Kabupaten Bojonegoro terletak Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Dengan Ibu
kotanya adalah Bojonegoro. Kabupaten Bojonegoro sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Tuban, sebelah timur dengan Kabupaten
Lamongan, sebelah selatan dengan Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun,
dan Kabupaten Ngawi, sebelah barat dengan Kabupaten Blora (provinsi Jawa
Tengah).
Bagian barat Bojonegoro merupakan bagian dari Blok Cepu, yang merupakan
salah satu sumber deposit minyak bumi terbesar di Indonesia. Sungai
Bengawan Solo mengalir dari selatan, menjadi batas alam dari Provinsi
Jawa Tengah, kemudian mengalir ke arah timur, sepanjang wilayah utara
Kabupaten Bojonegoro.
Kota Bojonegoro terletak di jalur Surabaya-Cepu-Semarang, dan dilintasi
jalur kereta api jalur Surabaya-Semarang-Jakarta. Kabupaten Bojonegoro
terdiri atas 27 kecamatan, dan terbagi atas 419 desa dan 11 kelurahan.
Adapun pusat pemerintahan adalah di Kecamatan Bojonegoro.
Sejarah Bojonegoro
Pada Tahun [ 898-91O ] yang berkuasa atas wilayah Jawa Tengah dan jawa
Timur adalah masa Pemerintahan Maha Raja Rakai Balitung, kala itu
Bojonegoro belum ada dan hanyalah sebuah hutan rimba yang diberi nama
Alas Tua , diapit-apit oleh pegunungan kapur sebelah utara dan
pegunungan kapur sebelah selatan,serta dialiri oleh sungai Solo dan
Kali Brantas. Di hutan ini mulai di diami oleh orang-orang dari
Kerajaan Medang Kamulan,setelah di diami beberapa orang imigran dari
jawa tengah, maka timbullah perkampungan-perkampungan misalnya:
perkampungan Gedung,Rahu [ yang sekarang Ngraho ],Esdander /Bedander [
sekarang Dander ],Toja,Adiluwih dll.
Para imigran yang mendirikan perkampungan-perkampungan itu terikat dalam
persukuan-persukuan yang atas dasar keluarga masing-masing. Dan
setiap persukuan mempunyai kepala suku, kepala Suku yang paling kuat
saat itu bernama Ki Ruhadi di Dukuh Randu Gempol, karena ia di anggap
mempunyai kekuatan gaib [ charisma ] yang besar dan lantaran
keberaniannya, maka ia di segani oleh para penduduk dan kepala-kepala
suku yang lain.
Lama kelamaan karena pengaruh kultur Hinduisme yang makin meresap ,
maka Ki Ruhadi akhirnya menghindukan daerahnya. Dengan system
pemerintahan yang Hinduisme nama Ki Ruhadi di ubah menjadi Rakai
Purnawikan dan di angkat menjadi raja yang beraliran syiwa. Sedangkan
Dukuh Randu Gempol di ubah menjadi Kerajaan Hurandu Purwa [ yang
letaknya di Ds.Plesungan kapas sekarang ]. Kemudian iapun menaklukan
datuk-datuk sekitarnya. Kerajaannyapun di perluas dari gunung pegat di
hutan Babatan [ sekarang babat ] hingga ke Purwosari,cepu,Jatirogo [
tuban ] dan hutan wangi [ sekarang ngawi ].
Pegunungan kapur utara dan pegunungan kapur selatan di pakainya
sebagai benteng pertahanan.Sungai Solo di pakai sebagai lalu lintas
perdagangan,[jl.gajah mada,kartini dan darma bakti hingga jl.jaksa agung
suprapto pada waktu masih merupakan sungai solo yang ramai akan lalu
lintas ],sedangkan ibu kota kerajaan di pusatkan di Kedaton [ sekarang
Ds.kedaton kapas ] yang ± tahun 1.115 menjadi pusat keramain kerajaan
Hurandu Purwa.
Setelah lenyapnya raja dan kerajaan Hurandu Purwa,pada abad X yakni;
tatkala Maharaja Airlangga bertahta di kahuripan [ 1006-1042 ],maka
kembali nama kerajaan Hurandu Purwa di liputi misteri. Waktu itu ada
seorang raja putri Mahasia dari Wengker memperluas wilayah kekuasaannya
ke utara. Kerajaan-kerajaan kecil yang ikut di caploknya adalah;
Djulungpudjut, Ketanggapura, Argasoka. Adapun Ketanggapura terletak di
Ds.Sumberrejo sekarang. Sedangkan Argasoka terletak di Ds. Prambon
kec.Soko sekarang. Dan ini menandakan bahwa pada abad XI itu tidak ada
sebuah kerajaan luas yang bersatu,melainkan kerajaan-kerajaan kecil yang
bertebaran di berbagai tempat.
Sedangkan kekuasaan Raja Putri Mahasia di kota Gedah [ yang terletak
diperbatasan Nganjuk-Kertosona sekarang ]. Dan ketika Raja Airlangga
dengan bantuan Mpu Baradah dapat menaklukan Kerajaan Wengker { Raja
Putri Mahasia }, Dengan demikian seluruh wilayah jawa timur menjadi
kekuasaan Prabu Airlangga. Dan untuk menyenangakn hati,Prabu Airlangga
membuat padang perburuan di Karang Kahuripan,Krapyak dan Bedander (
sekarang Dander ). Dengan demikian hanya ada satu Kabupaten yang
diperbolehkan berdiri disini yaitu;Kabupaten Rajekwesi yang terletak di (
desa Senori sekarang ),sebagai Bupatinya Airlangga menunjuk
kemenakannya sendiri yaitu Pandaprana. Sedangkan putrinda Airlangga yang
bernama Dyah Sangramawijaya Dharma tungga Dewi atau biksumi kilicuci
lebih memilih sebagai pertapa dan tidak kawin serta tidak mau mewarisi
tahta ayahanda. Ia kemudian mendirikan pertapaan-pertapaan di
Mojosari,Glagahwangi dan Sendang Siwalan. Untuk menjalankan tapanya Dyah
kilicucipun sering mengunjungi pertapaan-pertapaan dibekas kerajaan
Hurandu Purwa ini.
Kemudian dalam masa perkembangan kerajaan Singosari ( 1222-1292 ),
Kabupaten Rajekwesi memperluas dirinya ke barat dan ke
timur,Bupati-bupati keturunan Pandaprana menganggap dirinya berkuasa
penuh sebagai raja. Akibat tindakan absolute bupat-bupati itu maka
pecahlah kabupaten Rajekwesi ini,masing-masing menjadi Kabupaten
Rajekwesi Wetan,Bahuwerno,Getasan, Kenur ( sekarang kanor ),Asem Kasapta
( sekarang ngasem ),dan Malino ( sekarang Klino ).
Dan masing-masing kabupaten kecil-kecil menganggap punya hak otonomi
daerah serta merdeka. Pada masa Pemerintahan Kerta Redjasa Djayawardhana
( Raden Wijaya )tahun( 1293-1309 ) Raja Majapahit yang pertama,
kabupaten-kabupaten Rajekwesi wetan, Bahuwerno, Getasan,Kenur dan Asem
Kasapta di lebur menjadi satu Kabupaten yaitu;Kabupaten Kahuripan dengan
Perwitasarimenjadi Adipatinya.Dan Adipati ini masih keturunan
Pandaprana. Pada masa pemerintahan adipati inilah kali solo di bendung
di daerah Gumolong ( sekarang Trucuk ).Dan pada masa itu pelabuhan Tuban
terkenal sebagai pelabuhan transito. Hasil-hasil
kayu,kelapa,buah-buahan,sayur-mayur dari Kahuripan di ekspor keluar
melalui Sungai solo.
Dan candi-candipun di dirikan untuk memuliakan Hyang Wisnu,Brahma dan
syiwa di antaranya di gunung pandan,Merak urak dan Plumpang, tapi sayang
candi yang di dirikan oleh Prabu Airlangga dan di jaga dan di pelihara
dengan baik di jaman Majapahit itu telah di hancurkan oleh tentara Islam
dari Demak,ketika ia menyerang Kahuripan dari daerah Bonang Tuban.
Sebuah candi yang masih berdiri megah terletak di Ds. Banjararum. Candi
ini dirikan oleh adipati Perwitasari,conon candi tersebut tertimbun
tanah yang terletak di Dusun Pagak ( sekarang). Sedangkan beberapa candi
budha dengan pertapaan kecil-kecil tersebar di dusun Banjarsari dan
Mentora di daerah soko. Kemudian pada jaman kerajaan islam di Demak (
1521 ),boleh dikatakan nama Kahuripan ditelan jaman atau telah dilupakan
oleh sejarah.Karena pada waktu perampok Loka Djaja menjarah beberapa
buah desa di wilayah kahuripan,kabupaten dan isinya tak luput dari
bahaya api.Hanya beberapa pedusunan kecil yang terletak di kalirejo dan
leran saja yang masih berdiri.
Kemudian sekitar tahun 1523 timbullah dua kabupaten islam dibekas
kabupaten itu.Dua kabupaten itu adalah kabupaten Jipang Panolan dan
Kabupaten Waru.Kemudian sultan Demak mengangkat seorang hamba sahayanya
yaitu Raden Wirabaya sebagai Adipati Jipang dan bekas Senopati
Anggakusuma sebagai Adipati Waru.Adapun di kabupaten tersebut,diserahkan
oleh Sultan Demak kedalam kekuasaan Sunan Bonang. Kemudian sunan Bonang
menyerahkan kedua kabupaten tersebut kepada Sunan Kalijaga muridnya.
Ketika Adipati Wiroboyo mangkat,maka Sultan Demak mengangkat Pangeran
Sekar sebagai Adipati Jipang.Tatkala beliau terbunuh oleh kemenakannya
sendiri maka,Ario Penangsang ( Putra Pangeran Sekar ) diangkat menjadi
Adipati Jipang Panolan.
Sedangkan dalam tahun-tahun berikutnya Bupati-bupati Rajekwesi dan
Boworeno di angkat langsung oleh Sunan Kalijaga dan mereka itu semua
adalah putra keturunan Sunan Kalijaga. Dan ini penting untuk
mengkokohkan pundamen kekuasaan. Ketika Ario Penagsang memberontak pada
Demak,maka kedua Kabupaten Rajekwesi dan Boworeno dibakarnya lantas
dipersatukannya dengan Jipang Panolan. Waktu itu Demak tidak berbuat
apa-apa sehingga Ario Penangsang praktis tidak berkuasa atas Tuban
juga,karena masa itu Tuban termasuk wilayah Rajekwesi. Salah seorang
kepercayaan Ario Penangsang Ki Ageng Wiropati di angkat menjadi Buyut (
setingkat Demang )di Banjarsari.
Dan seorang lagi Ageng Ki Badjoel Seto diangkat menjadi Buyut di Krapyak
( kalirejo). Tatkala kerajaan Pajang berdiri (kesultanan) dengan Sultan
Hadiwijaya (Joko Tingkir ) sebagai Sultannya ( 1563-1582 ), maka
kekuasaan Ario Penagsang di pesisir utara hamper menandingi
Pajang.Melihat hal yang demikian maka Sultan Pajang ingin mengenyahkan
Ario penangsang. Setelah Ario Penangsang berhasil di enyahkan /
dibunuhnya,hancurlah Jipang Panolan. Sultan Pajang akhirnya
mempersatukan Jipang dengan Pajang. Sedangkan pada waktu Ario Pangiri di
pindahkan sebagai Bupati Demak,maka putra mahkota Pangeran Pajang yaitu
Pangeran Bawono diperbantukan sementara sebagai Bupati Jipang.Sedangkan
wilayah Jipang sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Jipang
dan Kabupaten Rajekwesi.
Untuk Kabupaten Jipang tetap di perintahnya sendiri, sedang untuk
kabupaten yang baru ( Rajekwesi ) di tunjuk Pangeran Timur ( putra
pangeran Trenggono ) sebagai Bupatinya.
Pada awal abad ke-19, Indonesia saat itu dibawah pemerintahan Belanda.
Pada tahun 1824 M terdapat 3 daerah di sekitar Bojonegoro yang belum
dikuasai pemerintahan Belanda yaitu:
Kabupaten Mojoranu (dander), dipimpin bupati R.T. Sosrodiningrat.
Kabupaten Padangan (desa pasinan) dipimpin bupati R.T. Prawirogdo
Kabupaten Baurno (desa kauman) dipimpin Bupati R.T. Honggrowikomo
Ketiga bupati ini merupakan bawahan dari bupati Madiun yang bernama R.T
Ronggo, yang mewakili kerajaan Mataram di Jawa tengah. Adapun saat itu
nama Bojonegoro belum muncul. Pemerintahan Belanda mendesak ketiga
Kabupaten digabungkan menjadi satu yang harus berada di bawah
pemerintahan Belanda. Maka ketiga bupati diajak untuk bermusyawarah di
daerah padangan pada tahun 1826.
Akan tetapi bupati mojoranu, yaitu R.T Sosrodinigrat sedang berpergian
ke desa cabean, daerah rejoso Nganjuk. Dan kekuasaan Kabupaten mojoranu
diserahkan sementara kepada Pateh Demang R. Sumosirjo. Pemerintahan
Belanda memandang upaya penyatuan ketiga daerah gagal, sehingga pihak
Belanda membuat rambu-rambu di wilayah mojoranu, serta mendirikan
kembali Kabupaten rajekwesi sebagai wilayah tandingan dan penjara.
Pemerintahan Belanda mengangkat R.T Purwonegoro sebagai Bupati
Rajekwesi. Padahal R.T Purwonegoro juga saat itu masih berstatus sebagai
bupati Probolinggo. Kepemimpinan R.T Purwonegoro di Kabupaten rejekwesi
tidak sesuai yang diharapkan pihak Belanda, sehingga diganti dengan R.T
joyonegoro.
R.T Sosrodilogo mengadakan hubungan dengan Pangeran Dipenogoro di
Mataram. Pada suatu waktu R.T joyonegoro melihat R.M Suratin, R.T
Sosrodiningrat sebagai bupati mojoranu saat itu juga R.M Suratin
ditangkap dan dijebloskan di penjara Rajekwesi. Kejadian tersebut
diketahui R.T Sorodilogo, sehingga meminta bantuan Pangeran Dipenogoro
dari Mataram, hingga dikirim bala bantuan sebanyak 40 tentara.
Hingga terjadi peperangan kecil diantara wilayah Mojoranu dan Rajekwesi.
40 orang dari Kerajaan Mataram tersebut ditawan, dan R. Sumodirjo
sebagai Pateh Demangan gugur. Adapun R.T Sosrodilogo dimasukan ke dalam
penjara dengan tuduhan sebagai pemberontak, dia dipenjara di rajekwesi.
R.T Sosrodilogo bertemu dengan adiknya R.M Suratin untuk mengadakan
pemberontakan, tetapi dengan perencanaan yang lebih matang. Hingga
akhirnya keduanya keluar dari penjara, maka dimulailah peperangan
kembali. Kabupaten Rajekwesi dikepung dari berbagai arah, hingga
akhirnya kekuatan dari kerajaan rajegwesi melemah. Pasukan Mojoranu
terus melakukan serangan hingga menghancurkan pasukan rajekwesi.
Dengan kekalahan wilayah Rajekwesi yang merupakan wilayah bawahan
Belanda, maka pihak Belanda semakin meningkatkan pertahanan untuk
menahan pemberontakan dari rakyat. Kemenangan pasukan Sosrodilogo memicu
semangat untuk memukul mundur tentara Belanda di berbagai wilayah
lainnya. Kota Baorno (perbatasan Surabaya dan tuban) yang dikuasai
Belanda, mendapat serangan dari rakyat sehingga membuat pihak Belanda
kewalahan.
Pasukan rakyat berhasil menguasai wilayah selatan Padangan, yang
kemudian ingin membebaskan wilayah Ngawi dari pendudukan Belanda.
Perlawanan rakyat juga untuk mengusir Belanda juga dipicu dari
terjadinya Perang di penogoro di Mataram untuk melawan Belanda pada
tahun 1825. Kemudian juga terjadi perlawanan rakyat melawan Belanda di
wilayah kota Blora yang dipimpin Raden Ngabel Tortonoto, hingga akhirnya
kota Blora berhasil dikuasai oleh rakyat.
Adapun saat itu, Bupati rajekwesi R.T joyonegoro melarikan diri ke
wilayah Sedayu. Wilayah Kabupaten Sedayu saat itu juga merupakan wilayah
bawahan Belanda. Bupati Sedayu (sekutu Belanda) mengirim tentara untuk
menyerang wilayah Kabupaten Mojoranu, hingga akhirnya pasukan Sedayu
bertempur dengan pasukan Mojoranu. Dan peperangan dimenangkan pasukan
Mojoranu, hingga akhirnya pasukan Sedayu terdesak dan kembali mundur ke
markasnya.
Wilayah Rajekwesi yang dikuasai Rakyat akhirnya jatuh kembali ke pihak
Belanda, salah satu penyebabnya yaitu kesalahan fatal dari pasukan
rakyat itu sendiri, setelah memenangkan peperangan akan tetapi banyak
dari pasukan rakyat yang justru bersenang-senang, tanpa bersikap untuk
memperkuat pasukan untuk menghadapi serangan dari pihak Belanda sehingga
hal ini dimanfaatkan Belanda untuk melakukan serangan balik dengan
cepat dan kekuatan penuh.
Bantuan dari pihak Belanda mengalir terus sekutunya di Rembang dan
Rejekwesi. Pasukan Belanda dikirim masuk ke wilayah Rajekwesi sehingga
membuat pasukan rakyat terdesak mundur.
Pada tanggal 26 januari 1828 belanda dapat memasuki kota rajekwesi. R.T
Sorodilogo malarikan diri ke arah selatan planturan. Semangat pangikut
R.T Sosrodilogo menjadi lemah. Pada tanggal 7 maret 1828 bisa dikatakan
pahlawan rakyat di daerah rembang. Rajekwesi dan lain-lain dianggap
rampung.
R.T Sosrodilogo bersama saudarannya yaitu raden bagus menjadi buronan
oleh pihak belanda. Belanda mengadakan seyembara untuk menangkap kedua
orang tersebut. Raden bagus akhirnya diserahkan kepada bupati setempat
R.T Sosrodilogo melarikan diri ke jawa tengah dan bergabung dalam
peperangan dipenogoro. Namun ahirnya pada tanggal 3 oktober 1828 R.T
Sosrodilogo menyerah kepada belanda.
Setelah peperangan usai maka pemerentahan belanda mengundang R.T
Sosorodilogo dan bupati sedayu menghadiri pesta besar-besaran (suka-suka
bojono) untuk merayakan keberhasilan mengalahkan pasukan mojoranu. Saat
itu pula pemerentah belanda mengangkat R.T Joyonegoro menjadi bupati
bojonegoro. Nama kabupaten Bojonegoro di ambil untuk menggantikan
kerajaan Rajekwesi yang sudah hancur. BOJO yang berarti bersenang-senang
dalam perayaan tersebut. Sedangkan NEGORO berati Negara. Saat itu
pemerentahan belanda dipimpin oleh H. Marcus De Kock dengan perangkat
Letnan Gubernur Jendar (1826-1830).
R.T Joyonegoro Bupati Bojonegoro 1827-1844.
Berdasarkan cerita pusat kabupaten rejekwesi dulunya terletak di daerah
Ngumpak Dalem, maka setelah peperangan dipindah ke daerah boghadung yang
terletak di sebelah utara rajekwesi. Berdasarkan pertimbangan pada
pejabat waktu itu. Tidak baik mendirikan Negara di lokasi yang sama
dengan alas an rejekwesi pernah kalah dalam peperangan mojoranu. Desa
Boghadung yang terletak sebelah utara bengawan solo masih ikut darah
tuban waktu itu.
Di tahun 1828 bengawan solo sudah terpecah menjadi dua aliran. Desa
Boghadung yang tedinya berada di sebelah utara bengawan. Setelah pindah
di Boghadung ini kabupaten rajekwesi berubah menjadi nama Bojonegoro.
Di sini di berkembang cerita bahwa kata BO dari bojonegoro diambil dari
kata Boghadung yang akhirnya menjadi kata Bojonegoro. Ada pula cerita
lain yang mengatkan bahwa bojonegoro berasal dari kata BOJON yang
artinya SUGU atau tanah yang diberikan untuk Negara dari daerah Tuban.
R.T Joyonegoro beserta keluarganya pindah ke bojonegoro dan pension
menjadi bupati bojonegoro pada tahun 1844M.