Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup
sendiri, tapi dia hidup secara bersama atau bermasyarakat. Mengapa
demikian, karena manusia tidak akan bisa memenuhi kebutuhan dan urusanya
sendiri, sehebat dan setangguh apapun manusia, pasti memerlukan uluran
bantuan orang lain, ketika manusia sakit, dia membutuhkan dokter untuk
membantu mengobatinya, ketika manusia ingin belajar, dia membutuhkan
seorang pembimbing (guru) untuk mengajarinya, dan lain sebagainya. Oleh
sebab itu, interaksi (bergaul) sesama manusia sangat diperlukan agar
terjalin hubungan yang harmonis diantara mereka, sekalipun demikian
aspek bergaul yaitu memilih teman benar-benar harus diperhatikan, karena
sekali salah dalam menentukan pillhan, maka akibatnya pun akan fatal.
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah mengatur
bagaimana adab-adab serta batasan-batasan dalam pergaulan. Pergaulan
sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Dampak buruk akan menimpa
seseorang akibat bergaul dengan teman-teman yang jelek, sebaliknya
manfaat yang besar akan didapatkan dengan bergaul dengan orang-orang
yang baik.
Pengaruh Teman Bagi Seseorang
Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemakisatan dan kesesatan
karena pengaruh teman bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang
yang mendapatkan hidayah dan banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan
teman-teman yang shalih.
Mengenai dampak pergaulan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ
حَدَّثَنَا أَبُو بُرْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا
بُرْدَةَ بْنَ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ
الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ
، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ
مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ
الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا
خَبِيثَة
“Telah menceritakan kepadaku Mūsa bin Ismail, telah menceritakan kepada
kami Abdul Wahid, telah menceritakan kepada kami Abû Burdah bin Abdullah
dia berkata : Aku mendengar Abû Burdah bin Abi Mûsa dari ayahnya ra
berkata, Rasulullah saw bersabda :Permisalan teman yang baik dan teman
yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi.
Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau
bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap
mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi
(percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap
mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari )
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya
(4/2026), terdapat pula dalam Shahih Ibnu Hibban (2/320) dan terdapat
dalam kitab Kanzul amal fî sunan al-Aqwal wa al-Af’al (9/44). Menurut
Su’aib al-Arnauth sanad hadis ini Shahih berdasarkan kriteria Bukhari
dan Muslim, Nashiruddin al-Albani juga mengatakan bahwa hadis ini
tergolong hadis Shahih sehingga bisa dijadikan hujjah (Silsilah
al-Ahadis ash-Shohihah 7/26)
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam ash-Shahih
(no. 2101 dan 5534), Muslim t (8/37—38), Ibnu Hibban rahimahullah
dalamShahih-nya, al-Baihaqi rahimahullah dalam Syu’abul Iman, dan Ahmad
rahimahullah (4/404—405), semua melalui jalan Abu Burdah rahimahullah,
dari Abu Musa rahimahullah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyebutkan
jalan-jalan lain yang dapat dirujuk dalam kitab beliau, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah, hadits no. 3214.
Perintah Untuk Mencari Teman yang Baik dan Menjauhi Teman yang Jelek
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ
وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan
ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada
ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada
(agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan
yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101).
Allah juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119).
Imam Muslim rahimahullah mencantumkan hadits di atas dalam Bab : Anjuran
Untuk Berteman dengan Orang Shalih dan Menjauhi Teman yang Buruk”. Imam
An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat
permisalan teman yang shalih dengan seorang penjual minyak wangi dan
teman yang jelek dengan seorang pandai besi. Hadits ini juga menunjukkan
keutamaan bergaul dengan teman shalih dan orang baik yang memiliki
akhlak yang mulia, sikap wara’, ilmu, dan adab. Sekaligus juga terdapat
larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan orang-orang
yang mempunyai sikap tercela lainnya.” (Syarh Shahih Muslim 4/227)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan : “Hadits di ini
menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak
agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong seseorang agar
bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan
dunia.”( Fathul Bari 4/324)
Manfaat Berteman dengan Orang yang Baik
Hadits di atas mengandung faedah bahwa bergaul dengan teman yang baik
akan mendapatkan dua kemungkinan yang kedua-duanya baik. Kita akan
menjadi baik atau minimal kita akan memperoleh kebaikan dari yang
dilakukan teman kita.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan pertemanan
dengan dua contoh (yakni penjual minyak wangi dan seorang pandai besi).
Bergaul bersama dengan teman yang shalih akan mendatangkan banyak
kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang akan memeberikan manfaat
dengan bau harum minyak wangi. Bisa jadi dengan diberi hadiah olehnya,
atau membeli darinya, atau minimal dengan duduk bersanding dengannya ,
engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut.
Kebaikan yang akan diperoleh seorang hamba yang berteman dengan orang
yang shalih lebih banyak dan lebih utama daripada harumnya aroma minyak
wangi. Dia akan mengajarkan kepadamu hal-hal yang bermanfaat bagi dunia
dan agamamu. Dia juga akan memeberimu nasihat. Dia juga akan
mengingatkan dari hal-hal yang membuatmu celaka. Di juga senantiasa
memotivasi dirimu untuk mentaati Allah, berbakti kepada kedua orangtua,
menyambung silaturahmi, dan bersabar dengan kekurangan dirimu. Dia juga
mengajak untuk berakhlak mulia baik dalam perkataan, perbuatan, maupun
bersikap. Sesungguhnya seseorang akan mengikuti sahabat atau teman
dekatnya dalam tabiat dan perilakunya. Keduanya saling terikat satu sama
lain, baik dalam kebaikan maupun dalam kondisi sebaliknya.
Jika kita tidak mendapatkan kebaikan-kebaikan di atas, masih ada manfaat
lain yang penting jika berteman dengan orang yang shalih. Minimal diri
kita akan tercegah dari perbuatan-perbuatn buruk dan maksiat. Teman yang
shalih akan senantiasa menjaga dari maksiat, dan mengajak
berlomba-lomba dalam kebaikan, serta meninggalkan kejelekan. Dia juga
akan senantiasa menjagamu baik ketika bersamamu maupun tidak, dia juga
akan memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya kepadamu, baik
ketika engkau masih hidup maupun setelah engkau tiada. Dia juga akan
membantu menghilangkan kesulitanmu karena persahabatannya denganmu dan
kecintaanya kepadamu. (Bahjatu Quluubil Abrar, 148)
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah berkata: “Bergaul dengan orang sholih itu
dapat menghalangimu dari enam perkara (dan membawamu) kepada enam
perkara lainnya, yaitu:
(1) Dari keragu-raguan kepada keyakinan.
(2) Dari riya’ (suka pamer dan ingin dipuji) kepada ikhlas (karena Allah semata).
(3) Dari kelalaian kepada dzikrullah (selalu ingat kepada Allah).
(4) Dari sikap tamak terhadap dunia kepada semangat mengejar kehidupan akhirat.
(5) Dari kesombongan kepada sikap tawadhu’ (rendah diri).
(6) Dari niat yang buruk kepada nasehat (yang baik).
Memandangnya Saja Sudah Membuat Hati Tenang
Para ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang sholih.
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
“Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan
hati." Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati
seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih
dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun
mendatangi orang-orang sholih lainnya.
‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin
‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu
Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam
diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit
dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk
meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan
mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang
kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan
tenang”.
Kisah Thalq bin Habib rahimahullah
Nama ini tidak asing bagi para penuntut ilmu. Seorang pemuka tabi’in,
Thalq bin Habib al-‘Anazi al-Bashri. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh
al- Imam Muslim dalam ash-Shahih, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i,
Ibnu Majah, dan lainnya rahimahumullah. Tahukah Anda bahwa dahulu
beliau terpengaruh dengan mazhab Khawarij yang mereka terjatuh pada
pemahaman mengafirkan para pelaku dosa besar? Mereka berkeyakinan bahwa
pelaku dosa besar, seperti orang yang bunuh diri, kekal di dalam neraka.
Mereka pun tidak meyakini adanya syafaat untuk pelaku dosa besar
sehingga dikeluarkan dari neraka.
Dalam sebuah perjalanan, ketika Thalq bin Habib bersama kawan-kawan
sepemahaman melakukan perjalanan haji atau umrah, Allah Subhanahu
wata’ala menyelamatkan Thalq dari paham takfir tatkala bermajelis dengan
sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, seorang ulama dari
generasi sahabat, generasi terbaik umat ini.
Kisah beliau diriwayatkan oleh al – Imam Ahmad rahimahullah dalam
al-Musnad. Dalam kisah tersebut Thalq bin Habib rahimahullah berkata,
كُنْتُ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ تَكْذِيبًا بِالشَّفَاعَةِ حَتَّى لَقِيتُ
جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ كُلَّ آيَةٍ ذَكَرَهَا
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهَا خُلُودُ أَهْلِ النَّارِ، فَقَالَ : يَا
طَلْقُ، أَتُرَاكَ أَقْرَأَ لِكِتَابِ اللهِ مِنِّي وَأَعْلَمَ بِسُنَّةِ
رَسُولِ اللهِ, فَاتُّضِعْتُ لَهُ؟ فَقُلْتُ: لَا، وَاللهِ، بَلْ أَنْتَ
أَقْرَأُ لِكِتَابِ اللهِ مِنِّي وَأَعْلَمُ بِسُنَّتِهِ مِنِّي. قَالَ:
فَإِنَّ الَّذِي قَرَأْتَ أَهْلُهَا هُمُ الْمُشْرِكُونَ، وَلَكِنْ قَوْمٌ
أَصَابُوا ذُنُوبًا فَعُذِّبُوا بِهَا ثُمَّ أُخْرِجُوا،
صُمَّتَا-وَأَهْوَى بِيَدَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ-إِنْ لَمْ أَكُنْ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ يَقُولُ يَخْرُجُونَ مِنْ النَّارِ؛ وَنَحْنُ نَقْرَأُ مَا
تَقْرَأُ
Dahulu aku termasuk orang yang paling keras pengingkarannya terhadap
adanya syafaat (yakni syafaat bagi pelaku dosa besar untuk keluar dari
neraka, -pen.), hingga (Allah Subhanahu wata’alamudahkan) aku berjumpa
dengan sahabat Jabir bin Abdillah z. Di hadapannya, aku bacakan semua
ayat yang Allah Subhanahu wata’ala firmankan dalam al-Qur’an tentang
kekekalan penghuni neraka (yakni Thalq memahami mereka yang sudah masuk
neraka tidak mungkin mendapat syafaat untuk keluar termasuk pelaku dosa
besar, -pen.). Seusai membacakan ayat-ayat tersebut Jabir berkata,
“Wahai Thalq, apakah engkau menyangka dirimu lebih paham terhadap
al-Qur’an dariku? Dan apakah engkau anggap dirimu lebih tahu tentang
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dariku?” Thalq menjawab,
“Tidak demi Allah, bahkan engkau lebih paham terhadap Kitab Allah dan
lebih mengetahui tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
daripada aku.” Jabir berkata, “Wahai Thalq, sesungguhnya semua ayat yang
engkau baca tentang (kekekalan ahli neraka) mereka adalah musyrikin
(orang-orang yang mati dalam keadaan musyrik.) Akan tetapi (yang
mendapatkan syafaat adalah) kaum yang melakukan dosa besar (dari
kalangan muslimin) yang diazab di neraka, kemudian mereka dikeluarkan
darinya.” Jabir lalu menunjuk kepada dua telinganya dan berkata,
“Sungguh tuli kedua telinga ini jika aku tidak mendengar dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam sabda beliau, ‘Mereka (pelaku dosa besar)
keluar dari neraka (setelah diazab),’ sedangkan kita membaca ayat-ayat
al-Qur’an.”
Lihatlah manfaat besar ketika seorang duduk bersama ulama, duduk dengan
seorang yang baik. Membuahkan faedah besar yang dipetik seumur hidup,
bahkan sesudahnya. Thalq bin Habibrahimahullah diselamatkan dari
pemahaman yang salah tentang pelaku dosa besar.
Dalam kisah Thalq bin Habib, ada sebuah faedah yang tidak ingin kita
lewatkan. Faedah yang terulang, namun perlu selalu diingatkan, yaitu
wajibnya kembali kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hal memahami al-Kitab dan as- Sunnah. Faedah itu ada
dalam pertanyaan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan jawaban Thalq
bin Habib rahimahullah.
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Thalq, apakah engkau menyangka
dirimu lebih paham terhadap al-Qur’an dariku? Dan apakah engkau anggap
dirimu lebih tahu tentang sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam
dariku?” Thalq menjawab, “Tidak, demi Allah, bahkan engkau lebih paham
terhadap Kitab Allah dan lebih mengetahui tentang sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Percakapan yang sangat indah. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu
mengingatkan kepada Thalq sebelum beliau menjelaskan syubhat (kerancuan)
berpikir yang ada pada diri Thalq. Beliau ingatkan bahwa para sahabat
adalah orang yang paling mengerti al-Kitab dan as-Sunnah. Ini pula yang
disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau
mengabarkan akan adanya perselisihan dan perpecahan umat di akhir zaman.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk berpegang
teguh dengan sunnah beliau dan sunnah al-Khulafaar-Rasyidin, serta
memerintah mereka untuk mengikuti jalan sahabat, generasi terbaik yang
telah diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala. Ketika Thalq menyadari hal
itu dan mau mendengar perkataan Jabir, selamatlah beliau dari pemikiran
Khawarij.
Mudharat Berteman dengan Orang yang Jelek
Sebaliknya, bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan
yang kedua-duanya buruk. Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut
memperoleh kejelekan yang dilakukan teman kita. Syaikh As Sa’di
rahimahulah juga menjelaskan bahwa berteman dengan teman yang buruk
memberikan dampak yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek dapat
mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat
mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul
bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab
keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti
sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik mereka sadari maupun
tidak. Oleh karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah yang paling besar
bagi seorang hamba yang beriman yaitu Allah memberinya taufik berupa
teman yang baik. Sebaliknya, hukuman bagi seorang hamba adalah Allah
mengujinya dengan teman yang buruk. (Bahjatu Qulubil Abrar, 185)
Kebaikan Seseorang Bisa Dilihat Dari Temannya
Salah satu alat ukur yang bisa digunakan untuk menjast (memastikan) baik
dan buruk perilaku seseorang adalah dari teman bergaulnya, sebagaimana
sabda Rasulullah saw :
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ فُورَكٍ رَحِمَهُ
اللهُ , ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْأَصْبَهَانِيُّ , ثنا يُونُسُ
بْنُ حَبِيبٍ , ثنا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ , ثنا زُهَيْرُ بْنُ
مُحَمَّدٍ , أَخْبَرَنِي مُوسَى بْنُ وَرْدَانَ , عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ,
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ”
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Hasan bin Fûrak
ra, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ja’far al-Asbahaniy,
telah menceritakan kepada kami Yûnus bin Jayyib, telah mencertikan
kepada kami Abu Dāwud ath-Thoyalisi, telah menceritakan kepada kami
Zuhair bin Muhammad, telah mengkhabarkan kepadaku Mûsa bin Wardān dari
Abî Hurairah berkata : Rasulullah saw bersabda “Agama Seseorang sesuai
dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang
menjadi teman dekatnya.” (HR. at-Turmudzi) Hadis ini juga disebutkan
oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (12/44) nomor. 8990. Imam Ahmad
dalam Musnad Ahmad (4/299), terdapat pula dalam Mu’jam Ibnu Asākir
(2/241). Imam Turmudzi menilai hadis ini adalah hadis hasan gharib,
an-Nawawiy memberikan komentar bahwa sanad hadis ini shahih, Nashiruddin
al-Albani menshahihkan hadis ini (Misykātul Mashabih. 3/87).
Menurut Ibnu Taimiyah hadis ini tergolong hadis hasan sehingga bisa dijadikan hujjah (al-Imān li Ibni Taimiyah. Hlm,55).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan teman sebagai
patokan terhadapa baik dan buruknya agama seseorang. Oleh sebab itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar
memilih teman dalam bergaul. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
“Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian
melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah,
no. 927)
Jangan Sampai Menyesal di Akhirat
Memilih teman yang jelek akan menyebakan rusak agama seseorang. Jangan
sampai kita menyesal pada hari kiamat nanti karena pengaruh teman yang
jelek sehingga tergelincir dari jalan kebenaran dan terjerumus dalam
kemaksiatan. Renungkanlah firman Allah berikut :
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي
اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلاً يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ
أَتَّخِذْ فُلَاناً خَلِيلاً لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ
جَاءنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنسَانِ خَذُولاً
“ Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua tanganya seraya
berkata : “Aduhai kiranya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul.
Kecelakaan besar bagiku. Kiranya dulu aku tidak mengambil fulan sebagai
teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an
sesudah Al Qur’an itu datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong
manusia” (Al Furqan:27-29)
Lihatlah bagiamana Allah menggambarkan seseorang yang teah menjadikan
orang-orang yang jelek sebagai teman-temannya di dunia sehingga di
akhirat menyebabkan penyesalan yang sudah tidak berguna lagi.
Akhlak yang mulia adalah ukuran keimanan
Ketika kita hendak memilih seseorang menjadi teman kita, secara umum,
kita harus memilih teman yang benar-benar memberikan manfaat untuk
kehidupan dunia dan akhirat – sebagaimana perkataan Ibnu Hajr dan
an-Nawawiy- , terlepas dari keumuman hal tersebut ada kriteria penting
(urgen) yang harus dimiliki teman tersebut, yaitu akhlak yang terpuji
(mulia) karena akhak adalah cerminan dan tolak ukur keimanan seseorang,
secara dhahir (eksplisit) keimanan seseorang dapat dilihat dari akhlak
(tabi’at)nya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun
sosial. Rasulullah saw menegaskan hal ini dalam sabdanya :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: « أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ
إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ».
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hambal, telah menceritakan
kepada kami yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari
abu Hurairah berkata : Rasulullah saw bersabda : ” Orang mu’min yang
paling sempurna imannya adalah orang mu’min yang paling baik akhlaknya
diantara mereka” ( HR. Imam Ahmad ) Hadis ini juga diriwayatkan ole
hath-Thahawiy dalam Syarhu Musykil Atsar (11/260), al-Baihaqiy dalam
Syu’abul Iman (1/128), Sunan al-Kubra (10/192), ath-Thabrani dalam
al-Mu’jam al-Ausath (4/356), Abu Dāwud dalam Sunannya (4/354),
at-Turmudzi dalam Sunannya (3/466), ad-Dārimiy dalam Sunannya (2/415)
dan Ibnu Hibban dalam Shohihnya (2/227). Menurut Syu’aib al-Arnauth
dalam Shahih Ibnu Hibban sanad hadis ini hasan, Nashiruddin al-Albani
menshahihkan hadis ini (Silsilah ash-Shohihah . 2/378) dan Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa hadis ini memenuhi standar shahih jadi bisa dijadikan
hujjah (al-Imān li Ibni Taimiyah. Hlm,132).
Jika dilihat dari sudut sejarah, ternyata salah satu faktor diutusnya
Rasulullah saw adalah berkenaan dengan masalah akhlak, yang ketika itu
penduduk (masyarakat) Arab memiliki perangai (akhlak) yang buruk, bahkan
bisa dikatakan bejat tak bermoral, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah
saw :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ
بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ
حُكَيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ
صَالِحَ الْأَخْلَاقِ.
“Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Mansûr berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin
‘Ajlan dari al-Qa’qai bin Hukaim dari Abi Shālih dari Abu Hurairah RA
berkata : Rasulullah saw bersadda : “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang baik”. (HR. Ahmad dan ditashih oleh Baihaqi
menurut syarat Muslim).
Sifat Teman yang Baik
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata :
وفى جملة، فينبغى أن يكون فيمن تؤثر صحبته خمس خصال : أن يكون عاقلاً حسن الخلق غير فاسق ولا مبتدع ولا حريص على الدنيا
“ Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat
memiliki lima sifat berikut : orang yang berakal, memiliki akhlak yang
baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang yang rakus
dengan dunia” (Mukhtasar Minhajul Qashidin 2/36).
Kemudian beliau menjelaskan : “Akal merupakan modal utama. Tidak ada
kebaikan berteman dengan orang yang bodoh. Karena orang yang bodoh, dia
ingin menolongmu tapi justru dia malah mencelakakanmu. Yang dimaksud
dengan orang yang berakal adalah orang yang memamahai segala sesuatu
sesuai dengan hakekatnya, baik dirinya sendiri atau tatkala dia
menjelaskan kepada orang ain. Teman yang baik juga harus memiliki akhlak
yang mulia. Karena betapa banyak orang yang berakal dikuasai oleh rasa
marah dan tunduk pada hawa nafsunya, sehingga tidak ada kebaikan
berteman dengannya. Sedangkan orang yang fasik, dia tidak memiliki rasa
takut kepada Allah. Orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah,
tidak dapat dipercaya dan engkau tidak aman dari tipu dayanya. Sedangkan
berteman denagn ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu
dengan kejelekan bid’ahnya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37)
Hendaknya Orang Tua Memantau Pergaulan Anaknya
Kewajiban bagi orang tua adalah mendidik anak-anaknya. Termasuk dalam
hal ini memantau pergaulan anak-anaknya. Betapa banyak anak yang sudah
mendapat pendidikan yang bagus dari orang tuanya, namun dirusak oleh
pergaulan yang buruk dari teman-temannya. Hendaknya orangtua
memperhatikan lingkungan dan pergaulan anak-anaknya, karena setap orang
tua adalah pemimpin bagi keluarganya, dan setiap pemimpin kan dimintai
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. AllahTa’ala juga
berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan “ (At Tahrim:6).
Kesimpulan
Inti (natijah) dari semua apa yang telah dipaparkan diatas adalah
anjuran untuk selektif dalam memilih teman bergaul, karena besarnya efek
dari pergaulan itu, jika salah dalam memilih, maka fatal pula akibatnya
dan penyesalan tiada gunanya, oleh karena itu Islam sangat menganjurkan
kita untuk selektif dalam memilih teman, sebisa mungkin pilihlah teman
yang banyak memberikan manfaat dari pada teman yang memberikan madharat
(keburukan). Karena orang yang memiliki sifat buruk dapat mendatangkan
bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan
dari segala aspek bagi orang yang bergaul bersamanya. Sungguh betapa
banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka, dan
betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju
kehancuran, baik mereka sadari maupun tidak.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan keluaraga kita dari
pengaruh teman-teman yang buruk dan mengumpulkan kita bersama
teman-teman yang baik. Wallohul musta’an.