Kebenaran tentang keabsahan Nur Muhammad kini menjadi pertikaian hangat
di kalangan para ulama.Kebanyakan ulama-ulama sufi mempertahankan
keabsahan adanya Nur Muhammad sementara sebagian ulama lain
menyanggahnya dan memperlihatkannya sebagai suatu kemasukan atau
tambahan baru di dalam ajaran Islam yang suci.Masing-masing pihak
mempunyai dalil yang tersendiri.
Segolongan kaum muslimin ada yang meyakini bahwa pertama yang
dicipatakan Allah sebelum segala sesuatu ada adalah Nur Muhammad.
Selanjutnya, penafsiran tentang Nur Muhammad berikut cerita tentangnya
sangat banyak versi disebutkan oleh orang-orang yang meyakininya.
Ada yang menyebutkan bahwa segala sesuatu diciptakan dari nur (cahaya)
Muhammad. Ada lagi yang mengatakan bahwa Muhammad diciptakan dari nur
Allah. Sebagian lagi mengatakan, “Kalaulah tidak ada dia (Muhammad),
matahari, bulan, bintang, lauh, dan Qolam tidak akan pernah
diciptakan.”Bahkan ada lagi yang berkata bahwa Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam adalah nyawa suci yang merupakan penampakan dzat Tuhan.
Serta pendapat-pendapat lain yang sebagiannya kelewat batas dalam
mengagungkan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Asal Penciptaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
Riwayat paling pokok yang dijadikan alasan meyakini nur Muhammad adalah,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قاَلَ، قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ، بأبى أنت
وأمى! أَخْبِرْنِى عَنْ أَوَّلِ شيْئٍ خَلَقَهُ الله ُقَبْلَ
ْالاَشْيَاءِ؟ قَالَ يَا جَابِرُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ قَبْلَ
ْالاَشْيَاءَ نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ
…رواه عبد الرزاق بسنده.
Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, Aku berkata, wahai Rasulullah,
Ceritakanlah tentang awal perkara yang Allah ciptakan sebelum segala
sesuatu ! Maka Rasul berkata, “Wahai Jabir, Sesungguhnya Allah Taala
sebelum segala sesuatu, Ia menciptakan Nur Nabimu, yang berasal dari
Nur-Nya.
Riwayatkan ini disandarkan pada Abdur Rozzaq, hanya saja banyak peneliti
yang mengatakan tidak menemukan riwayat tersebut dalam mushannafnya,
sehingga sulit untuk dilacak jalur sanadnya hingga Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Padahal ini menyangkut keyakinan yang
sangat krusial. Dan konsekuensi dari keyakinan yang dilandasi riwayat
tersebut bertentangan dengan banyak ayat dan hadits, baik yang tersirat
maupun tersurat.
Paham yang meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
diciptakan dari cahaya, bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu
alaihi wasallam yang shahih,
خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api dan Adam
tercipta dari apa yang disifatkan untuk kalian.” (HR. Muslim: 2996)
Syaikh al-Albani dalam Ash Shahihah setelah menyebutkan keshahihan
hadits tersebut berkata, “Dalam hadits ini terdapat isyarat atas
kebatilan sebuah riwayat yang populer di kalangan orang-orang yaitu,
“Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah nur Nabimu wahai Jabir.”
Dan riwayat-riwayat semisalnya yang menyatakan bahwa Rasulullah
tercipta dari cahaya. Sementara, hadits yang shahih ini menjadi dalil
yang sangat jelas bahwa hanya para malaikat saja yang tercipta dari
cahaya, bukan Adam dan bukan pula anak keturunannya.”
Al-Qur’an juga dengan jelas menyebutkan bahwa secara penciptaan, Nabi
Muhammad adalah manusia sebagaimana rasul-rasul sebelumnya dan juga
manusia pada umumnya. Allah berfirman,
“Katakanlah, “Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul” (QS al-Isra’ 93)
Adapun tentang awal penciptaan, riwayat tentang nur Muhammad tersebut
juga bertentangan dengan hadits yang jelas shahih secara sanad dan lebih
sharih secara makna,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ:
رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى
تَقُومَ السَّاعَةُ
“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qalam
(pena), lalu Allah berfirman, “Tulislah!” Pena berkata, “Wahai Rabbi,
apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah ketetapan segala
sesuatu hingga tegaknya hari Kiamat.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi)
Di antara perkataan yang bersesuaian dengan pendapat bahwa makhluq yang
pertama diciptakan oleh Allah swt adalah Nur Muhammad saw adalah
perkataan Ibnu Arabi, beliau menerangkan bahwa: "Hakikat Muhammad (Nur
Muhammad) yang menjadi inti insan kamil (manusia sempurna) adalah
sebagai penyebab penciptaan alam". Dan selanjutnya ia berkata pula:
"Wadah pertama sebagai tempat Nur Muhammad mengidentifikasikan dirinya
secara sempurna ialah jasad Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan
Tuhan". Hal tersebut sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan dari
Jabir:
إِنَّ الله خَلَقَ نُوْرَ النَبِيِّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ
نُوْرِهِ وَخَلَقَ الْعَالَمَ بِأَسْرِهِ مِنْ نُورِ مُحَمَّدٍ صَلَى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Sesungguhnya Allah saw telah menciptakan nur nabi Muhammad saw dari
nur-Nya dan kemudian dijadikan alam raya ini dari nur nabi Muhammad
saw".
Di samping itu terdapat pula hadits yang diriwayatkan oleh Umar dan Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwa hakikat Muhammad (Nur Muhammad) adalah
sebagai penyebab penciptaan alam, Rasulullah saw bersabda:
يَا عُمَر اَتَدْرِى مَنْ اَنَا، اَنَا الَّذِى خَلَقَ الله عَزَّوَجَلَّ
نُوْرِىاَوَّل كُلِ شَيْءٍ فَسَجَدَ لله وَ بَقِى فِي سُجُوْدِهِ
سَبْعَمِاَئَة عَام وَلاَفَخْرَ. يَا عُمَر اَتَدْرِى مَنْ اَنَا، اَنَا
الَّذِى خَلَقَ الله القَلَمَ وَاللَوْحَ وَ العَرْشَ وَالكُرْسِى
وَالعَقْلَ الأَوَّلَ وَ نُوْرَ الإِيْمَانِ مِنْنُوْرِى
"Wahai Umar, apakah engkau ingin tahu siapa saya? Saya adalah yang Allah
pertama kali ciptakan cahayaku sebelum segala sesuatu, maka sujudlah
cahayaku itu kepada Allah hingga tujuh ratus tahun dan tidak sombong.
Wahai Umar, apakah engkau ingin tahu siapa saya? Saya adalah yang dari
cahayaku Allah telah ciptakan qolam, lauh, arsy, kursi, akal pertama dan
cahaya iman".
Dari Jabir, Rasulullah bersabda:
عَن جَابِر رَضِى الله عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ
بِأبِىوَأمِىأخْبِرْنِى عَنْ أوَّلِ شَيْءٍ خَلَقَهُ الله تَعَالَى قَبْلَ
الأشْيَآء. قَالَ يَاجَابِر إنَّ الله تَعَالىَ خَلَقَ قَبْلَ الأشْيَآءِ
نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِفَجَعَلَ ذَالِكَ النُوْرَ يدور
بِالقُدْرَةِ حَيْثُ شَاء الله وَلَمْ يَكُنْ فِىذَالِكَ الْوَقْتِ قَلَم
وَلاَ لَوْح وَلاَ عَرْش وَلاَ كُرْسِى وَلاَ مَلَكوَلاَ رُوْح وَلاَ جَنَة
وَلاَ نَار وَلاَ سَمَاء وَلاَ أَرْض وَلاَ شَمْسوَلاَ قَمَر وَلاَ إِنْس
وَلاَ جَن. فَلَمَّا أرَادَ الله أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَقسم ذَالِكَ
النُوْر أرْبَعَة أجْزاء فَخَلَقَ مِنْ الجُزءِ الأوَّلِ الْقَلَموَمِن
الثَانِى اللَوْح وَمِن الثَالِث الْعَرْش ثُمَّ قسم الْجُزء
الْرَابِعأَرْبَعَة أجْزَاء فَخَلَقَ مِن الأ وَّلِ حملة العَرْشِ وَ مِن
الثَانِىالكُرْسى وَ مِن الثَالِث بَاقى المَلاَئِكَة ثُمَّ قسم الرَابِع
أرْبَعَةأجْزَاء فَخَلَقَ مِن الأ وَّلِ الجَنَّة وَالنَار وَمِن الثَانِى
السَّمَوَات، وَمِن الثَالِثِ الأرْض ثُمَّ قسم الرَابِع أجْزَاء فَخَلَقَ
مِن الأوَّلِ الشَمْس وَ القَمَر وَ النُجُوم وَمِن الثَانِى البُرُوج
وَالأفْلاَقوَ مِن الثَالِث العَقْل وَالأبْصَاروَالبَصَائِر وَنُور
الإيمَانِ
"Dari Jabir berkata: Demi ayah dan ibuku, Ya Rasulullah, beritahukanlah
kepadaku tentang suatu yang diciptakan Allah swt sebelum segalanya yang
lain. Rasulullah menjawab: Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah
menciptakan nur Nabimu dari nur-Nya sebelum sesuatu yang lain. Maka
dijadikan nur itu berkeliling sesuai dengan yang dikehendaki Allah swt,
dan tidaklah dijadikan pada saat itu qalam, lauh, arsy, kursy, malaikat,
ruh, surga, neraka, langit, bumi, matahari, bulan, manusia, dan jin.
Dan ketika Allah swt menghendaki untuk menciptakan makhluqnya, maka nur
tersebut dibagi menjadi empat bagian. Dari bagian pertama diciptakan
qalam, dari bagian kedua diciptakan lauh, dari bagian ketiga diciptakan
arsy, dan dari bagian keempat, nur tersebut dibagi lagi menjadi empat
bagian, dari bagian pertama diciptakan isi arsy, dari bagian yang kedua
diciptakan kursy, dari bagian yang ketiga diciptakan malaikat, kemudian
dari bagian keempat, nur tersebut dibagi menjadi empat bagian, dari
bagian pertama diciptakan surga dan neraka, dari bagian kedua diciptakan
langit, dari bagian ketiga diciptakan bumi, dan dari bagian keempat
dibagi menjadi empat bagian, dari bagian pertama diciptakan matahari,
bulan dan bintang, dari bagian kedua diciptakan planet dan benda-benda
langit, dari bagian yang ketiga diciptakan akal dan penglihatan dan
cahaya iman".
Dari Jabir bin Abdillah al-Anshari berkata: Aku bertanya kepada
Rasulullah, apakah yang pertama diciptakan oleh Allah swt? Rasulullah
menjawab: 'Nur Nabimu wahai Jabir, kemudian Allah swt menciptakan segala
kebaikan dari nurku'.
Nur Muhammad itulah yang menjadikan sebagian manusia menjadi insan
kamil. Akan tetapi insan kamil yang muncul dalam setiap zaman semenjak
nabi Adam, tidak dapat melebihi keutamaan Nabi Muhammad saw, hal
tersebut dibuktikan dalam alquran surah al-Ahzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ…
"Sesungguhnya pada pribadi Rasulullah saw terdapat suri tauladan yang baik bagimu."
Dalam surah al-Qalam ayat 4 disebutkan:
وَإنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah pribadi yang agung".
Selain ayat alquran, hal tersebut terdapat pula dalam hadits:
اَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَم يَوْمَ القِيَامَةِ
"Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat".
كُنْتُ نَبِيًا وَ آدَم بَيْنَ المَاءِ وَالطِيْنِ وَبَيْنَ الرُوْحِ وَالجَسَدِ
"Saya telah menjadi nabi dan Adam masih berada antara air dan tanah, antara ruh dan jasad".
Sedangkan hadits yang serupa/senada diatas yang sumbernya berasal dari
Ibnu Abbas hanya pada nash hadits tersebut ada sedikit perbedaan yaitu
dengan tambahan:
وَلَوْلآ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلآ الجَنَّةَ وَلآ النَّـارَ
‘Kalau bukan karena Muhammad Aku (Allah) tidak menciptakan Adam, tidak menciptakan surga dan neraka’.
Mengenai kedudukan hadits diatas para ulama berbeda pendapat. Ada yang
menshohihkannya, ada yang menolak kebenaran para perawi yang
meriwayatkannya, ada yang memandangnya sebagai hadits maudhu’, seperti
Adz-Dzahabi dan lain-lain, ada yang menilainya sebagai hadits dha’if dan
ada pula yang menganggapnya tidak dapat dipercaya. Jadi, tidak semua
ulama sepakat mengenai kedudukan hadits itu. Akan tetapi Ibnu Taimiyah
sendiri untuk persoalan hadits tersebut beliau menyebutkan dua hadits
lagi yang olehnya dijadikan dalil. Yang pertama yaitu diriwayatkan oleh
Abul Faraj Ibnul Jauzi dengan sanad Maisarah yang mengatakan sebagai
berikut :
قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ, مَتَى كُنْتَ نَبِيَّا ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقَ
اللهُ الأرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَما وَا
تٍ,
وَ خَلَقَ العَرْشَ كَتـَبَ عَلَى سَـاقِ العَـرْشِ مُحَمَّتدٌ رَسُوْلُ
اللهِ خَاتَمُ الأَنْبِـيَاءِ , وَ خَلَقَ اللهُ الجَنَّـةَ الَّتِي
أسْكَـنَهَا
آدَمَ وَ حَوَّاءَ فَكـُتِبَ إسْمِي عَلَى الأبْـوَابِ وَالأوْرَاقِ
وَالقـِبَابِ وَ الخِيَامِ وَ آدَمُ بَيْـنَ الرَُوْحِ وَ
الجَسَدِ,فَلَـمَّا أحْيَاهُ اللهُ
تَعَالَى نَظَرَ إلَى العَـرْشِ , فَرَأى إسْمِي فَأخْبَرَهُ الله أنَّهُ
سَيِّدُ وَلَدِكَ, فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ تَابَا وَاسْتَشْفَعَا
بِإسْمِي عَلَيْهِ
“Aku pernah bertanya pada Rasulallah saw.: ‘Ya Rasulallah kapankah anda
mulai menjadi Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Setelah Allah menciptakan tujuh
petala langit, kemudian menciptakan ‘Arsy yang tiangnya termaktub
Muhammad Rasulallah khatamul anbiya (Muhammad pesuruh Allah terakhir
para Nabi), Allah lalu menciptakan surga tempat kediaman Adam dan Hawa,
kemudian menuliskan namaku pada pintu-pintunya, dedaunannya,
kubah-kubahnya dan khemah-khemahnya. Ketika itu Adam masih dalam keadaan
antara ruh dan jasad. Setelah Allah swt .menghidupkannya, ia memandang
ke ‘Arsy dan melihat namaku. Allah kemudian memberitahu padanya bahwa
dia (yang bernama Muhammad itu) anak keturunanmu yang termulia. Setelah
keduanya (Adam dan Hawa) terkena bujukan setan mereka ber- taubat kepada
Allah dengan minta syafa’at pada namaku’ ”.
Sedangkan hadits yang kedua berasal dari Umar Ibnul Khattab
(diriwayatkan secara berangkai oleh Abu Nu’aim Al-Hafidz dalam Dala’ilun
Nubuwwah oleh Syaikh Abul Faraj, oleh Sulaiman bin Ahmad, oleh Ahmad
bin Rasyid, oleh Ahmad bin Said Al-Fihri, oleh Abdullah bin Ismail
Al-Madani, oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ayahnya) yang
mengatakan bahwa Nabi saw. berrsabda:
لَمَّا أصَابَ آدَمَ الخَطِيْئَةُ, رَفَعَ رَأسَهُ فَقَالَ: يَا رَبِّ
بَحَقِّ مُحَمَّدٍ إلاَّ غَفَرْتَ لِي, فَأوْحَى إلَيْهِ, وَمَا مُحَمَّدٌ ؟
وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ فَقَالَ: : يَا رَبِّ إنَّكَ لَمَّا أتْمَمْتَ خَلْقِي
وَرَفَعْتُ رَأسِي إلَى عَرْشِكَ فَإذَا عَلَيْهِ مَكْتُوْبٌ
لإلَهِ إلااللهُ مُحَمَّدٌ رَسُـولُ اللهِ فَعَلِمْتُ أنَّهُ أكْرَمُ
خَلْقِـكَ عَلَيْكَ إذْ قَرََرَنْتَ إسْمُهُ مَعَ اسْمِكَ فَقَالَ, نَعَمْ,
قَدْ غَفَرْتُ لَكَ ,
وَهُوَ آخِرُ الأنْبِيَاءِمِنْ ذُرِّيَّتِكَ, وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
“Setelah Adam berbuat kesalahan ia mengangkat kepalanya seraya berdo’a:
‘Ya Tuhanku, demi hak/kebenaran Muhammad niscaya Engkau berkenan
mengampuni kesalahanku’. Allah mewahyukan padanya: ‘Apakah Muhamad itu
dan siapakah dia?’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau
menyempurnakan penciptaanku, kuangkat kepalaku melihat ke ‘Arsy,
tiba-tiba kulihat pada “Arsy-Mu termaktub Laa ilaaha illallah Muhammad
Rasulallah. Sejak itu aku mengetahui bahwa ia adalah makhluk termulia
dalam pandangan-Mu, karena Engkau menempatkan namanya disamping
nama-Mu’. Allah menjawab: ‘Ya benar, engkau Aku ampuni,. ia adalah
penutup para Nabi dari keturunanmu. Kalau bukan karena dia, engkau tidak
Aku ciptakan’ ”.
Yang lebih heran lagi dua hadits terakhir ini walaupun diriwayatkan dan
di benarkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi beliau ini belum yakin bahwa
hadits-hadits tersebut benar-benar pernah diucapkan oleh Rasulallah
saw.. Namun Ibnu Taimiyyah toh membenarkan makna hadits ini dan
menggunakannya untuk menafsirkan sanggahan terhadap sementara golongan
yang meng- anggap makna hadits tersebut bathil/salah atau bertentangan
dengan prinsip tauhid dan anggapan-anggapan lain yang tidak pada
tempatnya.
Ibnu Taimiy yah dalam Al-Fatawi jilid XI /96 berkata sebagai berikut:
“Muhammad Rasulallah saw. adalah anak Adam yang terkemuka, manusia yang
paling afdhal (utama) dan paling mulia. Karena itulah ada orang yang
mengatakan, bahwa karena beliaulah Allah menciptakan alam semesta, dan
ada pula yang mengatakan, kalau bukan karena Muhammad saw. Allah swt.
tidak menciptakan ‘Arsy, tidak Kursiy (kekuasaan Allah), tidak
menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi semuanya itu
bukan ucapan Rasulallah saw, bukan hadits shohih dan bukan hadits
dho’if, tidak ada ahli ilmu yang mengutipnya sebagai ucapan (hadits)
Nabi saw. dan tidak dikenal berasal dari sahabat Nabi.
Hadits tersebut merupakan pembicaraan yang tidak diketahui siapa yang
mengucapkannya. Sekalipun demikian makna hadits tersebut tepat benar
dipergunakan sebagai tafsir firman Allah swt.: “Dialah Allah yang telah
menciptakan bagi kalian apa yang ada dilangit dan dibumi ” (S.Luqman :
20), surat Ibrahim 32-34 (baca suratnya dibawah ini.) dan ayat-ayat
Al-Qur’an lainnya yang menerangkan, bahwa Allah menciptakan seisi alam
ini untuk kepentingan anak-anak Adam. Sebagaimana diketahui didalam
ayat-ayat tersebut terkandung berbagai hikmah yang amat besar, bahkan
lebih besar daripada itu. Jika anak Adam yang paling utama dan mulia
itu, Muhammad saw. yang diciptakan Allah swt. untuk suatu tujuan dan
hikmah yang besar dan luas, maka kelengkapan dan kesempurnaan semua
ciptaan Allah swt. berakhir dengan terciptanya Muhammad saw.“.
Demikianlah Ibnu Taimiyyah.
Firman-Nya dalam surat Ibrahim 32-34 yang dimaksud Ibnu Taimiyyah ialah:
اللهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الاَرْضَ وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً َفاَََخْرَجَ بِهِ
مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًالَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِى البَحْرِ بِاَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ
الاَنْهَارَ َوَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَآتَاكُمْ مِنْ
كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْه وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا اِنَّ الاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air
hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu
berbagai buah-buahan menjadi rizki untuk kalian, dan Dia telah
menundukkan bahtera bagi kalian supaya bahtera itu dapat berlayar di
lautan atas kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagi
kalian. Dan Dia jualah yang telah menundukkan bagi kalian matahari dan
bulan yang terus menerus beredar dalam orbitnya masing-masing dan telah
menundukkan bagi kalian siang dan malam. Dan Dia jugalah yang memberikan
kepada kalian apa yang kalian perlukan/mohonkan. Dan jika kalian
menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat mengetahui
berapa banyaknya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat
mengingkari (nikmat Allah)”.(QS Ibrahim :32-34).
Dan sesungguhnya Nur Baginda Nabi Muhammad SAW senantiasa bertasbih
kepada Allah SWT dengan diikuti oleh para malaikat dan para arwah di
alam malakut, jauh puluhan ribu tahun sebelum Nabi Adam AS diciptakan
oleh Allah SWT. Sebagaimana hal itu telah disebutkan oleh Imam
Jalaluddin As-Suyuthi di Kitab Ad-Durarul Hisaan Fil Ba’tsi Wa Na’iimil
Jinan Haamisy Daqa’iqul Akhbaar hal 2 & 3.
Dan sesungguhnya kalau bukan demi Baginda Nabi Muhammad SAW maka Allah
SWT tidak akan menciptakan segala sesuatu. Sebagaimana yang disebutkan
dalam hadis qudsiy;
لولاك لولاك لما خلقت الأفلاك
“Seandainya tidak ada Engkau (wahai Nabi Muhammad SAW, sungguh Aku (Allah SWT) tidak akan menciptakan alam semesta”
Maka segala anugerah yang telah melimpah kepada makhluk-makhluk Allah
SWT, semata-mata adalah dengan berkatnya Baginda Nabi Muhammad SAW.
Bahkan segala kemuliaan para Malaikat dan Para Nabi adalah semata-mata
berkat Baginda Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang telah diterangkan
oleh Syeikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani di kitabnya Hujjatullah ‘Alal
‘Alamin hal 53 & 54 ;
قال الشيخ يوسف بن إسماعيل النبهاني في حجة الله على العالمين ص53 -54
إنما ظهر الخير لأهله ببركة سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وأهل الخير هم الملائكة والأنبياء والأولياء وعامة المؤمنين
“Bahwa sesungguhnya segala kebaikan yang melimpah kepada makhluk-makhluk
Allah SWT yang mulia adalah semata-mata berkat Baginda Nabi Muhammad
SAW, mereka itu adalah para Malaikat, para Nabi dan semua orang-orang
mukmin”.
Dan sesungguhnya manakala Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam AS,
Allah SWT senantiasa memanggilnya dengan julukan Abu Muhammad, sehingga
Nabi Adam AS bertanya kepada Allah SWT tentang rahasia panggilan
tersebut, sebagaimana hal itu telah diriwayatkan oleh Syeikh Ahmad bin
Zaini Dahlan Al-Hasaniy dalam kitabnya As-Sirah An-Nabawiyyah juz 1 hal
15 ;
قال الشيخ أحمد بن زيني دحلان الحسني في السيرة النبوية الجزء الأول ص 15
ويروى من طرق شتى أن الله تعالى لما خلق آدم عليه السلام ألهمه الله أن قال
: يا رب لم كنيتني أبا محمد ؟ قال الله تعالى : يا آدم إرفع رأسك فرفع
رأسه فرأى نور محمد صلى الله عليه وسلم في سرادق العرش فقال : يا رب ما
هذاالنور ؟ قال : هذا نور نبي من ذريتك إسمه في السماء أحمد وفي الأرض محمد
لولاه ما خلقتك ولا خلقت سماء ولا أرضا
“Bahwa sesungguhnya Allah SWT sesudah menciptakan Nabi Adam AS maka
Allah SWT memberi ilham kepada Nabi Adam AS untuk bertanya kepada-Nya;
Ya Allah, kenapa Engkau juluki aku dengan “Abu Muhammad”
(Ayahnya/bapaknya Muhammad)? Maka Allah SWT Berfirman kepada Nabi Adam
AS; Hai Adam, Angkat kepalamu. Maka Nabi Adam AS kemudian mengangkat
kepalanya. Seketika itu Beliau melihat Nur (cahaya) Baginda Nabi
Muhammad SAW meliputi di sekitar ‘Arasy. Nabi Adam AS bertanya; Ya
Allah, Nur siapa ini ? Allah SWT Berfirman; Ini adalah Nur seorang Nabi
dari keturunanmu, di langit namanya Ahmad, di bumi namanya Muhammad.
Kalau bukan karena Dia niscaya Aku tidak akan menciptakan kamu, langit
dan bumi.”
Kemudian Allah SWT meletakkan Nur Baginda Nabi Muhammad SAW dalam
punggung Nabi Adam AS, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Jalaluddin
As-Suyuthi dalam Kitabnya Ad-Durarul Hisan Hamisy Daqo’iqul Akhbar hal
5;
قال الامام جلال الدين السيوطي في الدرر الحسان هامش دقائق الأخبار ص 5:
ثم ان الله تعالى استودع نور محمد صلى الله عليه وسلم في ظهره وأسجد له
الملائكة وأسكنه الجنة فكانت الملائكة تقف خلف آدم صفوفا صفوفا يسلمون على
نور محمد صلى الله عليه وسلم
“Bahwa sesungguhya Allah SWT telah meletakkan Nur Baginda Nabi Muhammad
SAW dalam punggung Nabi Adam AS. Sehingga para malaikat sujud dan
berbaris rapi di belakang Nabi Adam AS untuk menghaturkan salam kepada
Nur Baginda Nabi Muhammad SAW”.
Dan pada saat itu pula Allah SWT memerintahkan kepada Iblis agar sujud
kepada Nabi Adam AS, namun dia membangkang dan sombong. Sebagaimana
disebutkan dalam Firman Allah SWT Surat Al-Baqarah ayat 34 ;
وإذ قلنا للملائكة اسجدوا لآدم فسجدوا إلا إبليس أبى واستكبر وكان من الكافرين) البقرة 34 )
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat; “Sujudlah
kalian semua kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan
dan takabur dan sesungguhnya ia (Iblis) termasuk golongan orang-orang
yang kafir”. (Q.S.Al-Baqarah 34).
Allah menciptakan Nur Muhammad, atau al-haqiqat Al-Muhammadiyyah
(Hakikat Muhammad) sebelum menciptakan segala sesuatu. Nur Muhammad
disebut sebagai pangkal atau asas dari ciptaan. Ini adalah misteri dari
hadis qudsi yang berbunyilawlaka, lawlaka, maa khalaqtu al-aflaka—”Jika
bukan karena engkau, jika bukan karena engkau (wahai Muhammad), Aku
tidak akan menciptakan ufuk (alam) ini.” Allah ingin dikenal, tetapi
pengenalan Diri-Nya pada Diri-Nya sendiri menimbulkan pembatasan pertama
(ta’ayyun awal). Ketika Dia mengenal Diri-Nya sebagai Sang Pencipta,
maka Dia “membutuhkan” ciptaan agar Nama Al-Khaliq dapat direalisasikan.
Tanpa ciptaan, Dia tak bisa disebut sebagai Al-Khaliq. Tanpa objek
sebagai lokus limpahan kasih sayang-Nya, dia tak bisa disebut Ar-Rahman.
Maka, perbendaharaan tersembunyi dalam Diri-Nya itu rindu untuk
dikenal, sehingga Dia menciptakan Dunia—seperti dikatakan dalam hadis
qudsi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal,
maka kuciptakan Dunia.”
Tetapi kosmos atau alam adalah kegelapan, sebab dalam dirinya sendiri
alam sebenarnya tidak ada. Dalam kegelapan tidak akan terlihat apa-apa.
Karenanya, agar sesuatu segala sesuatu muncul dalam eksistensi ini
diperlukanlah cahaya. Melalui cahaya inilah Dia memahami dan dipahami
sekaligus. Inilah manifestasi pertama dari Perbendaharaan Tersembunyi,
yakni Nur Muhammad. Jadi yang pertama diciptakan adalah Nur Muhammad
yang berasal dari “Cahaya-Ku”. Nur Muhammad adalah sebentuk “pembatasan”
(ta’ayyun) atas Keberadaan Absolut; dan bagian ini tidaklah diciptakan,
tetapi sifat dari Pencipta. Dengan demikian, berdasar hadis-hadis
tersebut dapat disimpulkan bahwa dunia adalah dari Nur Muhammad dan Nur
Muhammad berasal dari Nur Allah. Karena fungsinya sebagai prototipe
aturan tata semesta dalam keadaan global, maka Nur Muhammad adalah
wadahtajalli-Nya yang sempurna dan sekaligus kecerdasan impersonal yang
mengatur tatanan kosmos, atau Logos, seperti dikatakan dalam hadis
masyhur lainnya, “Yang pertama diciptakan Allah adalah akal (aql
al-awwal).” Jadi, Nur Muhammad adalah semacam “wadah” yang senantiasa
dialiri oleh Cahaya Pengetahuan ilahiah, yang dengan Pengetahuan itulah
alam semesta ditata. Maulana Rumi menyatakan bahwa pada saat penciptaan
Nur itu, Allah menatap Nur Muhammad itu 70,000 kali setiap detik. Ini
berarti bahwa Hakikat Muhammadiyyah itu terus-menerus dilimpahi Cahaya
Pengetahuan, Cahaya Penyaksian. Cahaya demi Cahaya terus
berdatangan—cahaya di atas cahaya—masuk ke dalam hakikat Nur Muhammad
atau Hakikat Muhammad. Karenanya pengetahuan yang diterima Nabi Muhammad
terus-menerus bertambah. Inilah misteri dari doa Nabi yang termasyhur,
“Ya Allah tambahkan ilmu pengetahuan kepadaku.” Sebagai Logos,
kecerdasan impersonal, yang menjadi dasar tatanan semesta, sudah barang
tentu pengetahuan yang diterimanya tak pernah berhenti, terus bertambah,
hingga akhir zaman.
Di dalam Nur Muhammad ini termuatal-a’yan Al-Mumkinah (entitas-entitas
yang mungkin). Entitas yang mungkin ini akan menjadi aktual dalam bentuk
alam empiris melalui perintah “kun”. Tetapi tujuan penciptaan belum
tercapai hanya melalui alam, sebab alam bukan cermin yang bening bagi
Allah untuk mengenal Diri-Nya sendiri. Di sinilah wajah Nur Muhammad
yang kedua berperan, yakni sebagai hakikat kemanusiaan—haqiqat
Al-Muhammadiyyah atau Insan Kamil.
Allah tidak secara langsung mengatur dunia, sebab Dzat-Nya adalah
tanzih, tiada banding secara mutlak (transenden). Dia mengatur melalui
Nur Muhammad, Logos. Jika Dzat-Nya turut campur dalam pengaturan alam
yang penuh pertentangan, maka kalimatAllahu Ahad menjadi tidak berarti.
Maka fungsi pengaturan berada dalam tahap wahidiyyahini, yakni tahap
Haqiqat Al-Muhammadiyyah.Rububiyyah (penguasaan, pemeliharaan)
menimbulkan kebutuhan adanya hamba dan sesuatu yang dipelihara (kosmos,
alam), dan karenanya dibutuhkan penghambaan (ubudiyyah). Haqiqat
Al-Muhammadiyyah mengalir dari nabi ke nabi sejak Adam sampai pada
gilirannya akan terwujud dalam pribadi Muhammad yang disebut rasul dan
hamba (abd)—Muhammad abduhu wa Rasullullah. Ketika Muhammad, setelah
bertafakur sekian lama di gua, ia mencapai tahap keheningan di mana
gelombang dirinya bertemu dengan gelombang Nur Muhammad, maka layar
kesadarannya terbuka terang melebihi terangnya seribu bulan. Maka
jadilah ia Rasul. Maka Rasul Muhammad adalah cahaya yang menerangi alam
secara lembut dan bisa disaksikan, sebab terang cahaya itu dibandingkan
dengan seribu bulan, bukan seribu matahari.
Dalam konteks ini secara simbolik “Rasul” adalah manifestasi yang
lengkap dari tahapan manifestasi, yakni dari martabatwahdah ke martabat
alam ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dilihat dari sudut
pandang lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju
cahaya atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan
sempurna” maka tidak dibutuhkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan
jadilah dia disebut khatam(penutup)—”tak ada lagi nabi dan rasul setelah
aku (Muhammad).”
Bagian kedua kalimat syahadat,Muhammad rasullullah, adalah deskripsi
dari ciptaan. Muhammad adalah “barzakh” yang memperantarai manusia
dengan Tuhan. Berbeda dengan bagian pertama syahadat,Laa ilaha illa
Allah, yang menegaskan Keesaan dan karenanya eksklusivitas mutlak
(tanzih), bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih),
karena merupakan manifestasi dari Allah. Sebagai sebuah deskripsi dari
manifestasi, syahadat kedua ini menggambarkan tiga hal sekaligus, yakni
Prinsip Asal yang dimanifestasikan (Muhammad); manifestasi Prinsip
(Rasul); dan Prinsip Asal itu sendiri (Allah). Dengan demikian, “Rasul”
adalah penghubung “Dzat yang dimanifestasikan” dengan Dzat itu sendiri.
Rasul menjadi perantara antara alam yang fana dengan Dzat Yang Kekal.
Tanpa “Muhammad Rasullulah” dunia tidak akan eksis, sebab ketika dunia
yang fanadihadapkan pada Yang Kekal, maka lenyaplah dunia itu. Menurut
Syekh Al-Alawi, jika Rasul diletakkan di antara keduanya, maka dunia
bisa terwujud, sebab Rasul secara internal adalah tajalli sempurna dari
Allah, dan secara eksternal tercipta dari tanah liat yang berarti
termasuk bagian dari alam. Jadinya, Rasul adalah “Utusan” manifestasi,
yang mengisyaratkan “perwujudan” atau “turunnya” Tuhan dalam “bentuk
manifestasi atau ayat-ayat” ke dunia, yang dengannya Dia dikenal.
Kerasulan adalah alam kekuasaan (alam jabarut). Dengan demikian Muhammad
Rasulullah adalah penegasan perpaduan Keesaan Dzat (Wujud), Sifat
(shifaat) dan Tindakan (af’al). Karenanya, kata Imam Ar-Rabbani—seorang
Syekh Tarekat Naqshabandi—dalam kerasulan, Rasul tidak hanya berhadapan
dengan Allah saja, tetapi juga berhadapan dengan manusia (alam) pada
saat ia berhadapan dengan Tuhan.
Pengangkatan Rasul, yang berarti “turunnya” Tuhan ke dunia, yakni
“bersatunya” kesadaran Muhammad dengan Nur Muhammad, terjadi pada laylat
Al-Qadr(Malam Kekuasaan), yang terang cahayanya melebihi seribu bulan.
Allah dan Nabi Muhammad bertemu dalam “Rasul” yang dijabarkan dalam
Risalah, atau Wahyu, yakni Al-Quran. Inilah cahaya petunjuk (Al-Huda)
yang menerangi kegelapan alam, yang memisahkan (Al-Furqan) kebatilan
atau kegelapan dengan kebenaran atau cahaya. Karena itu Al-Quran
sesungguhnya adalah manifestasi “kehadiran penampakan” Allah di dunia
ini. Sayyidina Ali karamallahu wajhahdalam Nahj Al-Balaghah mengatakan
“Allah Yang Mahasuci menampakkan Diri kepada hamba-hamba-Nya dalam
firman-Nya, hanya saja mereka tidak melihatnya.” Imam Ja’far, cucu
Rasulullah saw, juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah menampakkan
Diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, tetapi mereka tidak
melihat.”
Di sisi lain, sebagai manusia yang mengandung unsur tanah dan air,
Muhammad memperoleh sisi kemanusiaannya. Dia makan, minum dan menikah.
Faktor ini amat penting karena menunjukkan bahwa walau Muhammad adalah
manifestasi, atau tajallisempurna, insan kamil, dari Allah, tetap saja
Muhammad bukanlah Allah. Atau, dengan kata lain, yang dimanifestasikan
bukanlah Prinsip yang bermanifestasi, dan karenanya tidak ada persatuan
antara manusia dan Tuhan dalam pengertian panteisme. Kedudukan manusia
paling tinggi justru dalam realisasi penghambaannya yang paling
sempurna, abd, “abdi”—gelar yang hanya disebut oleh Allah bagi Muhammad
Saw.
Al-’abd adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Allah.
Seorang abdhidup dalam kesadaran sebagai seorang abdi Allah. Abd
dicirikan oleh keikhlasan. Karenanya, penghambaan sejati bukan lantaran
kewajiban atau keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan seorang
hamba adalah ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan
kegembiraan tatkala ia menjadi hamba (Allah).
Derajat ‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan
karena itu Allah menyandingkan kerasulan Nabi Muhammad Saw dengan
‘abd—”Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah ‘hamba’ dan
Rasul-Nya.” Ketika mengundang Rasulullah saw di malam mi’raj, Allah
menyebutnya dengan gelar “hamba”—Mahasuci Allah yang memperjalankan
hamba-Nya di kala malam(QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan
kebesaran kualitas ‘abd, sebab hanya ‘abd-Nya-lah yang berhak mendapat
undangan langsung menemui-Nya di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril
pun terbakar sayap-sayapnya. Dalam tingkatan yang paripurna, hamba yang
ingat akan menjadi yang diingat, yang mengetahui akan menjadi yang
diketahui, dan yang melihat akan menjadi yang dilihat, yang menghendaki
menjadi yang dikehendaki, dan yang mencintai menjadi yang dicintai,
karena ia sudah fana pada Allah dan baqa dengan baqa-Nya, dan ia
menghabiskan waktunya untuk memandang kebesaran dan keindahan-Nya
terus-menerus, seakan-akan dirinya pupus, seakan dia adalah Dia (Allah).
Ini adalah maqam seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi: … “(Aku)
menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang
dengannya dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya dia memegang,
menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan, dan menjadi lidahnya yang
dengannya dia bicara.” Jadi jelas bahwa derajat tertinggi adalah pada
kehambaan, sebab hanya hamba sejatilah yang akan “naik” menuju Tuhannya.
Dan pada sang hamba sejatilah Allah “turun” untuk menemuinya. Ini
adalah misteri mi’raj.
Penurunan dan kenaikan, laylatul al-qadr dan laylat al-mi’raj,
mempertemukan hamba dengan Tuhannya, melalui kewajiban yang ditetapkan
pada saat pertemuan Nabi dengan Allah, yakni shalat. Setiap mukmin harus
mengikuti jejak Rasulullah agar bisami’raj, sebab sekali lagi, hanya
melalui Rasullullah sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa
bertemu dengan Tuhannya. Rasul pernah mengatakan bahwa mi’raj-nya umat
Muslim adalah shalat. Tanpa shalat, tidak ada mi’raj. Karenanya, shalat
adalah wajib. Shalat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan
kaum kafir.
ketika Muhammad diperintahkan shalat, maka ini artinya Allah menjadikan
Muhammad sebagai hamba yang memohon (berdoa) dan Allah adalah menjadikan
diri-Nya sebagai yang dimintai permohonan. Karena rasul adalah utusan
dari Tuhan kepada manusia atau perantara, dan doa juga perantara atau
“utusan” dari manusia kepada Tuhan dalam bentuk permohonan, maka rasul
menjadi titik temu hubungan ini, yang berarti Rasul adalah doa itu
sendiri, yakni ‘barzakh” atau pintu perantara antara manusia dengan
Tuhan. Di sinilah terletak fungsi shalawat.
Dalam shalawat terkandung doa, pujian dan cinta. Karenanya, shalawat
adalah salah satu jalan menuju cinta kepada rasul, yang pada tingkat
tertinggi menyebabkan seseorang lebur dalam totalitas eksistensi, atau
hakikat Muhammad, atau Nur Muhammad.
Shalawat adalah “berkah” yang biasanya disandingkan dengan kedamaian
(salam). Shalawat karenanya berfungsi sebagai berkah dari Tuhan[5] untuk
“menghidupkan” hati dan membersihkan hati[6] agar terserap dalam Nur
Muhammad dan sekaligus sebagai kedamaian yang menenteramkan. Dengan
demikian, shalawat menjadi pembuka pintu keterkabulan doa
seseorang—seperti dikatakan dalam hadis, “Doa tidak akan naik ke langit
tanpa melewati sebuah ‘pintu’ atau tirai. Jika doa disertai shalawat
kepadaku maka doa akan bisa melewati tirai (yakni membuka pintu) itu dan
masuklah doa itu ke langit, dan jika tidak (disertai shalawat) doa itu
akan dikembalikan kepada pemohonnya.”
Shalawat yang diamalkan oleh Sufi dan terutama dalam tarekat-tarekat
amat banyak macamnya—bisa mencapai ratusan. Imam Jazuli mengumpulkan
sebagian di antaranya dalam kitabnya yang terkenal, Dala’il Khairat.
Sebagian lafaz shalawat ini tidak dijumpai dalam hadis standar (sahih),
dan karenanya sebagian fuqaha menyebut shalawat dari para Sufi adalah
bidah. Ini tidak mengherankan karena para fuqaha, yang gagal, atau
bahkan tidak mau melampaui sudut pandangnya sendiri, tidak mengakui
kasyaf yang menjadi dasar dari bermacam-macam shalawat. Sebagian
shalawat Sufi diperoleh dari ilham rabbani, atau kasyaf rabbani, atau
dari mimpi yang benar (ru’ya as-shadiqah), di mana dalam kondisi itu
para Sufi bertemu atau bermimpi bertemu dengan Nabi dan diajarkan lafaz
shalawat tertentu dan disuruh untuk menyebarkannya. Karena itu susunan
kata dalam shalawat Sufi bervariasi, dan sebagian besar mengandung
kalimat yang indah, puitis, yang mengandung misteri dari hakikat
Muhammad, Nur Muhammad, atau misteri fungsi kerasulan dan kenabian
Muhammad pada umumnya.
Semua shalawat mengalirkan barakah kepada pembacanya sebab dengan
shalawat seseorang “terhubung” dengan “Perbendaharaan Tersembunyi” yang
kandungannya tiada batasnya, atau dengan kata lain, dengan shalawat
seseorang berarti akan memperoleh berkah “kunci” dari Perbendaharaan
Tersembunyi yang gaib sekaligus nyata (yakni dalam wujud Muhammad saw).
Karenanya, dalam tradisi Sufi diyakini bahwa bacaan shalawat tertentu
mempunyai fungsi dan faedah tertentu untuk mengeluarkan kandungan
Perbendaharaan Tersembunyi sesuai dengan kandungan misteri yang ada
dalam kalimat-kalimat bacaannya.
Adapun barang yang termasyhur bahwasanya dijadikan beberapa banyak alam
ini daripada Nur Nabi kita s.a.w., maka yang zahir bagi hamba bahwasanya
bukanlah dijadikan suku-suku nur itu akan alam, hanya dimulakan dia
daripadanya dan dijadikan dia dengan sebabnya.
Oleh itu sebelum memberikan tafsiran-tafsiran yang entah apa-apa atau
menolak mentah-mentah segala yang berkaitan dengan Nur Muhammad, baik
dilihat dan dikaji tafsiran dan pandangan para ulama kita yang
terdahulu. Dan jika pun tidak setuju, maka janganlah bersikap fanatik
yang hanya mau benar sendiri dalam isu yang dapat dianggap sebagai
khilaf yang diiktibar pada kalangan ulama, karena di samping terdapat
ulama yang menolaknya, namun banyak juga ulama yang menerimanya. Jadi
bertasamuhlah, jangan mudah menuduh syirik, karut dan khurafat.
Semoga Bermanfaat