Kediri mendapat julukan "kota santri", karena saking banyaknya pondok
pesantren yang ada di daerah ini. Salah satu pondok pesantren yang
terkenal dan terbesar adalah Pondok Pesantren Lirboyo. Berikut ini
sekelumit sejarah Pondok Pesantren Lirboyo yang kini telah berusia satu
abad lebih.
Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto
Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau
pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren
Lirboyo. Berdiri pada tahun 1910 M. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh,
seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu
menantunya yang bernama KH. Abdul Karim, seorang yang Alim berasal dari
Mertoyudan Magelang Jawa Tengah.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya
dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun
1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari
perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh
Banjarmelati.
Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas
dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang
da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di
Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas
permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan
menempatkan alahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim) di desa Lirboyo.
Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan
menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.
Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama
kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat
itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan
makhluk halus yang lari tunggang langgang
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana.
Santri Perdana dan Pondok Lama
Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama
yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo.
Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan
musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama
nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada
Kyai.Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang
beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari
Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf,
Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernama
Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti
santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami
ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka
berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar
pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman, di
Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya
mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke
kampung halamannya.
Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh
masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti
santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan
Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling
disekitar pondok.
Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok
pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai
macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana
ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di
Pondok Pesantren Lirboyo.
Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren
yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan,
sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap sempurna kalau ada
masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren
Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul
Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.
Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan
atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu
digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu
ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan
kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH.
Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid
yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar
yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta
pertimbangan dan bermusyawarah.
Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak
lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf
Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam
pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub
dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana
pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan.
Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15
Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara
ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH.
Manshur Paculgowang.
Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah
berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang
tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya
bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa
kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali
masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH.
Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan,
mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.
Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian
bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa
longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan
menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H.
Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada
tahun sekitar 1984 M.
Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi
depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk
berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah
para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa
menggunakan atap. Bahkan sampai kini bila berjama'ah sholat Jum'at
banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk
menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan
melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu
tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun
dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.
Lembaga Pendidikan di Ponpes Lirboyo
Dengan model pembelajaran pesantren tradisional para kiyai penerus KH
Abdul Karim telah berhasil mendidik puluhan ribu santri yang berilmu
yang mumpuni sejak 1910 sampai sekarang. Pesantren Lirboyo sekarang
dihuni oleh 13.000 ribu santri lebih yang terdiri dari 9 unit yakni PP
HM Al Mahrusiyyah, PP Putri Hidayatul Mubtadi-aat (P3HM), PP Haji Ya’qub
(HY), PP Haji Mahrus HM ANTARA, PP Putri Tahfizhil Qur’an (P3TQ), PP
Putri Hidayatul Mubtadi-aat Al-Qur’aniyyah (HMQ), PP Darussalam, PP
Murottilil Qur’an (PPMQ), PP Salafiy Terpadu Ar-Risalah.
Kesembilan unit tersebut berada di bawah pondok induk Lirboyo, kiyai
sepuh KH Anwar Mahrus yang berada dalam satu komplek dengan luas area 19
hektare. Sedangkan Yayasan Pendidikan Islam Tribakti (YPIT) berada di
luar komplek, namun tidak jauh dari PP Lirboyo. Di samping itu Lirboyo
juga memiliki lembaga otonom yang diberi kewenangan mengambil kebijakan
membuat manajemen secara terpisah.
SEJARAH BERDIRINYA MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN
PONDOK PESANTREN LIRBOYO KOTA KEDIRI
Sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo, yang
dikenal selama ini adalah sistem Klasikal dan sistem Klasik (bandongan,
sorogan dan wethon). Sistem klasik diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo
sebelum berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tepatnya sejak
berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, yaitu 1910 Masehi. Sementara sistem
klasikal dimulai sejak berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tahun
1925 Masehi hingga sekarang.
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien berdiri bermula dari gagasan Jamhari
seorang santri senior asal Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Gagasan
tersebut dilaksanakan setelah mendapat restu dari Romo KH. Abdul Karim,
kemuadian diikuti oleh Mas Syamsi asal Gurah Kediri dan Mas Syamsi orang
yang pertama memasang papan tulis disetiap kelas sebagai sarana untuk
menulis dan menerangkan pelajaran. Dan saat itu secara resmi, Madrasah
yang baru lahir itu diberi nama “Hidayatul Mubtadi-ien”
Berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ini sangat direstuhi oleh
Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim,
sehinggabeliau dawuh kepada semua santri “ SANTRI-SANTRI KANG DURUNG
BISO MOCO LAN NULIS KUDU SEKOLAH “ (para snatri yang belum bisa membaca
dan menulis harus mengikuti sekolah).
Tujuan berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien
1. Dengan adanya sistem yang sederhana (klasikal) dapat meningkatkan mutu pendidikan.
2. Menyesuaikan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan para santri.
3. Lebih intensif dalam mendidik dan membentuk kepribadian santri.
Kendala-kendala dalam tahun-tahun pertama
Dalam tahun pertama berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ternyata
mengalamai banyak kendala yang menyebabkan keadaan makin lama makin
memburuk Karena pada waktu itu kurang berminatnya santri untuk memasuki
pendidikan Madarasah karena madrasah merupakan sistem pendidikan yang
masih asing, akhirnya setelah berjalan kurang lebih enam tahun Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kevakuman ditengah jalan.
Meskipun demikian, jangka waktu selama 6 tahun terhitung sejak tahun
1925 sampai tahun 1931 itu menghasilkan beberapa pengalaman yang cukup
berharga yaitu :
1. Madrasah sudah terbagi menjadi bebrapa lokal
2. Beberapa guru dan pembimbing diantara Ustadz Sanusi (dari
bangil) Ustadz Syairozi ( dari Perak) Kyai Bahri (dari kediri) dan
lain-lain
Setalah mandek selama dua tahun tepatnya tahun 1931 M. sampai tahun
1933M. KH. Jauhari menantu Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim
bersama kepala Pondok pesantren Lirboyo yang kala itu dijabat Oleh K.
Kholil asal Melikan Kediri serta KH. Faqih Asy’ari asal Sumber Pare
Kediri menghidupkan kembali Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Dan madrasah
dibuka kembali pada malam Rabu bulan Muharrom 1353 H. yang bertepatan
dengan tahun 1933 M. Dan saat itu setiap siswa ditarik sumbangan5 Sen
setiap bulan.
Perlu diketahui, bahwa Madrasah pada masa itu masuk malam hari yaitu
ba’dal Maghrib dan dibagi dalam 8 (delapan) kelas, 3 kelas untuk
Sifir(persiapan), yang terdiri dari Sifir Awal, Sifir Tsany dan Sifir
Tsalis. Sedangkan 5 kelas dipergunakan untuk tingkat Ibtidaiyyah yang
terdiri dari kelas I, kelasII, kelas III, kelas IV, dan kelas V kelas.
Sedangkan kurikulum yang diajarkan pada tingkat sifir adalah mata
pelajaran dasar semacam pelajaran menulis huruf Arab ( Khoth) pelajaran
membaca Al-qur’an, tajwid dan pelajaran Fiqh ibadah tahap permulaan.
Sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi, pelajarannya pun ditingkatkan
sesuai dengan tingkatan kelasnya, dan untuk tingkatan yang paling tinggi
pelajaran ketika itu adalah Al Jauharul Maknun.
Pada dasarnya Madrasah Hidayatul Mubtadi-iensemenjak berdirinya
memberikan porsi lebih banyak untuk mata pelajaran Ilmu Nahwu dan shorof
, sehingga menjadi ciri khas tersendiri bagi Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien.
Jabatan kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semula dijabat oleh
HK. Faqih Asy’ari, kemudian pada tahun 1942 diserahterimakan kepada KH.
Zamroji, sebagai kepala Madrasah yang baru. Dan ditahun itu pula Jepang
dengan semboyannya “GOSPEL ANDA GLORI“ mulai menjajah bangsa Indonesia
tercinta serta menguras seluruh kekayaan bangsa Indonesia, sehingga pada
saat itu sulit untuk mencari sandang dan pangan.
Sejak saat itu pula Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semual masuk
malam hari ba’da (setelah) Maghrib dirubah menjadi siang hari, karena
untuk mendapatkan bahan bakar minyak sewbagai penerangan saat itu sangat
sulit, hal ini berlangsung hingga tahun 1945. Dan ketika itu
berkembangan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmenurun secara drastis.
Jumlah siswa yang sebelumya mencapai 350 siswa lebih, dimasa pendudukan
Jepang turun menjadi 150 siswa. Dari jumlah itupun yang bisa
menyelesaikan studinya hanya sedikit sekali, bahkan pernah terjadi hanya
5 siswa yang bisa menyelesaikan pendidikan terakhir.
Setelah Merdeka
Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu bersamaan dengan
dikumandangkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
pada tahun 1945, barulah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmengalami
kemajuan yang cukup mengembirakan dengan semakin banyak siswa yang
berdatangan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo.
Dua tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1947 Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ienmengalami pembaharuan dengan disusunnya tingkat
jenjang pendidikan. Yang semula merupakan sifir dan Ibtidaiyyah menjadi
Ibtidaiyyah dan tsanawiyah adapun kulikulumnya masih mengunakan
kurikulum lama. Dan pada tahun 1947 ini pula didirikan lembaga baru yang
berupa Madrasah Mualimin atas gagasan KH. Zamroji yang waktu itu
menjadi pengajar/Mustahiq Tingkat Tsanawiyyah, sebagai penyempurnaan,
sedangkan waktu sekolah adalah malam hari dengan kurikulum, untuk Fiqh
adalah fathul Wahab, Uqudul Juman (Fan Balaghoh), Jami’ul Jawami’ ( Fan
Ushul Fiqh).
Masa pembenahan kurikulum
Pada tahun ajaran 1977-1978 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menyediakan
tingkat Aliyah. Keputusan ini disepakati dalam sidang Panitia kecil
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, yang pada masa itu dipimpin oleh Bapak
Ilham Nadzir.
Dengan terbentuknya pendidikan tingkat aliyah ini, merupakan masa
peralihan dari sistem pendidikan model lama menuju sistem modern yang
diselaraskan dengan tradisi pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan
pada tahun ini pula jenjang pendidikan disempurnakan untuk Ibtidaiyah 6
Tahun, Tsanawiyah 3 Tahun dan Aliyah 3 tahun.
Pada tahun ajaran 1983-1984 sidang Panitia kecil yang dipimpin KH. Anwar
Manshur. Menetapkan penyempurnaan kurikulum dengan menambah kitab
Al-Mahalli ( Fan Fiqh ) Jami’ush Shohir (Fan Hadits) dan Jam’ul Jawami’
(Fan Ushul Fiqh) kitab-kitab inilah yang menjadi kitab pelajaran Aliyah,
dan kitab yang paling besar yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Perkembangan terakhir
Perkembangan terakhir kurikulum Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien setelah
tahun 1984 sampai tahun 1997 tidak banyak mengalami perubahan, sampai
tahun terakhir 2003 yang dipimpin oleh KH. Habibulloh Zaini.
Visi :
Beriman, bertaqwa, berakhlaqul karimah dan disiplin
Misi :
Mencetak muslim intelektual yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul
karimah serta menciptakan kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu
agama dalam berbagai kondisi.
PERAN PODOK PESANTREN LIRBOYO DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN DAN MEMPERTAHANKANNYA
Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah
satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir
penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada
waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih
demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le
Jakarta, maka KH.
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH.
Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus
Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor,
Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH.
Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu
berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir
Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar
Kediri.
Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka
ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua
itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama
dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu
sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat
ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di
Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang
mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH.
Zainal Arifin di tingkat pusatnya.
Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan rakyat Indonesia
untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang
dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala
tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga,
beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota
besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa
syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan
hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat
pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia
termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.
Pelucutan Senjata Kompitai Dai Nippon
Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang mula-mula menyampaikan berita gembira
tentang kemerdekaan Indonesia itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan
kepada seluruh santri dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan
itu pula, para santri diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang
bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif
16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .
Tepat pada jam 22.00 berangkatlah santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke
tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd.
Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai, santri yang bernama
Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun menyusup ke dalam
markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk
mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa
sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor
Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari
dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari
komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang
lebar.
Dalam penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden
dan bentrokan fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan
gemilang. Walaupun kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah
berhak mengatur negaranya sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar
yang turut campur. Akan tetapi tidak bagi Indonesia pada waktu itu.
Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya kemerdekaan, tiba-tiba ada
sekutu yang di”bonceng” Belanda yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal
16 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk untuk menjajah kembali.
Kemudian disusul tanggal 29 September 1945 dengan pasukan dan peralatan
perang yang lebih komplit.
Karuan saja, kedatangan mereka disambut dengan pekik “merdeka atau
mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia. Termasuk para ulama yang
waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan Nahdlatul Ulama (dulu HB
NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil para ulama NU yang ada di
Jawa dan Madura untuk mengadakan pertemuan di kantor PB NU jalan
Bubutan Surabaya.
Tujuan pertemuan itu adalah membahas ulah Belanda yang hendak merampas
kembali kemerdekaan Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut
hadir dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan
resolusi Perang Sabil. Perang melawan Belanda dan kaki tangannya
hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi
motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga,
termasuk pesantren Lirboyo.
Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara
sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya.
Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28 Oktober mereka mulai
mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas mobil, mencegat
pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai Indonesia.
Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang berkibar
diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda
Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30
Oktober 1945, hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris
yang masih berusia 45 tahun.
Dalam situasi demikian itu, Mayor Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap
KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa Surabaya geger. Seketika KH
Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai
titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada
santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini disampaikan lewat
Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim
ke Surabaya.
Dengan mengendarai truk , para santri dibawah komando KH. Mahrus Ali
berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing,
mereka bersemangat berjihat menghadapi musuh. Santri yang dikirim waktu
itu berjumlah sebanyak 97 santri.
Sejarah para Pendiri Ponpes Lirboyo
KH Abdul Karim
KH. Abdul Karim lahir tahun 1856 M di desa Diyangan, Kawedanan,
Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, dari pasangan Kyai Abdur Rahim dan
Nyai Salamah. Manab adalah nama kecil beliau dan merupakan putra ketiga
dari empat bersaudara. Saat usia 14 tahun, mulailah beliau melalang
dalam menimba ilmu agama dan saat itu beliau berangkat bersama sang
kakak (Kiai Aliman).
Pesantren yang pertama beliau singgahi terletak di desa Babadan, Gurah,
Kediri. Kemudian beliau meneruskan pengembaraan ke daerah Cepoko, 20 km
arah selatan Nganjuk, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Setalah
dirasa cukup beliau meneruskan ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono,
Nganjuk Jatim, disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran.
Lalu beliau melanjutkan pengembaraan ke Pesantren Sono, sebelah timur
Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorof-nya, 7 tahun
lamanya beliau menuntut ilmu di Pesantren ini. Selanjutnya beliau
nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya. Hingga
akhirnya, beliau kemudian meneruskan pengembaraan ilmu di salah satu
pesantren besar di pulau Madura, asuhan Ulama’ Kharismatik; Syaikhona
Kholil Bangkalan. Cukup lama beliau menuntut ilmu di Madura, sekitar 23
tahun.
Pada usia 40 tahun, KH. Abdul Karim meneruskan pencarian ilmu di Pondok
Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jatim, yang diasuh oleh sahabat karibnya
semasa di Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari. Hingga pada akhirnya KH.
Hasyim asy’ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kyai Sholeh
dari Banjarmelati Kediri, pada tahun1328 H/1908 M.
KH. Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH. Sholeh, yang
kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian KH. Abdul
karim bersama istri tercinta hijrah ke tempat baru, di sebuah desa yang
bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Disinilah titik awal tumbuhnya Pondok
Pesantren Lirboyo.
Kemudian pada tahun 1913 M, KH. Abdul karim mendirikan sebuah Masjid di
tengah-tengah komplek pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana ta’lim wa
ta’allum bagi santri.
Secara garis besar KH. Abdul karim adalah sosok yang sederhana dan
bersahaja. Beliau gemar melakukan Riyadhah; mengolah jiwa atau Tirakat,
sehingga seakan hari-hari beliau hanya berisi pengajian dan tirakat.
Pada tahun 1950-an, tatkala KH. Abdul Karim menunaikan ibadah haji yang
kedua kalinya -sebelumnya beliau melaksanakan ibadah haji pada tahun
1920-an kondisi kesehatan beliau sudah tidak memungkinkan, namun karena
keteguhan hati akhirnya keluarga mengikhlaskan kepergiannya untuk
menunaikan ibadah haji, dengan ditemani sahabat akrabnya KH. Hasyim
Asy’ari dan seorang dermawan asal Madiun H. Khozin.
Sosok KH. Abdul Karim adalah sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin
dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan keadaan
bagaimanapun, hal ini terbukti tatkala beliau menderita sakit, beliau
masih saja istiqomah untuk memberikan pengajian dan memimpin sholat
berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Akhirnya, pada tahun
1954, tepatnya hari Senin tanggal 21 Ramadhan 1374 H, KH. Abdul Karim
berpulang ke rahmatullah, beliau dimakamkan di belakang masjid Lirboyo.
KH. MARZUQI DAHLAN
KH. Marzuqi Dahlan lahir tahun 1906 M, di Desa Banjarmelati, sebuah desa
di bantaran barat Sungai Brantas, Kota Kediri. Beliau putra bungsu dari
empat bersaudara, dari pasangan KH. Dahlan dan Nyai Artimah. Di bawah
pengawasan langsung kakeknya (KH. Sholeh Banjarmelati) Gus Zuqi kecil
menerima pengajaran dasar-dasar Islam seperti aqidah, tajwid, fiqh
ubudiyah, dll. Pernah satu waktu, sang ayah (Kyai Dahlan) meminta agar
Gus Zuqi kembali ke kampung halaman (Pondok Pesantren Jampes) guna
menuntut ilmu langsung di bawah asuhan ayah kandung sendiri. Gus Zuqi
bersedia, namun beberapa saat kemudian Gus Zuqi kembali ke Banjarmelati.
Ketika Gus Zuqi beranjak muda, beliau pindah menuntut ilmu Di Lirboyo,
di bawah asuhan KH. Abdul Karim yang merupakan paman Gus Zuqi. Di
sinilah kemampuan berpikir Gus Zuqi semakin terasah, sehingga dalam
waktu yang singkat beliau dapat menyerap berbagai ilmu keagamaan. Usai
dari di Lirboyo, Gus Zuqi meneruskan pengembaraan di pelbagai pondok
pesantren diantaranya; Pondok Pesantren Tebu Ireng asuhan Hadlratus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk, asuhan KH.
Zainuddin, Pondok Pesantren Bendo Pare asuhan Kyai Khozin, cukup lama
beliau mondok di Pare hingga berusia 20-an tahun. Selanjutnya beliau
kembali ke kampung halaman untuk belajar langsung ke KH. Ihsan
Al-Jampasy, sang kakak yang juga pengarang kitab Shirojut Tholibin.
Sebuah kitab monumental dalam bidang tasawuf.
KH. Marzuqi Dahlan menikah dengan Nyai Maryam binti KH. Abdul Karim dan
berdomisili di Lirboyo tahun 1936 M. Meski telah menikah, semangat
beliau dalam mengaji tidak pernah luntur, hal ini merupakan salah satu
amanat yang disampaikan KH. Abdul Karim kepada beliau, sesaat usai aqad
nikah berlangsung, hingga himmah beliau untuk tetap mendidik santri
terus terjaga dan sangat istiqomah.
Pada tahun 1961 M, Nyai Maryam berpulang ke Rahmatullah, meninggalkan
beliau untuk selama-lamannya. Namun untuk menghapus kedukaan yang
berlarut-larut, keluarga menikahkan KH. Marzuqi Dahlan dengan Nyai
Qomariyah yang tak lain adalah adik bungsu Nyai Maryam. Sosok KH.
Marzuqi Dahlan adalah sosok sederhana dan sangat bersahaja, hal ini
terbukti dari penampilan beliau sehari-hari yang jauh dari kesan mewah
dan perlente. Padahal saat itu beliau sudah menjadi pengasuh Pondok
Pesantren Lirboyo.
Ketika bepergian dan atau berziarah ke makam-makam Auila’ disekitar
Kediri, KH Marzuqi Dahlan lebih sering bersepeda. Bukan hanya kendaraan,
kediaman beliaupun terbilang sangat sederhana, yakni berdindingkan
anyaman bambu, hingga pada tahun 1942 M barulah kediaman beliau berganti
dengan tembok.
Pada Tahun 1973 M KH. Marzuqi Dahlan menunaikan Ibadah haji. Dua tahun
setelah menunaikan ibadah haji, kondisi beliau mulai terganggu, sebab
usia beliau memang sudah sepuh. Namun meski demikian, semangat beliau
untuk memimipin Pesanten Lirboyo tetap terjaga, hingga pada bulan syawal
pada tahun 1975, beliau jatuh sakit dan harus dirawat di RS.
Bayangkara, Kediri. Dua minggu lamanya beliau dirawat.
Karena tidak ada perubahan yang menggembirakan, akhirnya keluarga
memutuskan untuk membawa pulang KH. Marzuqi Dahlan ke kediaman beliau,
hingga pada hari Senin Tanggal 18 Nopember 1975 M beliau dipanggil sang
pencipta, dihadapan keluarga dan para santri yang sangat mencintainya.
KH. MAHRUS ALY
KH. Mahrus Aly lahir di dusun Gedongan, kecamatan Astanajapura,
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan KH. Aly bin Abdul Aziz dan
Hasinah binti Kyai Sa’id, tahun 1906 M. Beliau adalah anak bungsu dari
sembilan bersaudara. Masa kecil beliau dikenal dengan nama Rusydi dan
lebih banyak tinggal di tanah kelahiran. Sifat kepemimpinan beliau sudah
nampak saat masih kecil. Sehari-hari beliau menuntut ilmu di surau
pesantren milik keluarga. Beliau diasah oleh ayah sendiri, KH. Aly dan
sang kakak Kandung, Kyai Afifi. Saat berusia 18 tahun, beliau
melanjutkan pencarian ilmu ke Pesantren Panggung, Tegal, Jawa Tengah,
asuhan Kyai Mukhlas, kakak iparnya sendiri. Disinilah kegemaran belajar
ilmu Nahwu KH. Mahrus Aly semakin teruji dan mumpuni. Selain itu KH.
Mahrus Aly juga belajar silat pada Kyai Balya, ulama jawara pencak silat
asal Tegal Gubug, Cirebon. Pada saat mondok di Tegal inilah KH. Mahrus
Aly menunaikan ibadah haji pada tahun 1927 M.
Di tahun 1929 M, KH. Mahrus Aly melanjutkan ke Pesantren Kasingan,
Rembang, Jawa Tengah asuhan KH. Kholil. Setelah 5 tahun menuntut ilmu di
pesantren ini (sekitar tahun 1936 M) KH. Mahrus Aly berpindah menuntut
ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Karena sudah punya bekal ilmu
yang mumpuni KH. Mahrus Aly berniat tabaruqan di Pesantren Lirboyo.
Namun beliau malah diangkat menjadi Pengurus Pondok dan ikut membantu
mengajar.
Selama nyantri di Lirboyo, beliau dikenal sebagai santri yang tak pernah
letih mengaji. Jika waktu libur tiba maka akan beliau gunakan untuk
tabarukan dan mengaji di Pesantren lain, seperti Pondok Pesantren Tebu
Ireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Pondok Pesantren Watu congol,
Muntilan, Magelang, asuhan Kyai Dalhar dan juga pondok pesantren di
daerah lainnya seperti; Pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Sarang dan
Lasem, Rembang.
KH. Mahrus Aly mondok di Lirboyo tidak lama, hanya sekitar tiga tahun.
Namun karena alimnya kemudian KH. Abdul Karim menjodohkan dengan salah
seorang putrinya yang bernama Zaenab, tahun 1938 M. Pada tahun 1944 M,
KH. Abdul karim mengutus KH. Mahrus Aly untuk membangun kediaman di
sebelah timur Komplek Pondok.
Sepeninggal KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan
meneruskan tambuk kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo. Di bawah
kepemimpinan mereka berdua, kemajuan pesat dicapai oleh Pondok Pesantren
Lirboyo. Santri berduyun-duyun untuk menuntut ilmu dan mengharapkan
barokah dari KH. Marzuqi dahlan dan KH. Mahrus Aly, bahkan ditangan KH.
Mahrus Aly lah, pada tahun 1966 lahir sebuah perguruan tinggi yang
bernama IAIT (Institut Agama Islam Tribakti).
KH. Mahrus Aly ikut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan ini
nampak saat pengiriman 97 santri pilihan Pondok Pesantren Lirboyo, guna
menumpas sekutu di Surabaya, peristiwa itu belakangan dikenal dengan
perang 10 November. Hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V
Brawijaya. Selain itu KH. Mahrus Aly juga berkiprah dalam penumpasan PKI
di sekitar Kediri.
KH. Mahrus Aly mempunyai andil besar dalam perkembangan Jamiyyah
Nahdlatul Ulama, bahkan beliau diangkat menjadi Rais Syuriyah Jawa
trimur selama hampir 27 Tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota
Mutasyar PBNU pada tahun 1985 M.
Senin, 04 Maret 1985 M, sang istri tercinta, Nyai Hj. Zaenab berpulang
ke Rahmatullah karena sakit Tumor kandungan yang telah lama diderita.
Sejak saat itulah kesehatan KH. Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan
banyak yang tidak tega melihat KH. Mahrus Aly terus menerus larut dalam
kedukaan. Banyak yang menyarankan agar KH. Mahrus Aly menikah lagi
supaya ada yang mengurus beliau, namun dengan sopan beliau menolaknya.
Hingga puncaknya yakni pada sabtu sore pada tanggal 18 mei 1985 M,
kesehatan beliau benar-benar terganggu, bahkan setelah opname selama 4
hari di RS Bayangkara Kediri, beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo,
Surabaya. Delapan hari setelah dirawat di Surabaya dan tepatnya pada
Hari Ahad malam Senin Tanggal 06 Ramadlan 1405 H/ 26 Mei 1985 M, KH.
Mahrus Aly berpulang Ke Rahmatullah. Beliau wafat diusia 78 tahun.