Semakin jauh dari masa Rasulullah dan semakin luas daerah-daerah yang
mengenal Islam, semakin luas pula perkembangan ilmu keislaman.
Perkembangan di sini diartikan dalam hal yang positif bukan perkembangan
yang keluar dari garis besar tuntunan Islam. Misalnya, dahulu di zaman
Rasulullah dan sahabatnya, huruf-huruf Alquran ditulis dengan tanpa
menggunakan harokat dan tanda titik. Setelah orang-orang non-Arab
mengenal Islam, penulisan huruf-huruf Alquran lebih disederhanakan
dengan menambahkan titik pada huruf-huruf yang hampir sama, lalu di masa
berikutnya ditambahkan harokat. Yang demikian dimaksudkan agar
orang-orang non-Arab mudah membacanya.
Demikian juga dalam permasalahan agama secara umum, para sahabat
dimudahkan dalam memahami Islam karena mereka bisa bertanya langsung
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in bisa
bertanya kepada para sahabat. Adapun orang-orang setelah mereka, dengan
penyebaran Islam yang luas membutuhkan penyederhanaan yang lebih mudah
dipahami oleh akal pikiran mereka. Orang pertama yang melakukan usaha
besar menyederhanakan permasalahan ini adalah seorang imam besar yang
kita kenal dengan Imam Abu Hanifahrahimahullah. Beliau menyusun kajian
fikih dan mengembangkannya demi kemudahan umat Islam.
Kelahiran dan Masa Kecilnya
Sebagaimana orang-orang lebih mengenal Imam Syafii daripada nama aslinya
yaitu Muhammad bin Idris, jarang juga orang yang tahu bahwa nama Imam
Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Marzuban, kun-yahnya Abu
Hanifah. Ia adalah putra dari keluarga Persia (bukan orang Arab).
Asalnya dari Kota Kabul (ibu kota Afganistan sekarang). Kakeknya,
Marzuban, memeluk Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, lalu
hijrah dan menetap di Kufah.
Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ayahnya, Nu’man,
adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran kita
mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula
mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang
shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang
diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap
menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil
mempelajari ilmu agama.
Memulai Belajar
Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah
menghafal Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man
bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama-ulama terkemuka di
Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh orang
sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah,
dll.
Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk
menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Madinah al-Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada
tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama terbaik di kota
Mekah.
Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di
antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan
sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah guru yang demikian
banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh
perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama.
Beliau menunaikan haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama
berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada
kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Seorang Ulama Berpengaruh
Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara
melemparkan suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia
mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan
membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil dari
Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung
seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu
Hanifah yang dikenal dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.
Metode ini dianggap sangat efektif untuk merangsang logika para murid
Imam Abu Hanifah sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga
melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah dan keutamaan ilmu beliau.
Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf,
Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dll. dan majlis beliau menjadi sebuah
metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan
membuah sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.
Imam Abu Hanifah beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi
seorang hakim di Kufa, namun tawaran tersebut senantiasa beliau tolak.
Hal inilah di antara yang menyebabkan beliau dipenjara oleh otoritas
Umayyah dan Abbasiah.
Karya Imam Hanafi
Hasil karya dan karangan Imam Abu Hanifah, meskipun ia diakui sebagai
ahli dalam agama Islam, namun sampai sekarang tidak banyak yang dapat
kita nikmati. Hal ini dapat dimaklumi sebab dilihat segi dari masa
hidupnya yang sebenarnya sudah banyak bahan, namun belum dituangkan
dalam bentuk karya yang sistematis, sampai akhir hidupnya dalam penjara
yang relatif lama sehingga apa yang kita baca pada pendapat-pendapat
beliau pun sebenarnya banyak merupakan kodifikasi dari murid-muridnya
atau bahkan hanya sekedar hasil kuliah dari beberapa murid beliau untuk
kemudian dikodifikasikannya.
Pada saat beliau masih hidup, masalah-masalah agama dan buah fikirannya
tersebut dicatat oleh sahabatnya, dikumpulkan berikut juga paham mereka
sendiri, yang kemudian disebut sebagai “mazhab Imam Hanafi”. Dalam usaha
itu, ulama Hanafiyah membagi hasil yang mereka kumpulkan itu dibagi
kepada 3 tingkatan, yang tiap-tipa tingkatan itu merupakan suatu
kelompok yaitu :
1. Tingkat pertama dinamakan Masailul –Ushul (masalah-masalah pokok)
Merupakan suatu kumpulan kitab yang bernama Zhaahirur riwayat yaitu
pendapat-pendapat Abu Hanifah yang terdapat dalam kumpulan kitab itu
mempunyai riwayat yang diyakini kebenarannya karena diriwiyatkan oleh
murid-murid dan sahabat-sahabat beliau yang terdekat dan kepercayaannya.
Kitab zhahirur riwayat dihimpun oleh Imam Muhammad bin Hasan terdiri
atas 6 kitab yaitu :
a. Kitab Al Mabsuth (Terhampar)
Kitab ini memuat maslah-masalah keagamaan yang dikemukakan oleh Imam Abu
Hanifah. Di samping itu juga memuat pendapat-pendapat Imam Abu Yusuf
dan Muhamamd bin Hasan yang berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah,
juga perbedaan pendapat Abu Hanifah dengan Ibnu Abi Laila yang
meriwayatkan kitab Al-Mabsuth ialah Ahmad bin Hafash Al-Kabir, murid
dari Muhammad bin Hasan.
b. Kitab Al-Jaami’ush shaghir (himpunan kecil)
Diriwayatkan oleh Isa bin Abban dan Muhammad bin Sima’ah yang keduanya
murid Muhammad bin Hasan.kitab ini dimulai dengan bab shalat. Karena
sistematika kitab ini tidak teratur, maka disusun kembali oleh Al-Qodhi
Abdut-Thahir Muhammad bin Muhammad Adalah-Dabbas
c. Kitab Al Jaami’ul Kabir (Himpunan Besar). Kitab ini sama dengan Al-Jaami’ush Shaghir hanya uraiannya lebih luas.
d. Kitab As-Sairu Al-shaghir (sejarah hidup kecil). Berisi tentang jihad (hukum perang)
e. Ktab As-Sairul Kabiir (sejarah hidup besar). Berisi masalah-masalah fiqih yang ditulis oleh Muhammad bin Hasan
f. Kitab Az-Ziyaadat.
Keenam buku tersebut dikumpulkan dalam Mukhtashar al-Kafi yang disusun oleh Abu Fadhal Al-Muruzi.
2. Tingkat kedua ialah kitab Masaa-ilun Nawadhir (persoalan langka)
Merupakan persoalan yang diriwiyatkan dari pasa pemuka mazhab di atas,
tetapi tidak diriwayatkan dalam buku-buku yang sudah disebut tadi,
diriwayatkan dalam buku-buku lain yang ditulis oleh Muhammad, seperti
Al-Kisaniyat, Al-Haruniyyat, Al-Jurjaniyyat, Al-Riqqiyyat, Al-Makharij
Fil Al-Hayil dan Ziyadat Al Ziyadat yang diriwayatkan oleh Ibnu Rustam.
Buku-buku tersebut termasuk buku mengenai fiqih yang diimlakan
(didiktekan) oleh Muhammad. Riwayat seperti itu juga disebut ghair
zhahir al-riwayah karena pendapat-pendapat itu tidak diriwayatkan dari
Muhammad dengan riwayat-riwayat yang zhahir (tegas) kuat, dan shahih
seperti buku-buku pada kelompok pertama.
3. Tingkat yang ketiga dinamakan Al-Fataawa Al-Waaqi’aat (kejadian dan fatwa)
Merupakan kumpulan pendapat sahabat-sahabat dan murid-murid Imam Abu
Hanifah. Buku pertama mengenai al-Fatawa ialah Al-Nawazil ditulis oleh
Faqih Abu Laits Al-Samarqandi. Setelah itu sekelompok syaikh menulis
buku yang lain seperti Majmu’ al-Nawazil wa al-Waqiat yang ditulis oleh
Al-Nathifi dan Al-Waqiat yang ditulis oleh Shadr A-Syahid Ibnu Mas’ud.
Dalam bidang fiqih ada kitab Al Musnad kitab Al-Makharij dan Fiqih
Al-Akbar, dan dalam masalah aqidah ada kitab al-Fiqh Al-Asqar. Dalam
bidang ushul fiqih buah pikiran Imam Abu Hanifah dapat dirujuk antara
lain dalam Ushul as-Sarakhsi oleh Asy-Sarakhsi dan Kanz al-wusul ila ilm
al usul karya Imam al-Bazdawi.
Di samping itu terdapat kumpulan pendapat Imam Hanafi yang berhubungan
dengan masalah warisan yang bernama kitab Al-Faraidh dan kitab yang
memuat maslah-masalah muamalat yang bernama Asy-Syuruuth
Buku yang memuat sirah (biografinya) adalah Khabar Abu Hanifah karya
Asy-Syaibany dan Abu Hanifah = Hayatihu, Wa’ Asruhu, Wa Arahu Wa Fiqhuhu
karya Muhammad Abu Zahrah Ada lagi kitab Al-Kharraaj karya Abu Yusuf
murid Abu Hanifah, yaitu kitab pertama yang mula-mula meletakkan
pokok-pokok undang-undang tentang perbendaharaan negara.
Pujian Ulama kepada Sang Imam
Imam Malik
"Subhanallah, Saya belum pernah melihat sosok seperti dia, Demi Allah,
jika Abu Hanifah berpendapat bahwa sebuah alat terbuat dari emas, maka
pasti ia sanggup mempertengahkan kebenaran atas perkataannya itu."
Imam Syafi'i
"Barangsiapa ingin memperdalam fikih, maka hendaklah menjadi anak asuh
bagi Abu Hanifah, Abu Hanifah merupakan orang yang diberi taufik oleh
Allah dalam bidang fikih."
"Barangsiapa belum membaca buku-buku Abu Hanifah, maka ia belum memperdalam ilmu, juga belum belajar fikih."
Imam Ahmad bin Hambal
"Subhanallah, ia berada dalam posisi keilmuan, wara' dan zuhud, mementingkan akhirat, yang tidak dilihat oleh seorangpun."
Ibnu Juraij
"Aku mendengar bahwa an-Nu'man (julukan Abu Hanifah) orang yang paling
wara', menjaga agama dengan ilmunya, tidak mengedepankan pecinta dunia
diatas pecinta akhirat, saya berkeyakinan bahwa dalam dunia keilmuan dia
akan memiliki prestasi yang menakjubkan."
Imam Fudhail bin Iyadh
"Abu Hanifah merupakan pribadi fakih yang terkenal dengan kefakihannya,
kekayaan yang cukup luas, terkenal dengan kebaikan terhadap setiap orang
yang mengganggunya, sangat sabar dalam menuntut ilmu baik siang maupun
malam, selalu diam, sedikit berbicara hingga datang kepadanya
masalah-masalah halal dan haram, sangat cermat dalam menunjukkan
kebenaran, selalu lari dari harta penguasa."
Penolakan Sebagai Hakim
Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur berkata kepada menterinya, "Aku sedang
membutuhkan seorang hakim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita
ini, dengan kualifikasi dia tidak takut kepada siapapun dalam menegakkan
kebenaran, paling memahami Al-Qur'an danSunnah Rasulullah. Menurutmu
siapa yang layak menduduki posisi ini?", lalu sang menteri menjawab,
"Sejauh pengetahuan saya, ulama yang paling tepat menduduki jabatan ini
adalah Abu Hanifah An-Nu'man, betapa bahagianya kita jika ia menerima
tawaran sebagai hakim ini!", "Apa mungkin seseorang bisa menolak jika
kita yang memintanya?" tanya Khalifah lagi, "Sejauh yang kami tahu, dia
tidak pernah tunduk kepada permintaan siapapun, tampaknya dia tidak suka
menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan
mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini."
Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk menghadap
seraya menawarkan posisi sebagai hakim. Abu Hanifah menjawab, "Aku akan
istikharah terlebih dahulu, shalat 2 rakaat meminta petunjuk kepada
Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku terima, jika tidak maka masih
banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih salah satu daintara mereka oleh
Amirul Mukminin."
Waktu terus berjalan, ternyata Abu Hanifah tak kunjung menghadap
Khalifah, maka ia mengutus seorang utusan memintanya menghadap, Abu
Hanifah kemudian pergi menghadap namun ia beritikad untuk menolak
jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya.
Ternyata Khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu
Hanifah menerima jabatan sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi Abu
Hanifah tetap menolaknya, seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya aku tak pantas untuk menduduki jabatan hakim," lalu
Khalifah malah menjawab, "Engkau dusta!" sehingga Abu Hanifah pun
berkata, "Sekiranya Anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka
sesungguhnya para pembohong tak layak menjadi hakim, dan sebaiknya Anda
jangan mengangkat rakyat Anda yang tidak memenuhi kualifikasi untuk
menduduki jabatan yang strategis ini. Wahai Amirul Mukminin, takutlah
kepada Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali kepada mereka
yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan,
bagaimana saya akan mendapat jaminan terhindar dari murka?". Khalifah
lalu memerintahkan mencambuknya seratus cambukan, lalu dijebloskannya ke
penjara.
Selang beberapa hari, khalifah mendapat teguran dari seorang kerabatnya,
"Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda
dengan seratus ribu pukulan pedang."
Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham (sekitar
Rp.2,1 miliar) kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang telah
dideritanya, lalu membebaskannya dan mengembalikan ke rumahnya.
Ternyata setelah harta tersebut diberikan, ia menolaknya. Maka khalifah
memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja para
menteri mengusulkan bahwa Abu Hanifah segera dibebaskan dan cukup diberi
dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama masyarakat
atau keluar dari rumah.
Akhir Hayat Sang Imam
Selang beberapa hari setelah mendapatkan tahanan rumah, ia terkena
penyakit, semakin lama semakin parah. Akhirnya ia wafat pada usia 68
tahun. Berita kematiannya segera menyebar, ketika Khalifah mendengar
berita itu, ia berkata, "Siapa yang bisa memaafkanku darimu hidup maupun
mati?" Salah seorang ulama Kufah berkata, "Cahaya keilmuan telah
dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama
sekaiber dia selamanya." Yang lain berkata, "Kini mufti dan fakih Irak
telah tiada."
Jasadnya dikeluarkan dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga
sampai tempat pemandian, ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah,
sementara Al-Harawi yang menyiramkan air ke tubuhnya. Ia disalatkan
lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan
salat oleh anaknya, Hammad. Ia tak dapat dikuburkan kecuali setelah
salat Ashar karena sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat agar
jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah
kubur yang baik dan bukan tanah curian.
Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu
Katsir mengatakan, “6 kelompok besar Penduduk Baghdad menyolatkan
jenazah beliau secara bergantian. Hal itu dikarenakan banyaknya orang
yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”
Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh
Mimar Sinan didedikasikan untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid
Imam Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh
umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti
Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini madzhab beliau
banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India.
Pandangan Imam Hanafi tentang Ketuhanan
Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna "Istawa", beliau
menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di
langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan
semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa
berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih;
menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah
ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur
al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd
as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u
Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam
al-Burhan al-Mu’yyad)..
Di sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan Ibn
al-Qayyim al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat
kontroversi dan melakukan kedustaan persis seperti seperti yang biasa
dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya, kedustaan yang ia sandarkan
kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir Nuniyyah-nya, Ibn
al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:
“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn
Tsabit, juga oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun
lafazh-lafazhnya berasal dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah...
bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan
bahwa Dia di atas langit serta di atas segala tempat, ...
Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas
arsy, --di mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran
hati manusia--,...
Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya. Inilah
pernyataan yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang (maksudnya
gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).
Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar
(karya Al-Imam Abu Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki
banyak penjelasannya”.
Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam untaian bait-bait syair di
atas tidak lain hanya untuk mempropagandakan akidah tasybih yang ia
yakininya. Ia sama persis dengan gurunya sendiri, memiliki keyakinan
bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Pernyataan Ibn
al-Qayyim bahwa keyakinan tersebut adalah akidah al-Imam Abu Hanifah
adalah kebohongan belaka. Kita meyakini sepenuhnya bahwa Abu Hanifah
adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan dengan
makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-Imam
Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah, atau
lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau
menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia
tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk
Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.
Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan
berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk
melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah
tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata:
al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata
demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah
kedustaan belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari
segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak
dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda,
dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan
(tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki
keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang
sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan
tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat
al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).
Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:
وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي
الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ
يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.
“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan
mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan
(tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk
(kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang
mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam
atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan
atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh
Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan
kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung
melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang
mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam
surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”.
Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang
dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat
Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.
Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق
“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu
tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh
al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).
Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ
غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ
حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ
مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ
كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ
فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ
عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam
pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam
pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang
memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan
kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan
kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam
ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti
sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan
untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy
dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat,
dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah,
sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada
itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan
risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.
2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h.
70).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ
تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ
تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ
كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah?
Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum
segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat,
sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah
Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu
Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid
al-Kautsari, h. 20).
Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada
sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat,
Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan
Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu
Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah
menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah
bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di
langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).
Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang
yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau
di bumi?”. Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah
bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di
langit”.
Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua
ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman
adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat
dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat
dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti baharu
(makhluk), bukan Tuhan.
Tulisan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali disalahpahami atau sengaja
diputarbalikan pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Perkataan al-Imam Abu
Hanifah ini seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk
mempropagandakan keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau
berada di atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah
tersebut bukan untuk menetapkan tempat atau arah bagi Allah. Justru
sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah untuk menetapkan bahwa
Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti dengan
perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita
kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika
Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum
menciptakan arsy dimanakah Ia?”.
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan
oleh al-Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih;
yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy.
Inilah maksud yang dituju oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua
ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam
al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat
al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula prihal maksud
perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh al-Muhaddits
al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif
ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).
Asy-Syaikh ‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut:
“Ada sebuah riwayat berasal dari Abu Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah
bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata “Saya tidak tahu
Allah apakah Dia berada di langit atau berada di bumi!?”. Abu Hanifah
menjawab: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena Allah berfirman
“ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”, dan arsy Allah berada di atas langit ke
tujuh”. Lalu Abu Muthi’ berkata: “Bagaimana jika seseorang berkata
“Allah di atas arsy, tapi saya tidak tahu arsy itu berada di langit atau
di bumi?!”. Abu Hanifah berkata: “Orang tersebut telah menjadi kafir,
karena sama saja ia mengingkari Allah berada di langit. Dan barangsiapa
mengingkari Allah berada di langit maka orang itu telah menjadi kafir.
Karena Allah berada di tempat yang paling atas. Dan sesungguhnya Allah
diminta dalam doa dari arah atas bukan dari arah bawah”.
Kita jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan riwayat yang telah disebutkan
oleh al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab Hall ar-Rumuz, bahwa
al-Imam Abu Hanifah berkata: “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu
apakah Allah di langit atau di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi
kafir. Karena perkataan semacam ini memberikan pemahaman bahwa Allah
memiliki tempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki
tempat maka orang tersebut seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam adalah ulama besar
terkemuka dan sangat terpercaya. Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam
Abu Hanifah dalam hal ini wajib kita pegang teguh. Bukan dengan memegang
tegung riwayat yang dikutip oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat
syarah Risalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di
samping ini semua, Abu Muthi’ al-Balkhi sendiri adalah seorang yang
banyak melakukan pemalsuan, seperti yang telah dinyatakan oleh banyak
ulama hadits” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 197-198).
Asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Hamami, salah seorang ulama al-Azhar
terkemuka, dalam kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan
ar-Rasyad menuliskan beberapa pelajaran penting terkait riwayat Abu
Muthi’ al-Balkhi di atas, sebagai berikut:
Pertama: Bahwa pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah
tersebut sama sekali tidak ada penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar.
Pernyataan semacam itu dikutip oleh orang yang tidak bertanggungjawab,
dan dengan sengaja ia berdusta mengatakan bahwa itu pernyataan al-Imam
Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, tujuannya tidak lain adalah untuk
mempropagandakan kesesatan orang itu sendiri.
Kedua: Kutipan riwayat semacam ini jelas berasal dari seorang pemalsu
(wadla’). Riwayat orang semacam ini, dalam masalah-masalah furu’iyyah
(fiqih) saja sama sekali tidak boleh dijadikan sandaran, terlebih lagi
dalam masalah-masalah ushuliyyah (akidah). Mengambil periwayatan orang
pemalsu semacam ini adalah merupakan pengkhiatan terhadap ajaran-ajaran
agama. Dan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang hendak
menyebarkan kesesatan atau bid’ah yang ia yakini.
Ketiga: Periwayatan pemalsu ini telah terbantahkan dengan periwayatan
yang benar dari seorang al-Imam agung terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam
al-Izz ibn Abd as-Salam. Periwayatan al-Imam Ibn Abd as-Salam tentang
perkataan al-Imam Abu Hanifah jauh lebih terpercaya dan lebih benar
dibanding periwayatan pemalsu tersebut. Berpegang teguh kepada
periwayatan seorang pendusta (kadzdzab) dengan meninggalkan periwayatan
seorang yang tsiqah adalah sebuah pengkhianatan, yang hanya dilakukan
seorang ahli bid’ah saja.
Seorang yang melakukan pemalsuan semacam ini, cukup untuk kita klaim
sebagai orang yang tidak memiliki amanah. Jika orang awam saja melakukan
pemalsuan semacam ini dapat menjadikannya seorang yang tidak dapat
dihormati lagi, terlebih jika pemalsuan ini dilakukan oleh seorang yang
alim, maka jelas orang alim ini tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi
dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim” semacam itu tidak pantas untuk
kita sebut sebagai orang alim, terlebih kita golongkannya dari jajaran
Imam-Imam terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan lebih parah lagi jika
pengkhianatan pemalsu ini dalam tiga perkara ini sekaligus. Padahal
dengan hanya satu pengkhianatan saja sudah dapat menurunkannya dari
derajat tsiqah. Karena jika satu riwayat sudah ia dikhianati, maka
kemungkinan besar terhadap riwayat-riwayat yang lainpun ia akan
melakukan hal sama (Lebih lengkap lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan
ar-Rasyad, h. 99-100).
Kemudian dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-Qayyim tidak hanya membuat
kedustaan kepada al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga melakukan kedustaan
yang sama terhadap al-Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub dalam
bait sya’ir ini adalah sahabat al-Imam Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf
Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Dalam menyikapi perbuatan Ibn al-Qayyim
ini, asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Humami berkata: “Tidak diragukan
lagi apa yang ia nyatakan ini adalah sebuah kedustaan untuk tujuan
mempropagandakan keyakinan bid’ahnya” (Lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan
ar-Rasyad, h. 99).
Penilaian yang sama terhadap Ibn al-Qayyim semacam ini juga telah
diungkapkan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam
kitab bantahannya terhadap Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah
ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim. Karya Al-Imam al-Kautsari ini
adalah sebagai tambahan atas kitab karya Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki
berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil, kitab yang juga
berisikan serangan dan bantahan terhadap bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim.
Yang dimaksud dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam
judul kitabnya ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid dari Ibn
Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 108).
Dengan demikian riwayat yang sering dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim,
yang juga sering dipropagandakan oleh kaum Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu
Hanifah berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah kedustaan belaka.
Riwayat ini sama sekali tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat ini
terdapat nama-nama perawi yang bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad
ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan Nuh ibn Abi Maryam Abu ‘Ishmah.
Orang pertama, yaitu Abu Muhammad ibn Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama
hadits terkemuka yang hidup dalam satu wilayah dengan Abu Muhammad ibn
Hayyan sendiri. Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-Hafizh
al-‘Assal. Kemudian orang kedua, yaitu Nu’aim ibn Hammad adalah seorang
mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 409).
Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam yang merupakan ayah tiri dari Nu’aim
ibn Hammad, juga seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h.
433).
Dan Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri dari Muqatil ibn Sulaiman;
pemuka kaum mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn Hammad telah dirusak
oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian pula Nuh
ibn Abi Maryam telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil
ibn Sulaiman. Orang-orang yang kita sebutkan ini, sebagaimana dinilai
oleh para ulama ahli kalam, mereka semua adalah orang-orang yang
berkeyakinan tasybih dan tajsim. Dengan demikian bagaimana mungkin
riwayat orang-orang yang berakidah tasybih dan tajsim semacam mereka
dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan permasalahan akidah?!
Sesungguhnya orang yang bersandar kepada mereka adalah bagian dari
mereka sendiri.
Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih,
dalam penilaiannya terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip perkataan Ibn
‘Adi, mengatakan: “Dia (Nu’aim ibn Hammad) adalah seorang pemalsu
hadits” (Lihat Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32).
Kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang riwayat Nu’im
ibn Hammad, tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya sambil berkata:
“Hadits munkar dan majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). Penilaian
Al-Imam Ahmad ini artinya bahwa riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu
yang sama sekali tidak benar.
(Masalah): Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah, mengatakan
bahwa adz-Dzahabi telah mengutip riwayat dari kitab al-Asma’ Wa
ash-Shifat karya al-Hafizh al-Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di
langit” adalah berasal dari al-Imam Abu Hanifah.
(Jawab): Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’
Wa ash-Shifat dengan memepergunakan kata “In shahhat al-hikayah...”
(al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 429). Hal ini menunjukan bahwa riwayat
tersebut bermasalah. Artinya, riwayat yang dikutip al-Hafizh al-Bayhaqi
ini bukan untuk dijadikan dalil. Yang menjadi masalah besar ialah bahwa
tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-riwayah...” ini diacuhkan oleh
adz-Dzahabi untuk tujuan memberikan pemahaman kepada para pembaca bahwa
pernyataan “Allah berada di langit” adalah statemen al-Imam Abu Hanifah.
Ini menunjukan bahwa adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah. Hal ini
juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi telah banyak dipengaruhi oleh
faham-faham gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam al-Muhaddits
Muhammad Zahid al-Kautsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn
al-Qayyim menuliskan bahwa pernyataan al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa
ash-Shifat: “In shahhat ar-riwayah...” menunjukan bahwa dalam riwayat
tersebut terdapat beberapa cacat (al-khalal).
Namun hal terpenting dari pada itu ialah bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam
kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam banyak tempat banyak
menyebutkan tentang kesucian Allah dari pada tempat dan arah, salah
satunya pernyataan beliau berikut ini:
“Sebagian sahabat kami (kaum Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah
Syafi’iyyah) mengambil dalil dalam menafikan tempat dari Allah dengan
sebuah hadits sabda Rasulullah: “Engkau ya Allah az-Zahir (Yang segala
sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak ada suatu apapun di
atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak dapat diraih oleh
akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu”. Dari hadits ini
dipahami jika tidak ada suatu apapun di atas Allah, dan tidak ada suatu
apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa
ash-Shifat, h. 400).
Pada halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi
menuliskan: “Apa yang diriwayatkan secara menyendiri (tafarrud) oleh
al-Kalbi dan lainnya memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk,
padahal sesuatu yang memiliki bentuk maka pasti dia itu baharu,
membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk tersebut. Sementara
Allah itu Qadim dan Azali (tanpa permulaan)” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h.
415).
Pada bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-Bayhaqi menuliskan:
“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h.
448-449).
Juga mengatakan: “Sesungguhnya gerak, diam, dan bersemayam atau
bertempat itu adalah termasuk sifat-sifat benda. Sementara Allah tidak
ada sekutu bagi-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada suatu apapun, dan
tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h.
448-449).
Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa keyakinan
Allah berada di langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu
Hanifah adalah kedustaan belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan
kepada Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga kedusataan terhadap
orang-orang Islam secara keseluruhan dan kedustaan terhadap
ajaran-ajaran Islam itu sendiri.