Keindahan Alquran tak hanya terbatas pada susunan huruf, kalimat, atau
makna yang terkandung di baliknya. Tetapi, Alquran juga indah kala
dibaca.
Kedahsyatan pengaruh yang terdapat dalam bacaan Alquran konon dapat
meluluhkan hati Umar bin Khatab yang lantas memeluk Islam. Karena,
ayat-ayat Alquran tersebut bila dilantunkan niscaya akan menggetarkan
hati bagi mereka yang beriman.
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman:
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا
“Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan.” (Al-Muzzammil: 4)
Ibnu Katsir berkata: “Bacalah Al-Qur’an pelan-pelan. Terdapat riwayat
yang menceritakan bacaan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bahwa
beliau membaca Al-Qur’an dengan perlahan-lahan.”
Beberapa dalil yang disebutkan oleh beliau berikut ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Aku mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَىْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِىِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ
“Allah tidak pernah mendengarkan sesuatu seperti mendengarkan Nabi yang
indah suaranya melantunkan Al Qur’an dan mengeraskannya.” (HR. Bukhari
no. 5024 dan Muslim no. 792).
Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ
“Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah diberi salah satu seruling keluarga Daud.” (HR. Bukhari no. 5048 dan Muslim no. 793).
Sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada Abu Musa,
لَوْ رَأَيْتَنِى وَأَنَا أَسْتَمِعُ لِقِرَاءَتِكَ الْبَارِحَةَ لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ
“Seandainya engkau melihatku ketika aku mendengarkan bacaan Al Qur’anmu
tadi malam. Sungguh engkau telah diberi salah satu seruling keluarga
Daud” (HR. Muslim no. 793).
Dari Al Bara’ bin ‘Aazib, ia berkata,
سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقْرَأُ ( وَالتِّينِ
وَالزَّيْتُونِ ) فِى الْعِشَاءِ ، وَمَا سَمِعْتُ أَحَدًا أَحْسَنَ
صَوْتًا مِنْهُ أَوْ قِرَاءَةً
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
dalam surat Isya surat Ath Thiin (wath thiini waz zaituun), maka aku
belum pernah mendengar suara yang paling indah daripada beliau atau yang
paling bagus bacaannya dibanding beliau.” (HR. Bukhari no. 7546 dan
Muslim no. 464)
Beberapa faedah yang diambil dari beberapa hadits di atas:
1- Dibolehkan memperindah suara bacaan Al Qur’an dan perbuatan seperti
itu tidaklah makruh. Bahkan memperindah suara bacaan Al Qur’an itu
disunnahkan.
2- Memperbagus bacaan Al Quran memiliki pengaruh, yaitu hati semakin
lembut, air mata mudah untuk menetes, anggota badan menjadi khusyu’,
hati menyatu untuk menyimak, beda bila yang dibacakan yang lain.
Itulah keadaan hati sangat suka dengan suara-suara yang indah. Hati pun jadi lari ketika mendengar suara yang tidak mengenakkan.
3- Diharamkan Al Quran itu dilagukan sehingga keluar dari kaedah dan
aturan tajwid atau huruf yang dibaca tidak seperti yang diperintahkan.
Pembacaan Al Quran pun tidak boleh serupa dengan lagu-lagu yang biasa
dinyanyikan, bentuk seperti itu diharamkan.
4- Termasuk bid’ah kala membaca Al Quran adalah membacanya dengan nada musik.
5- Disunnahkan mendengarkan bacaan Al Quran yang sedang dibaca dan diam kala itu.
6- Disunnahkan membaca pada shalat ‘Isya’ dengan surat qishorul mufashol seperti surat At Tiin.
Apa yang Dimaksud “Yataghonna bil Quran”?
Kata Imam Nawawi bahwa Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah juga kebanyakan ulama memaknakan dengan,
يُحَسِّن صَوْته بِهِ
“Memperindah suara ketika membaca Al Quran.”
Namun bisa pula maknanya ‘yataghonna bil quran’ adalah mencukupkan diri
dengan Al Quran, makna lain pula adalah menjaherkan Al Qur’an. Demikian
keterangan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 6: 71.
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas Radhiallaahu 'anhu dia ditanya tentang
bacaan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka Anas menjelaskan bacaan
Nabi panjang-panjang. Dicontohkannya dengan bacaan
“Bismillahirrahmanirrahim” dengan memanjangkan “Bismillaahi” kemudian
“Arrahmaan” dan “Arrahiim”.
Dalam Sunan Abi Daud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dari Ummi Salamah
Radhiallaahu 'anha mensifati bacaan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
dengan membaca huruf demi huruf.
Imam An-Nawawi berkata: “Para ulama telah sepakat atas sunnahnya membaca Al-Qur’an secara tartil.”
Dalam melambatkan bacaan terdapat keutamaan yang besar. Kedudukan
pembaca Al-Qur’an di akhirat sangat tinggi sesuai dengan bacaan yang
dilambatkannya waktu di dunia. Pada Sunan At-Tirmidzi dari ‘Abdullah
Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(( إِقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا ))
“Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an, ‘Baca!’ dan naiklah sebagaimana
engkau baca Al-Qur’an di dunia, karena tempatmu pada akhir ayat yang kau
baca.”
Dalam Al-Musnad dari Abi Said Radhiallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(( إِقْرَأْ وَاصْعُدْ، وَيَصْعُدُ بِكُلِّ آيَةٍ دَرَجَةً حَتَّى يَقْرَأُ آخِرِ شَيْءٍ مَعَهُ ))
“Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an apabila masuk surga: ‘Bacalah! dan
mendakilah, maka ia mendaki dengan setiap ayat satu derajat hingga ia
membaca ayat terakhir yang ia hafal.”
Seyogyanya menekankan bacaan dan memperbagus suara karena hal itu
menambah kebagusan Al-Qur’an hingga diterima pendengarnya serta
meninggalkan bekas dalam hati. Dalam Sunan An-Nasa’i dan Ad-Darimi serta
Al-Mustadrak Al-Hakim dari Barra’ Radhiallaahu 'anhu berkata: “Saya
mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(( حَسِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حُسْنًا ))
“Baguskanlah Al-Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus menambah keindahan Al-Qur’an.”
Dalam Sunan Abi Daud dari Abu Lubabah Radhiallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(( لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ ))
“Bukan dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.”
An-Nawawi mengisahkan dari Jumhurul Ulama bahwa makna “lam yataghanna”
adalah yang tidak membaguskan suaranya ketika membaca Al-Qur’an.
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam qudwah (teladan) dalam hal
ini. Dalam Shahih Al-Bukhari dari Barra’ Ibnu ‘Azib berkata: “Saya
mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam membaca dalam shalat
isya’ “At-Tiin waz Zaitun”, tidak pernah kudengar seseorang yang lebih
bagus suaranya dari beliau .”
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Mughaffal berkata:
“Saya melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas unta
yang sedang berjalan sedang beliau membaca surat Al-Fath atau
sebagiannya dengan bacaan yang lembut. Beliau Shallallaahu 'alaihi wa
sallam membacanya dengan melagukannya.”
At-Tarji’ memiliki dua makna:
1. Keadaan Nabi (yang terguncang) di atas unta sehingga menimbulkan getaran suara.
2. Beliau benar-benar menekankan sesuai panjang dan pendeknya, dan ini yang terjadi.
Ibnu Hajar mengisahkan hal ini dan menguatkan yang kedua karena lebih sesuai dengan kenyataan, karena Rasul pernah berbisik:
(( لَوْلاَ أَنْ يَجْتَمِعَ النَّاسُ لَقَرَأْتُ لَكُمْ بِذَلِكَ اللَّحْنِ ))
“Kalau sekiranya tidak menyebabkan manusia berkumpul niscaya kubaca kepada kalian dengan nada itu.”
Maksudnya lagu, dalam riwayat lain terdapat kata at-tarji’. Kemudian
dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail, An-Nasa’i, Ibnu Majah
dan Ibnu Abi Daud, ini adalah lafazhnya dari hadits Ummu Hani: “Aku
pernah mendengar suara Rasulullah yang sedang membaca Al-Qur’an –ketika
aku tidur di atas ranjang– dengan melagukannya.”
Ibnu Abi Jumrah berkata: “Makna at-tarjii’ adalah membaguskan suara.”
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam memuji kepada sahabat yang
memiliki suara bagus. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abi Musa
Al-Asy’ari bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata
kepadanya: “Sungguh saya diberi seruling dari seruling-seruling keluarga
Nabi Daud.” Beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam menunjuk pada
keindahan suara sahabat itu.
Ibnu Majah dalam Sunannya meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallaahu 'anha
berkata: “Saya pernah terlambat ke Rasulullah satu malam setelah isya’
beliau bertanya: “Dimana engkau berada?” Saya menjawab: “Saya mendengar
bacaan dari salah seorang sahabatmu, aku belum pernah mendengar suara
dan bacaan sebagus dia, kemudian Rasulullah berdiri lalu saya
mengikutinya hingga beliau mendengarnya sendiri. Kemudian beliau menoleh
pada saya seraya bersabda: “Ini adalah Salim budak Abi Hudzaifah,
segala puji bagi Allah yang menjadikan orang sepertinya dalam umatku.”
Bushiri berkata: “Isnad hadits ini shahih para perawinya terpercaya.
Ibnu Katsir berkata: Sanadnya jayyid.”
Bahkan Allah Subhaanahu wa Ta'ala menyukai suara yang bagus dalam
membaca Al-Qur’an dan memperdengarkannya. Dalam Shahihain dari Abu
Hurairah Radhiallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
(( مَا أَذِنَ اللهُ بِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيِّ حُسْنَ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يُجْهِرُ بِهِ ))
“Allah tidak memberi izin terhadap suatu perbuatan sebagaimana Nabi
diizinkan membaguskan suara dalam melagukan Al-Qur’an secara lantang.”
Ibnu Atsir berkata: “Maksudnya Allah tidak memperhatikan sesuatu
sebagaimana perhatiannya terhadap Nabi dalam melagukan Al-Qur’an.”
Dalam Sunan Ibnu Majah dari Fudhalah Ibnu ‘Ubaid berkata: “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(( اللهُ أَشَدُّ أُذُنًا إِلَى الرَّجُلِ الْحُسْنِ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ مِنْ صَاحِبِ الْقَيْنَةِ إِلَى قَيْنَتِهِ ))
“Allah sangat memperhatikan orang yang bagus bacaannya dalam membaca Al-Qur’an daripada penyanyi terhadap nyanyiannya.”
Al-Bushiri berkata: “Sanadnya hasan.” Ibnu Atsir berkata: “Sanadnya jayyid.”
Imam an-Nawawi mengatakan,
أجمع العلماء رضي الله عنهم من السلف والخلف من الصحابة والتابعين ومن
بعدهم من علماء الأمصار أئمة المسلمين على استحباب تحسين الصوت بالقرآن
Para ulama salaf maupun generasi setelahnya, di kalangan para sahabat
maupun tabiin, dan para ulama dari berbagai negeri mereka sepakat
dianjurkannya memperindah bacaan al-Quran. (at-Tibyan, hlm. 109).
Selanjutnya an-Nawawi menyebutkan makna hadis kedua,
قال جمهور العلماء معنى لم يتغن لم يحسن صوته،… قال العلماء رحمهم الله
فيستحب تحسين الصوت بالقراءة ترتيبها ما لم يخرج عن حد القراءة بالتمطيط
فإن أفرط حتى زاد حرفا أو أخفاه فهو حرام
Mayoritas ulama mengatakan, makna ‘Siapa yang tidak yataghanna bil
quran’ adalah siapa yang tidak memperindah suaranya dalam membaca
al-Quran. Para ulama juga mengatakan, dianjurkan memperindah bacaan
al-Quran dan membacanya dengan urut, selama tidak sampai keluar dari
batasan cara baca yang benar. Jika berlebihan sampai nambahi huruf atau
menyembunyikan sebagian huruf, hukumnya haram. (at-Tibyan, hlm. 110)
Konsekuensi melagukan al-Quran dengan dalam arti mengikuti irama lagu,
bisa dipastikan dia akan memanjangkan bacaan atau menambahkan huruf atau
membuat samar sebagian huruf karena tempo nada yang mengharuskan
demikian. Dan ini semua termasuk perbuatan haram sebagaimana keterangan
an-Nawawi.
Makna yang benar untuk melagukan al-Quran adalah melantunkannya dengan
suara indah, membuat orang bisa lebih khusyu. Diistilahkan Imam
as-Syafii dengan at-Tahazun (membuat sedih hati). Sebagaimana dinyatakan
al-Hafidz dalam Fathul Bari, Syarh Shahih Bukhari (9/70).
Saya (penulis) katakan: “Benar, sesungguhnya membaguskan suara ketika
membaca Al-Qur’an dengan tajwidnya merupakan perintah syariat, karena
dalil-dalil yang jelas dan shahih. Tetapi dengan syarat menjaga
makharijul hurufnya (tempat-tempat keluarnya huruf) dan memantapkannya
serta memenuhi hukum-hukumnya, karena makna tidak dapat difahami selain
dengan jalan tersebut, sedangkan memahami dan merenungkan merupakan
tujuan utama, karena itu ada pujian bagi pembaca yang mahir.”
Dalam Shahih Muslim dari Aisyah Radhiallaahu 'anha bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(( الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ ))
“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia.”
Ibnu Hajar berkata: “Orang yang mahir/piawai disini maksudnya baik bacaan dan hafalannya.”
Tetapi jika perubahan irama mengakibatkan pelanggaran terhadap makna
dengan menyembunyikan sebagian huruf atau menyelewengkannya atau
tindakan lainnya yang menyebabkan makna berubah atau menyerupai penyanyi
dan orang yang bercanda maka sesungguhnya ia tercela bukannya terpuji.
Imam An-Nawawi berkata: “Para ulama berkata: ‘Sunnah hukumnya membaca
Al-Qur’an dengan membaguskan suara dan urutannya selama belum keluar
dari batas bacaannya hingga berlebihan. Jika melampaui batas sehingga
menambah satu huruf atau menyembunyikannya maka hal itu haram’.”
Adapun bacaan dengan berbagai dialek Imam Asy-Syafi’i berkata: “Saya
tidak menyukainya. Sahabat-sahabat kami berkata: ‘Kami tidak berhujjah
dengan dua pendapat tetapi ada keterangannya bahwa jika berlebihan
hingga melampaui batas maka itulah yang tidak disukai dan jika tidak
melanggar maka tidak dibenci’.”
Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi berkata: “Bacaan dengan lagu tertentu,
jika hal itu menyimpang dari lafazh-lafazh Al-Qur’an dari bentuknya
dengan memasukkan harakat dan menghapusnya atau memendekkan yang panjang
dan memanjangkan yang pendek, berlebihan hingga menyembunyikan sebagian
lafazh dan menimbulkan kerancuan makna, maka hal itu haram hukumnya dan
pembacanya menjadi fasiq serta yang mendengarkan berdosa karena keluar
dari aturan yang lurus kepada yang bengkok. Padahal Allah Subhaanahu wa
Ta'ala berfirman:
قُرْآَنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ [الزمر/28]
“(Ialah) Al Qur'an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya).” (Az-Zumar: 28)
Jika tidak keluar bacaannya dari lafazh-lafazhnya tetapi hanya dengan
melambatkan bacaan maka hal itu mubah (boleh) karena dia menambah lagu
untuk membaguskan.”
Imam An-Nawawi mengomentari hal ini dengan mengatakan: “Perkataan ini
sebaik-baik pemecahan atau penengahan. Dan bagian pertama ini, bagian
dari bacaan yang haram merupakan bencana yang diujikan kepada orang awam
yang bodoh yang bertindak serampangan dengan membacanya untuk jenazah
dan di waktu pesta. Ini merupakan bid’ah yang diharamkan secara jelas.
Pada setiap pendengar yang membiarkan hal ini berdosa sebagaimana
dikatakan Al-Mawardi dan juga bagi yang sanggup menghilangkannya atau
mencegahnya namun tidak berbuat apapun.”
Ibnu Katsir berkata: “Tujuan yang diminta dalam agama adalah membaguskan
suara yang membangkitkan semangat untuk merenungi Al-Qur’an dan
memahaminya, khusyu’ dan penuh dengan ketundukan serta kepatuhan
terhadap perintahnya. Sedangkan menyuarakan Al-Qur’an dengan patokan
lagu dan irama yang bersifat hiburan dan aturan-aturan seperti musik dan
yang menjalankan madzhab ini, maka Al-Qur’an terlalu suci dan agung
untuk diperlakukan seperti itu. Dan telah datang sunnah yang menganggap
hal itu dosa.”
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan dari memperbagus suara ketika membaca
Al-Qur’an dengan tajwidnya untuk mendorong pendengar agar membawanya
untuk merenungkannya, tunduk dan terkesan dengannya. Alangkah bahagianya
orang yang akalnya terikat oleh Al-Qur’an kemudian hatinya menjadi
lembut karenanya. Perlu diketahui oleh pembaca Al-Qur’an sejauh mana ia
terkesan ketika membacanya sejauh itu pula bacaannya akan berkesan
kepada yang mendengarkannya.
Dalam kitab Al-Mukhtaratu Lidh Dhiya’ dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(( إِنْ أَحْسَنَ النَّاسِ قِرَاءَةً الَّذِيْ إِذَا قَرَأَ رَأَيْتَ أَنَّهُ يَخْشَى اللهَ ))
“Sesungguhnya sebaik-baik bacaan manusia adalah jika ia membaca
Al-Qur’an engkau melihat pembacanya benar-benar takut kepada Allah.”
Seorang pembaca Al-Qur’an sekaligus termasuk mengajak manusia ke jalan
Allah, sehingga dia termasuk orang yang dipuji Allah dalam firmanNya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ [فصلت/33]
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)
Sedangkan orang yang telah dikuasai setan kemudian melupakan Allah dan
menjadi penyeru pada suaranya agar manusia kagum, maka alangkah ruginya
perbuatan itu dan alangkah buruknya tempat kembalinya.
Dalam Shahih Muslim dari Abi Hurairah Radhiallaahu 'anhu berkata: “Saya
mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(( إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ
اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا
عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ
كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ فَقَدْ قِيْلَ
ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ
بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ
تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ الْقُرْآنَ قَالَ
كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ
الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ
فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ
اللَّـهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ
بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ
مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ
أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ
هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ
ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ ))
“Manusia pertama yang diadili pada hari Kiamat adalah seorang yang mati
syahid, ia menghadap kepada Allah, kemudian Allah memperlihatkan nikmat
yang telah dikaruniakan kepadanya. Allah bertanya: ‘Untuk apa engkau
berbuat dalam hal ini?’ Ia menjawab: ‘Aku berperang untukMu sehingga aku
mati syahid’. Lantas dijawab: ‘Engkau dusta, sesungguhnya engkau
berperang agar manusia mengatakan bahwa engkau seorang pemberani’,
kemudian Allah memerintahkan agar ia diseret dan dilempar ke Neraka.
Kemudian didatangkan seorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya,
lalu Allah memperlihatkan nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya.
Allah bertanya: ‘Untuk apa engkau berbuat dalam hal ini?’ Ia menjawab:
‘Aku belajar dan mengajarkan ilmu yang kudapat serta membaca Al-Qur’an
untukMu’. Allah menjawab: ‘Engkau dusta, sesungguhnya engkau belajar
agar dikatakan ‘alim dan engkau membaca Al-Qur’an agar dikatakan seorang
qari’, kemudian diperintahkan agar ia diseret dan dilempar ke Neraka.”
Al-Ajuri berkata: “Seyogyanya bagi yang dikaruniai oleh Allah Subhaanahu
wa Ta'ala suara yang baik ketika membaca Al-Qur’an agar mengetahui
bahwa Allah telah mengaruniakan kebaikan khusus padanya maka hendaknya
ia mengetahui kadar keistimewaan Allah baginya. Bacalah Al-Qur’an semata
karena Allah bukan untuk dipuji manusia. Berhati-hatilah dari
kecenderungan untuk didengarkan orang agar memperoleh pujian, untuk
mendapat dunia (harta), perasaan suka dipuji, untuk memperoleh kedudukan
di dunia, hubungan dengan penguasa, lebih dari masyarakat umumnya.
Barangsiapa cenderung kepada yang aku peringatkan maka aku khawatir
suaranya yang bagus malah menjadi fitnah. Sedangkan suaranya akan
memberi manfaat baginya jika ia takut kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala
dalam keadaan sendiri atau bersama yang lain. Yang diminta darinya agar
ia memperdengarkan Al-Qur’an untuk memperingatkan orang-orang yang lalai
agar berpaling dan mencintai apa yang dicintai Allah Subhannahu wa
Ta'ala menjauhi apa yang dicegahnya. Siapa yang memiliki sifat ini maka
suaranya yang bagus bermanfaat baginya sendiri dan manusia.”
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq