يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
[Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal].
(al-Qur’an)
Toleransi dalam kajian fiqih Islam masuk kategori al-mu’amalat
(interaksi sosial) yang mendapatkan porsi besar. Hal ini tampak dalam
berbagai penjelasan Rasulullah SAW yang termaktub dalam banyak sekali
literatur hadis. Bahkan dalam konsep al-Qur’an, manusia akan terpuruk
dalam kesesatan jika dia tidak menemukan singkronisasi kebajikan, baik
yang ada hubungannya secara vertikal maupun horizontal.
Berbagai kodifikasi hadis telah dibukukan oleh ulama, khususnya
hadis-hadis yang secara tematik membahas tentang toleransi. Terkait
dengan masalah toleransi ini, kekeliruan tampak sangat jelas pada
tuduhan kalangan non muslim ketika memasukkan toleransi pada ranah
at-ta`abbbudiyah (ibadah), yang jelas bukan ranah sosial. Karena itu,
umat Islam harus waspada, pada batas wilayah apakah Islam membenarkan
toleransi dan pada wilayah manakah Islam menolak toleransi.
عَنِ ابْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ
لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
(أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ
وَالْبَيْهَقِيُّ فِى الشُّعَبِ وَ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُورٍ
وَالدَّارِمِيُّ وَالبُخَارِيُّ فِى الأَدَبِ الْمُفْرَدِ وَابْنُ
خُزَيْمَةَ)
Dinarasikan Ibnu `Amr RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik di antara
mereka terhadap sesama saudaranya. Dan, sebaik-baik tetangga di sisi
Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.”
(HR. Ahmad, Turmudzi, Ibnu Hibban, Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman,
Sa’id bin Manshur, ad-Darimi, Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dan Ibnu
Khuzaimah).
Agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan.
Kedalian bagi siapa saja, yaitu menempatkan sesuatu sesuai tempatnya dan
memberikan hak sesuai dengan haknya. Begitu juga dengan toleransi dalam
beragama. Agama Islam melarang keras berbuat zalim dengan agama selain
Islam dengan merampas hak-hak mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ
وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan, “Allah
tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi,
membalas kebaikan , berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari
keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian
karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian,
maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena
menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada
larangan dan tidak ada kerusakan.”
Akan tetapi toleransi ada batasnya dan tidak boleh kebablasan. Semisal
mengucapkan “selamat natal” dan menghadiri acara ibadah atau
ritualkesyirikan agama lainnya. Karena jika sudah urusan agama, tidak
ada toleransi dan saling mendukung.
Berikut beberapa bukti bahwa Islam adalah agama yang menjunjung
toleransi terhadap agama lainnya dan tentunya bukan toleransi yang
kebablasan, diantaranya:
Toleransi dalam Perspektif Hadis Nabi saw.
Dalam hadis Rasulullah saw. ternyata cukup banyak ditemukan hadis-hadis
yang memberikan perhatian secara verbal tentang toleransi sebagai
karakter ajaran inti Islam. Hal ini tentu menjadi pendorong yang kuat
untuk menelusuri ajaran toleransi dalam Alquran, sebab apa yang
disampaikan dalam hadis merupakan manifestasi dari apa yang disampaikan
dalam Alquran.
Di dalam salah satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda :
حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ
إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيُّ اْلأَدْيَانِأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ
السَّمْحَةُ.
[Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya
Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan
kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah
dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama
manakah yang paling dicintai oleh Allah?" maka beliau bersabda:
"Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)]"
Ibn Hajar al-Asqalany ketika menjelaskan hadis ini, beliau berkata:
“Hadis ini di riwayatkan oleh Al-Bukhari pada kitab Iman, Bab Agama itu
Mudah” di dalam sahihnya secara mu'allaq dengan tidak menyebutkan
sanadnya karena tidak termasuk dalam kategori syarat-syarat hadis sahih
menurut Imam al-Bukhari, akan tetapi beliau menyebutkan sanadnya secara
lengkap dalam al-Adâb al-Mufrad yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah
ibn ‘Abbas dengan sanad yang hasan. Sementara Syekh Nasiruddin
al-Albani mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang kedudukannya
adalah hasan lighairih.”Nasaruddin al-Bani.
Berdasarkan hadis di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang
toleran dalam berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah maupun syariah,
akan tetapi toleransi dalam Islam lebih dititikberatkan pada wilayah
mua’malah. Rasulullah saw. bersabda :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ مُحَمَّدُ
بْنُ مُطَرِّفٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا
سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.
[Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Ayyasy telah menceritakan
kepada kami Abu Ghassan Muhammad bin Mutarrif berkata, telah
menceritakan kepada saya Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin
'Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah merahmati orang
yang memudahkan ketika menjual dan ketika membeli, dan ketika
memutuskan perkara"].HR Bukhari.
Toleransi antar umat beragama merupakan hal yang sangat penting untuk
selalu kita bina dan kita lestarikan, karena dengan saling bertoleransi
antar sesama dalam kehidupan ini akan tercipta kedamaian dan
keharmonisan, tanpa adanya rasa permusuhan dan saling mencurigai. Bahkan
Rasulullah sendiripun telah memberi contoh kepada kita semua. Dimana
pada masa hidup Rasulullah toleransi antar umat beragama itu beliau
gambarkan dalam hubungan jual-beli dan saling memberi dengan non muslim.
Sebagaimana diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab al-Maghazi hadits nomor 4467:
فَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: تُوُفِّيَ النَّبِيُ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعَهُ مَرْهُوْنَةٌ عِنْدَ
يَهُوْدِيْ بِثَلاَثِيْنَ. يَعْنِي: صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ (كتاب المغازي،
رقم الحديث 4467)
Dari Aisyah RA. Dia berkata: Nabi telah wafat sedangkan baju besinya
telah diberikan kepada seorang yahudi sebagai gadai dengan 30 sha’
gandum. (Kitab al-Maghazi, hadits nomor 4467)
Selain itu Rasulullah juga tidak enggan untuk menerima hadiah apapun
dari umat lain (non muslim). Dan dari situlah para ahli fiqih
berpendapat bahwa menerima pemberian hadiah dari semua kelompok baik
dari kalangan muslim maupun non muslim bahkan mereka yang memerangi umat
Islam sekalipun itu diperbolehkan secara syar’i. Dan hal ini
diterangkan dalam kitab al-Mughni juz 13, halaman 200, sebagai berikut:
وَيَجُوْزُ قَبُوْلُ هَدِيَةِ الْكُفَّارِ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ لِأَنَّ
النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبِلَ هَدِيَةَ اْلمُقَوْقِسِ
صَاحِبِ مِصْرَ (المغني، ج 13، ص: 200)
Boleh menerima hadiahnya non muslim ahli harb, karena Nabi Saw. menerima
hadiah dari Makukis penguasa Mesir. (Kitab al-Mughni, Ibnu Qudamah, juz
13, hal. 200)
Ajaran berbuat baik terhadap tetangga meskipun non-muslim
Mencintai semua tetangga
Mencintai sesama tetangga dijelaskan, antara lain, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ
حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَ
أَبُو يَعْلَى)
Dinarasikan Anas bin Malik RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“Demi (Allah) yang jawaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang hamba
sehingga dia mencintai tetangganya sebagaimana dia mencintai dirinya
sendiri.” (HR. Muslim dan Abu Ya’la: 2967).
Mencintai diri sendiri tidaklah cukup untuk menggambarkan kualitas
keimanan seseorang, melainkan juga harus dibuktikan dengan mencintai
semua tetangganya. Kata “tetangga” dalam teks hadis ini cakupannya
bersifat umum, yakni tetangga sesama Muslim atau tetangga non Muslim.
Sebagaimana diketahui, Rasulullah SAW tidak hanya bertetangga dengan
Muslim namun beliau juga bertetangga dengan non Muslim. Di sekitar
Madinah kala itu ada orang Yahudi, Nasrani, dan lainnya. Mereka
sama-sama mempunyai hak untuk dicintai. Dalam riwayat lain, mereka juga
punya hak untuk mendapatkan kedamaian.
Dalam redaksi hadis lain Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ
لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
(أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ
وَالْبَيْهَقِيُّ فِى الشُّعَبِ وَ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُورٍ
وَالدَّارِمِيُّ وَالبُخَارِيُّ فِى الأَدَبِ الْمُفْرَدِ وَابْنُ
خُزَيْمَةَ)
Dinarasikan Ibnu `Amr RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik di antara
mereka terhadap sesama saudaranya. Dan, sebaik-baik tetangga di sisi
Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad: 6566, Turmudzi: 1944, Ibnu Hibban:
518, Hakim: 1620, Baihaqi dalam Syu’abul Iman: 9541, Sa’id bin Manshur:
2388, ad-Darimi: 2437, Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad: 115, dan Ibnu
Khuzaimah: 2539.
Pada teks hadis di atas tampak jelas bahwa sebaik-baik insan Muslim
adalah dia yang terbaik mu’amalah (hubungan sosialnya) dengan semua
tetangganya, baik tetangga Muslim maupun non Muslim. Mereka semua harus
mendapatkan sentuhan kasih sayang dan kedamaian.
Itulah sebabnya, sejarah membuktikan bahwa banyak unsur masyarakat yang
berdampingan secara damai dengan Rasulullah, sebelum Madinah dinyatakan
sebagai tanah haram (yang tidak boleh dihuni kecuali oleh Muslim).
Rasulullah SAW kala itu bahkan bertetangga dengan orang Yahudi, Nasrani,
dan lain-lain secara damai.
Berikut ini teladan dari salafus shalih dalam berbuat baik terhadap
tetangganya yang Yahudi. Seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir,
imam Mujahid, ia berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru
sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,
ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي
”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah
dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”.
Lalu ada salah seorang yang berkata,
آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!
“(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu”.
‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي
بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ
‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat
terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak
waris kepadanya.”
Bermuamalah yang baik dan tidak boleh dzalim terhadap keluarga dan kerabat meskipun non-muslim
Misalnya pada ayat yang menjelaskan ketika orang tua kita bukan Islam,
maka tetap harus berbuat baik dan berbakit kepada mereka dalam hal
muamalah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman:
15)
Larangan menzalimi kafir dzimmi
Di samping menjalin kemesraan dengan non Muslim, Rasulullah SAW juga
mengadakan kontak dagang dengan non Muslim. Bahkan, menurut keterangan
sebuah hadis, Nabi SAW sempat meminjam barang kepada seorang Yahudi
dengan menggadaikan baju besinya. Klimaks dari toleransi itu tercatat
dalam hadis bahwa Rasulullah SAW melarang umatnya untuk menyakiti kafir
dzimmi, sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ
وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ (أَخْرَجَهُ
الخَطِيبُ فِي تَارِيخِ بَغْدَادٍ)
Dinarasikan Ibnu Mas’ud RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Siapa
yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi
musuhnya. Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan
menuntutnya pada hari kiamat.”
Hadis ini diriwayatkan Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Bagdad: 8/370.
Hadis ini juga memiliki dua jalur sanad yang sama-sama lemah.
Dari paparan di atas, tampak begitu mulianya ajaran Islam di mata
internal umat Islam maupun non Muslim. Ibarat lebah, sekiranya orang
tidak menganggunya tentu dia akan dapat menikmati madunya. Namun
sekiranya ada orang yang mengganggunya jangan disalahkan apabila ia
menyengat bahkan mematikan.
Itulah gambaran kehadiran umat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Rahmat atau kasih saying itu tidak hanya dirasakan umat Islam, tapi non
Muslim pun juga ikut merasakannya.
Maka hati-hati memahami hadis yang sekilas dapat difahami keliru
sehingga mengidentikkan Islam sebagai teroris, seperti ‘menghabisi’ non
Muslim di jalanan dan lainnya. Seharusnya hadis-hadis seperti ini
difahami secara proporsional. Kajian hadis di Barat diwarnai dengan
teks-teks seperti di atas secara parsial, sehingga Islam tidak pernah
difahami sebagai agama pembawa rahmat (kasih sayang).
Islam melarang keras membunuh non-muslim kecuali jika mereka memerangi kaum muslimin.
Dalam agama Islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir
harbi yaitu kafir yang memerangi kaum muslimin. Selain itu semisal orang
kafir yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum muslimin
semisal kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’ahad, maka dilarang
keras untuk dibunuh. Jika melanggar maka ancamannya sangat keras.
مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ
وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium
bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan
empat puluh tahun. ”
Adil dalam hukum dan peradilan terhadap non-muslim
Contohnya ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan dan
menaklukkan Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap
bebas memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan
mereka memluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan
mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Berbeda ketika
bangsa dan agama lain mengusai, maka mereka melakukan pembantaian.
Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum
dan perlindungan kepada penduduk Yerussalem walaupun mereka non-muslim.
Ajakan toleransi agama yang “kebablasan”
Toleransi berlebihan ini, ternyata sudah ada ajakannya sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperjuangkan agama Islam.
Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah,
Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf
menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan tolenasi
kebablasan kepada beliau, mereka berkata:
يا محمد ، هلم فلنعبد ما تعبد ، وتعبد ما نعبد ، ونشترك نحن وأنت في أمرنا
كله ، فإن كان الذي جئت به خيرا مما بأيدينا ، كنا قد شاركناك فيه ، وأخذنا
بحظنا منه . وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك ، كنت قد شركتنا في أمرنا
، وأخذت بحظك منه
“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian
(muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam
segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran
agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka
kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang
lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”
Kemudian turunlah ayat berikut yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini,
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا
أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ.
وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang
yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah
agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).
Bahkan dalam suatu riwayat mengata-kan bahwa Imam Ibnu Abbas pernah berkata:
قَالَ اْبنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَوْ قَالَ لِيْ فِرْعَوْنُ:
بَارَكَ اللهُ فِيْكَ قُلْتُ: وَفِيْكَ، وَفِرْعَوْنُ قَدْ مَاتَ. رواه
البخاري (صحيح البخاري، ص: 72، رقم: 95)
Kalau saja Fir'aun mendo'akanku; semoga Allah memberkatimu. Maka saya
akan mendo'akannya juga; semoga Allah memberkatimu, tapi Fir'aun sudah
mati.(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari kitab Shahihul Adab al-Mufrad
al-Baniy Bab Kaifa Yad'u lidzimmy, hal. 72, hadits nomor 95)
Oleh karena itu, dari teladan yang diberikan oleh Rasulullah Saw., kita
sebagai umatnya yang selalu mengharapkan keselamatan hidup di dunia dan
akhirat, selayaknya harus terus berusaha untuk meniru perilaku-perilaku
dan sikap-sikap sosial beliau, karena bagaimanapun Rasulullah adalah
teladan bagi kita semua. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat
al-Ahzab ayat 21 sebagai berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ
يَرْجُوْ اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيْراً (سورة
الأحزاب: 21)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Qs. al-Ahzab:
21)
Sikap toleransi atau istilah jawa menyebutnya dengan sebutan teposeliro
yang mempunyai arti tepo (nepakno) seliro (awak), yaitu menempatkan diri
pada lingkungan disekitarnya, ini merupakan nilai-nilai ajaran Islam
yang begitu mulia, dan sikap seperti ini juga ditunjukkan oleh seorang
tokoh dunia yaitu Sayyidina Umar Bin Khattab ra. terhadap Uskup
Sophronius di hadapan kaum Nasrani dan kaum muslim di Baitul Maqdis
Yerussalem.
Selanjutnya, di depan Gereja Kanisat al-Qiyamah (Gereja Anastasis) Uskup
Sophronius menyerahkan kunci kota Yerussalem kepada Kholifah Umar Bin
Khattab ra. Kemudian Sayyidina Umar meminta diantarkan ke suatu tempat
untuk menunaikan sholat. Dan oleh Uskup Sophronius, beliau diantarkan ke
dalam gereja. Akan tetapi, Kholifah Umar menolak penghormatan tersebut
sembari mengatakan bahwa dirinya khawatir hal itu akan menjadi suatu
dasar bagi kaum muslimin generasi berikutnya untuk mengubah
gereja-gereja menjadi masjid. Akhirnya, Sayyidina Umar melaksanakan
sholat (munfaridan) di luar atau di teras gereja tersebut. Hal ini
dijelaskan dalam kitab Samahah al-Islam, hal. 34-37 sebagai berikut:
كَتَبَ لِلنَّصَارَى فِيْ بَيْتِ الْمُقَدَّسِ أَمَانًا عَلَى أَنْفُسِهِمْ
وَاَوْلاَدِهِمْ وَنِسَائِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ وَجَمِيْعِ كَنَائِسِهِمْ
لاَ تُهْدَمُ وَلاَ تُسْكَنُ وَحِيْنَ جَاءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ وَهُوَ
جَالِسٌ فِيْ صُحْنِ كَنِيْسَةِ الْقِيَامَةِ خَرَجَ وَصَلَّى خَارِجَ
الْكَنِيْسَةِ عَلَى الدَّرَجَةِ الَّتِى عَلَى بَابِهَا بِمُفْرَدِهِ
وَقَالَ لِلْبَطْرِكْ: لَوْ صَلَّيْتُ دَاخِلَ الْكَنِيْسَةِ لَاَخْذُهَا
الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ بَعْدِيْ وَقَالُوْا: هُنَا صَلَّى عُمَرُ ثُمَّ
كَتَبَ كِتَابًا يُوْصَى بِهِ الْمُسْلِمِيْنَ أَلاَ يُصَلِّى أَحَدٌ
مِنْهُمْ عَلَى الدَّرَجَةِ إِلاَّ وَاحِدًا وَاحِدًا غَيْرَ
مُجْتَمِعِيْنَ لِلصَّلاَةِ فِيْهَا وَلاَ مُؤَذِّنِيْنَ عَلَيْهَا. اَمَّا
عَهْدُهُ لَهُمْ فَقَدْ كَانَ مَثَالاً فِي السَّمَاحَةِ وَالْمُرُوْءَةِ
لاَ يَطْمَعُ فِيْهِ طَامِعٌ مِنْ اَهْلِ حَضَارَةِ مِنْ حَضَارَاتِ
التَّارِيْخِ كَائِنَةُ مَا كَانَتْ فَكَتَبَ لَهُمُ اْلعَهْدَ الَّذِىْ
قَالَ فِيْهِ: (هَذَا مَا أَعْطَى عَبْدُ اللهِ عُمَرُ أَمِيْرُ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَهْلَ اَيْلِيَاءِ مِنَ اْلأَمَانِ . أَعْطَاهُمْ
أَمَانًا لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَصَلَبَانِهِمْ
سَقِيْمِهَا وَبَرِيْئِهَا وَسَائِرِ مِلَّتِهَا . اِنَّهُ لاَ تُسْكَنُ
كَنَائِسُهُمْ وَلاَ تُهْدَمُ وَلاَ يُنْتَقَصُ مِنْهَا وَلاَ مِنْ
خَيْرِهَا وَلاَ مِنْ صَلِيْبِهِمْ وَلاَ مِنْ شَيْئٍ مِنْ اَمْوَالِهِمْ
وَلاَ يَكْرَهُوْنَ عَلَى دِيْنِهِمْ وَلاَ يُضَارُ اَحَدٌ مِنْهُمْ وَلاَ
يُسْكَنُ بِاَيْلِيَاءِ مَعَهُمْ اَحَدٌ مِنَ الْيَهُوْدِ (سماحة الإسلام،
ص: 37-34)
Dari kutipan cerita diatas, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa
begitu besar sikap toleransi (teposeliro) antar sesama meskipun berbeda
agama dan keyakinannya yang diajarkan oleh Islam dan itupun dicontohkan
langsung oleh Nabi Muhammad dan khalifah Umar Bin Khattab ra.
Dan hasil dari pertemuan kedua tokoh besar tersebut menghasilkan sebuah
piagam perdamaian yang dikenal dengan “perjanjian Aelia”yang berbunyi:
Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah ‘Umar Amirul Mukminin,
kepada rakyat Aelia: dia menjamin keamanan diri, harta benda,
gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan
semua aliran agama mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik
membong-karnya, mengurangi, maupun menghilangkanya sama sekali, demikian
pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak
boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk
memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi
Hal yang sama juga diterangkan dalam kitab Haekal Umar bin Khattab pada halaman 316, yang diterbitkan oleh Litera Antar Nusa.
Semoga Bermanfaat