Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i,
lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal
dari keturunan bangsawan Qurays dan dari ayahnya, Nasab beliau secara
lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’
bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin
‘Abdu Manaf bin Qushay. garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek
ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi
Thalib r.a.
Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju
palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke
rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam
kondisi yang sangat prihatin dan serba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia
bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i
mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Kelahiran dan kehidupan keluarga
Idris bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup
jauh, yaitu menuju kampung Gaza, Palestina, dimana saat itu umat Islam
sedang berperang membela negeri Islam di kota Asqalan.
Pada saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung, Idris bin Abbas
gembira dengan hal ini, lalu ia berkata, "Jika engkau melahirkan seorang
putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama
salah seorang kakeknya yaitu Syafi'i bin Asy-Syaib."
Akhirnya Fatimah melahirkan di Gaza, dan terbuktilah apa yang
dicita-citakan ayahnya. Anak itu dinamakan Muhammad, dan dipanggil
dengan nama "asy-Syafi'i".
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza,
Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan
bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga
farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir
pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama
besar Sunniyang bernama Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan
pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan
akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah
mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah
menakdirkan Imam Asy-Syafi`i.
Nasab Beliau
Idris, ayah Imam Syafi'i tinggal di tanah Hijaz, ia merupakan keturunan
dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab
Dia adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin
As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib
binAbdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin
Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya
bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin
Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek
Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’,
dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama
As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu
`anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga
terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi.
Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani
Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang
melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“ Hanyalah kami (yakni Bani
Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab.
Sambil dia menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan dia. ”
—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66
Masa belajar Sang Imam
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu
membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana
dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai
bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih
syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut
Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin
Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih
berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq
Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah
menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar
fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin
khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga
belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga
menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki,
Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang
lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam
beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih
sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian dia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin
Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya
dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah,
Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis dia ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan
cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya
membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri
sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam
Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Dia menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya
yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan
bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga dia
menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang
Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.”
Dia juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga
dia menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah
Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Dia juga menyatakan: “Aku
tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan dia di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang
paling dia kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin
Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami
ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad,
Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia
banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi
sayang, guru dia yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam
meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai
kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah
terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat
dia, dia tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam
berbagai periwayatan ilmu.
Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh dia ini seperti:
Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang
lainnya. Dari Yaman, dia melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di
Iraq dan di kota ini dia banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin
Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga dia mengambil ilmu
dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak
lagi yang lainnya.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu
dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan
Khalifah Ar Rasyid.
Di Mesir
Di Mesir Imam Syafi'i bertemu dengan murid Imam Malik yakni Muhammad bin
Abdillah bin Abdil Hakim. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab
lamanya (qaul qadim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan
menuliskan madzhab baru (qaul jadid). Di sana dia wafat sebagai
syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhajAsh-habul Hadits, beliau dalam
menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan
Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau
selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah
dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau
berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan
janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena
komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar
Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu
Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau
berkata,“Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari
Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain
keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata,
“Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia
akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak
tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada
fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada
ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam
Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk
dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi
fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah
kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di
antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi
orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Karya tulis Sang Imam
Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul
fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam
Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia
mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata
tentang Imam Syafi’i,”Dia adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran
dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta
(ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri
mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa,
nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat
amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud,
wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang
tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih
kurang lengkap,”
Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dia juga tidak
mengambil Istihsan(menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar
madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam
Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah
menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah
nashirussunnah (pembela sunnah),”
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah
terdengar sedikitpun dia bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan
kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan dia benci kepada Ahlil Kalam
(maksudnya adalah golongan Ahwiyyah atau pengikut hawa nafsu yang juga
digelari sebagai Ahlul-Ahwa’ seperti al-Mujassimah, al-Mu'tazilah,
Jabbariyyah dan yang sebagainya) dan Ahlil Bid’ah.” Dia bicara tentang
Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah,
“Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga
mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon
kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya
diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan
beralih kepada ilmu kalam (ilmu falsafah dan logika yang digunakan oleh
golongan Ahwiyyah)”
Dia mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan
oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu dia banyak diriwayatkan
oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin
ilmu. Bahkan dia pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih,
dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, dia
menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya.
Juga dia menulis kitab Jima’ul Ilmi.
Dia mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
Ishaq bin Rahawaih,
Harmalah bin Yahya
Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat
imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari
Imam Syafi’i.
Dalam masalah Al-Qur’an, dia Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an
adalah Qalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk
maka dia telah kafir.”
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i
diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’
Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika
sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka buanglah
perkataanku di belakang tembok,”
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang
lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha
manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk
selamat dari (ucapan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan
hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
"Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”
Dia berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka
ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Dia berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi Shalallahu 'alaihi
wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya
dariku.”
Dia mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang
menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka
ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
Nasihat Imam Syafi’i
Dalam salah satu kitabnya, Diwan al-Syafi'i, terdapat berbagai
nasehat-nasehat berharga dalam bentuk sya'ir, diantaranya adalah
bagaimana menyikapi hidup agar selalu berjalan dan khusnudzon kepada
Allah SWT sehingga mendapat keberkahan hidup di dunia maupun akhirat
nanti. Berikut diantara Sya'ir Imam al-Syafi'i tersebut :
دع الأيام تفعل ماتشاء ** وطب نفسا إذا حكم القضاء
Biarkan saja hari-hari berbuat sesukanya, dan lapangkanlah jiwamu jika qodlo’ telah ditetapkan.
ولا تجزع لحادثة الليالي ** فمالحوادث الدنيا بقاء
Janganlah engkau berduka atas apa yang terjadi, tidak ada apa pun di dunia ini yang abadi
وكن رجلا على الأهوال جلدا ** وشيمتك السماحة والوفاء
Jadilah engkau laki-laki yang tangguh, perangaimu penuh toleransi juga menepati janji
وإن كثرت عيوبك في البرايا ** وسرك أن يكون لها غطاء
Jika engkau tau bahwa engkau banyak memiliki aib di mata manusia, dan engkau menginginkan tutup atas aib-aibmu tersebut
تستر بالسخاء فكل عيب ** يغطيه كما قيل السخاء
Tutuplah aib-aibmu tersebut dengan kedermawanan, sebagaimana telah
dikabarkan, bahwasanya setiap aib bisa ditutup dengan kedermawanan
ولا تر للأعادي قط ذلا ** فإن شماتةالأعدا بلاء
Jangan sekali-kali engkau perlihatkan kehinaanmu kepada musuh-musuhmu,karena caci-maki dari musuh adalah sebuah balak
ولا ترج السماحة من بخيل ** فما في النارللظمآن ماء
Janganlah engkau mengharapkan kemurahan dari orang bakhil, karena dalam sebuah api tidak ada air yang bisa menghilangkan dahaga
ورزقك ليس ينقصه التأني ** وليس يزيد في الرزق العناء
"Tidak akan berkurang rizkimu sebab santai dalam bekerja, dan tidak akan bertambah pula dengan semangat usaha"
ولا حزن يدوم ولا سرور ** ولا بؤسعليك ولا رخاء
Tidak ada kesusahan yang abadi tidak pula kesenangan, tidak pula
kesengsaraan yang saat ini sedang menimpamu, tidak pula kelapangan hidup
إذا ما كنت ذا قلب قنوع ** فأنت ومالك الدنيا سواء
Jika engkau memiliki hati yang menerima (qona’ah), maka engkau dan raja-raja dunia adalah sama
ومن نزلت بساحته المنايا ** فلا أرضتقيه ولا سماء
Barangsiapa yang telah datang kematian di halaman rumahnya, maka tidak
ada tempat di bumi yang dapat menghalanginya, tidak pula di langit
وأرض الله واسعة ولكن ** إذا نزل القضا ضاق الفضاء
Bumi Allah itu luas, tetapi ketika qodlo’ (ketentuan) telah ditetapkan, maka sesuatu yang luas akan menjadi sempit
دع الأيام تغدر كل حين ** فما يغني عن الموت الدواء
Biarkan saja hari-hari memperdayaimu setiap saat, karena tidak ada obat apapun bagi kematian
Nasihat Khusus Untuk Kaum Suami
Wahai para suami!
1. Apa yang memberatkanmu—wahai hamba Allah—untuk tersenyum di
hadapan istrimu ketika masuk menemuinya, agar engkau memperoleh ganjaran
dari Allah Ta'ala?
2. Apa yang membebanimu untuk bermuka cerah ketika melihat istri dan
anak-anakmu, padahal engkau akan mendapatkan pahala karenanya?
3. Apa sulitnya apabila engkau masuk ke rumah sambil mengucapkan
salam secara sempurna: “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi
wabarakaatuh,” agar engkau memperoleh tiga puluh kebaikan?
4. Apakah yang menyusahkanmu jika engkau berkata kepada istrimu
dengan perkataan yang baik, sehingga dia meridhaimu, sekalipun dalam
perkataanmu tersebut agak sedikit dipaksakan?
5. Apakah menyusahkanmu—wahai hamba Allah—jika engkau berdo’a: “Ya
Allah. Perbaikilah istriku, dan curahkan keberkahan padanya?”
6. Tahukah engkau bahwa ucapan yang lembut merupakan sedekah?
7. Apa yang memberatkanmu untuk membawa hadiah (oleh-oleh) untuk istri dan anak-anakmu ketika engkau pulang dari safar?
8. Luangkan waktumu untuk menemani istrimu membaca al-Qur-an, membaca
buku-buku yang bermanfaat, dan mendatangi majlis ta’lim (majelis ilmu)
yang mengajarkan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman para Sahabat.
9. Tahukah engkau wahai hamba Allah, bahwa jima’ (bersetubuh) akan
mendatangkan ganjaran dari Allah? Bahkan Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam bersabda:
(( مِنْ أَمَاثِلِ أَعْمَالِكُمْ إِتْيَانُ الْحَلَالِ – يَعْنِى النِّسَاءَ. ))
“Di antara amal perbuatan kalian yang paling utama adalah mendatangi (bersetubuh) yang halal, yaitu dengan istri-istri kalian.”
[Hadits shahih: diriwayatkan oleh Ahmad (IV/231), Abu Nu’aim dalam
Hilyatul Auliya’ (II/26, no. 1391), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul
Kabiir (XXII, no. 848). Lihat: Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no.
441)]
Nasihat Khusus Untuk Kaum Istri
Wahai para istri!
1. Apakah yang menyulitkanmu jika engkau menemui suamimu ketika dia
masuk ke rumahmu dengan wajah yang cerah sambil tersenyum manis?
2. Beratkah bagimu untuk menghilangkan debu di wajah, kepala, dan pakaian suamimu kemudian engkau menciumnya?
3. Berhiaslah untuk suamimu dan raihlah pahala di sisi Allah Ta'ala.
Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan, gunakanlah
wangi-wangian! Bercelaklah! Berpakaianlah dengan busana terindah yang
kau miliki untuk menyambut kedatangan suamimu. Ingat, janganlah
sekali-kali engkau bermuka muram dan cemberut di hadapannya!
4. Janganlah engkau melembutkan suaramu kepada laki-laki yang bukan
mahram sehingga terfitnahlah orang-orang yang di dalam hatinya terdapat
penyakit, sehingga ia ber-prasangka buruk kepadamu!
5. Jadilah seorang istri yang memiliki sifat lapang dada, tenang, dan selalu ingat kepada Allah di dalam segala keadaan!
6. Ringankanlah segala beban suami, baik berupa musibah, luka, dan kesedihan!
7. Didiklah anak-anakmu dengan baik, penuhilah rumahmu dengan tasbih,
takbir, tahmid, dan tahlil; serta perbanyaklah membaca al-Qur-an,
khususnya surat Al-Baqarah, karena surat tersebut dapat mengusir
syaitan!
8. Bangunkanlah suamimu untuk mengerjakan shalat malam, anjurkanlah
dia untuk berpuasa sunnah dan ingatkanlah dia kembali tentang keutamaan
berinfak; serta janganlah melarangnya untuk berbuat baik kepada orang
tua dan menjaga tali silaturahim!
9. Perbanyaklah istighfar untuk dirimu, suamimu, orang tuamu, dan
semua kaum Muslimin; serta berdo’alah selalu agar diberikan keturunan
yang shalih dan memperoleh kebaikan dunia dan akhirat; dan ketahuilah
bahwa Rabbmu Maha Mendengar do’a. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Rabb kalian berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan untuk kalian ....” (QS. Al-Mu’min [40]: 60)
10. Bersihkanlah rumahmu dari segala gambar-gambar makhluk hidup,
alat-alat yang melalaikan, alat-alat musik, dan segala sesuatu yang
dapat merusak!
Akhir Hayat Sang Imam
Pada suatu hari, Imam Syafi'i terkena wasir, dan tetap begitu hingga
terkadang jika ia naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya
bahkan mengenai pelana dan kaus kakinya. Wasir ini benar-benar
menyiksanya selama hampir empat tahun, ia menanggung sakit demi
ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar. Selain
itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang maupun
malam.
Pada suatu hari muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata,
"Bagamana kondisi Anda wahai guru?" Imam Syafi'i menjawab, "Aku telah
siap meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai
meneguk minuman kematian, kepada Allah dzikir terus terucap. Sungguh,
Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju surga
sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka sehingga
aku harus berkabung?".
Setelah itu, dia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka,
"Jika aku meninggal, pergilah kalian kepada wali (penguasa), dan
mintalah kepadanya agar mau memandikanku," lalu sepupunya berkata, "Kami
akan turun sebentar untuk shalat." Imam menjawab, "Pergilah dan setelah
itu duduklah disini menunggu keluarnya ruhku." Setelah sepupu dan
murid-muridnya shalat, sang Imam bertanya, "Apakah engkau sudah shalat?"
lalu mereka menjawab, "Sudah", lalu ia minta segelas air, pada saat itu
sedang musim dingin, mereka berkata, "Biar kami campur dengan air
hangat," ia berkata, "Jangan, sebaiknya dengan air safarjal". Setelah
itu ia wafat. Imam Syafi'i wafat pada malam Jum'at menjelang subuh pada
hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah
pada usia 52 tahun.
Tidak lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan
dan duka melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin
membawa jenazah diatas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa
mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain permohonan
rahmat dan ridha untuk yang telah pergi.
Sejumlah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin
al-Hakam, memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai
dengan wasiatnya. Ia berkata kepada mereka, "Apakah Imam meninggalkan
hutang?", "Benar!" jawab mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan
untuk melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir
memandikan jasad sang Imam.
Jenazah Imam Syafi'i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath
dan pasarnya hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang jalan
Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan
jenazah Imam ke rumahnya, setelah jenazah dimasukkan, dia turun ke
halaman rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, "Semoga Allah
merahmati asy-Syafi'i, sungguh ia benar-benar berwudhu dengan baik."
Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam,
disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah
asy-Syafi'i sampai hari ini, dan disana pula dibangun sebuan masjid yang
diberi nama Masjid asy-Syafi'i. Penduduk Mesir terus menerus menziarahi
makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak mudah
dapat sampai ke makamnya karena banyaknya peziarah.
Inilah nasehat Imam Syafi'i rahimahullah kepada para penuntut ilmu.
Inilah nasehat yang dulu dipegangi dengan kuat dan mengantarkan banyak
orang meraih manfaat menuntut ilmu. Mari sejenak kita perhatikan:
أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ
تَفْصِيْلِهَاٍ بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ
وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَان
"Saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang
akan saya beritahukan rinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3)
bersungguh-sungguh, (4) dirham (kesediaan keluarkan uang), (5)
bersahabat dengan ustadz, (6) memerlukan waktu yang lama.”
Inilah sikap mental yang seharusnya kita tanamkan kepada anak didik kita. Siap berpayah-payah, semangat bertekun-tekun belajar.
Sesungguhnya yang dimaksud dirham bukanlah banyaknya harta, tetapi
terutama kesediaan/kerelaan hati mengeluarkan uang untuk meraih ilmu.
Berpijak pada nasehat yang ditanamkan di awal belajar, lapar itu lebih
disukai santri asalkan dapat membeli buku. Sikap ini saya pegang saat
kuliah. Bukan untuk nyentrik jika kuliah pakai kresek (kantong plastik
belanja). Tapi karena buku lebih utama.
Teringat kawan-kawan masa kecil yang cemerlang. Mereka justru akrab
dengan rasa lapar. Tetapi mereka amat bersemangat. Lapar kerap jadi
pilihan karena mendahulukan ilmu dan mereka justru menjadi cemerlang
justru karena itu. Perhatian hanya tertuju pada belajar. Tidak
disibukkan oleh urusan makanan. Maka sulit saya memahami penjelasan
"sebagian ahli": tidak sarapan sulitkan belajar
Bersahabat dengan Ustadz bukan karena mengharap nilai yang bagus, tapi
untuk meraup ilmu yang barakah dan berlimpah. Dulu kesempatan memijat
ustadz merupakan kesempatan penuh manfaat. Memijat merupakan kesempatan
mendengar limpahan nasehat ustadz. Ini bukanlah soal joyful learning.
Justru ini soal kesediaan berpayah-payah demi meraih ilmu yang lebih
utama. Ada semangat di sana.
Bersahabat dengan ustadz bahkan tak hanya terkait kesempatan meraup
kesempatan lebih banyak untuk memperoleh curahan ilmu darinya. Lebih
dari itu adalah ikatan jiwa antara murid dan guru. Teringat, ketika guru
sakit, sedih sekali perasaan ini & bersegera mendo'akan. Ikatan
semacam ini menjadikan kehadiran guru senantiasa dinanti dan tutur
katanya didengarkan sepenuh hati. Inilah bekal amat berharga.
Ketika murid benar-benar memiliki keterikatan hati dengan guru, cara
mengajar yang monoton pun tetap membangkitkan antusiasme. Sebaliknya,
ketika guru semata hanya mengandalkan metode mengajar, cara yang
atraktif pun tak jarang hanya memikat sesaat di kelas. Murid betah
mendengarnya karena menarik dan lucu, tapi tak menumbuhkan antusiasme
untuk belajar lebih serius di luar kelas. Apalagi jika salah memahami
istilah belajar tuntas sehingga seakan tak perlu lagi belajar setiba di
rumah, bahkan hingga tertidur pulas di malam hari. Padahal antusiasnya
anak belajar sepulang sekolah merupakan salah satu tanda belajar
otentik. Jika kita sangat meminati sesuatu, sakit pun tak menghalangi
untuk menekuninya.
Maka membekali murid dengan menumbuhkan sikap percaya kepada guru,
hormat serta ikatan emosi dengan guru amat mendesak dilakukan. Dalam hal
ini, kita dapat membincang dari kacamata efektivitas pembelajaran. Tapi
saya lebih suka melihat dari segi kebarakahan belajar. Masalah
"barakah" memang terasa makin asing dalam pembicaraan tentang
pendidikan, hatta itu sekolah Islam. Padahal ini sangat penting.
Prinsip lain yang dinasehatkan oleh Imam Syafi'i rahimahullah bagi
penuntut ilmu adalah طُوْلُ زَمَان(memerlukan waktu lama). Seorang
santri (murid) harus menyiapkan diri menghabiskan waktu yang panjang
untuk mencapai pemahaman yang mendalam terhadap ilmu.
Jauhi sikap instant dan tergesa-gesa (isti'jal) ingin menguasai ilmu
dengan segera. Penghambat tafaqquh(upaya memahami secara sangat
mendalam) adalah sikap tergesa-gesa. Pengetahuan dapat diperoleh dengan
cepat, tetapi pemahaman yang matang dan mendalam hanya dapat diraih
dengan kesabaran dan kesungguhan. Grabbing informations dapat dicapai
dengan speed reading. Tetapi untuk pemahaman mendalam, yang diperlukan
adalah deep reading.
Kesediaan mencurahkan perhatian dan menempuh proses yang lama merupakan
kunci untuk meraih keutamaan-keutamaan ilmu yang sangat tinggi. Banyak
hal yang dapat dipelajari dalam waktu singkat. Tapi untuk menghasilkan
penguasaan yang matang kerap memerlukan waktu panjang. Meski demikian,
sekedar siap menjalani masa yang panjang tidak banyak bermakna apabila
tidak disertai ketekunan. Ada kesabaran, ada ketekunan.
Sebagian ilmu menuntut ketekunan untuk masa yang panjang. Keduanya
diperlukan. Ini memerlukan daya tahan yang tinggi. Ada orang yang cerdas
sehingga mudah memahami. Tapi ada sebagian ilmu yang menuntut
ketekunan, masa yang panjang dan sekaligus kecerdasan. Dalam bidang
sains pun sabar, tekun dan cerdas diperlukan secara bersamaan. Semisal
untuk bidang yang memerlukan observasi longitudinal.
Jika ada guru yang bertanya, apa bekal penting bagi seorang murid, maka
nasehat Imam Syafi'i rahimahullah ini yang seharusnya ditanamkan
kuat-kuat. Ditanamkan kuat-kuat hingga membekas. Bukan sekedar menjadi
pengetahuan sekilas. Semoga ini dapat membentuk sikap belajar yang kuat
dan mantap.
Jika adab tertanam kuat dan sikap belajar mengakar dalam diri murid,
maka guru yang monoton pun akan didengar sepenuh perhatian. Lebih-lebih
guru yang bagus kemampuannya mengajar. Tetapi sekedar pintar mengajar,
tak bermakna jika murid lemah adabnya buruk sikapnya.
Aku melihat pemilik ilmu hidupnya mulia walau ia dilahirkan dari orangtua terhina.
Ia terus menerus menerus terangkat hingga pada derajat tinggi dan mulia.
Umat manusia mengikutinya dalam setiap keadaan laksana pengembala kambing ke sana sini diikuti hewan piaraan.
Jikalau tanpa ilmu umat manusia tidak akan merasa bahagia dan tidak mengenal halal dan haram.
Diantara keutamaan ilmu kepada penuntutnya adalah semua umat manusia dijadikan sebagai pelayannya.
Wajib menjaga ilmu laksana orang menjaga harga diri dan kehormatannya.
Siapa yang mengemban ilmu kemudian ia titipkan kepada orang yang bukan ahlinya karena kebodohannya maka ia akan mendzoliminya.
Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diraih kecuali dengan enam syarat dan akan aku ceritakan perinciannya dibawah ini:
Cerdik, perhatian tinggi, sungguh-sungguh, bekal, dengan bimbingan guru dan panjangnya masa.
Setiap ilmu selain Al-Qur’an melalaikan diri kecuali ilmu hadits dan fikih dalam beragama.
Ilmu adalah yang berdasarkan riwayat dan sanad maka selain itu hanya was-was setan.
Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru.
Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya.
Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar,
Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
Dan barangsiapa ketinggalan belajar di masa mudanya,
Maka bertakbirlah untuknya empat kali karena kematiannya.
Demi Allah hakekat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa.
Bila keduanya tidak ada maka tidak ada anggapan baginya.
Ilmu adalah tanaman kebanggaan maka hendaklah Anda bangga dengannya. Dan berhati-hatilah bila kebanggaan itu terlewatkan darimu.
Ketahuilah ilmu tidak akan didapat oleh orang yang pikirannya tercurah pada makanan dan pakaian.
Pengagum ilmu akan selalu berusaha baik dalam keadaan telanjang dan berpakaian.
Jadikanlah bagi dirimu bagian yang cukup dan tinggalkan nikmatnya tidur
Mungkin suatu hari kamu hadir di suatu majelis menjadi tokoh besar di majelis itu.