَاءِ بِاْلحُمَى وَ السَّــهَرِ.
"Kamu lihat kaum Mukminin dalam berkasih sayang dan menjalin hubungan
seperti satu tubuh; apabila salah satu anggota tubuh mengeluhkan rasa
sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya"
لاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ اِخْوَانًا.
"Janganlah kalian saling hasad, saling membuat makar dan saling bermusuhan. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara"
Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan mengembalikan
kemuliaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa dan Maha Kuasa
terhadap segala sesuatu. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin.
Wallohu A'lam Bishshowab