Talaga Denuh merupakan suatu telaga alami yang dikelilingi oleh
perbukitan dan juga aliran sungai. Talaga Denuh secara administratif
berada di Kampung Daracana, Desa Cikuya, Kecamatan Culamega, Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Lokasi ini terletak ±100 Km dari Tasikmalaya,
Jawa Barat melalui jalur utama menuju Kecamatan Cipatujah di pesisir
Selatan Kabupaten Tasikmalaya. Jalur ini melewati ruas jalan Provinsi
yang secara keseluruhan kondisinya cukup baik, hanya akan ditemui
beberapa ruas jalan yang rusak karena berlubang, seperti yang terdapat
di Kecamatan Sukapura, Kecamatan Cibalong, dan Kecamatan Singajaya.
Untuk menuju Kecamatan Culamega, ikuti jalan yang melewati Uurg,
Karangnunggal, objek wisata Pamijahan, Bantarkalong, hingga tiba di
persimpangan Darawati. Sudah terdapat papan penunjuk jalan dan ada pos
ojek Darawati sebagai patokan. Dari persimpangan Darawati akan diperukan
waktu kurang lebih 30-50 menit untuk tiba di Daracana, desa terakhir
sebelum perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki.
Kondisi jalan dari Darawati hingga Desa Cikuya cukup rusak, tetapi tidak
parah, kelas jalan Kabupaten dengan lapisan apsal paling atas yang
sudah menghilang akan mendominasi jalur ini. Jalur
Darawati-Nangelasari-Cikuya ini akan melewati permukiman penduduk dan
areal perkebunan karet tepat sebelum memasuki Desa Bojongasih di
Kecamatan Culamega. Apabila melintas di jalur ini dari pagi hingga sore
hari, lalu lintas akan didominasi oleh sepeda motor, Elf, dan beberapa
kendaraan pribadi, tetapi sore menjelang malam, lalu lintas akan
didominasi oleh truk angkutan barang, yang kebanyakan mengangkut kayu
hasil perkebunan. Kondisi jalan yang cukup baik akan mulai ditemui
ketika memasuki areal perkebunan karet hingga persimpangan Desa
Bojongsari. Apabila kesulitan mencari jalur pada peta, sebaiknya
bertanya kepada warga setiap menemukan persimpangan jalan. Kebanyakan
warga disekitar sudah mengetahui Talaga Denuh sehingga tidak akan sulit
untuk meminta arahan jalan.
Memasuki Desa Bojongasih, kondisi jalan kembali tidak terlalu baik,
dengan lubang disana-sini serta lapisan atas aspal yang sudah menghilang
akan terus dilewati hingga persimpangan Kp. Daracana-Desa Bojongsari.
Sepanjang jalur Desa Bojongsari ini padat dengan permukian penduduk,
pertama-tama jalan akan menurun hingga menyebrang sebuah aliran sungai
yang cukup besar didasar bukit dan kemudian jalan akan kembali datar dan
menanjak meskipun tidak terlalu curam. Tidak peru khawatir tersesat,
karena jalan yang ada hanya 1 dan sebagian besar warga sudah cukup
mengenal Talaga Denuh. Di ruas jalan ini juga cukup banyak truk yang
melintas mengangkut hasil kayu ketika menjelang sore hari. Sore hari,
truk akan melakukan bongkar muat kayu dan kemudian sebagian besar akan
berangkat ketika sudah mulai gelap. Perjalanan malam dilakukan agar
tidak menghambat lalu lintas pada siang hari yang lebih banyak
didominasi oleh sepeda motor dan Elf meskipun untuk ukuran yang terbiasa
dengan lalu lintas di kota besar masih bisa digolongkan cukup sepi.
Jalur Desa Bojongsari ini sejajar dengan aliran sungai yang juga
mengalir diantara perbukitan tempat Talaga Denuh berada. Aliran Sungai
Cipatujah di Desa Bojongsari ini memisahkan jalur utama
DesaBojongsari-Daracana dengan kampung-kampung lainnya di perbukitan dan
areal sawah yang hampir mendominasi sepanjang aliran di dasar
perbukitan. Desa Bojongsari bisa dikatakan cukup ramai, ada beberapa
tempat peribadatan, warung-warung kecil yang sekaligus rumah, beberapa
lokasi untuk menyimpan kayu hasil tebang di hutan-hutan di perbukitan,
dan penjual bensin eceran pun cukup mudah ditemui. Untuk menuju Kp.
Daracana yang letaknya diatas bukit, ikuti saja jalan Desa Bojongsari
sampai didepan SD dan didepannya sudah merupakan arah menuju ke pinggir
sungai, jalan buntu. Didepan SD ini ambil jalan menanjak disebelah kiri,
jalurnya akan terus menanjak dan cukup berat dengan kondisi sudah di
cor, sebaiknya lebih berhati-hati karena jalurnya lebih sempit,
kira-kira hanya selebar 1 buah mobil minibus dengan sisi kanan berupa
jurang dan sisi kiri merupakan tebing yang batu-batunya mudah terlepas.
Bila hujan, jalannya akan sedikit lebih licin. Tidak berapa lama setelah
berbelok dari depan SD, kita akan menemui persimpangan jalan di lokasi
yang sedikit datar, ambil yang kearah kiri, jalan yang terus menanjak,
ikuti terus jalur tesebut hingga nantinya jalan akan menurun dan sampai
pada sebuah daerah datar yang cukup luas dengan kondisi jalan cor yang
mulai habis. Di ujung jalan cor ini, ambil jalan yang kearah bawah
disebelah kiri dan berhenti didepan SDN Denuh, tempat untuk menitipkan
kendaraan sekaligus titik awal untuk memulai perjalanan dengan berjalan
kaki.
Jalan setapak menuju Talaga Denuh berada diseberang SDN Denuh dengan
kondisi yang pada saat itu berubah menjadi lumpur sampai menemui
lapangan sepak bola. Di lapangan sepak bola ini ambil jalan yang berada
tepat disebrang jalan setapak tempat kita tiba, karena memang cukup
banyak percabangan jalan disekeliling lapangan sepak bola ini. Medan
yang ditempuh akan berupa turunan selama kurang lebih 10-15 menit
melalui jalan setapak didalam kebun milik warga yang kemudian akan
sedikit menyusur disamping pematang sawah hingga akhirnya turun terus
hingga ke pematang sawah tepat di pinggir aliran Sungai Cipatujah. Tidak
ada jembatan untuk menyebrang aliran sungai ini, sehingga kami sempat
diperingatkan oleh warga untuk tidak nekat menyebrang bila airnya meluap
dan ketika hujan. Ketika hujan seluruh trek yang berupa jalan setapak
yang sangat sempit itu akan menajdi sangat licin dan dikhawatirkan
tergelincir jatuh langsung ke jurang yang tepat berada di sisi jalan
setapak ini. Sebenarnya dari atas jalan setapak, sekilas terlihat
jembatan dari bambu, tetapi karena memang letaknya sangat jauh, tidak
sempat memastikan bagaimana kondisinya dan juga jalan yang harus diambil
untuk menuju jalan setapak menuju Talaga Denuh jaraknya cukup jauh dan
melalui pematang sawah yang sempit dan langsung berada ditepi sungai,
sama-sama berisiko.
Setelah menyebrang sungai, maka perjalanan dilanjutkan dengan medan
jalan setapak yang semakin kecil dan tertutup semak belukar dan ranting
pepohonan yang akan terus menanjak hngga puncak bukit yang dapat kita
lihat sebelumnya pada saat berjalan keluar dari jalan setapak di kebun
warga sebelum pematang sawah. Dari sini, menurut informasi perjalanan
akan ditempuh selama 30 menit saja bagi yang sudah terbiasa dan bagi
warga sekitar, itupun jika kondisi jalan setapak tidak licin dan tidak
dalam kondisi hujan. Sebenarnya warga disana sudah sempat menghimbau
agar cukup berhati-hati melewati jalan setapak disebrang sungai menuju
puncak bukit, karena jalannya banyak yang tertutup pepohonan, cukup
terjal, dan bila salah melangkah akan langsung terjatuh ke sungai.
Setelah menanjak, kita akan menyusuri jalan yang cukup datar menuju
puncak bukit dan sedikit menanjak lagi, dan akhirnya kita akan tiba di
Talaga Denuh, yang berada sedikit lebih rendah.
Sebenarnya disekeliling Talaga Denuh merupakan hutan-hutan yang cukup
lebat pada beberapa tahun lalu, tapi kondisinya sekarang cukup berbeda,
hutan-hutan sudah berganti menjadi beberapa tanaman kebun seperti
pisang, bahkan ada satu sisi di Talaga Denuh yang longsor karena bagian
atasnya gundul. Lahan yang gndu berada di dekat dengan jalan masuk
menuju Talaga Denuh dari Kp. Daracana, sedangkan di sisi lain Talaga,
tepat diseberang jalan setapak tempat masuk menuju Talaga Denuh,
hutannya masih cukup lebat. Hutan tersebut menuju ke deretan perbukitan
yang memang mengelilingi Talaga Denuh. Suasana disini sangat sepi,
mengingat lokasinya yang sangat jauh dari pusat-pusat kota kecamatan dan
juga aksesnya yang cukup sulit, menjadikan Talaga ini tempat yang cocok
untuk benar-benar keluar dari hiruk-pikuk rutinitas kota ataupun
tempat-tempat wisata sejenis yang memang sudah ramai. Talaga Denuh
merupakan lokasi untuk memancing, cukup banyak warga yang memancing di
Talaga Denuh, terutama dari sekitar Desa Cikuya.
Sejarah situ Denuh
Situ Denuh di Kampung Daracana tidak lepas dari peranan tokoh-tokoh
dalam sejarah kebudayaan di tanah Sunda. Kepercayaan dan cerita turun
temurun mengenai Situ Denuh masih sering disebarkan secara lisan oleh
orang-orang yang dituakan, atau biasa disebut dengan ‘Kuncen’. Kisah
mengenai Situ Denuh yang banyak berkaitan dengan sejarah
kerajaan-kerajaan di tanah Sunda, khususnya Priangan Timur ini sayangnya
tidak didokumentasikan secara baik, sehingga hanya dapat dikisahkan
secara lisan kepada keturunan dan warga-warga yang bermukim di sekitar
Situ Denuh. Kurang tersebarnya informasi (dalam hal ini hanya
mengandalkan lisan) mengenai kaitan Situ Denuh dengan sejarah-sejarah di
tanah Sunda pada zaman dahulu salah satunya disebabkan karena
keberadaan Situ Denuh sendiri yang belum banyak diketahui oleh
masyarakat luas.
Mengenai pembahasan arti Denah yang lebih spesifiknya masih belum dapat
dijabarkan karena kurangnya referensi yang ada. Denuh dapat juga
diartikan sebagai merenah,sopa santun. Secara umum mungkin Situ Denuh
dapat diartikan sebagai suatu daerah yang nyaman dan masyarakatnya
menjunjung sopan santun baik terhadap sesama maupun terhadap sejarah
serta kepercayaan yang ada. Denuh dalam artiannya sebagai Denah sering
dikaitkan dengan bentuk Situ Denuh yang jika dilihat dari atas (pada
peta) akan tampak seperti telapak kaki, selain itu juga, denga di sini
bisa dikaitkan dengan pembagian-pembagian wilayah kepemilikan
tokoh-tokoh yang memiliki peranan dalam sejarah di tanah Sunda.
Daerah di sekitar Situ Denuh erat kaitannya dengan Kerajaan Galuh, salah
satu kerajaan besar dan tua di tanah Sunda. Salah satu tokoh yang
mendiami daerah di sekitar Situ Denuh yaitu Rahiyang Kidul/Eyang Jantaka
yang memiliki gelar Batarahiang Karangnunggal (Batara Karang). Eyang
Jantaka merupakan salah satu putera dari Raja Galuh yaitu Wretikandayun.
Eyang Mudik Batara Karang diyakini sebagai tokoh pertama yang mendiami
daerah di sekitar Situ Denuh, yaitu Sembah Lodong. Petilasannya berada
di tempat yang disebut Cikudakeling, nama yang sama dengan salah satu
Situs Purbakala yang bernama Situs Cikudakeling yang berada di Barat
Situ Denuh.
Menurut penuturan Bapak Ta’an, selaku kuncen di Situ Denuh, Eyang Mudik
Batara Karang mendirikan kerajaan di Sembah Lodong karena menurutnya
daerah di skeitar Kerajaan Galuh sudah terlalu Bincarung (ramai, padat,
sumpek) dan daerah di sekitar Situ Denuh masih sangat sepi. Selain Situs
Cikudakeling, ada juga peninggalan berupa pedang yang digunakan oleh
Eyang Batara Karang yang saat ini tersimpan di Museum Alit di Sukaraja,
Kecamatan Sukapura, Kabupaten Tasikmalaya.
Dalam salah satu sumber, nama Eyang Mudik Batara Karang pun dikenal
sebagai sososk yang berkaitan erat dengan Kampung Naga dan Sembah Eyang
Singaparna. Eyang Singaparna sendiri merupakan salah satu abdi dari
Sunan Gunung Jati yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam hingga
tiba di Sukapura (Tasikmalaya). Dalam beberapa sumber sejarah, Eyang
Singaparna ini merupakan salah satu pendiri Kampung Naga di Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Eyang Mudik Batara
Karang sendiri merupakan salah satu dari enam saudara Eyang Singaparna
dengan nama asli Ratu Ineng Kudratullah. Eyang Mudik Batara Karang
dimakamkan di Karangnunggal dan memiliki kesaktian menguasai ilmu
kekuatan fisik “Kabedasan”. Dengan adanya dua sosok Eyang Mudik Batara
Karang (putera dari Raja Galuh dan saudara Eyang Singaparna) dan tidak
adanya bukti sejarah mengenai Situ Denuh, maka kejelasan sejarah di
sekitar Situ Denuh menjadi semakin kabur.
Bila kita mencari informasi mengenai Talaga Denuh di internet, pasti
akan muncul juga “Situs Klasik Denuh”, Situs Klasik yang berupa
peninggalan sejarah dan arkeologi yang berada tersebar di bukit-bukit
yang mengelilingi Talaga Denuh. Situs tersebut terdiri dari 3 buah Situs
dari batu, 4 buah situs berupa Goa, beberapa benda cagar budaya, 2
sumur kecil, serta makam keramat. Sayangnya pada kesempatan kali ini,
kami tidak berhasil mengunjungi lokasi situs-situs tersebut karena
keterbatasan waktu. Adapun situs-situs klasik tersebut adalah
Situs Tugu
Situs Balekambang
Situs Lemah Badong
Situs Goa Binuang
Situs Goa Potong Kujang
Situs Cikuda Keling
Situs Goa Pasir Leungit
2 buah sumur kecil
Makam Prabu Batara Karang (Eyang Djantaka)
Situs Pasir Karang
Kikis Kampung
Batu Lumpang 1 (Sang Hyang Lulumpang)
Batu Pangcalikan
Batu Lumpang 2 (Sang Hyang Lulumpang)
Batu Bedil
Padepokan
Artefak koleksi penduduk
Situs Tugu.
Situs Tugu terletak di Blok Mekarbakti, Kampung Daracana, Desa Cikuya,
Kecamatan Culamega. Situs berupa bukit kecil dan kondisi saat sekarang
merupakan lahan alam yang sebagian telah diolah oleh masyarakat. Adapun
tinggalan arkeologis yang terdapat di situs ini adalah berupa batu datar
dan beberapa batu lainnya. Keseluruhan batu merupakan batu alam dan
berbentuk tidak beraturan.
Tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut ditempatkan
dalam sebuah cungkup permanen berukuran 250 x 300 cm.
Deskripsi singkat tinggalan arkeologis tersebut adalah:
Batu datar berukuran panjang 110 cm, lebar 60 cm, dan tebal/tinggi 13
cm. Batu datar tersebut dikelilingi oleh 9 (sembilan) batu lainnya yang
berukuran lebih kecil.
Penataan batu-batu lainnya adalah:
Di sebelah selatan batu datar terdapat dua buah batu,
Di sebelah barat terdapat 3 buah batu,
Di sebelah utara terdapat 3 buah batu, dan
Disebelah timur terdapat 1 buah batu.
Di samping batu-batu alam yang tertanam di tanah, terdapat juga batu
lepas berbentuk bulat dengan diameter sekitar 10 cm yang oleh masyarakat
disebut “batu pelor”. Di luar cungkup, di bagian sebelah selatan
cungkup, ditempatkan tiga batu yang ditata berjajar. Semula batu-batu
tersebut dalam posisi rebah, sekarang dipasang dalam posisi tegak.
Menurut informasi juru pelihara situs, Mahfud (71 th), tinggalan
arkeologis tersebut merupakan petilasan tokoh yang berasal dari daerah
Tugu, Balongan, Indramayu. Tokoh tersebut bernama Haji Ibrahim yang
menjadi panglima Prabu Batara Karang (Eyang Djantaka)
Pasir Karang
Pasir (bukit) Karang merupakan bukit kecil yang dikelilingi perbukitan
dan pada sisi selatan bukit terdapat aliran Sungai Cisenggong. Di
sebelah selatan aliran sungai ini terdapat areal persawahan. Sebelah
barat Pasir Karang terdapat bukit Cikudakeling dan di sebelah barat
tedapat Pasir Gunung Putri. Pasir Karang merupakan punden berundak.
Sedangkan pada beberapa lereng bukit ini terdapat talud batu yang cukup terjal
Kikis Kampung
Kikis Kampung berupa batu alam yang terletak sebelum sampai ke puncak
bukit. Batu alam tersebut berbentuk tidak beraturan, berukuran 42 x 36 x
28 cm.
Batu Lumpang-1 (Sang Hyang Lulumpang).
Batu Lumpang-1 terletak di tepi bukit bagian sebelah selatan. Artefak
tersebut berupa batu bulat berlubang. Batu lumpang-1 berukuran tinggi
16 cm, diameter keseluran 49 cm, tebal bibir 3 cm, dan kedalaman lubang
23 cm
Batu Pangcalikan
Batu pangcalikan terletak pada bagian pinggir bukit sisi timur. Artefak
berupa batu datar dan tatanan batu di sekelilingnya. Batu pangcalikan
berbentuk tidak beraturan, berukuran 136 x 89 x 24 cm.
Batu Lumpang-2 (Sang Hyang Lulumpang).
Batu Lumpang-2 terletak di sebelah utara Batu Pangcalikan. Artefak
berupa batu berlubang. Batu lumpang-2 berukuran tinggi 14 cm, panjang
46, lebar 44 cm, tebal bibir 5 cm, dan kedalaman lubang 23 cm. Kondisi
agak rusak.
Batu Bedil
Batu Bedil terletak di pinggir bukit bagian utara. Batu Bedil merupakan
batu tegak berbentuk tidak beraturan, berkuran tinggi 50 cm. Batu bedil
terdapat di sebuah tumulus berukuran 300 x 330 cm
Padepokan
Di pesawahan di utara Pasir Karang terdapat tinggalan arkeologis berupa
tatanan batu dua teras dan pada teras atas tedapat empat buah umpak
batu. Teras pertama berukuran 730 x 540 cm dan teras atas berukuran 490 x
460 cm.
Di sebelah selatan padepokan terdapat 4 buah batu tegak berukuran tinggi
berkisar 20 hingga 30 cm. Temuan lain berupa arca setengah badan
(torso) berukuran tinggi 25 cm, lebar 25 cm, dan tebal 14 cm.
Tidak terdapat atribut yang jelas pada arca ini.
Artefak Koleksi Penduduk
Koleksi penduduk berupa batu lumpang berukuran tinggi 8 cm, diameter 8
cm, tebal tepian (bibir) 1 cm, dan kedalaman lubang 5,5 cm. Batu Lumpang
ini merupakan koleksi Bapak Mahfud (jupel dan warga kampung Daracana,
Desa Cikuya, Kec. Culamega).
Berdasarkan pembagian fisografi menurut Van Bemmelen, Talaga Denuh
berada di Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat yang memanjang dari Teluk
Ciletuh di Kabupaten Sukabumi hingga di Pulau Nusakambangan, Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah.
Medan jalan yang ditempuh semenjak memasuki Kecamatan Puspahiang hingga
Kecamatan Culamega merupakan salah satu ciri khas Zona Pegunungan
Selatan Jawa Barat yang memang didominasi oleh perbukitan terjal.
Satuan bentang alam perbukitan mempunyai karakteristik lereng landai
dan puncak bukit yang tumpul. Ketinggian puncak bukitnya berkisar
anatara 216-774 m dpl.
Arah perbukitan ini sesuai dengan arah umum struktur geologi berupa
batuan sedimen dan vulkanik. Sungai yang mengalir di kaki bukit
disekitar Talaga Denuh yaitu Sungai Cisenggong, yang kemudian akan
menyatu dengan aliran Sungai Cipalu disekitar Darawati dan akhirnya
menjadi satu aliran Sungai Cipatujah yang bermuara di Pantai Cipatujah
di pesisir Selatan Kabupaten Tasikmalaya. Penduduk disekitar Daracana
lebih sering menyebut aliran Sungai Cisenggong sebagai aliran Sungai
Cipatujah.
Hulu Sungai Cisenggong berada disekitar Pasir Karang, salah satu bukit
yang mengelilingi Talaga Denuh. Talaga Denuh sendiri dikelilingi oleh
perbukitan lainnya, seperti Pasir Gunungputri di sebelah Barat dan Pasir
Cikudakeling di sebelah Timur serta areal pesawahan Kampung Daracana
dan Sungai Cisenggong di sebelah Selatan. Sedangkan berdasarkan letak
wilayahnya, Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya termasuk daerah
tropis yang didominasi oleh hutan hujan tropis musiman dan saat ini
mayoritas dipenuhi oleh tanaman Bambu, Perdu, dan tanaman produktif
seperti Salak, Petai, Jengkol, Rambutan, Nangka, Enau, dan tanaman keras
seperti Sengon, Mahoni dll.