Raden Kaligenteng adalah nama seorang tokoh kontroversial yang lahir di
tlatah Purbalingga. Raden Kaligenteng dan Kali Pelus di Sokaraja adalah
dua nama yang sangat berhubungan dalam cerita Babad Purbalingga -
Sokaraja.
Kaligenteng bukan nama sungai tapi nama seorang pemuda sakti dari tlatah
Purbalingga. Dalam cerita ini minimal ada tiga wilayah yang berada di
tiga kabupaten yang perlu disebut dalam hubungannya dengan Raden
Kaligenteng yaitu Purbalingga, Sokaraja, dan Watukumpul.
Kisah antara keturunan dua orang bersaudara yang sama-sama memimpin
sebuah wilayah tanah perdikan, dalam cerita tutur wilayah kekuasaan
walaupun tidak teramat luas lazim disebut sebagai kadipaten. Saudara
yang tua bernama Ki Jebugkusuma menjadi adipati di Sokaraja, dan yang
muda bernama Ki Kertabangsa menjadi adipati di Bangsakerta, masuk
wilayah Purbalingga sekarang
Ki Jebugkusuma mempunyai anak laki-laki bernama Raden Kuncung dan Ki
Kertabangsa mempunyai anak laki-laki bernama Raden Kaligenteng. Kedua
pemuda ini oleh orang tua masing-masing dicita-citakan untuk menjadi
penguasa yang mumpuni di wilayahnya masing-masing.
Raden Kuncung menimba ilmu baca, tulis, kesustraan dan kanuragan di
perguruan Krapyak, Gunungjati, Cirebon. Di perguruan ini ia mendapat
bimbingan dari keturunan Sunan Gunungjati yaitu Pangeran Kusuma
Waningyun. Raden Kuncung mendapat pelajaran dengan metode pengajaran
para wali yaitu pelajaran Agama Islam yang dibungkus dengan budaya
tradisional seperti gending dan wayang, juga mempelajari tentang ilmu
kanuragan semacam kesaktian baik secara individu maupun kemampuan taktik
dalam pertempuran besar.
Sedang Raden Kaligenteng berguru di Perguruan Karang Permisan, di
sekitar Pulau Nusakambangan gurunya bernama Ki Sura Sarunggi. Namun pada
akhirnya ia berguru ke sebuah padepokan yang bernama Kandangbolong, di
wilayah Kadipaten Karanglewas. Mendapat bimbingan dari Ki Ageng
Reksanata. Ki Ageng Reksanata adalah seorang pengelana dari Kadipaten
Pasirluhur. Ia sesungguhnya pernah menjadi pejabat kadipaten yang
disegani, ia memiliki ilmu pemerintahan yang mumpuni. Waskita dalam
menilai bakat seseorang. Ki Ageng Reksanata suka mengurai rambutnya yang
panjang maka ia terkenal juga sebagai Ki Ageng Ngorean. Raden
Kaligenteng yang sebenarnya memiliki watak keras kepala, suka marah dan
bandel pun dengan kemampuan mata batinnya dapat dibimbing untuk menjadi
siswa perguruan yang baik dan memiliki kesaktian yang mapan. Raden
Kaligenteng di saat berguru suka berada di sekitar Kandangbolong
sehingga ia lebih dikenal sebagai warga Kandangbolong dibandingkan
sebagai anak adipati di Kadipaten Bangsakerta.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari saat Ki Kertabangsa di sanggar pamujan
Kadipaten Bangsakerta, bersemedi dengan sungguh-sungguh, datanglah
sebuah petunjuk gaib atau wangsit dari sebuah sosok berwibawa, dengan
sorot mata tajam, dahi datar, bentuk rahang yang kokoh yang seakan
memancarkan sikap tegas, mengatakan bahwa siapapun dapat menjadi seorang
adipati di suatu wilayah yang sangat luas dan akan sangat disegani oleh
penguasa wilayah sekitarnya. Syaratnya orang tersebut harus memiliki
pegangan keris Kyai Brongot Setan Kober.
Usai semedi Ki Gede Kertabangsa tercenung lama sekali. Dalam
ketercenungannya ia sempat berpikir bahwa yang memberi wangsit itu tentu
pemilik Keris Kyai Brongot Setan Kober yaitu Adipati Jipang Panolan
yang bernama Aryo Penangsang. Aryo Penangsang gugur dalam pertempuran
melawan Sutawijaya pada sekitar tahun 1549. Raden Sutawijaya berhasil
menusukkan tombak Kyai Plered tepat ketika Aryo Penangsang mendaki
tebing setelah berhasil dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang
menyeberangi Bengawan Sore. Sedangkan wilayah yang sangat luas dalam
pikiran Ki Gede Kertabangsa adalah wilayah yang meliputi Kadipaten
Bangsakerta, Karanglewas, Merden, Onje, Cipaku, Sokaraja, Purbadana dan
sampai wilayah utara yaitu Tanah Perdikan Cahyana.
Dalam hal Keris Kyai Brongot Setan Kober, Ki Kertabangsa pernah
ditunjukkan oleh Ki Ageng Reksanata. Keris dengan dapur luk tigabelas,
dengan bilah keris pudak setegal yang indah, gonjonya berwarna emas dan
wrangkanya pun sederhana namun indah. Pada saat menunjukkan keris itu Ki
Ageng Reksanata pun bercerita bahwa keris tersebut ditempa oleh Empu
Bayuaji di tepi sebuah hutan angker di wilayah Cirebon. Saat keris
hampir jadi datanglah sesosok jin yang datang dan ingin ikut menjadi
inti isi keris tersebut. Maka setelah benar-benar sempurna keris ini
diberi nama Kyai Setan Kober.
Ki Ageng Reksanata menyebutnya sebagai Keris Brongos Setan Kober.
Masalah keris yang saat itu ada di tangannya, Ki Ageng Reksanata sedikit
tidak yakin akan keaslian keris tersebut. Sesungguhnya keris yang
dipegangnya itu asli atau keris turunan, Ki Ageng Reksanata tidak paham
benar. Namun Ki Ageng Reksanata yakin bahwa Keris Brongos Setan Kober
yang ada ditangannya, apabila keris diberikan dan disimpan sebagai
senjata andalan oleh orang yang tidak tepat maka keris ini dapat
mempengaruhi pemiliknya untuk menjadi jahat dan sangat ambisius.
Akhirnya pada satu hari yang dianggap baik oleh Ki Kertabangsa,
diceriterakanlah wangsit dari sosok Aryo Penangsang kepada putranya
bahwa jika Raden Kaligenteng ingin menjadi adipati yang memiliki wilayah
yang luas dan disegani para adipati di sekitarnya hendaklah Raden
Kaligenteng memiliki Keris Brongos Setan Kober.
“Dan yang memiliki Keris Brongos Setan Kober kebetulan adalah Ki
Reksanata, gurumu di Padepokan Kandangbolong” kata Ki Kertabangsa kepada
Raden Kaligenteng. Sinar mata Raden Kaligenteng seketika
bercahaya-cahaya, ada emosi yang meluap di dadanya. Ia ingin menjadi
penguasa yang kajen keringan, terhormat dan disegani. Ia yakin Ki Ageng
Reksanata pasti akan mendukungnya. Ia akan meminta Keris Brongos Setan
Kober untuk menjadi piyandel, senjata andalan baginya.
Ki Gede Reksabangsa dan Raden Kaligenteng tidak tahu bahwa sesungguhnya
keris Brongos Setan Kober sudah diberikan kepada Raden Kuncung. Kenapa
diberikan kepada Raden Kuncung? Karena Ki Ageng Reksanata, di samping
menjadi guru Raden Kaligenteng, setiap kali juga memberikan wejangan hal
pemerintahan kepada Raden Kuncung.
Memang Raden Kuncung setiap kali berkunjung ke Kandangbolong. Dari hasil
olah kawaskitannya, Ki Ageng Reksanata yakin bahwa di tangan Raden
Kuncung Keris Brongos Setan Kober tidak akan berpengaruh negatif. Hal
tersebut dimungkinkan karena Raden Kuncung pernah berguru di Cirebon,
tempat ditempanya keris tersebut. Raden Kuncung juga sudah dibekali
dengan pengetahuan dan penghayatan agama yang sangat baik, sehingga
mampu mengendalikan segala emosi negatifnya.
Raden Kaligenteng yang ingin menjadi adipati nan berwibawa, segera ia
menemui Ki Ageng Reksanata di Desa Kandangbolong. Ternyata jawaban Ki
Ageng Reksanata sangat mengecewakannya. Keris sudah diberikannya kepada
Raden Kuncung, calon Adipati Sokaraja. Raden Kaligenteng sangat kecewa
dan tidak percaya dengan keterangan Ki Reksanata. Seketika watak asli
Raden Kaligenteng muncul. Ia marah dan mengancam akan membunuh Ki Ageng
Reksanata jika keris andalan itu tidak diberikan kepada nya
Untuk menghindari hal yang lebih buruk Ki Ageng Reksanata
Pura-pura menyetujui permintaan Raden Kaligenteng. Namun sebenarnya Ki
Ageng Reksanata yang sudah tua itu segera bergegas menghindar dan
menaiki kudanya. Dengan cepat memacu kudanya ke arah selatan. Ia ingin
minta perlindungan kepada Adipati Sokaraja, Jebugkusuma.
Di Sokaraja pada saat itu Ki Jebugkusuma ada di pendapa bersama istrinya
dan beberapa prajurit jaga. Ki Ageng Reksanata segera saja turun dari
kuda dan masuk ke pendapa. “Seperti tergesa-gesa, ada apa Ki Ageng
Reksanata?” pertanyaan Adipati Jebugkusuma kepada Ki Ageng Reksanata
setelah suasana sedikit tenang.
“Maaf, tolong lindungi saya. Saya sedang dikejar oleh
ponakanpanjenengan Raden Kaligenteng. Sepertinya ia ingin membunuh
saya!” jawaban Ki Ageng Reksanata sambil mengadu. Betapa kagetnya
Adipati Jebugkusuma mendengar penjelasan tersebut sebab Ki Ageng
Reksanata adalah guru Raden Kaligenteng.
“Apa sebabnya Raden Kaligenteng berlaku di luar tata krama ini?” tanya
Adipati Jebugkusuma. Semua yang ada di pendapapun ikut mendengarkan
pembicaraan keduanya.
Dengan sedikit sabar dijelaskannya masalah tuntutan Raden Kaligenteng
yang ingin memiliki Keris Brongos Setan Kober yang kebetulan sudah
menjadi milik Raden Kuncung. Adipati Jebugkusuma sendiri juga sudah lama
diberi tahu bahwa Keris Brongos Setan Kober sudah diwariskan kepada
Raden Kuncung. Tanggap kepada masalah yang sangat serius tersebut segera
Adipati Jebugkusuma memerintahkan seorang prajurit untuk mencari dan
memanggil Raden Kuncung.
Benar! Tidak lama kemudian Raden Kaligenteng sudah sampai di halaman
pendapa Kadipaten Sokaraja. Segera pula ia naik ke pendapa dan
berterus-terang minta agar Keris Brongos Setan Kober diberikan kepadanya
untuk menjadi miliknya. Ki Ageng Reksanata tetap menolaknya karena ia
tahu betapa berbahayanya pengaruh inti isi keris terhadap watak Raden
Kaligenteng yang keras kepala dan paenuh ambisi kekuasaan. Pendirian Ki
Ageng Reksanata pun dibenarkan dan didukung oleh Adipati Jebugkusuma.
Semakin marah Raden Kaligenteng di Pendapa Sokaraja. Ditantangnya
Adipati Jebugkusuma oleh Raden Kaligenteng untuk bertempur. Belum lagi
tantangan itu ditanggapi oleh Adipati Jebugkusuma, hadir di tengah
mereka Raden Kuncung.
Setelah tahu permasalah dengan jelas atas tuntutan Raden Kaligenteng
yang ingin memiliki Keris Brongos Setan Kober maka Raden Kuncung
berkata:
“Dimas Kaligenteng, Keris Brongos Setan Kober sudah sah menjadi
milikku, sah pula Ki Ageng Reksanata memberikannya padaku, maka jika
Dimas menginginkannya mintalah kepadaku. Dan aku tidak akan pernah
memberikannya kepadamu!” sangat halus tantangan Raden Mas Kuncung.
Seketika itu juga seperti ada halilintar di sorot mata Raden
Kaligenteng, ia marah bukan kepalang. Diserangnya Raden Kuncung dengan
serangan yang mematikan. Dengan sedikit kaget Raden Kuncung dapat
menghindari serangan mendadak tersebut.
Pertempuran dua anak muda dari perguruan yang berbeda itupun segera
berlansung sengit. Halaman pendapa Sokaraja menjadi saksi kehebatan
Raden Kaligenteng yang menggunakan ilmu kanuragan dari Karang Permisan,
Nusa Kambangan melawan ilmu dari Perguruan Krapyak, Gunungjati,
Cirebon.
Arena pertempuran lama-lama bergeser, Raden Kaligenteng yang merasa
sedikit terdesak harus mencari cara untuk tidak kalah apalagi terbunuh
sia-sia. Ia harus mencari sungai. Untuk mengalahkan Raden Mas Kuncung,
ia ingin bertempur di dalam air. Pertempuran di dalam air adalah
pelajaran wajib di Perguruan Karang Permisan. Ia ahli menyelam dan ahli
bertempur di dalam air.
Di sebelah utara Rumah Kadipaten Sokaraja memang terdapat sebuah sungai
yang cukup besar, maka terjunlah Raden Kaligenteng ke dalam sungai yang
airnya cukup dalam. Raden Kuncung berhenti di pinggir sungai. Ia ragu
untuk terjun ke sungai. Sangat berbahaya jika saat terjun dan melayang
justru ia diserang mendadak. Raden Kuncung juga tahu bahwa Raden
Kaligenteng punya kemampuan yang melebihi kemampuannya jika bertempur di
dalam air.
Sejenak kemudian ia memerintahkan para prajuritnya dan penduduk sekitar
sungai untuk melempari Raden Kaligenteng yang dikiranya ada di sungai
tersebut dengan batu, panah dan benda-benda lain yang dapat melukai
orang.
Puas melempari sungai dan memperkirakan bahwa Raden Kaligenteng tentu
sudah tewas di dalam air. Raden Kuncung memerintahkan prajuritnya untuk
mencari jasad Raden Kaligenteng. Ia juga terjun ke sungai. Dicarinya
dengan cermat jasad musuhnya dengan merata. Ia meraba-raba dalam air.
Raden Kuncung bergejolak hatinya ketika terpegang benda lembut, licin,
bulat memanjang berbau amis. Mungkinkah paha Raden Kaligenteng yang
telah terpisah dari badannya? Bukan! Ternyata yang dipegangnya adalah
ikan belut yang sangat besar, moa. Masyarakat setempat menamakannnya
ikan pelus.
“Ternyata, pelus!” katanya dalam hati dengan sedikit rasa geli.
Untuk memperingati peristiwa tersebut maka sungai itu diberi nama Kali
Pelus. Seluruh prajurit dan rakyat sekitar tentu saja menyetujui pesan
Raden Kuncung tersebut. Sejak saat itu sungai di sebelah utara Kadipaten
Sokaraja itu, resmi disebut sebagai Kali Pelus atau Sungai Pelus.
Pencarian jasad Raden Kaligenteng belum selesai. Raden kuncung heran;
“Kemana perginya Raden Kaligenteng?” Ia yakin bahwa musuhnya masih di
dalam sungai. Prajurit dan masyarakat sekitar sungai tidak melihat Raden
Kaligenteng keluar dari dalam sungai. Maka disusurinya Sungai pelus
kearah hilir. Sampailah Raden Kuncung di sebuah lubuk,kedhung, yaitu
bagian sungai yang dalam dan airnya tampak tenang.
Raden Kuncung memerintahkan para prajuritnya untuk memeriksa isi sungai
sambil berharap jasad Raden Kaligenteng segera mengapung. Saat ia
memperhatikan para prajurit di sungai dan menunggu munculnya jasad Raden
Kaligenteng ia keheranan, bukan bau amis atau anyir yang sampai ke
hidungnya, tapi bau harum. Ia tertegun sejenak. Bau harum yang
dikenalnya.
“Harumnya Bunga Kenanga!” katanya dalam hati. Lalu diumumkannya kepada
orang-orang yang ada di sekitar sungai bahwa kedhung yang berbau harum
itu diberi nama: Kedhung Kenanga!
Belum puas mencari jasad Raden Kaligenteng, Raden Kuncung mengajak
prajuritnya untuk mencari lebih ke hilir lagi. Dalam hatinya ia yakin
bahwa Raden Kaligenteng pasti telah meninggal dunia, jasadnya telah
remuk redam tertembus panah batu dan benda-benda lain yang telah
dilemparkan ke sungai untuk mengeroyoknya.
Pada sebuah tempat yang sepi jauh dari desa, saat ia memperhatikan
sungai banyak ikan kecil-kecil hilir-mudik, bagian perutnya yang besar
berwarna putih, ekornya panjang. Menurut Raden Kuncung ikan-ikan kecil
itu seperti mencit, tikus kecil.
Lalu ia memanggil beberapa prajuritnya dan berkata: “Besok rejaning
jaman, jika tempat ini menjadi ramai, banyak penghuninya, maka gerumbul
ini kuberi nama Kaliencit! Dan gerumbul di bagian akhir Kali Pelus ini,
yang kulihat ada pohon jeruknya kuberi nama: Pajerukan!
Akhirnya Raden Kuncung memutuskan bahwa Raden Kaligenteng telah tewas
di Kali Pelus. Seluruh prajuritnya diperintahkan untuk kembali ke
kadipaten. Kejadian yang berhubungan dengan Raden Kaligenteng segera ia
beritahukan kepada Ki Ageng Reksanata dan Adipati Jebugkusuma.
Alkisah sesungguhnya Raden Kaligenteng telah menyelamatkan diri dengan
ajian uling putih yang dipelajarinya di Karang Permisan. Begitu sampai
di air segera ia menyelam ke hilir sejauh-jauhnya dengan bantuan
kesaktiannya. Sehingga ketika para prajurit mengeroyoknya dengan
melemparkan segala benda, batu dan anak panah ke dalam sungai, Raden
Kaligenteng sudah berada di hilir, keluar dari sungai di tempat yang
sepi dan berlari ke utara menuju Bangsakerta.
Diceriterakanlah segala polahnya kepada ayahnya, bahwa ia telah mengejar
Ki Reksanata, menantang uwaknya, Adipati Sokaraja dan bertempur dengan
Raden Kuncung. Ia telah meloloskan diri dengan melalui sungai di
belakang Kadipaten Sokaraja. Ki Kertabangsa sangat marah atas perilaku
Raden Kaligenteng ini. Ia dinilai telah berperilaku di luar tata krama
sebagai anak dan siswa.
“Kaligenteng!” kata Ki Kertabangsa, “Saya tidak tahu apakah kamu
dianggap masih hidup atau sudah tewas. Tapi hukuman untukmu adalah
selama 40 hari kamu tidak boleh keluar dari kamar!” perintah Ki
Kertabangsa dengan tegas dan tajam penuh ancaman. Ia malu dengan
perilaku putranya tersebut.
Sejak peristiwa kali Pelus itu hubungan antara Kadipaten Bangsakerta
dengan Sokaraja seakan terputus. Ki Ageng Reksanata kembali ke
Kandangbolong. Hubungan tlatah Purbalingga dengan tlatah Sokaraja tidak
harmonis lagi. Bahkan orang Purbalingga dengan orang Sokaraja menjadi
saling menghindar saat berpapasan.
Hukuman empat puluh hari terus di dalam kamar tidak membuat Raden
Kaligenteng kapok. Ia ingin keluar kamar. Ia ingin melihat keramaian
pasar. Ingin makan di kedai pasar. Ingin nonton lengger. Ingin mandi di
sungai.
Wilayah kekuasaan Kadipaten Bangsakerta cukup luas sampai meliputi
wilayah Watukumpul. Ketika Ki Kertabangsa berkunjung ke Watukumpul untuk
mengarahkan pembuatan pasar desa, Raden Kaligenteng keluar kamar dan
mandi-mandi di sungai. Dua puluh tujuh hari ia bertahan terus di dalam
kamar.
Hari berikutnya dia makan di kedai pasar. Saat itulah ada orang Sokaraja
yang sempat melihatnya dan melaporkan kepada Raden Kuncung bahwa Raden
Kaligenteng masih hidup, tidak tewas di Kali Pelus seperti disangkakan.
Segeralah Raden Kuncung menyebar mata-mata untuk menyelidiki kegiatan
Raden Kaligenteng.
Di mana saat itu Raden Kuncung putra Adipati Jebug Kusumo diperintahkan
menuntut ilmu kepada Kyai Datuk Barul di Bumiayu tidak lama dari itu
Raden Kuncung pun kembali ke Kadipaten. Kepada ibunya, R. Kuncung
menanyakan kenapa ayahnya tidak berada di kadipaten? Oleh ibunya lalu
diberi penjelasan bahwa saat ini ayahnya sedang berada di pinggir sungai
menunggu munculnya Kaligenteng yang menjadi buronnya. Mendengar
penuturan ibunya itu, Raden Kuncung lalu mohon izin untuk menyusulnya
dan sekaligus memberi bantuan kepada ayahnya.
Saat itu adipati Jebug Kusumo masih berada di tepi sungai menanti
munculnya Kaligenteng. Konon selama menunggu di pinggir sungai, Adipati
Jebung Kusumo sampai lupa makan dan minum, tidurpun tidak bisa lelap
karena kuatir Kaligenteng dapat lolos dari intaiannya. Kedatangan Raden
Kuncung tentu saja sangat menggembirakan hatinya disamping memang sudah
rindu sekali kepada putranya itu
Raden Kuncung sangat terharu melihat kondisi ayahnya. Untuk itu ia
bermaksud membantu ayahnya dan mohon izin agar ia sendiri yang akan
menangkap Kaligenteng. Kemudian Raden Kuncung terjun ke dalam sungai,
menyelam dan berenang dengan gesitnya. Adipati Jebung Kusumo sangat
terheran-heran melihat kegesitan putranya dalam berenang dan menyelam
itu. Gesit seperti layaknya seekor pelus. Karena saking bangganya kepada
putranya itu, maka sebagai peringatan sungai itu diberi nama Kali
Pelus.
Setelah lama menyelam, Raden Kuncung muncul kepermukaan kembali dan
mengatakan bahwa Kaligenteng tidak ditemukan di dasar sungai, namun ia
melihat sebuah goa di lampeng sungai. Ada kemungkinan Kaligenteng
sebelumnya bersembunyi di goa itu dan berhasil lolos setelah ayahnya
agak lengah. Pendapat itu dapat dimaklumi Adipati Jebug Kusumo, namun ia
tetap bersikukuh untuk menangkap Kaligenteng.
Atas dasar itulah maka adipati Jebug Kusumo lalu menugaskan Raden
Kuncung untuk meringkus Kaligenteng hidup atau mati. Dengan dibekali
pusaka Brongsot Setan Kober sebagai piandel Kadipaten Sokaraja Raden
Kuncung berangkat melaksanakan perintah ayahnya. Adipati Jebung Kusumo
sendiri pulang ke Kadipaten.
Dalam usahanya menangkap Kaligenteng, Raden Kuncung selalu memohon
petunjuk kepada Yang Maha Kuasa dan pada suatu ketika ia mendapatkan
petunjuk bahwa untuk mengangkap Kaligenteng harus menyamar menjadi
dhalang jemblung atau disebut dhalang macakandha, dengan nama Ki
Wicorosandi. Tempat dimana Raden Patemon, artinya disitu ia memperoleh
wangsitnya. Selanjutnya Raden Kuncung diharuskan menuju ke desa
Watukumpul.
Raden Kaligenteng mendapat kabar dari ayahnya bahwa di Watukumpul akan
diadakan keramaian, ada tontonan lengger untuk merayakan keberadaan
pasar desa yang baru. Raden Kaligenteng ingin menonton wayang maka ia
mohon kepada ayahnya agar dalam keramaian itu ada juga tontonan wayang.
Wayang dengan lakon Babad Purbalingga – Sokaraja.
Ki Kertabangsa agak heran dengan lakon yang diminta Raden Kaligenteng.
Setahu ayahnya lakon wayang adalah dari cerita Mahabarata dan Ramayana
namun demikian untuk menyenangkan hati Raden Kaligenteng disuruhnya
beberapa pembantunya untuk mencari dalang wayang yang bisa mementaskan
lakon Babad Purbalingga – Sokaraja.
Setelah tiga hari ternyata ada seorang dalang yang sanggup mementaskan
Babad Purbalingga – Sokaraja. Namun dalang tersebut bukan dalang wayang
kulit seperti umumnya tapi dalang jemblung. Dalang jemblung adalah
dalang yang saat mendalang iringannya bukan dari gamelan tapi seluruh
bunyi-bunyi gamelan keluar dari mulut Ki Dalang dan para pembantunya.
Dalang jemblung harus mampu menampilkan bahasa pengantar, tembang,
suluk, percakapan antar wayang, bunyi kecrek, bunyi cempala dan bunyi
gending pengiring. Dan dalang jemblung yang akan manggung di Watukumpul
bernama Ki Mertakandha.
Malam keramaian di Desa Watukumpul pun datang. Ada tratag dengan
penerangan seadanya saat itu. Raden Kaligenteng tidak sempat berkenalan
dengan Ki Dalang Mertakandha. Setelah pertunjukkan lengger dianggap
selesai maka dalang Mertakandha menempatkan diri di bawah blencong yang
tidak begitu terang, sebab yang penting adalah wayangnya dapat dilihat
dan suaranya dapat didengarkan oleh para penonton. Penonton tidak butuh
melihat dalangnya tapi yang dicermati adalah alur ceritanya. Raden
Kaligenteng pun sangat antusias ingin mendengarkan kisah yang
diidamkannya yaitu Babad Purbalingga – Sokaraja.
Menurut hematnya babad Purbalingga – Sokaraja adalah sebuah cerita yang
mengisahkan berdirinya Kadipaten Bangsakerta dan Kadipaten Sokaraja.
Yang berkuasa di kedua kadipaten itu adalah ayahnya dan uwaknya.
Kadipaten Bangsakerta lebih luas dan lebih sejahtera, gemah ripah loh
jinawi, murah sandang, murah pangan karena tumbuhan mudah tumbuh.
Cerita dibuka dengan menceritakan tentang kedua wilayah sebagai anugrah
Yang Maha Kuasa. Berikutnya menceritakan tentang hasil bumi, danraja
kaya, hewan peliharaan yang ada di sana. Ada adegan pembagian wilayah
oleh kakeknya kepada Ki Jebugkusuma dan Ki Kertabangsa. Suara Ki Dalang
demikian memikat dalam bertutur. Ada di dalam hati Raden Kaligenteng
terselip kesan sepertinya warna suara ki dalang telah dikenalnya. Namun
ditepisnya karena ia lebih terpukau saat Ki Dalang memuji kebijakan dan
kemampuan ayahnya Ki Kertabangsa dalam memimpin kadipaten Bangsakerta
yang sangat luas dibandingkan dengan Ki Jebugkusuma yang wilayahnya tak
seluas Bangsakerta.
Kemudian sampailah Ki Dalang menceriterakan tentang keturunan kedua
adipati itu. Pertama keturunan Ki Jebugkusuma yang bernama Raden Mas
Kuncung. Raden Mas Kuncung seorang pemuda yang taat beragama dan suka
menolong bercita-cita meneruskan kedudukan ayahnya untuk membangun
Sokaraja dengan segala hasil bumi yang diolah dan dipasarkan ke luar
daerah. Ingin membangun pesantren untuk belajar agama bagi anak-anak dan
remaja.
Telinga Raden Kaligenteng agak risi ketika penyebutan Raden Kuncung
menjadi Raden Mas Kuncung. Ada kata “mas” setelah kata “raden”. Padahal
biasanya hanya disebut Raden Kuncung!
Lalu diceriterakan bahwa Ki Kertabangsa yang sangat bijaksana mempunyai
seorang putra bernama Raden Kaligenteng. Begitu ki dalang menyebut
namanya segera seluruh perhatian Raden Kaligenteng dicurahkan untuk
menyimak tutur kata sang dalang. Betapa senangnya ketika ki dalang
memuji ketampanannya. Namun ternyata kemudian menceritakan pula
keburukan watak dirinya. Bahkan kini ki dalang menceriterakan
perlakuannya saat mengejar Ki Ageng Reksanata dan akan membunuhnya.
Perlakuan murang tata itu karena ingin memiliki Keris Brongos Setan
Kober.
Panas telinga Raden Kaligenteng, bola matanya berputar, dadanya
seakan-akan meledak. Segera ia masuk ke tratag, naik ke panggung dan
ditendangnya Ki Dalang Mertakandha yang sedang mendalang, bercerita
tentang Raden Kaligenteng yang kalah bertempur dan terjun ke Sungai
Pelus!
Dhes! Pinggang Ki Dalang Mertakandha terkena tendangan. Ki Dalang pun
segera meloncat, menyiapkan diri untuk melawan. Keduanya beradu muka di
bawah penerangan blencong. Raden Kaligenteng kini sadar bahwa ternyata
yang menjadi dalang Mertakandha adalah Raden Kuncung.
“Oh, pantas saya seperti sudah kenal suaranya!” batin Raden
Kaligenteng. Memang saat mendalang tadi Raden Kuncung berusaha mengubah
warna suaranya, ternyata masih dapat sedikit dikenali oleh Raden
Kaligenteng.
Kemarahan Kaligenteng sudah tak dapat dikendalikan lagi. Saat ini Raden
Kuncung harus dimusnahkan karena telah membeberkan kebusukkannya di
depan banyak penonton. Membuat malu bagi diri dan ayahnya.
Kembali dua ilmu dari kutub yang berbeda diuji kehandalannya. Untuk kali
ini Raden Kaligenteng lebih mapan dibanding Raden Kuncung. Tenaga Raden
Kuncung sudah sangat berkurang karena ia kurang beristirahat. Dua hari
ia menyamar menjadi pedagang dan kini barusan mendalang. Raden Kuncung
terdesak, pinggangnya yang pertama kena tendang masih terasa sakit dan
kini dadanya sempat terkena tendangan kaki pula.
Apa boleh buat dalam remangnya sinar lampu yang tidak terang, secara
diam-diam dia hunus keris Brongos Setan Kober yang ada di pinggang
sebelah kanannya. Terlambat Raden Kaligenteng untuk melihat kilatan
warna merah yang dipancarkan oleh perbawa keris sakti. Begitu melihat
ternyata bilah keris secara cepat telah meluncur ke perutnya. Raden
Kaligenteng tidak sempat mengelak.
Jebp! Raden Kaligenteng mengaduh sejenak, badannya kemudian meliuk dan
jatuh ke tanah. Ilmu Raden Kaligenteng yang dipadu dengan pengaruh
kesaktian Brongos Setan Kober menjadikan Raden Kaligenteng berubah wujud
menjadi seekor ular besar. Raden Kaligenteng belum sadar ia telah
berubah menjadi seekor naga, yang ia tahu adalah ia segera berlari
kembali ke Bangsakerta.
Ketika itu di Kadipaten Bangsakerta, Adipati Kertabangsa sedang
mempersiapkan diri untuk memenuhi undangan Lurah Watukumpul yang akan
meresmikan pasar anyar. Mendadak semua yang hadir dikejutkan dengan
munculnya seekor naga besar dan sangat menakutkan memasuki pendapa
kadipaten. Namun yang mengherankan, naga tersebut lalu merebahkan diri
di hadapan Adipati Kertabangsa dan menangis minta dikasihani. Naga itu
tidak lain adalah jelmaan dari Raden Kaligenteng yang dalam perang
tanding melawan Raden Kuncung terkena pusaka Setan Kober.
Adipati Kertabangsa sangat keheranan melihat tingkah laku naga tersebut
dan menanyakan siapa dirinya sebenarnya serta kenapa minta dikasihani.
Naga menjawab bahwa sebenarnya ia adalah Kaligenteng yang kena pusaka
Setan Kober sewaktu terjadi perang tanding di Desa Watukumpul dengan
Raden Kuncung, putra Adipati Sokaraja. Ia merasa bersalah telah
melanggar larangan adipati Kertabangsa untuk tidak meningalkan kadipaten
selama 40 hari.
Mendengar penuturan itu semua yang ikut mendengarkan merasa bersedih dan
terharu, namun bagaimanapun semua ini sudah terjadi. Lama Adipati
Kertabangsa merenung memikirkan langkah apa yang harus dilakukan
terhadap putranya itu. Dengan perasaan sedih akhirnya adipati
Kertabangsa bersabda kepada putranya yang berujud naga itu.
“Ngger Kaligenteng……semua ini sudah terjadi sebagai akibat dari
kelakuanmu sendiri, namun bagaimanapun juga engkau tetap putraku, namun
dengan wujudmu yang sekarang ini, tidak mungkin engkau masih tetap di
kadipaten”. Dengan panjang lebar Adipati Kertabangsa memberikan nasihat
kepada putranya dan memberikan petunjuk bahwa apabila ia ingin wujudnya
kembali sebagai manusia, maka ia harus ruwat dan semedi di Gunung
Sikasur selama 40 tahun sampai Yang Maha Kuasa memberikan pengampunan
dan mengabulkan permohonannya.
Adipati Kertabangsa juga berpesan bahwa selama putranya bertapa di
Gunung Sikasur, ia harus menjaga dan mengawat-awati kawula atau rakyat
di Purbalingga. Kepada Demang Sirongge yang juga dianggap bersalah
karena tidak bisa mengasuh dan menasehati Raden Kaligenteng, kepadanya
diberi hukuman untuk meninggalkan kademangan dan bermukim di Gunung
Jimat sambil menjaga Raden Kaligenteng yang sedang bertapa.
(pertapaan tersebut yang sekarang terkenal dengan Goa Genteng di desa Karang jengkol Kec Kutasari)
Kemudian ular naga dan Demang Sirongge meninggalkan Kadipaten
Purbalingga dengan perasaan duka yang mendalam dan sedih karena harus
berpisah dari orang-orang yang dicintainya. Mereka pergi dengan
tujuannya masing-masing. Sebagai orangtua Adipati Kertabangsa merasa
sedih sekali atas kehilangan putra lelaki satu-satunya, namun takdir
telah menentukan nasibnya. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Dan
bagaimana kelanjutan waris Kadipaten Purbalingga. Setelah lama merenung,
adipati Kertabangsa memutuskan untuk pergi ke Kadipaten Sokaraja. Dia
akan meminta pertanggungjawaban dari Adipati Jebug Kusumo.
Ki Kertabangsa segera pergi ke Kandangbolong, untuk mengadu kepada Ki
Ageng Reksanata serta memintakan maaf atas segala kesalahan Raden
Kaligenteng yang kini telah salah kedaden, salah kejadian, ia telah
menjadi seekor ular naga.
Ki Ageng Reksanata memaafkan segala kesalahan Raden Kaligenteng dan
menyarankan kepada Ki Kertabangsa untuk tidak mendendam apalagi membuat
perhitungan dengan Ki Jebugkusuma maupun Raden Kuncung. Kesalahan awal
adalah pada Raden Kaligenteng yang terlalu bernafsu ingin mempunyai
kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan kekuasaan ayahnya.
Ki Kertabangsa sangat menyadari kesalahan Raden Kaligenteng maka Ki
Kertabangsa pun membuang dendamnya dan harus berdamai dengan Ki
Jebugkusuma.
Untuk menghindari persoalan-persoalan yang mungkin muncul dalam
hubungannya orang Purbalingga dengan orang Sokaraja maka dalam
perdamaian tersebut Ki Jebugkusuma mengeluarkan sebuah pamali
yaitu"Orang Purbalingga tabu menikah dengan orang Sokaraja dan
sebaliknya".
Lalu Ki Kertabangsa pun membuat sebuah pamali yaitu "sebaiknya orang
Purbalingga tidak mandi di Sungai Pelus karena dikhawatirkan akan
menimbulkan perkara yang tidak baik".
Konon pada akhirnya Ki Kertabangsa menyerahkan Kadipaten Bangsakerta
kepada Raden Kuncung. Raden Kuncung menjadi Adipati di Bangsakerta
dengan julukan Adipati Kertabangsa II. Keris Brongos Setan Kober dan
Tombak Umbul Wulung milik Kadipaten Sokaraja dibawanya ke Kadipaten
Bangsakerta yang berada di tlatah Purbalingga.
Barangkali karena pengaruh kedua benda keramat itu maka kemudian tlatah
Purbalingga tetap menjadi kadipaten yaitu Kabupaten Purbalingga,
sedangkan Kadipaten Sokaraja surut dan kini hanya menjadi sebuah
kecamatan.
=============================
Pusat Kadipaten Bangsakerta yang sekarang desa Banjarkerta
Padepokan Kandangbolong yang sekarang desa Kandanggampang
Adipati Jebugkusuma yang Makamnya berada di Sokaraja tengah dikenal dengan Dewa Kusuma
Kyai Ageng Reksanata Mantan Patih Pasirluhur
Adipati Kertabangsa yang Makamnya berada di desa Banjarkerta
=============
Cerita di atas adalah sebuah legenda atau cerita rakyat yang diyakini benar-benar terjadi.
Legenda yang menyangkut Raden Kaligenteng ini cenderung diceritakan sebagai Babad Sokaraja.
Bagi orang Purbalingga nama Adipati Kertabangsa dan Raden Kaligenteng
belum banyak yang mengenal, ia tidak seterkenal nama Adipati Onje, atau
Ki Arsantaka yang marak ditulis di berbagai kesempatan.
Dengan tulisan ini semoga sedikit mengenalkannya!
Semoga bermanfaat .