Hadits dilihat dari segi kuantitas perawinya dibagi menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad.
Mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut).
Adapun hadis mutawatir menurut istilah ulama hadis adalah
حُوَ خَبْرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جَمٌّ يُجِبُ فيِ العَادَةِ اِحَالَةُ اِجْتِمَاعِهِمْ و تَوَاطُئِحِمْ عَلى الْكَذِبِ
Khabar yang di dasarkan pada pancaindra yang di kabarkan oleh sejumlah
orang yang mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk mengkabarkan
berita itu dengan dusta
Ada juga yang mengartikan hadis mutawatir sebagai berikut:
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya
berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang
diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka
terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau
: “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap
tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut
sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan
dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera
seperti pendengarannya dan semacamnya”
ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ
Hadis Mutawatir adalah berita hadis yang bersifat indriawi (didengar
atau dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal
di seluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi
(adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan.
Keberadaan hadis mutawatir memiliki syarat-syarat begitu ketat untuk
dipenuhi, yakni: Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi, Adanya Keseimbangan
Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya, Mustahil
Bersepakat Bohong, Berdasarkan Tanggapan Pancaindera.
Hadis Ahad adalah hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis mutawatir.
Dalam makalah ini penulis memaparkan penjelasan tentang pegertian hadis
mutawatir dan hadis ahad, pembagian hadis mutawatir dan ahad, faedah
hadis mutawatir dan hadis ahad, korelasi hadis mutawatir dan hadis ahad.
Di dalam makalah ini juga kami sertakan kitab-kitab yang membahas
tentang hadis mutawatir dan hadis ahad, dan pendapat para ulama tentang
hadis mutawatir.
Setting Historis Munculnya Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad
Dikotomi hadits mutawatir dan ahad hanyalah ditinjau dari segi kuantitas
atau jumlah rawinya saja, tidak dilihat dari segi kualitas rawinya.
Keduanya mempunyai perbedaan dalam jumlah periwayatan hadis nabi,
perbedaan ini muncul karena ketika nabi bersabda kepada para sahabat
ataupun generasi selanjutnya sampai pada sanad yang terakhir tidak sama
jumlah pendengarnya.
Sebelum pertengahan abad ke-3 H / 9 M, para ahli kalam mempunyai
pemahaman bahwa sebuah hadis tidak pada teori isnad, melaikan
rasionalitas mereka yang lebih ditekankan dan melihat hadis sebagai
sunnah yang hidup yakni lebih melihat pada perilaku Rasulullah. Akan
tetapi metode yang diungkapkan para ahli kalam tersebut sudah mulai
hilang ketika sunnah beralih menjadi hadis yang lebih lengkap lagi
dengan sanad dan matan. Para ahli ushul dari ahli kalam tidak
mempermasalahkan tentang kualitas para perawi hadis, yang terpenting
adalah permasalahan tentang jumlah orang yang meriwayatkan hadis
tersebut.
Pengertian dari Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad
1.Hadis mutawatir
a.Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti المتتابع(al-mutatabi) yakni yang datang
berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain
tidak ada jaraknya. Menurut beberapa ulama’ salah satunya adalah Mahmud
at-Tahhan dalam bukunya Tafsir fii Mustalah al-Hadits, menyatakan:
مارواه عدد كثر تحيل العادة توا طؤهم على الكذب
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi secara tradisi”
Sedangkan menurut Abuu Ya’laa al-Muusilli at-Tamimi, hadits mutawatir adalah:
فالخير المتوا تر هو خبر عن محسوس أخبر به جماعة بلغوا في الكثيرة مبلغا تحيل العا دة تواطؤهم على لكذب فيه
“Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan
bersepakat dusta”
Jadi menurut istilah hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah perowi yang banyak pada tiap tingkatan (thabaqat) sehingga
mustahil mereka sepakat untuk berbohong, dan proses tersebut dapat di
indera oleh panca indera. Dari pemaparan definisi tersebut, dapat
dikatakan bahwa terdapat kriteria atau syarat-syarat hadis ditetapkan
sebagai hadis mutawatir, yakni apabila:
Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama
hadis mempunyai perbedaan pendapat tentang menentukan seberapa banyak
perawi yang harus meriwayatkan sebuah hadis sehingga dikatakan sebagai
hadis mutawatir. Ada yang berpendapat 3 orang, 4 orang, 5 orang, 10
orang, bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Dengan adanya jumlah
perawi yang banyak inilah yang akan memungkinkan bahwa hadis yang
disampaikan tidak memiliki keraguan terhadap kebenaran hadis tersebut.
Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya
Terdapat berbagai pendapat mengenai keseimbangan perawi pada thabaqat
pertama dengan thabaqat berikutnya. Ada yang berpendapat bahwa, apabila
jumlah perawi pada tingkatan awalnya tidak sama dengan tingkatan
selanjutnya maka hadis tersebut tidak dapat digolongkan sebagai hadis
mutawatir. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa adanya perbedaan perawi
pada setiap Thabaqat bukanlah menjadi masalah karena pada dasarnya
hadis yang disampaikan sama banyaknya. Dan hal tersebut bisa
dikategorikan sebagai hadis mutawatir.
Mustahil Bersepakat Bohong
Berdasarkan jumlah perawi yang banyak, maka periwayatan suatu hadis ini
secara logika sangat sulit untuk bersepakat berbohong dalam
periwayatannya, karena mengingat bahwa hadis yang diriwayatkan tersebut
dalam jumlah yang banyak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kuantitas
bukan merupakan suatu hal yang mutlak ketika hadis dikatakan mutawatir
atau bukan, karena realitas yang ada sekarang ini para periwayat
hadispun masih ada kemungkinan untuk berbohong dalam periwayatannya.
Berdasarkan Tanggapan Pancaindera
Maksudnya adalah berita yang disampaikan itu merupakan hasil dari
sesuatu yang didengar dengan telinga, dilihat dengan mata, dan bukan
merupakan hasil yang disandarkan pada logika atau akal belaka. Sehingga,
apabila berita tersebut merupakan hasil dari pemikiran atau logika
suatu peristiwa dan bukan merupakan hasil istinbath, maka hadis tersebut
tidak dapat dikatakatan sebagai hadis mutawatir. Hadis itu berdasarkan
tanggapan pancaindera, misalnya ungkapan periwayatan :
سمعنا= Kami mendengar (dari Rasulullah bersabda begini)
راينا او لمسنا= Kami sentuh atau Kami melihat (Rasulullah melakukan begini dan seterusnya)
Pembagian Hadis Mutawatir
Dalam pembagiannya, sebagian ulama membagi hadis mutawatir menjadi dua,
yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada pula yang
membaginya menjadi tiga, yakni dengan menambahkan hadis mutawatir
‘amali.
Mutawatir Lafdzhi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzhi menurut Mahmud at-Tahhan ialah :
المتواتراللفظي هوماتواترلفظه ومعنه
“Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”.
Maksudnya adalah bahwa hadis mutawatir Lafdzhi ini merupakan hadis yang periwayatannya masih dalam satu lafaz.
Beberapa ulama ada yang berpendapat dan menetapkan bahwa hadis mutawatir
lafdzhi itu tidak ada atau sedikit sekali, karena kurang mengetahui
tentang perawinya, apakah dalam meriwayatkan tersebut telah bersepakat
untuk tidak berdusta atau hanya kebetulan saja. Sedangkan menurut
pendapat ulama yang menetapkan adanya hadis mutawatir lafdzhi ialah
menilai dari segi sedikit atau banyak jumlahnya, atau melihat dari segi
makna beberapa lafaz yang sama.
Perbedaan pendapat tersebut dapat dimaklumi karena mengingat bahwa
terdapat perbedaan pula dalam hal jumlah perawi hadis mutawatir.
Berikut adalah contoh dari hadis mutawatir lafdzhi :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati neraka”.
Dalam periwayatan hadis tersebut, muncul berbagai pendapat tentang jumlah periwayat yang meriwayatkannya, diantaranya adalah :
a.Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh 40 (empat puluh) sahabat.
b.Ibnu al-Shalkah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 62 (enam
puluh dua) sahabat, dimana 10 (sepuluh) diantaranya dijamin masuk
surga.
c.Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar al-Bazariy mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh 40 (empat puluh) sahabat.
d.Abu Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 (delapan puluh) sahabat.
e.Sebagian lagi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 100 (seratus) bahkan 200 (duaratus) sahabat.
Mutawatir Ma’nawi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah :
مَاتَوَاتَرَمَعْنَهُ دُوْنَ لَفْظِهِ
“Hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya”.
Ada pula yang mengatakan hadis mutawatir ma’nawi ialah :
هُوَأَنْ يَنْقِلَ جَمَاعَةٌ يَسْتَحِيْلُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ
وَوُقُوْعُهُ مِنْهُمْ مُصَادَفَةً فَيَنْتَقِلُوْا وَقَائِعَ مُخْتَلِفَةً
تَشْتَرِكُ كُلَّهُنَّ فِى أَمْرٍ مُعَيَّنٍ
“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat
berdusta atau karena kebetulan. Mereka menukilkan dalam berbagai bentuk,
tetapi dalam satu masalah atau mempunyai titik persamaan”
Contoh dari hadis mutawatir ma’nawi :
كَانَ النَبِيُّ صَلَىّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ
فِي شَيْءٍمِنْ دُعَائِهِ إِلَاّ فِى الْإِسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ
حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
“Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali
dalam shalat istisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak
putih-putih kedua ketiaknya” (H.R. Bukhari)
Hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut banyak sekali, lebih dari 100 (seratus) hadis.
Hadis Mutawatir ‘Amali
Perbuatan dan pengamalan syari’ah islamiyah yang dilakukan Nabi SAW
secara terbuka atau terang-terangan yang kemudian disaksikan dan diikuti
oleh para sahabat adalah pengertian dari mutawatir ‘amali, sebagaimana
pendapat para ulama yang mengatakan bahwa:
مَا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِاالضَرُوْرَةِوَتَوَاتِرَبَيْنَ
الْمُسْلِمِيْنَ أَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ
أَوْ أَمَرَبِهِ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah
mutawatir dikalangan umat muslim (orang islam) bahwa Nabi SAW
mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain itu”.
Contoh hadis mutawatir ‘amali adalah hadits yang menjelaskan tentang
shalat baik waktu maupun rakaatnya, tentang haji, tentang zakat dan
lain-lain. Semua itu bersifat terbuka dan disaksikan oleh banyak sahabat
dan kemudian diriwayatkan oleh sejumlah besar kaum muslim dari masa ke
masa.
Faedah Hadis Mutawatir
Hadits Mutawatir memberikan faedah ilmu yakin, karena kepastian
khobarnya. Sebagaimana Al Qur’an yang diriwayatkan kepada kita secara
Mutawatir dengan Mutawatir Lafdhi. Semua ini menunjukkan penjagaan Allah
kepada Al Qur’an dan Sunah Nabi-Nya, Firman-Nya :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijr : 9).
Hadis mutawatir itu memberi faedah ilmu dharuriy atau yakin, artinya
yakni suatu keharusan untuk meyakini kebenaran suatu berita dari Nabi
SAW yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada keraguan sedikitpun.
Para perawi hadis mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan
dan kedhabitannya (kuatnya hafalan/ingatan), karena kuantitas para
perawi hadis sudah menjamin tidak mungkin terjadi kesepakatan bohong.
Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatir oleh
sebagian golongan lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi
suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah
meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai
kebenarannya dan mengamalkan sesuai tuntutannya. Sedang bagi orang yang
belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya
mempercayai dan mengamalkan suatu hadis mutawatir yang disepakati oleh
para ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan
hukum yang disepakati oleh imam.
Pendapat ulama’ tentang Hadits Mutawatir
Di kalangan para ulama’ terdapat berbagai macam pendapat mengenai hadits
mutawatir ini. Mereka berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai
dengan disiplin ilmu yang mereka miliki, diantaranya adalah :
1.Ahli hadits mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan
bahasan, sebab hadits mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke
dalam pembahasan masalah-masalah, seperti:
a.Ilmu Isnad yaitu ilmu matarantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu
yang hanya membahas masalah shahih dan tidaknya, diamalkan dan tidaknya
suatu hadits.
b.Ilmu Rijal Al-Hadits, artinya semua pihak yang terkait dengan persoalan periwayatan hadits dan metode penyampaiannya.
Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka kebenaran
didalamnya wajib diyakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib
diamalkan, sekalipun diantara para perawinya orang kafir.
2.Ahli hadits mutaakhirin dan ahli Ushul berpendapat bahwa hadits dapat
disebut dengan mutawatir jika memiliki kriteria-kriteria atau
syarat-syarat sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Korelasi hadits mutawatir dengan kualitas hadits
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits mutawatir hanya dikaji dari segi
jumlah perawinya saja dan tidak tertuju pada kajian kualitas dari perawi
tersebut. Sehingga hadits mutawatir tidak termasuk ke dalam pembahasan
ilmu hadits, ini disebabkan bahwa ilmu hadits menilai shahih atau
tidaknya suatu hadits dilihat dari para perawi dan cara penyampaian
periwayatannya. Sedangkan dalam hadits mutawatir, kualitas pribadi para
perawinya tidak dijadikan acuan atau sasaran pembahasan. Dengan
demikian, maka hadits mutawatir tidak membutuhkan kajian tentang isnad
dikarenakan yang dibutuhkan hadits mutawatir hanya jumlah atau kuantitas
bukan kualitas perawinya. Oleh karena itu, bukan berarti karena hadits
mutawatir memiliki banyak perawi hadits sehingga bisa disebut sebagai
hadits shahih. Hadits mutawatir bisa saja berstatus shahih, hasan,
maupun dha’if dikarenakan kualitas dari hadits tersebut itu
sendiri.Sehingga “bisa saja” dikatakan, bahwa hadits mutawatir itu tidak
melihat dari segi jumlah atau kuantitas melainkan kualitas pribadi dari
perawi hadits tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam “Majmu Fatawa” (4/48) berkata :
وَالصَّحِيحُ الَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ : أَنَّ التَّوَاتُرَ لَيْسَ
لَهُ عَدَدٌ مَحْصُورٌ وَالْعِلْمُ الْحَاصِلُ بِخَبَرِ مِنْ الْأَخْبَارِ
يَحْصُلُ فِي الْقَلْبِ ضَرُورَةً كَمَا يَحْصُلُ الشِّبَعُ عَقِيبَ
الْأَكْلِ وَالرِّيِّ عِنْدَ الشُّرْبِ وَلَيْسَ لَمَّا يَشْبَعُ كُلُّ
وَاحِدٍ وَيَرْوِيه قَدْرٌ مُعَيَّنٌ ؛ بَلْ قَدْ يَكُونُ الشِّبَعُ
لِكَثْرَةِ الطَّعَامِ وَقَدْ يَكُونُ لِجَوْدَتِهِ كَاللَّحْمِ وَقَدْ
يَكُونُ لِاسْتِغْنَاءِ الْآكِلِ بِقَلِيلِهِ ؛ وَقَدْ يَكُونُ
لِاشْتِغَالِ نَفْسِهِ بِفَرَحِ أَوْ غَضَبٍ ؛ أَوْ حُزْنٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ
“Yang benar, sebagaimana yang dipilih mayoritas ulama bahwa, Mutawatir
tidak memiliki batasan tertentu. Ilmu didapatkan dengan khobar dari
pengabaran yang didapatkan oleh hati secara dharurat, sebagaimana
didapakatkan rasa kenyang setelah makan dan minum. Tidaklah sama takaran
kenyang untuk masing-masing individu dengan ukuran-ukuran tertentu.
Terkadang rasa kenyang didapatkan karena banyak makannya, namun bisa
juga karena kualitas makanannya, seperti daging, atau sudah merasa cukup
dengan makanan yang sedikit dan bisa juga karena faktor dirinya yang
tidak berselera, karena sedang gembira atau marah atau lagi sedih dan
yang semisalnya”.
Ada beberapa riwayat yang ditunjukkan untuk membuktikan bahwa hadits
mutawatir tidak berdasarkan pada kualitas perawi, yaitu riwayat tentang
hadits berdusta atas nama Nabi :
وحدثنا محمدبن عبيد الغبري حدثنا أبو عوانة عن أبي حصين عن ابي صالح عن أبي
هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلممَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Imam Muslim menyatakan, telah menyampaikan kepada kami (dengan
menggunakan metode sama) dari Muhammad bin Ubaid al-Ghobiri, telah
menyampaikan kepada kami dari Abu ‘Awanah dari Husain dari Abi Salih
dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa
berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiap-siaplah menduduki
kedudukannya di dalam neraka” (HR. Muslim)
Hadits tersebut merupakan hadits mutawatir dan berstatus shahih.
Kitab-kitab yang membahas tentang hadits mutawatir
Sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Diantara kitab-kitab tersebut adalah :
1.Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi.
Dalam kitab tersebut, As Suyuthi menyusun bab demi bab dan setiap
hadits diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya.
2.Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab diatas.
3.Al-La’ali’ Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4.Nazm Al-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
5.Ithaf Dzawil Fadha’il al-Musythahirah bi Maa Waqaa’ min Ziyadah ‘Alaa
al-AzharAl-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya ustadz Syeikh
Abdul ‘Aziz al-Ghammari.
6.Luqt al-Liaalii Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abii
al-Faidh Muhammad Murtadhaa al-Husainii az-Zubaidii al-Misri.
2.Hadis Ahad
Pengertian hadits Ahad
Hadits ahad yaitu hadits yang para rawinya tidak melebihi jumlah rawi
hadits mutawatir, tidak memenuhi persyaratan mutawatir serta tidak
mencapai derajat mutawatir sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu
hadits :
مَالَمْ تَبْلُغُ نَقْلَتُهُ فِى الْكَثِرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ
الْمُتَوَاتِرْ سَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا أَوْ اِثْنَيْنِ أَوْ
ثَلَاثًا اَوْ اَرْبَعَةً اَوْ خَمْسَةَ اَوْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ
الْأَعْدَادِ الَّتِى لَا تَشْعُرُ بِأَنَّ الْخَبَرَ دَخَلَّ بِهَا فِى
خَبَرِالْمُتَوَاتِرِ
“Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadis
mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya
yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak
sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”
Adapula yang meriwayatkan hadits ahad sebagai :
هُوَمَا لَايَنْتَهِى إِلَى التَّوَاتُرِ
“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”
Pembagian hadits ahad
Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqah, Hadits ahad dibagi menjadi 3 macam, yaitu: masyhur, ‘aziz, dan gharib.
Hadits Masyhur
Hadits Masyhur menurut bahasa, yaitu (al-intisyar wa al-dzuyu’) sesuatu
yang sudah tersebar dan populer. Hadits ini dinamakan Masyhur karena
telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Kemudian maksud dari hadits
Masyhur, ialah :
مَارَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَوَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.”
Hadits masyhur ini ada yang berstatus shahih, hasan, dan dhaif . Yang
dimaksud dengan hadits masyhur shahih adalah hadits masyhur yang telah
memenuhi ketentuan-ketentuan hadits shahih, baik pada sanad maupun
matannya, seperti hadits Ibnu ‘Umar:
إِذَاجَاءَأَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ(رواه البخارى)
“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”. (HR. Bukhari)
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah hadits
masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik
mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah SAW :
لَاضَرَرَوَلَاضِرَارَ
“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri sendiri dan orang lain)”
Kemudian yang dimaksud dengna hadits masyhur dha’if ialah hadits masyhur
yang tidak mempunyai syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik sanand
maupun matannya, seperti halnya hadis berikut:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌعَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan”
Dalam istilah, hadits masyhur terbagi menjadi dua macam. Macam-macam hadits masyhur tersebut antara lain :
1)Masyhur Ishthilahi
Yang dimaksud dengan Masyhur Ishthilahi yakni :
مَا رَوَاهُ ثَلَاثَةٌ فَأَكْثَرَ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ السَّنَدِمَالَمْ يَبْلُغْ حَدَّالتَّوَاتُرِ
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap
tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai
kriteria mutawatir”
Contoh hadits Masyhur Ishthilahi :
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُه مِنَ الْعِبَادِ...
Hadits diatas diriwayatkan 3 orang sahabat, yaitu Ibnu Amru, Aisyah, dan
Abu Hurairah. Dengan demikian, hadits ini masyhur di kalangan sahabat
karena terdapat 3 sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
2)Masyhur Ghayr Ishthilahi
Istilah Masyhur Ghayr Ishthilahi, berarti:
مَااشْتُهِرَعَلَى الأَلْسِنَةِمِنْ غَيْرِ شُرُوْطٍ تُعْتَبَر
“Hadits yang populer pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif”
Hadits Masyhur Ghayr Ishthilahi adalah hadits yang populer atau terkenal
dikalangan kelompok tertentu, sekalipun jumlah periwayatnya tidak
mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadits ini tidak dilihat dari
jumlah banyaknya perawi yang meriwayatkan, melainkan popularitas hadits
itu sendiri dikalangan ulama dalam bidang ilmu tertentu.
Misalkan hadis yang populer dikalangan ulama fiqih saja :
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ
“Sesuatu yang halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak” (HR. Al-Hakim)
Hadits tersebut populer dikalangan ulama fiqih dan juga diriwayatkan
oleh satu perawi saja, sehingga hadits tersebut bisa dikatakan sebagai
hadits masyhur ghayr ishthilahi.
Hadits ‘Aziz
‘Aziz berasal dari kata ‘Azza-Ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang
adanya, dan juga bisa berasal dari kata ‘Azza-Ya’azzu yang berarti kuat.
Sedangkan menurut istilah, Hadits ‘Aziz adalah :
مَارَوَاهُ اِثْنَانِ وَلَوْكَانَ فِى طَبَقَةٍوَاحِدَةٍثُمَّ رَوَاهُ بَعْدَذَلِكَ جَمَاعَةٌ
“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, sekalipun dua orang ini
ditemukan masih dalam satu generasi, kemudian setelah itu ada banyak
orang yang sama meriwayatkan”
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.
Contoh:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Rasulullah SAW, bersabda: Tidak sempurna iman salah satu diantara kamu
sekalian sampai aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya
sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan semua manusia”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari dua sahabat
yakni Anas dan Abi Hurairoh. Hadis aziz juga ada yang sahih, hasan dan
dhaif tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan –ketentuan yang
berkaitan dengan sahih, hasan dan dhoif.
Hadits Gharib
Dari segi bahasa kata Gharib berarti sendirian, terisolir jauh dari
kerabat, asing, sulit dipahami. Sedangkan dari segi istilah adalah :
مَا تَفَرَّدَبِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِى أَيَّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَفَرُّدُ بِهِ السَّنَدُ
“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”
Bisa juga dikatakan bahwa hadits Gharib adalah hadis yang periwayatannya
dilakukan oleh seorang perawi yang menyendiri tanpa ada orang lain lagi
yang meriwayatkannya.
Ada dua macam Hadits Gharib, antara lain :
1)Gharib Mutlak, yaitu:
هُوَمَا كَانَتِ الْغَرَبَةُ فِي أَصْلِ سَنَدِهِ وَأَصْلِ السَّنَدِ هُوَطَرَفَهُ الَّذِي فِيْهِ الصَّحَا بِي
“Hadits yang Gharabah-nya (perawinya satu orang) terletak pada pokok
sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang sahabat.”
Gorib mutlaq terjadi apabila penyendirian perawi hanya terdapat pada satu thabaqat. Contoh :
أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ
عَبْدَانَ أَنْبَأَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ اللَّخْمِىُّ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْبَاقِى الأَذَنِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عُمَيْرِ
بْنُ النَّحَّاسِ حَدَّثَنَا ضَمْرَةُ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم –
قَالَ : الْوَلاَءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لاَ يُبَاعُ وَلاَ
يُوهَب
“kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadis ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya
Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan Abdulallah bin
Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِاالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلٍّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Hadits diatas diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab langsung dari
Nabi saw., dan dari Umar diriwayatkan oleh Alqamah bin Waqqash
Al-Laitsi, kemudian Muhammad bin Ibrahim, kemudian Yahya bin Sa’id
Al-Khudri. Dengan demikian hadits diatas dikatakan Hadits Gharib Mutlak
dikarenakan hanya sahabat Umar bin Khattab yang meriwayatkannya.
2)Gharib Nisby (Relatif), yaitu :
مَا كَانَتِ الْغَرَبَةُ فِي أَثْنَاءِ سَنَدِهِ
“Hadits yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) ditengah sanad.”
Misalkan hadits yang diriwayatkan Anas r.a :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِّيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرِ
“Dari Anas r.a bahwa Nabi Saw masuk ke kota Makkah diatas kepalanya mengenakan igal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut dikalangan tabi’in hanya Malik yang meriwayatkannya dari
Az-Zuhri. Boleh jadi pada awal sanad dan akhir sanad lebih dari satu
orang, namun ditengah-tengahnya terjadi gharabah, artinya hanya seorang
saja yang meriwayatkannya. Gharabah Nisbi ini terbagi menjadi 3 macam,
yakni sebagai berikut :
a)Muqayyad bi ats-tsiqah
Ke-gharib-an perawi hadits dibatasi pada sifat ke-tsiqah-an (kepercayaan) seorang atau beberapa orang perawi saja, misalnya:
عَنْ اَبِي وَاقِدٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأَضْحَى وَالْفِطْرى
“Dari Abu Waqid bahwa Nabi Saw membaca surah Qaf dan Iqtarabat As-Sa’ah pada shalat Idul adha dan Idul Fitri.”
Hadits diatas hanya diriwayatkan oleh Dhamrah bin Sa’id secara gharabah
(sendirian) dari Ubaidillah bin Abdullah dari Abu Waqid. Dikalangan para
perawi yang tsiqah tidak ada yang meriwayatkannya selain dia.
b)Muqayyad bil al-balad
Disebut sedemikian rupa karena suatu hadits diriwayatkan oleh penduduk
tertentu ysedang penduduk lain tidak meriwayatkannya. Misalkan hadis
yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari Basrah saja :
أُمِرْنَا أَنْ نَقْرَأُ بِفَا تِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ
“Kami diperintahkan agar membaca Al-Fatihah dan surah yang mudah dari Al-Qur’an.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ath-Thayalisi dari
Hamman dari Abu Qatadah dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id yang mana mereka
adalah penduduk yang berasal dari Basrah.
c)Muqayyad al-rawi
Maksudnya adalah bahwa periwayatan suatu hadits dibatasi dengan perawi
hadits tertentu, misalnya hadits dari Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin
Dawud dari putranya Bakar bin Wa’il dari Az-Zuhri dari Anas, bahwa:
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ لَمْ عَلَى صَفِيَّةَ بِسَوِيْقٍ وَتَمْرٍ
Hadits diatas diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i dan
Ibnu Majah. Tidak ada yang meriwayatkannya dari Bakar selain Wa’il dan
tidak ada yang meriwayatkannya dari Wa’il kecuali Ibnu Uyaynah.
Faedah Hadits Ahad
Hadits-hadits ahad memiliki faedah-faedah sebagai berikut:
Pertama, menunjukkan dugaan kuat (zhann), yaitu dugaan terkuat akan
keabsahan penisbatan hadits tersebut kepada orang yang menjadi sumber
penukilan. Hal itu berbeda-beda sesuai dengan derajatnya. Hadits ahad
bisa juga memberikan faedah ilmu (yaqiin) jika memiliki berbagai
indikasi (qaraa’in) yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil
pokok (yaitu Al-Qur’an atau hadits shahih).
Kedua, mengamalkan kandungannya, yaitu dengan membenarkannya jika berupa
berita dan menerapkannya (melaksanakannya) jika berupa tuntutan.
Kriteria Hadits Ahad
Adapun yang berkaitan dengan perawi hadits (sanad) adalah bahwa mereka
harus adil, dhabit, paham dengan hadits yang disampaikan, melakukan apa
yang telah diriwayatkannya, menyampaikan hadits dengan huruf-hurufnya,
serta mengetahui perubahan makna hadits dari lafal hadits yang
sebenarnya.
Sedangkan persyaratan yang berkaitan dengan substansi hadits, yakni:
1.Sanadnya bersambung dengan Rasulullah.
2.Terhindar dari Syuzuz (kejanggalan-kejanggalan) dan ‘Illat (cacat).
3.Tidak bertentangan dengan as-Sunnah al-Masyhurah serta tidak bertentangan dengan prilaku sahabat dan tabi’in.
4.Sebagian ulama’ salaf tidak mencela hadits tersebut.
5.Tidak terdapat penambahan dalam sanad dan matannya.
Korelasi hadits ahad dengan kualitas hadits
Pembagian hadits ahad yang dibedakan menjadi masyhur, ‘aziz dan gharib
tidak bertentangan dengan pembagian hadits ahad pada shahih, hasan dan
dha’if. Sebab pembagian hadits ahad pada 3 macam tersebut, bukan
bertujuan untuk menentukan makbul dan mardudnya suatu hadits, tetapi
bertujuan untuk mengetahui banyak sedikitnya sanad. Sedangkan pembagian
hadits ahad pada shahih, hasan dan dha’if adalah bertujuan untuk
menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu hadits.
Dengan demikian hadits ahad ini ada yang berkualitas shahih, hasan dan
dha’if. Maka dari itu, tidak setiap hadits ahad berkualitas dha’if.
Adakalanya berkualitas shahih, apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat
diterima dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits terdahulu. Hanya
saja, pada umumnya, apabila ada hadits ahad berkedudukan shahih itu
sangat jarang bahkan sangat sedikit jumlahnya.
Ali bin al-Husain berpendapat bahwa yang dikatakan hadits yang baik itu,
ialah yang telah dikenal dan dipopulerkan dalam pembicaraan oleh
masyarakat.
Kitab-kitab yang membahas tentang hadits ahad
Berikut ini kitab-kitab yang didalamnya berisi tentang hadits mayhur:
1.Al-Maqasid al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala al-Alsinah, karya As-Sakhawi.
2.Kasyf Al-Khafa’ wa Muzill al-Ibbas fi ma Isytahara min al-Hadits ‘ala Alsinah an-Nas, karya Al-Ajaluni.
3.Tamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fi ma Yadur ‘ala Alsinah An-Nas min Al Hadits, karya Ibnu ad-Daiba Asy-Syaibani.
Kitab-kitab yang didalamnya terdapat banyak hadits Gharib, yakni :
1.Athraf al-Gharaib wa Al-Afrad, karya Muhammad bin Thahir Al-Maqsidi.
2.Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni
3.Al-Hadits ash-Shihah wa al-Gharaib, karya Yusuf bin Abdurrahman Al-Mizzi Asy-Syafi’i.
4.Musnad al-Bazzar.
5.Al-Mu’jam Al-Awsath, karya Ath-Thabarani.
Takhtimah
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist
ditinjau dari segi jumlah perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik
dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir
(thabi’it thabi’in). Dilihat dari cara periwayatannya, hadist mutawatir
dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1)Hadist mutawatir lafdzi yaitu Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya.
2)Hadist mutawatir ma’nawi adalah Hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya.
3)Hadits mutawatir ‘amali adalah Sesuatu yang diketahui dengan mudah
bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat muslim (orang
islam) bahwa Nabi SAW mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain itu.
Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad yakni hadist yang
dilihat dari perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir atau terkadang
mendekati jumlah hadist mutawatir. Berbeda dengan hadist mutawatir,
hadist ahad mengalami pencabangan. Pencabangan ini dilatar belakangi
oleh jumlah perawi dalam masing-masing thabaqat. Dalam hadist ahad
dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.
1.Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau
lebih perawi hadist tetapi belum mencapai tingkat mutawatir.
2.Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun
jumlah dimaksud hanya terdapat dalam satu thabaqat.,kemudian setelah itu
orang-orang meriwayatkannya.
3.Hadist gharib adalah hadist yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi hadist.
Semo Bermanfaat