Pemuda Bermata Biru itu adalah Uwais ibn ‘Amir ibn Jaza ibn Malik ibn
‘Amr ibn Sa’ad ibn ‘Ashwan ibn Qoron ibn Rodman ibn Najiah ibn Murod.
Nama asli Murad yang terakhir di sebut adalah Yuhabir ibn Malik ibn
‘Udad.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam sedang duduk
diantara para sahabatnya; antara lain Abu Hurairah, Umar, Ali dan
lainnya. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik generasi tabi’in adalah orang yang bernama
Uwais. Dia mempunyai seorang ibu dan mempunyai belang putih ditubuhnya.
Lalu dia berdoa hingga Allah menghilangkan belang itu kecuali hanya
tersisa sebentuk dirham.”(HR. Muslim dalam shahihnya No. 2542, Imam
Ahmad dalam Musnadnya, I/38)
Beliau adalah Uwais al-Qarni adalah teladan bagi orang yang zuhud. Ia
adalah salah seorang dari delapan orang zuhud yang menghindarkan diri
dari dunia, sehingga Allah menjaga mereka dan memberikan kasih sayang
dan keridhaanNya. Uwais al-Qarni adalah tokoh dari generasi tabi’in
dizamannya. Demikian dituturkan Imam adz-Dzahabi. Ia juga dikenal
sebagai junjungan dari orang-orang yang dikatakan oleh Allah dalam
firmanNya:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama- lamanya. Mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar. “(QS. At-Taubah:100)
Dia adalah Abu Amr bin Amir bin Juz’I bin Malik al-Qarni al-Muradi
al-Yamani. Qarn adalah salah satu suku dari kabilah Arab bernama Murad.
Beliau juga termasuk satu dari wali Allah yang bertakwa.
Ia dilahirkan saat terjadi peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu
Aalaihi wa Sallam ke Madinah. Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam
pernah membicarakan tentang dirinya. Ia mempunyai seorang ibu yang
sangat ia hormati.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW. ada seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni.
Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir,
hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim.
Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah
tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais
tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah
dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang
diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan,
terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan
serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais
Al-Qarni setiap hari.
Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan
juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila
malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah
sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang
dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, sedang ia
sendiri belum pernah menjumpainya.
Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad SAW. mendapat
cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya,
telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais Al-Qarni mengetok
giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan
rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad SAW. sekalipun ia belum pernah
bertemu dengan beliau.
Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi
SAW. semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat
bertemu Nabi Muhammad SAW. dan memandang wajah beliau dari dekat ? Ia
rindu mendengar suara Nabi SAW. kerinduan karena iman.
Kisah Uwais bin ‘Amir Al Qarni ini patut diambil faedah dan pelajaran.
Terutama ia punya amalan mulia bakti pada orang tua sehingga banyak
orang yang meminta doa kebaikan melalui perantaranya. Apalagi yang
menyuruh orang-orang meminta doa ampunan darinya adalah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang sudah disampaikan oleh beliau jauh-jauh hari.
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنِي سَعِيدٌ
الْجُرَيْرِيُّ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ أُسَيْرِ بْنِ جَابِرٍ أَنَّ
أَهْلَ الْكُوفَةِ وَفَدُوا إِلَى عُمَرَ وَفِيهِمْ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ
يَسْخَرُ بِأُوَيْسٍ فَقَالَ عُمَرُ هَلْ هَاهُنَا أَحَدٌ مِنْ
الْقَرَنِيِّينَ فَجَاءَ ذَلِكَ الرَّجُلُ فَقَالَ عُمَرُ إِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ إِنَّ رَجُلًا
يَأْتِيكُمْ مِنْ الْيَمَنِ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ لَا يَدَعُ بِالْيَمَنِ
غَيْرَ أُمٍّ لَهُ قَدْ كَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَدَعَا اللَّهَ فَأَذْهَبَهُ
عَنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ الدِّينَارِ أَوْ الدِّرْهَمِ فَمَنْ لَقِيَهُ
مِنْكُمْ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ
حَدَّثَنَا حَمَّادٌ وَهُوَ ابْنُ سَلَمَةَ عَنْ سَعِيدٍ الْجُرَيْرِيِّ
بِهَذَا الْإِسْنَادِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ خَيْرَ
التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ
بَيَاضٌ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ
[[[Telah menceritakan kepadaku [Zuhair bin Harb]; Telah menceritakan
kepada kami [Hasyim bin Al Qasim]; Telah menceritakan kepada kami
[Sulaiman bin Al Mughirah]; Telah menceritakan kepadaku [Sa'id Al
Jurairi] dari [Abu Nadhrah] dari [Usair bin Jabir] bahwa penduduk Kufah
mengutus beberapa utusan kepada [Umar bin Khaththab], dan di antara
mereka ada seseorang yang biasa mencela Uwais. Maka Umar berkata;
"Apakah di sini ada yang berasal dari Qaran. Lalu orang itu menghadap
Umar. Kemudian Umar berkata: 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam telah bersabda: "Sesungguhnya akan datang kepadamu
seorang laki-laki dari Yaman yang biasa dipanggil dengan Uwais. Dia
tinggal di Yaman bersama Ibunya. Dahulu pada kulitnya ada penyakit
belang (berwarna putih). Lalu dia berdo'a kepada Allah, dan Allahpun
menghilangkan penyakit itu, kecuali tinggal sebesar uang dinar atau
dirham saja. Barang siapa di antara kalian yang menemuinya, maka
mintalah kepadanya untuk memohonkan ampun kepada Allah untuk kalian."
Telah menceritakan kepada kami [Zuhair bin Harb] dan [Muhammad bin Al
Mutsanna] keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami ['Affan bin
Muslim]; Telah menceritakan kepada kami [Hammad] yaitu Ibnu Salamah dari
[Sa'id Al Jurairi] melalui jalur ini dari ['Umar bin Al Khaththab] dia
berkata; Sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Sebaik-baik tabi'in, adalah seorang laki-laki yang
dibiasa dipanggil Uwais, dia memiliki ibu, dan dulu dia memiliki
penyakit belang ditubuhnya. Carilah ia, dan mintalah kepadanya agar
memohonkan ampun untuk kalian.']]] [HR. Muslim No.4612]
Kisahnya adalah berawal dari pertemuaannya dengan ‘Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ أُسَيْرِ بْنِ جَابِرٍ قَالَ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِذَا
أَتَى عَلَيْهِ أَمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ سَأَلَهُمْ أَفِيكُمْ أُوَيْسُ
بْنُ عَامِرٍ حَتَّى أَتَى عَلَى أُوَيْسٍ فَقَالَ أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ
عَامِرٍ قَالَ نَعَمْ . قَالَ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ قَالَ
نَعَمْ.
قَالَ فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأْتَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ لَكَ وَالِدَةٌ قَالَ نَعَمْ
Dari Usair bin Jabir, ia berkata, ‘Umar bin Al Khattab ketika didatangi
oleh serombongan pasukan dari Yaman, ia bertanya, “Apakah di
tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais bin ‘Amir?” Sampai ‘Umar
mendatangi ‘Uwais dan bertanya, “Benar engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”
Uwais menjawab, “Iya, benar.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari
Murod, dari Qarn?” Uwais menjawab, “Iya.”
Umar bertanya lagi, “Benar engkau dahulu memiliki penyakit kulit lantas sembuh kecuali sebesar satu dirham.”
Uwais menjawab, “Iya.”
Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?"
Uwais menjawab, “Iya.”
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى
عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ
مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ
مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى
اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ
». فَاسْتَغْفِرْ لِى. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَيْنَ
تُرِيدُ قَالَ الْكُوفَةَ. قَالَ أَلاَ أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا
قَالَ أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ
Umar berkata, “Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais
bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad
kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya
kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti
padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan
yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya
engkau diampuni, mintalah padanya.”
Umar pun berkata, “Mintalah pada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uwais mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah.
Umar pun bertanya pada Uwais, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah”.
Umar pun mengatakan pada Uwais, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di negeri Kufah supaya membantumu?”
Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).
”
قَالَ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ حَجَّ رَجُلٌ مِنْ
أَشْرَافِهِمْ فَوَافَقَ عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ أُوَيْسٍ قَالَ تَرَكْتُهُ
رَثَّ الْبَيْتِ قَلِيلَ الْمَتَاعِ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ
أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ
بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ
بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ
أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ».
Tahun berikutnya, ada seseorang dari kalangan terhormat dari mereka
pergi berhaji dan ia bertemu ‘Umar. Umar pun bertanya tentang Uwais.
Orang yang terhormat tersebut menjawab, “Aku tinggalkan Uwais dalam
keadaan rumahnya miskin dan barang-barangnya sedikit.” Umar pun
mengatakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nanti akan
datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan
dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki
penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia
punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau
bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau
mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah
padanya.”
فَأَتَى أُوَيْسًا فَقَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ أَنْتَ أَحْدَثُ عَهْدًا
بِسَفَرٍ صَالِحٍ فَاسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ
لَقِيتَ عُمَرَ قَالَ نَعَمْ. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ
Orang yang terhormat itu pun mendatangi Uwais, ia pun meminta pada Uwais, “Mintalah ampunan pada Allah untukku.”
Uwais menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari safar yang baik (yaitu haji), mintalah ampunan pada Allah untukku.”
Orang itu mengatakan pada Uwais, “Bukankah engkau telah bertemu ‘Umar.”
Uwais menjawab, “Iya benar.” Uwais pun memintakan ampunan pada Allah untuknya.
فَفَطِنَ لَهُ النَّاسُ فَانْطَلَقَ عَلَى وَجْهِهِ
“Orang lain pun tahu akan keistimewaan Uwais. Lantaran itu, ia mengasingkan diri menjauh dari manusia.” (HR. Muslim no. 2542)
Faedah dari kisah Uwais Al Qarni di atas:
1- Kisah Uwais menunjukkan mu’jizat yang benar-benar nampak dari
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia adalah Uwais bin ‘Amir. Dia
berasal dari Qabilah Murad, lalu dari Qarn. Qarn sendiri adalah bagian
dari Murad.
2- Kita dapat ambil pelajaran –kata Imam Nawawi- bahwa Uwais adalah
orang yang menyembunyikan keadaan dirinya. Rahasia yang ia miliki cukup
dirinya dan Allah yang mengetahuinya. Tidak ada sesuatu yang nampak pada
orang-orang tentang dia. Itulah yang biasa ditunjukkan orang-orang
bijak dan wali Allah yang mulia.
Maksud di atas ditunjukkan dalam riwayat lain,
أَنَّ أَهْلَ الْكُوفَةِ وَفَدُوا إِلَى عُمَرَ وَفِيهِمْ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ يَسْخَرُ بِأُوَيْسٍ
“Penduduk Kufah ada yang menemui ‘Umar. Ketika itu ada seseorang yang meremehkan atau merendahkan Uwais.”
Dari sini berarti kemuliaan Uwais banyak tidak diketahui oleh orang lain sehingga mereka sering merendahkannya.
3- Keistimewaan atau manaqib dari Uwais nampak dari perintah
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pada Umar untuk meminta do’a dari
Uwais, supaya ia berdo’a pada Allah untuk memberikan ampunan padanya.
4- Dianjurkan untuk meminta do’a dan do’a ampunan lewat perantaraan orang shalih.
5- Boleh orang yang lebih mulia kedudukannya meminta doa pada orang yang
kedudukannya lebih rendah darinya. Di sini, Umar adalah seorang sahabat
tentu lebih mulia, diperintahkan untuk meminta do’a pada Uwais –seorang
tabi’in- yang kedudukannya lebih rendah.
6- Uwais adalah tabi’in yang paling utama berdasarkan nash dalam riwayat
lainnya, dari ‘Umar bin Al Khattab, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ
“Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang pria yang bernama .
Uwais. Ia memiliki seorang ibu dan dulunya berpenyakit kulit (tubuhnya
ada putih-putih). Perintahkanlah padanya untuk meminta ampun untuk
kalian.” (HR. Muslim no. 2542). Ini secara tegas menunjukkan bahwa Uwais
adalah tabi’in yang terbaik.
Ada juga yang menyatakan seperti Imam Ahmad dan ulama lainnya bahwa yang
terbaik dari kalangan tabi’in adalah Sa’id bin Al Musayyib. Yang
dimaksud adalah baik dalam hal keunggulannya dalam ilmu syari’at seperti
keunggulannya dalam tafsir, hadits, fikih, dan bukan maksudnya terbaik
di sisi Allah seperti pada Uwais. Penyebutan ini pun termasuk mukjizat
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7- Menjadi orang yang tidak terkenal atau tidak ternama itu lebih utama. Lihatlah Uwais, ia sampai mengatakan pada ‘Umar,
أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ
“Aku menjadi orang-orang lemah, itu lebih aku sukai.”
Maksud perkataan ini adalah Uwais lebih senang menjadi orang-orang
lemah, menjadi fakir miskian, keadaan yang tidak tenar itu lebih ia
sukai. Jadi Uwais lebih suka hidup biasa-biasa saja (tidak tenar) dan ia
berusaha untuk menyembunyikan keadaan dirinya. Demikian dijelaskan oleh
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
8- Hadits ini juga menunjukkan keutamaan birrul walidain, yaitu berbakti
pada orang tua terutama ibu. Berbakti pada orang tua termasuk bentuk
qurobat (ibadah) yang utama.
9- Keadaan Uwais yang lebih senang tidak tenar menunjukkan akan keutamaan hidup terasing dari orang-orang.
10- Pelajaran sifat tawadhu’ yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab.
11- Doa orang selepas bepergian dari safar yang baik seperti haji adalah
doa yang mustajab. Sekaligus menunjukkan keutamaan safar yang shalih
(safar ibadah).
12- Penilaian manusia biasa dari kehidupan dunia yang nampak. Sehingga
mudah merendahkan orang lain. Sedangkan penilaian Allah adalah dari
keadaan iman dan takwa dalam hati.
Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah
Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat
intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat. Doa
dan Dzikir Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani,
kemudian menjadi landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya
yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah
doa dan dzikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang,
tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak
pernah lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi
dan menggiring ternak-ternaknya.
Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Hakekatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari
dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu)
kepada-Ku, maka Aku akan mengaruniakan kepadanya sesuatu yang terbaik
dari yang diminta orang yang berdoa kepada-Ku”. Uwais selalu bedoa untuk
seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah satu bentuk
perwujudan dari kepedulian terhadap “urusan kaum muslim”. Rasulullah
saw. Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa yang tidap peduli dengan
urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal ini,
Rasulullah saw menyatakan bahwa“permohonan yang paling cepat dikabulkan
adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang
didoakan dan mendahulukan doa untuk selain dirinya.” Dan Uwais lebih
memilih untuk medoakan seluruh saudaranya seiman.
Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah malam dan melihat ibunya,
Fatimah az-Zahra, sedang khusu’ berdoa. Hasan yang penasaran ingin tahu
apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping. Namun
Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal hingga akhir doanya, ibunya,
hanya meminta pengampunan dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum
muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai berdoa, segera Hasan
bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali tidak menyisakan
doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu menjawab
bahwa“apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim,
hakekatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita.”Sebab para malaikat
yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah mengabulkanmu
dua kali lipat.”
Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang
lebih umum yang padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan. Apa yang
kita cari dalam kehidupan ini, harus kita berikan kepada orang lain.
Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah;
jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi, dunia adalah kubah, dan
perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang lain. Secuil apapun
kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang,
ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya.
Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia
akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan.
Demikianlah, berdoa untuk kaum muslim akan bergema di dalam diri yang
tentu saja akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan
meningkatkan kualitas kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa
ini akan memupus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga
sekaligus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa
Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan pilar lain
dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah
swt. Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir, mengingat dan
menyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang
ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala
macam ketaatan kepada Allah swt.
Namun yang dilakukan Uwais disini adalah berdzikir dengan menyebut
nama-nama Allah dan mengingat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan berbagai macam faedah dzikir
dalam kitabnya “al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib”
menyebutkan bahwa “yang paling utama pada setiap orang yang beramal
adalah yang paling banyak berdzikir kepad Allah swt. Ahli shaum yang
paling utama adalah yang paling banyak dzikirnya; pemberi sedekah yang
paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya; ahli haji yang paling
utama adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah swt; dan
seterusnya, yang mencakup segala aktifitas dan keadaan.”
Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya
suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik nama itu, sebeb nama itu
mengandung kesan si pemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahasianya
dan maknanya. Berdzikir dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik
kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi akan memberikan sugesti,
efek, dan pengaruh yang sangat besar.
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang diperoleh seorang hamba dari nama Allah
adalah ta’alluh (penuhanan), yang berarti bahwa hati dan niatnya
tenggelan dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya hanyalah Dia.
Dan hal ini, dalam pandangan Ibn Arabi, berarti sang hamba tersebut
menyerap nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan ontologis.
Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma Allah lewat dzikir
kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita mengalami tranformasi.
Yang pada akhirnya akan membuahkan akhlak al-karimah yang merupakan
tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw. Dilihat dari sudut pandang
psikologis sufistik, pertama-tama dzikir akan memberi kesan pada ruh
seseorang, membentuknya membangun berbagai kualitas kebaikan, dan
kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama itu.
Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi semakin hidup dari pengulangan
dzikir itu, yang kemudian mekanisme ini berkembang pada pengulangan
nama-nama secara otomatis. Jadi jika seseorang telah mengilang dzikirnya
selama satu jam, misalnya, maka sepanjang siang dan malam dzikir
tersebut akan terus berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi terus
menerus. Pengulangan dzikir ini, juga akan terefleksi pada ruh semesta,
dan mekanisme universal kemudian mengulanginya secara otomatis. Dengan
kata lain, apa yang didzikirkan manusia dengan menyebutnya
berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai mengulanginya, hingga
termaterialisasi dan menjadi suatu realita di semua tingkat eksistensi.
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq