Syekh Datuk Kahfi (dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh
Nurul Jati atauSyekh Nurjati atau Syekh Nurijati) adalah tokoh penyebar
Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon dan leluhur dari
Pembesar Sumedang.
Dia pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati. Syekh
Datuk Kahfi merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang),
penerus penguasa diKerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat, dan putera dari
Syekh Datuk Ahmad. Ia juga merupakan keturunan dari Amir Abdullah Khan.
Setelah Syekh Datuk Kahfi menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nurjati mencoba
mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan mengajarkannya di wilayah Bagdad.
Di Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali
Nurul Alim putra dari Jamaluddin Akbar al-Husaini dari Kamboja, yang
merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin.
Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.
Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni :
1- Syekh Abdurrohman yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan
(ayah Pangeran Tubagus Angke, dan Pangeran Pamelekaran kakek Pangeran
Santri),
2- Syekh Abdurochim (kelak bergelar Pangeran Kejaksan),
3- Fatimah (yang bergelar Syarifah Bagdad menikah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati), dan
4+ Syekh Datul Khafid (kadang-kadang disebut juga sebagai Syekh Datul
Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok ayahnya yaitu Syekh Datuk
Kahfi, atau Syekh Nurjati di beberapa manuskrip yang lebih muda umurnya,
contohnya Babad Cirebon Keraton Kasepuhan).
Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah Halimah,
Syarif Sulaiman yang menjadi raja di Bagdad. Syarif Sulaiman menjadi
raja di Bagdad karena menikahi putri mahkota raja Bagdad.
Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati
Makam Syekh Quro yang terletak diPura Karawang
Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro
dan Syekh Nurjati adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir
Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke
Amparan bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming
yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan
laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam.
Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M.
Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan
perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan.
Ketika armada tersebut sampai di PuraKarawang, Syekh Quro (Syekh
Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal
dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini
dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang
pertama kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di
Cirebon. Ketika armada Cheng Ho singgah di Pura Karawang, Syekh Quro dan
pengiringnya turun, di antara pengiringnya adalah putranya yang bernama
Syekh Bentong alias Kiyai Bah Tong alias Tan Go Wat.
Keharmonisan dakwah antara Cirebon dan Karawang
Cucu Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton, bernama Musanudin. Kelak
Musanudin menjadilebai di Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa
pada masa pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh
Ahmad merupakan anak dari Syekh Quro dengan Ratna Sondari, putri Ki
Gedeng Karawang.
Puteri Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah
masjid di Gunung Sembung (Nur Giri Cipta Rengga) yang bernama Masjid Dog
Jumeneng/ Masjid Sang Saka Ratu, yang sampai sekarang masih digunakan
dan terawat baik.
Pengangkatan juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang
Di kampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam. Karena
menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan
agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengikutnya semakin
banyak, hingga akhirnya pengguron kedatangan Pangeran Walangsungsang
beserta istrinya Nyi Indang Geulis/ Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu
Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari agama Islam.
Mereka adalah cucu dari syahbandar pelabuhan Muara Jati dari jalur
ibunya. Kedatangan mereka ke Gunung Jati di samping melaksanakan
perintah ibundanya sebelum meninggal, juga bermaksud sungkem kepada
eyangnya Ki Gedeng Tapa. Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa
seizin ayah mereka, Prabu Siliwangi. KarenaPrabu Siliwangi kembali
memeluk agama Budha setelah Nyi Subang Larang meninggal dunia. Tetapi
kedua putra-putrinya itu sudah dididik dan diberi petunjuk oleh almarhum
ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung Jati. Akhirnya
mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam, menjadi santri
Syekh Nurjati di Pesambangan Jati. Pada saat mereka bertiga diterima
menjadi santri baru, Syekh Nurjati berdoa, “ Wahai Tuhan kami,
jadikanlah kami orang-orang yang menghidupkan agama Islam mulai hari ini
hingga hari kemudian dengan selamat. Amin.”
Diantara murid-muridnya, murid yang tercatat sangat cerdas adalah
Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang. Walaupun keduanya
telah menjadi muslim sejak kecil, dan belajar ke Syekh Quro, tetapi
ketika datang ke pesantren Syekh Nurjati keduanya dan Nyi Indang Geulis
(istri Pangeran Walangsungsang), tetap diminta kembali mengucapkan kedua
kalimah syahadat. Syekh Nurjati memberi pelajaran kepada mereka mulai
dari yang sangat dasar (rukun Islam), tentang pelajaran tauhid sebagai
dasar pondasi keimanan.
Mengapa Syekh Nurjati melakukan metode pengajaran seperti kepada orang
yang baru mengenal ajaran dasar Islam? Menururt Besta Basuki
Kertawibawa, kemungkinan ada keraguan pada Syekh Nurjati terhadap kadar
keimanan dan pengetahuan ketiganya tentang agama Islam. Hal ini
dikarenakan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang adalah
putra-putri dari Raja Pajajaran yang beragama Hindu - Budha. Selain
itu, pengalaman mereka tentang agama Islam masih dalam tahapan pemula.
Hubungan keluarga dengan Syekh Siti Jenar dan Adipati Kuningan
Syekh Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi, putra
dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra
dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh agama yang berpengaruh pada
jamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk
Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abjul Jalil).
Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu laki-laki Syekh
Bayanullah atau Syekh Maulana Akbar yang mempunyai pondok di Mekah, yang
kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di Cirebon, Syekh
Bayanullah memiliki putra Syekh Maulana Arifin menikah dengan Nyai Ratu
Selawati dari pernikahannya dikaruniai putri Nyi Mas Kencanawati yang
menikah dengan Adipati Kuningan putra Ki Gedeng Luragung (seorang kepala
daerah diLuragung) yang masih saudara sepupu Nyai Ratu Selawati (putri
Pangeran Surawisesa cucu Prabu Siliwangi).
Dan seorang adik Syekh Datuk Kahfi wanitanya menikah dengan Raja Upih
Malaka. Lalu dari perkawinan tersebut lahir lah seorang putri yang kelak
menikah dengan Dipati Unus dari Demak.
Silsilah Syaikh
Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Datuk Kahfi yang bersambung dengan
Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmad al-Muhajir bin Isa
ar-Rumi (Hadramaut,Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi
Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW, berputeri
Sayidah Fatimah az-Zahra manikah dengan Imam Ali bin Abi Thalib, berputera
Imam Husain a.s, berputera
Imam Ali Zainal Abidin, berputera
Muhammad al-Baqir, berputera
Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera
Ali al-Uraidhi, berputera
Muhammad al-Naqib, berputera
Isa al-Rumi, berputera
Ahmad al-Muhajir, berputera
Ubaidillah, berputera
Alawi, berputera
Muhammad, berputera
Alawi, berputera
Ali Khali' Qosam, berputera
Muhammad Shahib Mirbath, berputera
Sayid Alwi, berputera
Sayid Abdul Malik, berputera
Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
Sayid Abdul Kadir, berputera
Maulana Isa, berputera
Syekh Datuk Ahmad, berputera
Syekh Datuk Kahfi
Sebagai guru Putra Pajajaran
Syekh Datuk Kahfi merupakan guru dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai
Rara Santang (Syarifah Muda'im), yaitu putera dan puteri dari Sri Baduga
Maharaja (Prabu Siliwangi), raja Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Syekh
Datuk Kahfi wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, bersamaan dengan makam
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan
raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.
Syekh Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di
Cirebon. Tokoh yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makhdum,
Maulana Pangeran Panjunan, Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh
Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon
(Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada suatu ketika mereka
berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, dibawah pimpinan Syekh Nurjati.
Mereka semua muri-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut Syekh
Nurjati berfatwa kepada murid-muidnya :
“Wahai murid-murid ku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang
sesegera mungkin kita laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk
masyarakat Islamiyah. Bagaimana pendapat para murid semuanya dan
bagaimana pula caranya kita membentuk masyarakat islamiyah itu?”.
Para murid dalam sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif
Hidayatullah berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat islam
sebaiknya diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara
yang baik dan teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari sidang,
dan disepakati segera dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi dasar
dibentuknya organisasi dakwah dewan Walisongo.
Sejarah Masjid Panjunan
Masjid Panjunan atau Masjid Merah Panjunan adalah sebuah masjid tua yang berada di Desa Panjunan, Lemahwungkuk, Cirebon.
Masjid ini merupakan sebuah masjid berumur sangat tua yang didirikan
pada tahun 1480 oleh Syarif Abdurrahman atau Pangeran Panjunan putra
Syaikh Datuk Kahfi. Beliau datang ke Cirebon sepulang dari belajar di
Tanah Arab dan memimpin sekelompok imigran dari Baghdad, dan kemudian
menjadi murid Sunan Gunung Jati. Masjid Merah Panjunan terletak di
sebuah sudut jalan di Kampung Panjunan, kampung dimana terdapat banyak
pengrajin tembikar atau jun.
Masjid Merah Panjunan merupakan salah satu masjid tua di kota Cirebon.
Awalnya masjid ini bernama Al-Athya yang artinya dikasihi Disebut masjid
merah karena memang hampir keseluruhan bangunan masjid ini berbalut
warna merah. Dan nama Panjunan pada nama masjid ini merujuk kepada nama
Pangeran Panjunan pendiri masjid ini yang dikemudian hari nama yang sama
juga menjadi nama desa tempat masjid ini berada.
Pangeran Panjunan bernama asli Maulana Abdul Rahman, nama Panjunan yang
disandangnya merupakan gelaran atas profesi yang digelutinya sebagai
pembuat Anjun atau Gerabah porselen. Profesi yang cukup lama ditekuni
oleh keturunannya yang tinggal di desa Panjunan sampai ahirnya perlahan
terkikis tinggal kenangan menjadi sebuah nama desa.
Awalnya masjid ini merupakan tajug atau Mushola sederhana, karena
lingkungan tersebut adalah tempat bertemunya pedagang dari berbagai suku
bangsa, Pangeran Panjunan berinisiatif membangun Mushola tersebut
menjadi masjid dengan perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam,
yaitu Hindu – Budha.
Masjid Merah Panjunan ini telah dimasukkan sebagai benda cagar budaya.
Konon pembangunan masjid tersebut di-arsiteki oleh Pangeran Losari.
Pembangunan Tajug atau Mushola sederhana tersebut sebagai tempat ibadah
bagi para pedagang dari berbagai suku bangsa yang bertemu dan
bertransaksi disana. Selain untuk beribadah, awalnya masjid ini juga
menjadi tempat berbagi ilmu Wali Songo atau antara Wali Songo, terutama
Sunan Gunung Jati, dengan Pangeran Panjunan. Gaya bangunannya sendiri
merupakan perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam, yaitu Hindu –
Budha. Dan juga turut dipengaruhi oleh gaya Jawa dan Cina.
Pagar Kutaosod yang mengelilingi masjid ini dan terbuat dari susunan
bata merah merupakan hasil pembangunan tahun 1949 oleh panembahan Ratu
(Cicit Sunan Gunung Jati)berikut pembuatan pintu masuk di bangun
sepasang candi bentar dan pintu panel Jati Berukir. Pada tahun 1978
masyarakat setempat membangun menara di halaman depan sebelah selatan
sementara candi bentar dan pintu panel dibongkar. Renovasi terahir
dilakukan oleh dinas kebudayaan dan pariwisata provinsi Jawa Barat yang
melakukan penggantian atap sirap tahun 2001-2002.
Bangunan lama mushala itu berukuran 40 meter persegi saja, kemudian
dibangun menjadi berukuran 150 meter persegi karena menjadi masjid.
Meskipun pendiri Masjid Merah Panjunan adalah seorang keturunan Arab,
dan Kampung Panjunan adalah merupakan daerah permukiman warga keturunan
Arab, namun pengaruh budaya Arab terlihat sangat sedikit pada arsitektur
bangunan Masjid Merah Panjunan ini. Barangkali ini adalah sebuah
pendekatan kultural yang digunakan dalam penyebaran Agama Islam pada
masa itu.
Arsitektural Masjid Merah Panjunan
Masjid Merah Panjunan termasuk bangunan ukuran kecil dengan jarak antara
lantai dan atap yang rendah seperti rumah-rumah tua di Jawa.Bangunan
utamanya berukuran 25 x 25 m memiliki halaman yang sangat sempit. Lantai
keramik berwarna merah marun, Gerbang dan dinding bata merah sangat
mencolok dan tak lazim sebagai bangunan masjid, batu bata sangat lumrah
dipakai untuk membuat candi.
Masjid Merah disokong 17 tiang penyangga yang melambangkan 17 rakaat
dalam salat. Empat dari 17 tiang penyangga itu ada empat sokoguru yang
merupakan penyangga utama sebagai simbol empat imam dalam hukum atau
syariat Islam. Mereka adalah Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi'i,
dan Imam Hanafi.
Ujung setiap tiang penyokong itu berbentuk bintang dengan delapan bunga.
Hal itu membuktikan adanya pengaruh arsitektur Arab pada masjid itu.
Bintang itu melambangkan delapan lafal selawat yang diajarkan
Rasulullah.
Hiasan piring keramik menempel pada dinding bagian dalam masjid baik
bagian kiri, sisi kanan, maupun bagian depan. Konon, piring-piring
keramik itu berasal dari Cina. Selain menandakan hubungan Kerajaan
Cirebon dengan Cina pada masa lalu, itu menyimbolkan bahwa ajaran Islam
tidak hanya berkembang di tanah air.
Meskipun bentuk dan tinggi pagar sama, hiasan pada dinding pagar ini
beda motif. Dinding kanan pintu masuk Masjid Merah dihiasi motif batik,
sedangkan dinding pagar kiri polos tanpa hiasan. Dinding itu memang
sengaja dibangun demikian dan memiliki makna khusus.
"Di luar orang boleh berbeda, tetapi ketika memasuki ke masjid, semua
orang satu tujuan. Di dalam masjid, setiap orang harus berhati bersih
dan punya satu tujuan yang sama untuk menghadap Allah," Filosofi itu
pun mewakili perbedaan karakter Wali Songo (sembilan wali). Namun,
mereka toh tetap bersatu, berkumpul, dan berdiskusi tentang ajaran
Islam.
Dinding masjid masih dipertahankan agar tetap tampak warna asli, merah
tanah liat. dinding pagar dan dinding masjid merah tanah liat masjid
selalu dipertahankan karena dua alasan. Pertama, merah liat itu
melambangkan keberanian Pangeran Panjunan serta Wali Songo untuk
mengambil keputusan.
Selain itu, merah liat sebagai ciri khas dari masjid tersebut, sehingga
disebut Masjid Merah. Dari beranda masjid, ada satu pintu utama dengan
ukuran kecil, hal itu mengingatkan agar orang yang masuk ke masjid
menanggalkan kesombongnya dan dengan rendah hati menghadap Allah. Hal
itu dipertegas dengan adanya tulisan kalimat Syahadat yang digantung
sebelum pintu itu. Namun, tulisan itu baru menjadi tambahan sekitar
1980-an.
Meskipun masjid ini difungsikan hanya untuk tempat shalat sehari-hari,
tidak dipakai untuk ibadah shalat Jumat. Namun pada saat bulan suci
Ramadhan tiba, masjid ini banyak dikunjungi para peziarah. Selain itu,
menu kopi arab dan makanan ringan khas Cirebon dan Arab menjadi suguhan
wajib saat waktu berbuka tiba.
Arsitektur Masjid Panjunan merupakan perpaduan budaya Hindu, Cina, dan
Islam. Sekilas masjid ini tidak seperti masjid pada umumnya karena
memang bentuk bangunannya menyerupai kuil hindu, adanya mihrab yang
membuat bangunan Masjid Merah Panjunan ini menjadi terlihat seperti
sebuah masjid, serta adanya beberapa tulisan berhuruf Arab pada dinding.
Beberapa keramik buatan Cina yang menempel pada dinding konon merupakan
bagian dari hadiah ketika Sunan Gunung Jati menikah dengan Tan Hong
Tien Nio.
Ruangan utama Masjid Merah Panjunan langit-langitnya ditopang oleh lebih
dari lima pasang tiang kayu. Umpak pada tiang penyangga juga
memperlihatkan pengaruh kebudayaan lama. Sementara keramik yang menempel
pada dinding memperlihatkan pengaruh budaya Cina dan Eropa.
Pada bagian mihrab dihiasi dengan keramik yang indah. Lengkung pada
mihrab pun yang berbentuk paduraksa juga memperlihatkan pengaruh budaya
lama. Di Masjid Merah Panjunan ini tidak ada mimbar, karenanya hanya
digunakan untuk sholat sehari-hari, tidak untuk ibadah sholat Jumat,
atau sholat berjamaah di Hari Raya Islam.
Tampak muka Masjid Merah Panjunan yang terbuat dari susunan batu bata
merah yang pintu gapuranya memperlihatkan pengaruh Hindu dari zaman
Majapahit yang banyak bertebaran di daerah Cirebon. Gapura yang susunan
batanya berwarna merah memberikan nama tengah kepada masjid ini. Adalah
Panembahan Ratu yang merupakan cicit Sunan Gunung Jati yang membangun
tembok keliling bata merah setinggi 1,5 m dan ketebalan 40 cm pada tahun
1949.