وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَاءٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
Artinya: “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari
suatu golongan, Maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan
cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berkhianat.” (QS. Al-Anfal: 58)
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
Artinya: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah
orang-orang pendusta.”(QS. An-Nahl: 105)
Manusia pada dasarnya ingin memperoleh hasil yang memuaskan dari setiap
usaha yang mereka lakukan, mereka tidak ingin mengalami kegagalan dalam
segala hal, usaha dhahir perlu dilakukan, usaha bathin juga perlu
dilaksanakan, karena kita tau bahwa manusia hanya bisa berusaha, Allah
SWT yang akan menentukan hasilnya.
Pentingnya moral atau akhlaq dalam kehidupan diberbagai aspek sangat
diperhitungkan. Dalam dunia bisnis, dalam akhlaq merupakan faktor utama
bagi kesuksesan seseorang dalam mempertahankan usahanya. Begitu juga
dalam hal kepemmpinan sesorang,menjaga kredibilitas dan kepercayaan
akhlaq pribadi akan menjadi sorotan bagi banyak orang.
Namun tidak jarang kita humpai di liku kehidupan ini kemrosotan moral
dan akhlaq. Mulai dari pelajar hingga para pejabat negara,salah satunya
adalah perilaku tidak jujur. Mereka tidak jujur dalam berbuat ataupun
berucap sehingga melanggar nilai-nilai agama yang seharusnya dijunjung
tinggi dimanapun dan kapanpun. Al Qur’an dan Assunah sendiri banyak yang
menyinggung masaah demikian.
Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik
dibandingkan makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini. Manusia lebih
sempurna dibandingkan dengan binatang. Berbeda dengan binatang, manusia
diberi oleh Allah berupa fitriyah, khawasiyah, dan akliyah. Dengan
menggunakan akliyah manusia dapat membedakan baik dan buruk sehingga
dapat memilikib ahlak yang terpuji dan ahlak yang tercela.
Sebagai manusia yang sempurna dan sebagai khalifah di muka bumi ini maka
manusia di tuntut untuk beraklak terpuji karena dengan aklak terpuji
maka manusia akan selamat di dunia dan akhirat dan hendaklah berakhlak
terpuji dimanapun berada dimulai dengan berbuat baik terhadap diri
sendiri ,lingkungan keluarga dan masyarakat, dan salah satu akhlak
terpuji yang harus dimiliki setiap manusia adalah besikap jujur karena
kejujuran itu membawa kebaikan.
Jujur adalah sebuah kata yang telah dikenal oleh hampir semua orang.
Bagi yang telah mengenal kata jujur mungkin sudah tahu apa itu arti atau
makna dari kata jujur tersebut. Dengan memahami makna kata jujur ini
maka mereka akan dapat menyikapinya. Namun masih banyak yang tidak tahu
sama sekali dan ada juga hanya tahu maknanya secara samar-samar.
Indikator kearah itu sangat mudah ditemukan yakni masih saja banyak
orang belum jujur jikadibandingkan dengan orang yang telah jujur.
Berikut ini saya akan mencoba memberikan penjelasan sebatas kemampuan
saya tetang makna dari kata jujur ini.
Kata jujur adalah kata yang digunakan untuk menyatakan sikap seseorang.
Jika ada seseorang berhadapan dengan sesuatu atau fenomena maka orang
itu akan memperoleh gambaran tentang sesuatu atau fenomena tersebut.
Jika orang itu menceritakan informasi tentang gambaran tersebut
kepada orang lain tanpa ada “perobahan” (sesuai dengan realitasnya )
maka sikap yang seperti itulah yang disebut dengan jujur.
Kejujuran merupakan suatu pondasi yang mendasari iman seseorang, karena
sesungguhnya iman itu adalah membenarkan dalam hati akan adanya Allah.
Jika dari hal yang kecil saja ia sudah terlatih untuk jujur maka untuk
urusan yang lebih besar ia pun terbiasa untuk jujur.
Menjadi orang jujur atau pendusta merupakan pilihan bagi setiap orang,
dan masing-masing pilihan memiliki konsekuensinya sendiri. Bagi orang
yang memilih menjalani hidupnya dengan penuh kejujuran dalam segala
aspek kehidupannya, maka ia akan memiliki citra yang baik di mata
orang-orang yang mengenalnya. Ketika seseorang selalu berkata jujur dan
berbuat benar, maka akan diterima ucapannya di hadapan orang-orang dan
diterima kesaksiannya di hadapan para hakim serta disenangi
pembicaraanya. Sebaliknya, bagi mereka yang selalu berlaku dusta dalam
hidupnya, maka ia tidak akan memliki pandangan yang baik oleh
orang-orang di sekitarnya.
Perilaku jujur adalah perilaku yang teramat mulia. Namun di zaman
sekarang ini, perilaku ini amat sulit kita temukan. Lihat saja bagaimana
kita jumpai di kantoran, di pasaran, di berbagai lingkungan kerja,
perilaku jujur ini hampir saja usang. Lihatlah di negeri ini pengurusan
birokrasi yang seringkali dipersulit dengan kedustaan sana-sini, yang
ujung-ujungnya bisa mudah jika ada uang pelicin. Lihat pula bagaimana di
pasaran, para pedagang banyak bersumpah untuk melariskan barang
dagangannya dengan promosi yang penuh kebohongan. Pentingnya berlaku
jujur, itulah yang akan penulis utarakan dalam tulisan sederhana ini.
Jujur berarti berkata yang benar yang bersesuaian antara lisan dan apa
yang ada dalam hati. Jujur juga secara bahasa dapat berarti perkataan
yang sesuai dengan realita dan hakikat sebenarnya. Kebalikan jujur
itulah yang disebut dusta.
Perintah untuk Berlaku Jujur
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
“Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
يـاَيـُّهَا الَّذِيـْنَ امَنُوا اتَّـقُوا اللهَ وَ قُوْلُوْا قَوْلاً
سَدِيـْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ اَعْمَالَكُمْ وَ يَغْفِرْلَكُمْ
ذُنـُوْبَكُمْ، وَ مَنْ يُّـطِعِ اللهَ وَ رَسُوْلَه فَـقَدْ فَازَ فَوْزًا
عَظِيْمًا. الاحزاب:70-71
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar. [Al-Ahzab : 70 – 71]
يـاَيـُّهَا الَّذَيـْنَ امَنُوْا لِمَ تَـقُوْلُـوْنَ مَا لاَ
تَـفْعَلُـوْنَ. كَـبُرَ مَقْتـًا عِنْدَ اللهِ اَنْ تَـقُوْلُـوْا مَا لاَ
تَـفْعَلُـوْنَ. الصف:2-3
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak
kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan.[Ash-Shaff : 2 – 3]
وَ قُلْ لِّـعِبَادِيْ يَـقُوْلُـوا الَّـتِيْ هِيَ اَحْسَنُ، اِنَّ
الشَّيْطنَ يَنْزَغُ بَـيْنَـهُمْ، اِنَّ الشَّيْطنَ كَانَ لِلإِنــْسَانِ
عَدُوًّا مُّبِـيْنًا. الاسراء:53
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku : “Hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan (suka)
menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagi manusia”. [Al-Israa’ : 53]
Hadits-hadits Nabi SAW :
عَنْ اَبــِى بَكْرٍ الصِّدِّيـْقِ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص:
عَلَـيْكُمْ بِـالصِّدْقِ، فَاِنــَّهُ مَعَ اْلبِرِّ وَ هُمَا فِى
اْلجَنَّةِ. وَ اِيـَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ، فَاِنــَّهُ مَعَ اْلفُجُوْرِ وَ
هُمَا فِى النـَّارِ. ابن حبان فى صحيحه
Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda :
“Wajib atasmu berlaku jujur, karena jujur itu bersama kebaikan, dan
keduanya di surga. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena dusta itu
bersama kedurhakaan, dan keduanya di neraka”. [HR. Ibnu Hibban di dalam
Shahihnya]
عَنِ ابـْنِ مَسْعُوْدٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: عَلَـيْكُمْ
بِـالصِّدْقِ فَاِنَّ الصِّدْقَ يَـهْدِى اِلىَ اْلبِرِّ وَ اْلبِرُّ
يَـهْدِى اِلىَ اْلجَنَّةِ. وَ مَا يَزَالُ الـرَّجُلُ يَصْدُقُ وَ
يَـتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْـتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيـْقًا. وَ
اِيـَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ فَاِنَّ اْلكَذِبَ يَـهْدِى اِلىَ اْلفُجُوْرِ وَ
اْلفُجُوْرُ يَـهْدِى اِلىَ النَّارِ. وَ مَا يَزَالُ اْلعَبْدُ يَكْذِبُ
وَ يَـتَحَرَّى اْلكَذِبَ حَتَّى يُكْـتَبَ عِنْدَ اللهِ كَـذَّابـًا.
البخارى و مسلم و ابو داود و الترمذى و صححه و اللفظ له
Dari Ibnu Mas’ud RA ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Wajib atasmu
berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan
dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan terus-menerus seseorang berlaku
jujur dan memilih kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang
yang jujur. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena sesungguhnya dusta
itu membawa kepada kedurhakaan, dan durhaka itu membawa ke neraka. Dan
terus menerus seorang hamba itu berdusta dan memilih yang dusta sehingga
dicatat di sisi Allah sebagai pendusta”. [HR. Bukhari, Muslim, Abu
Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkannya dan lafadh baginya]
عَنْ عُبَادَةَ بـْنِ الصَّامِتِ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اِضْمَنُوْا
لىِ سِتًّا مِنْ اَنـْفُسِكُمْ، اَضْمَنْ لَكُمُ اْلجَنَّةَ. اُصْدُقُوْا
اِذَا حَدَّثْـتُمْ، وَ اَوْفُوْا اِذَا وَعَدْتُمْ، وَ اَدُّوْا اِذَا
ائْـتُمِنْـتُمْ، وَ احْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ، وَ غُضُّوْا اَبـْصَارَكُمْ،
وَ كُـفُّـوْا اَيـْدِيـَكُمْ. احمد و ابن ابى الدنيا و ابن حبان فى صحيحه
و الحاكم و البيهقى
Dari Ubadah bin Shamit RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Hendaklah
kalian menjamin padaku enam perkara dari dirimu, niscaya aku menjamin
surga bagimu : 1. Jujurlah apabila kamu berbicara, 2. Sempurnakanlah
(janjimu) apabila kamu berjanji, 3. Tunaikanlah apabila kamu diberi
amanat, 4. Jagalah kemaluanmu, 5. Tundukkanlah pandanganmu (dari
ma’shiyat) dan 6. Tahanlah tanganmu (dari hal yang tidak baik)”. [HR.
Ahmad, Ibnu Abid-Dunya, Ibnu Hibban di dalam shahihnya, Hakim dan
Baihaqi]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بـْنِ عَمْرٍو رض اَنَّ رَجُلاً جَاءَ اِلىَ النَّبِيِّ ص
فَقَالَ: يـَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا عَمَلُ اْلجَنَّةِ؟ قَالَ: اَلصِّدْقُ.
اِذَا صَدَقَ الْعَبْدُ بَرَّ، وَ اِذَا بَرَّ آمَنَ، وَ اِذَا آمَنَ
دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قَالَ: يـَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَا عَمَلُ النَّارِ؟
قَالَ: َالْكَذِبُ، اِذَا كَـذَبَ اْلعَبْدُ فَجَرَ، وَ اِذَا فَجَرَ
كَـفَرَ، وَ اِذَا كَـفَرَ يَعْنِى دَخَلَ النـَّارَ. احمد
Dari Abdullah bin ‘Amr RA ia berkata : Sesungguhnya ada seorang
laki-laki datang kepada Nabi SAW, lalu bertanya : “Ya Rasulullah, apakah
amalan surga itu ?” Rasulullah SAW bersabda : “(Amalan surga itu ialah)
jujur. Apabila seorang hamba itu jujur berarti dia itu baik, apabila
baik dia beriman dan apabila dia beriman maka dia masuk surga”. Orang
itu bertanya lagi : “Ya Rasulullah, apakah amalan neraka itu ?”
Rasulullah SAW bersabda : “(Amalan neraka itu ialah) dusta. Apabila
seorang hamba itu berdusta berarti dia durhaka, apabila durhaka dia
kafir dan apabila kafir maka dia masuk neraka”. [HR. Ahmad]
عَنْ اَبــِى بُـرَيـْدَةَ اْلاَسْلاَمِيِّ رض قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ ص يَـقُوْلُ: اَلاَ اِنَّ اْلكَـذِبَ يُـسَوِّدُ اْلوَجْهَ. وَ
النَّـمِيْمَةَ عَذَابُ اْلـقَـبْرِ. ابو يعلى و الطبرانى و ابن حبان فى
صحيحه و البيهقى
Dari Abu Buraidah Al-Aslamiy RA ia berkata : Saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya dusta itu menghitamkan wajah
dan namimah itu (menyebabkan) siksa qubur”. [HR. Abu Ya’la, Thabrani,
Ibnu Hibban di dalam Shahihnya dan Baihaqi]
عَنْ اَنــَسِ بـْنِ مَالـِكٍ رض قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص
يَـقُوْلُ: ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِـيْهِ فَـهُـوَ مُنَافِقٌ وَ اِنْ صَامَ
وَ صَلَّى وَ حَجَّ وَ اعْتَـمَرَ، وَ قَالَ اِنــِّى مُسْلِمٌ. اِذَا
حَدَّثَ كَـذَبَ وَ اِذَا وَعَدَ اَخـْلَـفَ وَ اِذَا ائْــتُمِنَ خَانَ.
ابو يعلى
Dari Anas bin Malik RA ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda : “Ada tiga perkara yang apabila tiga perkara itu ada padanya
maka ia adalah orang munafiq, meskipun ia puasa, shalat, hajji, umrah
dan mengatakan : “Sesungguhnya saya orang Islam”, yaitu : 1. Apabila
berbicara ia berdusta, 2. Apabila berjanji menyelisihi dan 3. Apabila
diberi amanat ia khianat”. [HR. Abu Ya’la]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بـْنِ عَمْرِو بـْنِ اْلعَاصِ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص
قَالَ: اَرْبَعٌ مَنْ كُـنَّ فِـيْهِ كَانَ مُنَـافِقًا خَالـِصًا، وَ مَنْ
كَانَ فِـيْهِ خَصْلَةٌ مِنْـهُنَّ كَانَتْ فِـيْهِ خَصْلَةُ النِّفَاقِ
حَتَّى يَدَعَهَا. اِذَا ائْـتُـمِنَ خَانَ، وَ اِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ
اِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَ اِذَا خَاصَمَ فَجَرَ. البخارى و مسلم و ابو داود
و الترمذى و النسائى
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash RA, ia berkata : Sesungguhnya Nabi
SAW bersabda : “Ada empat perkara barangsiapa yang empat perkara itu ada
padanya maka ia adalah orang munafiq yang sebenarnya. Dan barangsiapa
ada padanya satu bagian dari yang empat perkata itu berarti ada padanya
satu bagian dari kemunafiqan sehingga ia meninggalkannya, yaitu : 1.
Apabila diberi amanat ia khianat, 2. Apabila berbicara ia berdusta, 3.
Apabila berjanji menyelisihi dan 4. Apabila bertengkar ia curang”. [HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai]
عَنِ اْلحَسَنِ بـْنِ عَلِيٍّ رض قَالَ: حَفِظْـتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص:
دَعْ مَا يُـرِيـْبُكَ اِلىَ مَا لاَ يُـرِيـْبُكَ. فَاِنَّ الصِّدْقَ
طُمَأْنـِيْنَةٌ، وَ اْلكَـذِبَ رَيـْبَةٌ. الترمذى و قال حديث حسن صحيح
Dari Hasan bin Ali RA ia berkata : Saya hafal dari Rasulullah SAW
(beliau bersabda) : “Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu (berpindahlah)
kepada apa-apa yang tidak meragukanmu, karena jujur itu adalah
ketenangan dan dusta itu adalah keraguan”. [HR. Tirmidzi dan ia berkata :
Hadits Hasan Shahih]
عَنْ اَبــِى هُرَيــْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لاَ يُـؤْمـِنُ
اْلعَبْدُ اْلاِيـْمَانَ كُـلَّهُ حَتَّى يـَتْرُكَ اْلكَـذِبَ فِى
اْلمَزَاحَةِ وَ اْلمِرَاءَ وَ اِنْ كَانَ صَادِقًا. احمد و الطبرانى
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah
beriman seorang hamba dengan iman sepenuhnya sehingga ia meninggalkan
berdusta dalam bergurau dan (meninggalkan) berbantah meskipun ia benar”.
[HR. Ahmad dan Thabrani]
عَنْ اَبــِى اُمَامَةَ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَنــَا زَعِيْمٌ
بِـبَـيْتٍ فِى وَسَطِ اْلجَنَّةِ لِمَنْ تَـرَكَ اْلكَذِبَ وَ اِنْ كَانَ
مَازِحًا. البيهقى بـإسناد حسن
Dari Abu Umamah RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Saya menjamin
dengan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun
dalam bergurau”. [HR. Baihaqi dengan sanad Hasan]
عَنْ اَبــِى هُرَيــْرَةَ رض عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص اَنـــَّهُ قَالَ:
مَنْ قَالَ لِصَبِيٍّ تَـعَالَ هَاكَ، ثُمَّ لَمْ يُـعْطِهِ، فَهِيَ
كَـذْبَةٌ. احمد و ابن ابى الدنيا
Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW sesungguhnya beliau bersabda :
“Barangsiapa berkata kepada anak kecil : “Kesinilah ! saya beri”.
Kemudian ia tidak memberinya, maka yang demikian itu adalah perbuatan
dusta”. [HR. Ahmad dan Ibnu Abid Dunya]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بـْنِ عَامِرٍ رض قَالَ: دَعَتْنِى اُمِّى يَـوْمًا. وَ
رَسُوْلُ اللهِ ص قَاعِدٌ فِى بَيْتِنَا. فَقَالَتْ: هَا تَعاَلَ اُعْطِكَ،
فَقَالَ لهَاَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَا اَرَدْتِ اَنْ تُعْطِيْهِ، قَالَتْ:
اَرَدْتُ اَنْ اُعْطِيَهُ تَمْرًا، فَقَالَ لَـهَا رَسُوْلُ اللهِ ص اَمَا
اِنــَّكِ لَـوْ لَمْ تُعْطِـيْهِ شَيْئًا كُـتِبَتْ عَلَـيْكِ
كَـذْبــَةٌ. ابو داود و البيهقى
Dari Abdullah bin ‘Amir RA ia berkata, “Pada suatu hari ibu saya
memanggil saya, pada waktu itu Rasulullah SAW sedang duduk di rumah
kami. Ibu saya berkata : “Kesinilah ! kamu saya beri”. Maka Rasulullah
SAW bersabda : “Apakah betul engkau akan memberinya ?” Ibu saya berkata :
“Saya akan memberinya korma”. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepada ibu
saya : “Ketahuilah, sesungguhnya kamu jika tidak memberi sesuatu
kepadanya niscaya kamu dicatat dusta”. [HR. Abu Dawud dan Baihaqi]
عَنْ اَبــِى هُرَيـْرَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: لاَ يَجْتَمِعُ
اْلكُـفْرُ وَ اْلاِيـْمَانُ فِى قَـلْبِ امْرِئٍ، وَ لاَ يَجْتَمِعُ
الصِّدْقُ وَ اْلكَـذِبُ جَمِيْعًا وَ لاَ تَجْتَمِعُ اْلخِيَانَةُ وَ
اْلاَمَانَةُ جَمِيْعًا. احمد
Dari Abu Hurairah RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan
berkumpul kekafiran dengan keimanan di hati seseorang, begitu pula tidak
akan berkumpul bersama-sama kejujuran dengan kedustaan dan tidak akan
berkumpul bersama-sama khianat dengan amanat”. [HR. Ahmad]
عَنْ اَنــَسٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَـسْتَـقِيْمُ
اِيـْمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَـسْتَـقِيْمُ قَـلْـبُهُ، وَ لاَ
يَـسْتَـقِيْمُ قَـلْـبُهُ حَتَّى يَـسْتَـقِيْمُ لـِسَانُهُ، وَ لاَ
يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ رَجُلٌ لاَ يَـأْمَنُ جَارُهُ بِـوَائـِقَــهُ. احمد و
ابن ابى الدنيا
Dari Anas RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan lurus
iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya
sehingga lurus pula lisannya. Dan tidak akan masuk surga orang yang
(membuat) tetangganya itu tidak aman dari kejahatannya”.[HR. Ahmad dan
Ibnu Abid-Dunya].
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah berkata, “Kejujuran adalah jalan
yang lurus dimana orang yang tidak menempuh jalan tersebut, dia akan
celaka dan binasa. Dengan kejujuran inilah, akan terbedakan siapakah
yang munafik dan siapakah orang yang beriman, dan siapakah yang termasuk
penduduk surga dan siapakah yang termasuk penduduk neraka”. (Madaarijus
Salikin)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullahu juga menyatakan, ”Tidak ada sifat
yang paling berharga bagi seseorang dari kejujurannya kepada Tuhan dalam
semua hal, disamping kejujurannya dalam niat dan perbuatan, karena
kebahagiaan tergantung pada niat dan perbuatan. Niat yang benar terletak
pada ketegasan dalam berniat. Jika niat telah benar, maka hanya tinggal
memperbaiki perilaku, yaitu jujur dalam tindakan. Kebulatan tekad dapat
menghindarkan diri dari keinginan dan obsesi yang melemah, sementara
tindakan yang jujur (benar) dapat menghindarkan diri dari rasa malas dan
semangat yang melemah”.
Lanjut menurut beliau, orang sepatutnya jujur dalam ucapan, perbuatan
dan keadaannya. Berlaku jujur dapat mengaktifkan sistem imunitas tubuh
dan jiwa, sedang berbohong justru akan memperlambat dan melemahkan
sistem imunitas tersebut. Oleh karena itu, dokter, psikiater, dan
konsultan pendidikan menyerukan untuk berlaku jujur dalam ucapan dan
perbuatan. Mereka mengklasifikasikan sikap jujur sebagai ciri jiwa yang
sehat, sedangkan sikap bohong sebagai salah satu faktor yang dapat
melemahkan kesehatan jiwa dan fisik.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakekat kejujuran menurut Ibnu Qayyim setidaknya terbagi menjadi 3 bagian;
Pertama, jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya,
tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan
merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara
macam-macam kejujuran.
Seseorang tidak dikatakan jujur kecuali perkataannya telah memenuhi dua
syarat sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul
Bari, yaitu;
Adanya kesesuaian antara lesan dengan hatinya (keyakinannya) serta
kesesuaian antara lesannya dengan kabar yang disampaikan oleh lesannya.
Ketika salah satu syarat tersebut hilang, maka perkataannya tidak
dikatakan jujur.
Ketika orang kafir atau munafiq mengatakan “محمد رسول الله” (Muhammad
adalah utusan Allah), dilihat dari kabar yang disampaikan adalah benar.
Namun ketika dilihat kesesuaian antara lesan dan keyakinannya, tidak
benar. Maka tidak terpenuhi syarat jujur.
Karena itu dalam surah Al Munafiqun ayat pertama disebutkan,
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami
mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. dan Allah
mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah
mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang
pendusta”. (Al Munafiqun: 1)
Maka dari itu, Rasulullah mewanti-wanti umatnya agar berhati-hati dalam
menukil atau menyampaikan suatu kabar. Suatu kabar yang belum jelas
baginya, hanya katanya dan katanya. Sebab disebutkan dalam sebuah hadits
shahih,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كَفَى بِالْمَرْءِ كذبا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا
سَمِعَ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu beliau berkata, Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Cukup seseorang [dikatakan
sebagai] pendusta [jika] ia menceritakan segala [berita] yang ia
dengar.” (HR. Muslim)
Maknanya, kita harus berhati-hati terhadap lesan ini. Lesan yang tak
bertulang ini sebenarnya adalah nikmat dari Allah yang sangat besar.
Tapi jika seseorang tidak mampu menjaganya maka lesan inilah yang akan
membawa ke neraka. Sehingga dalam sebuah hadits disebutkan,
عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: اضمنوا
لي ستا من أنفسكم أضمن لكم الجنة: اصدقوا إذا حدثتم، وأوفوا إذا وعدتم،
وأدوا إذا ائتمنتم، واحفظوا فروجكم، وغضوا أبصاركم، وكفوا أيدكم. أخرجه
أحمد وابن حبان والحاكم وصححه الألباني في صحيح الترغيب.
Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Berikan jaminan padaku dengan enam perkara dari diri
kalian, akan aku jamin surga untuk kalian : (1) Jujurlah jika berbicara
(2) penuhilah jika kalian berjanji (3) tunaikanlah jika kalian diberi
amanah (4) jagalah kemaluan kalian (5) tundukkan pandangan kalian (6)
tahanlah tangan kalian”. (Dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim,
dan lain-lain. Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib)
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
enam sifat mukmin yang dijamin masuk surga, salah satunya adalah berkata
jujur jika berbicara.
Kedua, jujur dalam perbuatan. Yaitu ketika amal perbuatannya sesuai
dengan perintah atau petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Maknanya, jika seorang mengikuti sunnah dalam beramal berarti ia telah
jujur dalam perbuatannya. Dan sebaliknya, ketika seorang semangat
beribadah, namun tidak peduli apakah ibadahnya sesuai dengan sunnah atau
tidak, maka berarti ia tidak berusaha jujur dalam beramal.
Sehingga para ulama’ mengatakan salah satu syarat diterimanya amal
ibadah seseorang oleh Allah adalah dengan mengikuti petunjuk Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam, bukan hanya sekedar ikhlas.
Ketiga, jujur yang berhubungan dengan situasi dan kondisi ianya.
Maknanya adalah ketulusan/keikhlasan amalan hati serta amalan anggota
badan di atas keikhlasan. Oleh para ulama’ kejujuran ini disebut dengan
jujur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan
merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai
pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah,
yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah
menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi
pada niat dan maksud mereka.
Jujur yang ketiga ini adalah kesamaan hati dengan lesan dan anggota
badan. Betul-betul mengamalkan suatu amalan tanpa pamrih, kecuali hanya
pamrih dari Allah Ta’ala. Jujur niatnya, tekad dan keyakinannya.
Sehingga disebutkan dalam sebuah hadits,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ الْبَغْدَادِيُّ
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ كَثِيرٍ الْمِصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ شُرَيْحٍ أَنَّهُ سَمِعَ سَهْلَ بْنَ أَبِي أُمَامَةَ
بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَأَلَ اللَّهَ
الشَّهَادَةَ مِنْ قَلْبِهِ صَادِقًا بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ
الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sahl bin Askar Al Baghdadi
berkata, telah menceritakan kepada kami Al Qasim bin Katsir Al Mishri
berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Syuraih
Bahwasanya ia mendengar Sahl bin Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif ia
menceritakan dari Bapaknya dari Kakeknya dari Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang memohon mati syahid kepada
Allah dengan jujur dari dalam hatinya, maka Allah akan memberinya pahala
syuhada meskipun ia meninggal di atas kasur”. (HR. Muslim)
Terkadang, kenapa permintaan kita tidak dikabulkan oleh Allah?
Barangkali kita kurang jujur atau sungguh-sungguh meminta kepada Allah.
Hal ini sekaligus menunjukkan pentingnya sebuah niat dalam hati.
Sehingga disebutkan dalam hadits lainnya,
Dari Abu Kabsyah Al-Anmari Radhiallahu Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ ، وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ ،
قَالَ : مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ ، وَلاَ ظُلِمَ عَبْدٌ
مَظْلِمَةً ، فَصَبَرَ عَلَيْهَا ، إِلاَّ زَادَهُ اللهُ عِزًّا ، وَلاَ
فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ ، إِلاَّ فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ بَابَ
فَقْرٍ ، أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا ، وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا
فَاحْفَظُوهُ ، قَالَ : إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ : عَبْدٍ
رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَعِلْمًا ، فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ ،
وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ ، وَيَعْلَمُ للهِ فِيهِ حَقًّا ، فَهَذَا
بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ
يَرْزُقْهُ مَالاً ، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ ، يَقُولُ : لَوْ أَنَّ لِي
مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ ، فَأَجْرُهُمَا
سَوَاءٌ ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا ،
فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ ، لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ
، وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ ، وَلاَ يَعْلَمُ للهِ فِيهِ حَقًّا ،
فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالاً
وَلاَ عِلْمًا ، فَهُوَ يَقُولُ : لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ
بِعَمَلِ فُلاَنٍ ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ ، فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ.
“Ada tiga perkara yang aku bersumpah atasnya, dan aku akan menceritakan
kepada kalian suatu perkataan, maka hafalkanlah. Beliau bersabda, “Harta
seorang hamba tidaklah berkurang disebabkan shadaqah, dan tidaklah
seorang hamba terzhalimi dengan suatu kezhaliman lalu ia bersabar dalam
menghadapinya melainkan Allah menambahkan kemuliaan kepadanya, dan
tidaklah seorang hamba membuka pintu untuk meminta-minta (kepada orang
lain, pent) melainkan Allah akan bukakan baginya pintu kefakiran, -atau
suatu kalimat semisalnya-.
Dan aku akan sampaikan kepada kalian satu perkataan kemudian
hafalkanlah. Beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia ini hanya milik empat
golongan saja:
1) Seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu kemudian ia
bertakwa kepada Rabb-nya, menyambung silaturrahim dan mengetahui hak-hak
Allah, inilah kedudukan yang paling mulia.
2) Seorang hamba yang dikaruniai ilmu tapi tidak dikaruniai harta,
kemudian dengan niat yang tulus ia berkata: ‘Jika seandainya aku
mempunyai harta, maka aku akan beramal seperti amalannya si fulan itu.’
Dengan niat seperti ini, maka pahala keduanya sama.
3) Seorang hamba yang dikaruniai harta namun tidak diberi ilmu,
lalu ia membelanjakan hartanya secara serampangan tanpa dasar ilmu, ia
tidak bertakwa kepada Rabbnya, tidak menyambung silaturrahim, dan tidak
mengetahui hak-hak Allah, maka ia berada pada kedudukan paling rendah.
4) Dan seorang hamba yang tidak dikaruniai harta dan juga ilmu oleh
Allah Ta’ala, lantas ia berkata: “Kalau seandainya aku memiliki harta,
niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan”. Maka ia
dengan niatnya itu, menjadikan dosa keduanya sama.” (Diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dan Ahmad)
Perhatikanlah hadits diatas, sudah berapa banyak pahala kita? Jika
engkau tidak memiliki harta, tapi engkau hanya bermodalkan kejujuran,
lalu dengan ikhlas engkau berkata: “Kalau seandainya aku memiliki harta
seperti saudagar Fulan, sungguh aku akan berbuat kebaikan seperti yang
ia kerjakan”. Maka pahala kalian berdua sama. Sungguh ini merupakan
kenikmatan yang agung, dan segala puji hanya bagi Allah, Pemilik segala
pujian dan kemuliaan.
Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan,
perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah
memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap
langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,
“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara
masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar
dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.”
(Al-Isra’: 80)
Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”. (Asy-Syu’ara’: 84)
Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan
terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya
akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang
orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang
telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa
mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.
(Al-Baqarah: 177)
Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal
lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran
serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan
keamanan.
Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi
menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik).
Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas
keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan
mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah,
“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman
dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan
keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang benar”. (Al-Hasyr: 8)
Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiallahu Anhu bahwa
Rasulullah bersabda,
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia
dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia
mengkhianati”. (HR. Bukhari, Kitab Iman)
Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan
menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan
siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk
selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian
jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan
pahala sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para
pendusta.
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta
terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya?
Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang
yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka
memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah
balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi
(mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka
kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan”. (Az-Zumar: 32-35)
Kisah kejujuran Syekh Abdul Qadir Jaelani, singkatnya Abdul Qadir al
Jaelani pun meminta ijin kepada ibunya untuk menuntut ilmu agama ke
bagdad. Mendengar niat anaknya begitu ibunya pun merasa senang dan
mengijinkannya untuk menimba ilmu agama kepada ulama-ulama besar di
bagdad. Dan ibunya pun berpesan pada anaknya, "wahai abdul qadir ibu
meminta kepada kamu untuk berlaku jujur dalam tindakan dan ucapan selama
kamu menimba ilmu disana, dan ibu memberikan bekal kepada kamu warisan
dari ayahmu uang sebanyak 200 dinar untuk bekal kamu selama kamu disana.
Apabila nanti ada rombongan pengusaha yang akan pergi kesana alangkah
baiknya kamu ikut rombongan itu. Dan abdul qadir pun pergi dengan ridha
ibunya. Ditengah perjalan ada sekelompok gerombolan perampok yang
menghadang rombongan syekh Abdul Qadir dan para pengusaha.Kelompok
gerombolan ini terkenal bengis dan sadis.dan satu persatu harta yang
dibawa para rombongan pun di rampas.
Dan pada saat salah satu anggota perampok mendekati abdul qadir ,ia pun
bertanya kepada abdul qadir, "hai anak muda harta apa yang kamu miliki
dan abdul qadir pun menjawab aku punya uang 200 dinar,yang di simpan di
bawah ketiaknya, dilalah anehnya orang yang bertanya tadi malah tertawa
dan tidak percaya bahwa tampang seperti ini memiliki harta 200 dinar dan
berkata jujur.
Dan beliau pun di suruh pergi, dan bertemu lagi dengan anggota rampok
yang lain dan ditanya lagi seperti pertanyaan tadi. dan orang ini pun
tidak mempercayainya. Dan pada akhirnya kepala rampoknya mendengar bahwa
ada anak muda yang mengaku memiliki harta 200 dinar tapi tidak ada yang
percaya.Disuruhlah abdul qadir untuk menghadap kepada kepala rampok.dan
kepala rampok tadi menanyakan pertanyaan sama dengan anak buahnya.
Abdul Qadir pun menjawab dengan jawaban yang sama dan membuktikan bahwa
dia memang memiliki uang 200 dinar.
Ketika melihat kebenaran dan kejujuran dengan anak muda ini sedikit
kaget dan tercengang lalu dia pun bertanya kepada beliau mengapa engkau
mau berkata jujur padahal dalam situasi serba susah begini. dan abdul
qadir pun menjawab "saya tidak ingin melanggar janji saya pada ibu saya
dan saya tidak ingin membuat ibu saya merasa kecewa" dan kepala rampok
tersebut menanyakan kembali memang kamu telah berjanji apa pada ibu kamu
padahal ibumu tidak akan mengetahuinya. lalu abdul qadir pun menjawab
"ibu saya mewasiatkan kepada saya untuk berlaku jujur dalam bertingkah
laku dan berbicara walau dalam keadaan apapun"
Mendengar penjelasan Abdul Qadir si kepala perampok pun merasa terharu
dan menangis di hadapan beliau karena merasa malu pada sikap Abdul Qadir
(yang pada waktu itu masih muda) yang tidak berani melanggar janji
pada ibunya, sedangkan dia dan anak buahnya sudah sering dan banyak
melanggar aturan Allah, dan bagaimana Allah sangat membencinya .
Karena ketauladan beliau dan kejujurannya maka kepala rampok pun
bertaubat di hadapan Syekh Abdul Qadir dan berjanji tidak akan melakukan
perbuatan yang di larang Allah dan merugikan banyak orang.Dan hasil
rampokannya pun dikembalikan kepada pemiliknya.
Jujur adalah mengatakan sesuatu apa adanya. Jujur lawannya dusta. Ada
pula yang berpendapat bahwa jujur itu tengah-tengah antara
menyembunyikan dan terus terang. Dengan demikian, jujur berarti
keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu
berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar atau jujur,
tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Nabi menganjurkan umatnya
untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia
yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut.
Wallohu A'lam Bishshowab