Gunung Kelud (sering disalahtuliskan menjadi Kelut yang berarti "sapu"
dalambahasa Jawa; dalam bahasa Belanda disebut Klut, Cloot, Kloet, atau
Kloete) adalah sebuah gunung berapi di Provinsi Jawa Timur, Indonesia,
yang tergolong aktif. Gunung ini berada di perbatasan antara Kabupaten
Kediri, Kabupaten Blitar, danKabupaten Malang , kira-kira 27 km sebelah
timur pusat Kota Kediri.
Sebagaimana Gunung Merapi, Gunung Kelud merupakan salah satu gunung
berapi paling aktif di Indonesia. Sejak tahun 1000 M, Kelud telah
meletus lebih dari 30 kali, dengan letusan terbesar berkekuatan 5
Volcanic Explosivity Index (VEI) Letusan terakhir Gunung Kelud terjadi
pada tahun 2014.
Gunung api ini termasuk dalam tipe stratovulkan dengan karakteristik
letusan eksplosif. Seperti banyak gunung api lainnya di Pulau Jawa,
Gunung Kelud terbentuk akibat proses subduksi lempeng benua
Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Sejak tahun 1300 Masehi, gunung
ini tercatat aktif meletus dengan rentang jarak waktu yang relatif
pendek (9-25 tahun), menjadikannya sebagai gunung api yang berbahaya
bagi manusia.
Kekhasan gunung api ini adalah adanya danau kawah, yang dalam kondisi
letusan dapat menghasilkan aliran lahar letusan dalam jumlah besar, dan
membahayakan penduduk sekitarnya. Letusan freatik tahun 2007 memunculkan
sumbat lava ke permukaan danau, sehingga danau kawah nyaris sirna,
menyisakan genangan kecil seperti kubangan air. Sumbat lava ini hancur
pada letusan besar di awal tahun 2014.
Puncak-puncak yang ada sekarang merupakan sisa dari letusan besar masa
lalu yang meruntuhkan bagian puncak purba. Dinding di sisi barat daya
runtuh terbuka sehingga kompleks kawah membuka ke arah itu. Puncak Kelud
adalah yang tertinggi, berposisi agak di timur laut kawah.
Puncak-puncak lainnya adalah Puncak Gajahmungkur di sisi barat dan
Puncak Sumbing di sisi selatan.
Sejak abad ke-15, Gunung Kelud telah memakan korban lebih dari 15.000
jiwa. Letusan gunung ini pada tahun 1586 merenggut korban lebih dari
10.000 jiwa. Sebuah sistem untuk mengalihkan aliran lahar telah dibuat
secara ekstensif pada tahun 1926 dan masih berfungsi hingga kini setelah
letusan pada tahun 1919 memakan korban hingga ribuan jiwa akibat
banjir lahar dingin menyapu pemukiman penduduk.
Pada abad ke-20, Gunung Kelud tercatat meletus pada tahun 1901, 1919 (1
Mei 1951 (31 Agustus), 1966 (26 April), dan 1990 (10 Februari-13
Maret). Pola ini membawa para ahli gunung api pada siklus 15 tahunan
bagi letusan gunung ini. Memasuki abad ke-21, gunung ini erupsi pada
tahun 2007 dan 13-14 Februari 2014. Perubahan frekuensi ini terjadi
akibat terbentuknya sumbat lava di mulut kawah gunung. Hampir semua
erupsi yang tercatat ini berlangsung singkat (2 hari atau kurang) dan
bertipe eksplosif (VEI maks. 4), kecuali letusan 1990 dan 2007.
Letusan 1901
Malam hari antara 22 dan 23 Mei 1901 terjadi letusan besar
berulang-ulang, dan meningkat pada pukul 03.00 dini hari. Suara letusan
dilaporkan terdengar dari Pekalongan dan hujan abu mencapai Bogor.
Embusan awan panas dilaporkan mencapai Kediri. Banyaknya korban jiwa
diperkirakan cukup banyak, namun tidak ada catatan.
Letusan Gunung Kelud tahun 1919 tercatat dalam laporan Carl Wilhelm
Wormser (1876-1946), pejabat Pengadilan Landraad di Tulung Agung (masa
kolonial Belanda), yang menjadi saksi mata bencana alam tersebut .
"Pada 20 Mei 1919 siang, tiba-tiba langit gelap. Hilangnya matahari
membuat semua yang hidup menjadi takut dan gentar. Hujan abu dan batu
yang turun. Para penduduk desa di lereng gunung berusaha menyelamatkan
apapun yang dapat diselamatkan: harta dan jiwa dan hewan peliharaan.
Semuanya berlarian menghindari kekerasan alam. Lari! Lari kemanakah
dirimu? Bernafas semakin sulit. Udara semakin mencekik semua yang
bernafas. Bunyi desiran semakin dekat dan kuat. Aliran lahar
menghancurkan semuanya dan mengganggu jalan keluar untuk manusia.
Bangunan dan pepohonan besar patah menjadi kecil-kecil bak korek api.
Kawah memuntahkan lahar dan abu dan disertai awan gas beracun. Hutan,
tanah dan sawah terselimuti kain berwarna abu-abu. Belasan desa raib
dari peta bumi. Ribuan korban jiwa terkubur hidup-hidup".
Letusan 1919 ini termasuk di antara yang paling mematikan karena menelan
korban 5.160 jiwa, merusak sampai 15.000 ha lahan produktif karena
aliran lahar mencapai 38 km, meskipun di Kali Badak telah dibangun
bendung penahan lahar pada tahun 1905. Selain itu, Hugo Cool, seorang
ahli pertambangan, pada tahun 1907 juga ditugaskan melakukan penggalian
saluran melalui pematang atau dinding kawah bagian barat. Usaha itu
berhasil mengeluarkan air 4,3 juta meter kubik.
Karena letusan inilah kemudian dibangun sistem saluran terowongan
pembuangan air danau kawah, dan selesai pada tahun 1926. Secara
keseluruhan dibangun tujuh terowongan.
Pada tanggal 31 Agustus 1951, pukul 06.15/06.30, Gunung Kelud kembali
meletus (erupsi) secara eksplosif. Akibat letusan besar ini, sejumlah
kota di Pulau Jawa terkena hujan abu, termasuk Yogyakarta dan Surakarta
dan mencapai Bandung. Suasana gelap melanda kota-kota terdampak,
menyebabkan sekolah harus meliburkan siswa-siswanya dan jawatan-jawatan
berhenti beraktivitas.
Letusan 1951 adalah yang pertama kali terjadi setelah pembuatan
terowongan-terowongan pembuangan air kawah selesai dibangun. Van
Ijzendoorn, Kartograf kepala Badan Geologi, menyimpulkan bahwa sistem
saluran ini sangat membantu mengurangi dampak kerugian akibat letusan.
Tujuh orang tewas akibat letusan ini, tiga di antaranya petugas pengamat
gunung api. Selain itu, 157 orang terluka. Akibat letusan ini pula,
dasar danau kawau menurun sehingga volume air meningkat menjadi 50 juta
meter kubik.
Letusan 1966
Letusan besar terjadi pada tanggal 26 April 1966 pukul 20.15. Sekitar
210 lebih orang tewas akibat letusan ini. Sistem terowongan rusak berat,
sehingga dibuatlah terowongan baru 45 meter di bawah terowongan lama.
Terowongan yang selesai tahun 1967 itu diberi nama Terowongan Ampera.
Saluran ini berfungsi mempertahankan volume danau kawah agar stabil pada
angka 2,5 juta meter kubik.
Letusan 1990
Letusan 1990 berlangsung selama 45 hari, yaitu 10 Februari 1990 hingga
13 Maret 1990. Pada letusan ini, Gunung Kelud memuntahkan 57,3 juta
meter kubik material vulkanik. Lahar dingin menjalar sampai 24 kilometer
dari danau kawah melalui 11 sungai yang berhulu di gunung itu.
Letusan ini sempat menutup terowongan Ampera dengan material vulkanik. Proses normalisasi baru selesai pada tahun 1994.
Letusan 2007
Letusan pada tahun 2007 dianggap "menyimpang" dari perilaku dasar Kelud
karena letusan bertipe freatik (leleran dengan letusan-letusan kecil)
bukan eksplosif sebagaimana letusan-letusan sebelumnya. Selain itu,
letusan ini menghasilkan suatu sumbat lava berbentuk kubah yang
menyebabkan "hilang"nya danau kawah.
Aktivitas gunung ini meningkat pada akhir September 2007 dan masih terus
berlanjut hingga November tahun yang sama, ditandai dengan meningkatnya
suhu air danau kawah, peningkatan kegempaan tremor, serta perubahan
warna danau kawah dari kehijauan menjadi putih keruh. Status "awas"
(tertinggi) dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi sejak 16 Oktober 2007 yang berimplikasi penduduk dalam radius 10
km dari gunung (lebih kurang 135.000 jiwa) yang tinggal di lereng
gunung tersebut harus mengungsi. Namun letusan tidak terjadi.
Setelah sempat agak mereda, aktivitas Gunung Kelud kembali meningkat
sejak 30 Oktober 2007 dengan peningkatan pesat suhu air danau kawah dan
kegempaan vulkanik dangkal. Pada tanggal 3 November 2007 sekitar pukul
16.00 suhu air danau melebihi 74 derajat Celsius, jauh di atas normal
gejala letusan sebesar 40 derajat Celsius, sehingga menyebabkan alat
pengukur suhu rusak. Getaran gempa tremor dengan amplitudo besar (lebih
dari 35mm) menyebabkan petugas pengawas harus mengungsi, namun kembali
tidak terjadi letusan.
Akibat aktivitas tinggi tersebut terjadi gejala unik dalam sejarah Kelud
dengan munculnya asap tebal putih dari tengah danau kawah diikuti
dengan kubah lava dari tengah-tengah danau kawah sejak tanggal 5
November 2007 dan terus "tumbuh" hingga berukuran selebar 100 m. Para
ahli menganggap kubah lava inilah yang menyumbat saluran magma sehingga
letusan tidak segera terjadi. Energi untuk letusan dipakai untuk
mendorong kubah lava sisa letusan tahun 1990.
Sejak peristiwa tersebut aktivitas pelepasan energi semakin berkurang
dan pada tanggal 8 November 2007 status Gunung Kelud diturunkan menjadi
"siaga" (tingkat 3).
Danau kawah Gunung Kelud praktis "hilang" karena kemunculan kubah lava
yang berdiameter 469 m dan volume sebesar 16,2 juta meter kubik. Yang
tersisa hanyalah kolam kecil berisi air keruh berwarna kecoklatan di
sisi selatan kubah lava.
Letusan 2014
Letusan Kelud 2014 dianggap lebih dahsyat daripada tahun 1990. meskipun
hanya berlangsung tidak lebih daripada dua hari dan memakan 4 korban
jiwa akibat peristiwa ikutan, bukan akibat langsung letusan.
Peningkatan aktivitas sudah dideteksi di akhir tahun 2013 . Namun,
situasi kembali tenang. Baru kemudian diumumkan peningkatan status dari
Normal menjadi Waspada sejak tanggal 2 Februari 2014.
Pada 10 Februari 2014, Gunung Kelud dinaikkan statusnya menjadi Siaga
dan kemudian pada tanggal 13 Februari pukul 21.15 diumumkan status
bahaya tertinggi, Awas (Level IV)sehingga radius 10 km dari puncak harus
dikosongkan dari manusia. Hanya dalam waktu kurang dari dua jam, pada
pukul 22.50 telah terjadi letusan pertama tipe ledakan (eksplosif).
Erupsi tipe eksplosif seperti pada tahun 1990 ini (pada tahun 2007
tipenya efusif, yaitu berupa aliran magma) menyebabkan hujan kerikil
yang cukup lebat dirasakan warga di wilayah Kecamatan Ngancar, Kediri,
Jawa Timur, lokasi tempat gunung berapi yang terkenal aktif ini berada,
bahkan hingga kota Pare, Kediri. Wilayah Kecamatan Wates dijadikan
tempat tujuan pengungsian warga yang tinggal dalam radius sampai 10
kilometer dari kubah lava, sesuai rekomendasi dari Pusat Vulkanologi,
Mitigasi, dan Bencana Geologi (PVMBG).Suara ledakan dilaporkan
terdengar hingga kota Solo danYogyakarta ( berjarak 200 km dari pusat
letusan) bahkan Purbalingga (lebih kurang 300 km), Jawa Tengah.
Dampak berupa abu vulkanik pada tanggal 14 Februari 2014 dini hari
dilaporkan warga telah mencapai Kabupaten Ponorogo. Di Yogyakarta,
teramati hampir seluruh wilayah tertutup abu vulkanik yang cukup pekat,
melebihi abu vulkanik dari Merapipada tahun 2010. Ketebalan abu vulkanik
di kawasan Yogyakarta dan Sleman bahkan diperkirakan lebih dari 2
centimeter.Dampak abu vulkanik juga mengarah ke arah Barat Jawa, dan
dilaporkan sudah mencapai Kabupaten Ciamis, Bandung dan beberapa daerah
lain di Jawa Barat. Di daerah Madiun dan Magetan jarak pandang untuk
pengendara kendaraan bermotor atau mobil hanya sekitar 3-5 meter karena
turunnya abu vulkanik dari letusan Gunung Kelud tersebut sehingga banyak
kendaraan bermotor yang berjalan sangat pelan.
Hujan abu dari letusan melumpuhkan Jawa. Tujuh bandara di Yogyakarta,
Surakarta, Surabaya, Malang, Semarang, Cilacap dan Bandung, ditutup.
kerugian keuangan dari penutupan bandara yang dinilai mencapai miliaran
rupiah, termasuk sekitar 2 miliar rupiah di Bandara Internasional
Juanda di Surabaya. Kerusakan yang signifikan disebabkan untuk berbagai
manufaktur dan industri pertanian. Akibat hujan abu, perusahaan seperti
Unilever Indonesia mengalami kesulitan mendistribusikan produk mereka
di seluruh daerah yang terdampak. Kebun apel diBatu, Jawa Timur,
membukukan kerugian hingga Rp 17,8 miliar, sedangkan industri susu di
provinsi ini membukukan kerugian tinggi.
Kondisi gunung setelah letusan satu malam tersebut berangsur tenang dan
pada tanggal 20 Februari 2014 status aktivitas diturunkan dari Awas
menjadi Siaga (level III) oleh PVMBG Selanjutnya pada tanggal 28
Februari 2014 status kembali turun menjadi Waspada (Level II) Akibat
letusan ini, kubah yang menyumbat jalur keluarnya lava hancur dan Kelud
memiliki kawah kering Dimungkinkan terbentuk danau kawah kembali
setelah beberapa tahun.
Pada awal Maret sebagian besar dari 12.304 bangunan hancur atau rusak
selama letusan telah diperbaiki, dengan perkiraan biaya sebesar Rp 55
miliar.
Menuju kawasan puncak Gunung Kelud sejak tahun 2004 hubungan jalan darat
telah diperbaiki untuk mempermudah para wisatawan serta penduduk.
Gunung Kelud telah menjadi obyek wisata Kabupaten Kediri dengan atraksi
utama adalah kubah lava. Di puncak Gajahmungkur dibangun gardu pandang
dengan tangga terbuat darisemen. Pada malam akhir pekan, kubah lava
diberi penerangan lampu berwarna-warni. Selain itu, telah disediakan
pula jalur panjat tebing di puncak Sumbing, pemandian air panas, serta
flying fox.
Tindakan Kabupaten Kediri membangun kawasan wisata ini mendapat protes
dariKabupaten Blitar, yang menganggap wilayah puncak Kelud merupakan
wilayahnya. Sengketa wilayah ini terutama meruncing setelah turunnya
Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/113/KPTS/013/2012 yang
menyatakan bahwa kawasan puncak Kelud merupakan wilayah Kabupaten
Kediri.
Legenda Gunung Kelud
Gunung Kelud merupakan sebuah gunung api yang terletak di Kecamatan
Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Indonesia. Meskipun telah puluhan
kali meletus dan memakan relatif banyak korban jiwa sejak abad ke-15
sampai abad ke-20, gunung api ini menjadi salah satu obyek wisata
menarik di daerah itu karena keindahan panorama alamnya. Gunung yang
memiliki ketinggian 1.730 meter di atas permukaan laut ini semakin
menarik minat para pengunjung karena setiap tanggal 23 Suro(penanggalan
Jawa) masyarakat setempat menggelar acara arung sesaji. Pagelaran acara
tersebut merupakan simbol Condro Sengkolo atau sebagai penolak bala dari
bencana akibat pengkhianatan cinta yang dilakukan oleh putri Kerajaan
Majapahit terhadap seorang pemuda bernama Lembu Sura. Bagaimana
penghianatan cinta itu terjadi? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda
Gunung Kelud berikut ini!
* * *
Alkisah, di daerah Jawa Timur, ada seorang raja bernama Raja Brawijaya
yang bertahta di Kerajaan Majapahit. Ia mempunyai seorang putri yang
cantik jelita bernama Dyah Ayu Pusparani. Sang Putri memiliki keindahan
tubuh yang sangat memesona, kulitnya lembut bagai sutra, dan wajahnya
elok berseri bagaikan bulan purnama. Sudah banyak pengeran datang
melamar, namun Prabu Brawijaya belum menerima satu pun lamaran agar
tidak terjadi kecemburuan di antara pelamar yang lain. Di sisi lain,
penguasa Majapahit itu juga tidak ingin menolak secara langsung karena
takut mereka akan menyerang kerajaannya.
Setelah berpikir keras, Prabu Brawijaya menemukan sebuah cara, yaitu ia
akan mengadakan sayembara bahwa barang siapa yang berhasil merentang
busur sakti Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai Sekardelima maka
dialah yang berhak mempersunting putrinya. Ia memerintahkan para
pengawalnya untuk menyampaikan pengumuman tersebut kepada seluruh
rakyatnya, termasuk kepada para raja dan pangeran dari kerajaan-kerajaan
di sekitarnya.
Pada saat yang telah ditentukan, para peserta dari berbagai negeri telah
berkumpul di alun-alun (lapangan, halaman) istana Kerajaan. Prabu
Brawijaya pun tampak duduk di atas singgasananya dan didampingi oleh
permaisuri dan putrinya. Setelah busur Kyai Garudyeksa dan gong Kyai
Sekadelima disiapkan, Prabu Brawijaya segera memukul gong pertanda acara
dimulai. Satu persatu peserta sayembara mengeluarkan seluruh
kesaktiannya untuk merentang busur dan mengangkat gong tersebut, namun
tak seorang pun yang berhasil. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang
mendapat musibah. Ada yang patah tangannya karena memaksakan diri
merentang busur sakti itu, dan ada pula yang patah pinggangnya ketika
mengangkat gong besar dan berat itu.
Ketika Prabu Brawijaya akang memukul gong untuk menutup sayembara itu,
tiba-tiba datanglah seorang pemuda berkepala lembu hendak mengandu
keberuntungan.
“Ampun, Gusti Prabu! Apakah hamba diperkenankan mengikuti sayembara ini?” pinta pemuda itu.
“Hai, pemuda aneh! Siapa namamu?” tanya Prabu Brawijaya.
“Nama saya Lembu Sura,” jawab pemuda itu.
Prabu Brawijaya beranggapan bahwa pemuda itu tidak akan mampu merentang
busur sakti dan mengangkat gong besar itu. Ia pun mengizinkannya
mengikuti sayembara itu sebagai peserta terakhir.
“Baiklah! Kamu boleh mengikuti sayembara ini,” ujar Prabu Brawijaya.
Lembu Sura pun menyanggupi persyaratan itu. Dengan kesaktiannya, ia
segera merentang busur Kyai Garudayaksa dengan mudah. Keberhasilan Lembu
Sura itu diiringi oleh tepuk tangan para penonton yang sangat meriah.
Sementara itu, Putri Dyah Ayu Pusparani terlihat cemas, karena ia tidak
ingin bersuamikan manusia berkepala lembu.
Ketika Lembu Sura menghampiri gong Sekardelima, semua yang hadir tampak
tegang, terutama sang Putri. Ia sangat berharap agar Lembu Sura gagal
melewat ujian kedua itu. Tanpa diduganya, pemuda berkepala lembu itu
ternyata mampu mengangkat gong Sekardelima dengan mudah. Tepuk tangan
penonton pun kembali bergema, sedangkan Putri Dyah Ayu Purpasari hanya
terdiam. Hatinya sangat sedih dan dan kecewa.
“Aku tidak mau bersuami orang yang berkepala lembu,” seru sang Putri seraya berlari masuk ke dalam istana.
Mendengar ucapan putrinya itu, Prabu Brawijaya langsung terkulai karena
telah mengecewakan putrinya. Namun sebagai seorang raja, ia harus
menepati janjinya untuk menjaga martabatnya. Dengan demikian, Putri Dyah
Ayu Pusparani harus menerima Lembu Sura sebagai suaminya.
`Hadirin sekalian! Sesuai dengan janjiku, maka Lembu Sura yang telah
memenangkan sayembara ini akan kunikahkan dengan putriku!” seru Prabu
Brawijaya.
Seluruh pesarta sayembara pun berlomba-lomba memberikan ucapan selamat
kepada Lembu Sura. Sementara itu, di dalam istana, Putri Dyah Ayu
Pusparani menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya. Berhari-hari ia
mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak mau makan dan minum. Melihat
tuannya sedang sedih, seorang Inang pengasuh berusaha membujuk dan
menasehatinya.
“Ampun, Tuan Putri! Jika Tuan Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura,
sebaiknya Tuan Putri segera mencari jalan keluar sebelum hari
pernikahan itu tiba,” ujar Inang pengasuh.
Mendengar nasehat itu, sang Putri langsung terperanjat dari tempat tidurnya.
“Benar juga katamu, Mak Inang! Kita harus mencari akal agar pernikahanku
dengan orang yang berkepala lembu itu dibatalkan. Tapi, apa yang harus
kita lakukan? Apakah Mak Inang mempunyai usul?” tanya sang Putri
bingung.
Inang pengasuh hanya terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Setelah
berpikir keras, akhirnya Inang pengasuh menemukan sebuah jalan keluar.
“Ampun, Tuan Putri! Bagaimana kalau Tuan Putri meminta satu syarat yang
lebih berat lagi kepada Lembu Sura?” usul Inang pengasuh.
“Apakah syarat itu, Mak Inang?” tanya sang Putri penasaran.
“Mintalah kepada Lembu Sura agar Tuan Putri dibuatkan sebuah sumur di
puncak Gunung Kelud untuk tempat mandi kalian berdua setelah acara
pernikahan selesai. Tapi, sumur itu harus selesai dalam waktu semalam,”
usul Mak Inang.
Putri Dyah Ayu Pusparani pun menerima usulan Inang pengasuh dan segera
menyampaikannya kepada Lembu Sura. Tanpa berpikir panjang, Lembu Sura
menyanggupi persyaratan itu. Pada sore harinya, berangkatlah ia ke
Gunung Kelud bersama keluarga istana, termasuk sang Putri.
Setibanya di Gunung Kelud, Lembu Sura mulai menggali tanah dengan
menggunakan sepasang tanduknya. Dalam waktu tidak berapa lama, ia telah
menggali tanah cukup dalam. Ketika malam semakin larut, galian sumur itu
semakin dalam. Lembu Sura sudah tidak tampak lagi dari bibir sumur.
Melihat hal itu, Putri Dyah Ayu Pusparani semakin panik. Ia pun mendesak
ayahandanya agar menggagalkan usaha Lembu Sura membuat sumur.
“Ayah! Apa yang harus kita lakukan? Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura,” keluh sang Putri dengan bingung.
Prabu Brawijaya pun tidak ingin mengecewakan putri kesayangannya untuk
yang kedua kalinya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan sebuah
cara untuk menghabisi nyawa Lembu Sura.
“Pengawal! Timbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan besar!” seru Prabu Brawijaya.
Tak seorang pun pengawal yang berani membantah. Mereka segera
melaksanakan perintah rajanya. Lembu Sura yang berada di dalam sumur
berteriak-teriak meminta tolong.
“Tolooong...! Tolooong...! Jangan timbun aku dalam sumur ini!” demikian teriakan Lemu Sura.
Para pengawal tidak menghiraukan teriakan Lembu Suara. Mereka terus
menimbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan. Dalam waktu sekejap, Lembu
Sura sudah terkubur di dalam sumur. Meski demikian, suaranya masih
terdengar dari dalam sumur. Lembu Sura melontarkan sumpah kepada Prabu
Brawijaya dan seluruh rakyat Kediri karena sakit hati.
“Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yaiku
Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi
Kedung".
(Wahai orang-orang Kediri, suatu saat akan mendapatkan balasanku yang
sangat besar. Kediri bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan, dan
Tulungagung menjadi daerah perairan dalam).
Dalam sumpahnya, Lembu Sura berjanji bahwa setiap dua windu[1] sekali
dia akan merusak seluruh wilayah kerajaan Prabu Brawijaya. Mendengar
ancaman itu, Prabu Brawijaya dan seluruh rakyatnya menjadi ketakutan.
Berbagai usaha pun dilakukan untuk menangkal sumpah Lembu Sura tersebut.
Ia memerintahkan para pengawalnya agar membangun sebuah tanggul
pengaman yang kokoh (kini telah berubah menjadi gunung bernama Gunung
Pegat) dan menyelenggarakan selamatan yang disebut dengan larung sesaji.
Meski demikian, sumpah Lembu Sura tetap juga terjadi. Setiap kali
Gunung Kelud meletus, masyarakat setempat menganggap hal itu merupakan
amukan Lembu Sura sebagai pembalasan dendam atas tindakan Prabu
Brawijaya dan Putrinya.
* * *
Demikian kisah Legenda Gunung Kelud dari daerah Kediri, Jawa Timur.
Hingga saat ini, masyarakat Kediri, khususnya masyarakat Desa Sugih
Waras, secara rutin (yaitu setiap tanggal 23 Syura) menyelenggarakan
acara selamatan larung sesaji di sekitar kawah Gunung Kelud. Setidaknya
ada dua pelajaran yang dapat dipetik dari carita di atas yaitu pertama
bahwa hendaknya kita jangan suka meremehkan kemampuan seseorang dengan
hanya melihat bentuk fisiknya karena siapa mengira di balik semua itu
tersimpan kekuatan yang luar biasa.
Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa
orang yang suka mengingkari janji seperti Putri Dyah Ayu Pusparani dan
Prabu Brawijaya dapat mendatangkan bencana kepada dirinya sendiri maupun
orang lain. Meletusnya Gunung Kelud yang mengakibatkan jatuhnya banyak
korban jiwa merupakan akibat dari ulah Prabu Brawijaya dan putrinya yang
tidak menepati janjinya kepada Lembu Sura. Sifat suka mengingkari janji
ini merupakan sifat tidak terpuji yang harus dijauhi, karena termasuk
sifat orang-orang munafik.