Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes,
adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua
tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal
dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri.
Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk
beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi
keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian.
Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para
santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana
terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari
Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk
Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang
di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa,
sedangkan di Minangkabau disebut surau.
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran
agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan
ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang
ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para
santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di
suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya.
Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah
inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah Kyai.
Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya
itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama
supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum
memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para
santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah
gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah
kyai. Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang
didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok
pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya
seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.
Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik
bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di
Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang
kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan
Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia,
menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan
nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa
(Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik
santri untuk belajar.
Tidak ada data resmi tentang kapan pondok pesantren pertama muncul di
Indonesia. Namun dari catatan para sejarawan, pesantren mulai dikenal di
Nusantara sejak masuknya Islam di Indonesia. Menurut para ahli, pondok
pesantren sebagai sebuah model lembaga pendidikan Islam mulai dikenal di
Pulau Jawa sekitar permulaan abad ke-15 atau kurang lebih 500 tahun
yang lalu. Selama kurun waktu hampir setengah milenium itu, lembaga
pesantren telah mengalami banyak perubahan di berbagai segi dan telah
memainkan berbagai macam peran strategis dalam masyarakat dan bangsa
Indonesia.
Pada era walisongo, peranan terpenting dari pondok pesantren tampak
dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Pesantren dengan figur kiayi
atau wali juga memiliki kekuatan politis untuk melegitimasi sebuah
kekuasaan seperti yang terjadi pada kasus kerajaan Demak dan Pajang.
Peran politis tersebut semakin menguat pada zaman penjajahan Belanda,
dimana hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda
bersumber atau paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren.
Adapun perkembangan pondok pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan
tertua di Indonesia mulai menjamur khususnya di tanah Jawa sejak abad
ke-17. Keberadaan pesantren dalam sejarah Indonesia telah melahirkan
hipotesis yang barangkali memang telah teruji, bahwa pesantren dalam
perubahan sosial bagaimanapun senantiasa berfungsi sebagai “platform”
penyebaran dan sosialisasi Islam.
Nurcholish Madjid, menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna
keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata "pesantren"
mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren.
Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri"
yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti
seorang yang mengikuti gurunya kemana pun pergi.
Dalam perkembangannya, pesantren tetap kokoh dan konsisten mengikatkan
dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengembangkan
nilai-nilai Islam. Realitas ini tidak saja dapat dilihat ketika
pesantren menghadapi banyak tekanan dari pemerintah kolonial Bbelanda,
namun pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan pesantren justru dihadapkan
pada suatu tantangan yang cukup berat yaitu adanya ekspansi sistem
pendidikan umum dan madrasah modern. Di tengah kondisi yang demikian, di
mana masyarakat semakin diperkenalkan dengan perubahan-perubahan baru,
eksistensi lembaga pendidikan pesantren tetap saja menjadi alternatif
bagi pelestarian ajaran agama Islam. Pesantren justru tertantang untuk
tetap survive dengan cara menempatkan dirinya sebagai lembaga yang mampu
bersifat adaptatif menerima dinamika kehidupan.
Dalam perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk pendidikan di pesantren
ini, kini sangat bervariasi, yang dapat diklasifikasikan sedikitnya
menjadi lima tipe, yaitu:
(1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal yang menerapkan
kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs,
MA dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD,
SLTP, SMU, SMK, dan Perguruan Tinggi Umum), seperti pesantren Tebu Ireng
Jombang, pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak dan pesantren Syafi’iyyah
Jakarta.
(2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk
madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum
nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo, pesantren Maslakul Huda
Kajen Pati (Matholi’ul Falah) dan Darul Rahman Jakarta.
(3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk
madrasah diniyah, seperti pesantren Salafiyah Langitan Tuban, Lirboyo
Kediri dan pesantren Tegalrejo Magelang.
(4) Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta’lim), dan
(5) Kini mulai berkembang pula nama pesantren untuk asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa.
Maraknya pendidikan pesantren tipe ke-5 (Pesantren Mahasiswa) yang
muncul sejak dekade 80-an ini sebenarnya menjadi sebuah fenomena yang
sangat menarik untuk dicermati. Hal ini bukan saja karena usia
kelahirannya yang masih relatif muda, akan tetapi manajemen atau
pengelolaan pesantren mahasiswa memiliki spesifikasi tersendiri. Berbeda
dengan pesantren pada umumnya yang rata-rata menyelenggarakan
pendidikan keagamaan untuk jenjang pendidikan dasar sampai menengah
saja.
Di tengah dinamika sistem kehidupan dunia yang mulai meninggalkan
nilai-nilai moral dan pranata sosial, tampak jelas geliat
lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren menyiapkan peserta
didiknya menjadi manusia yang tidak saja memiliki kompetensi keilmuan
dan life skill yang memadahi, namun juga menjunjung tinggi aspek moral
sebagai landasan berpijak. Pesantren adalah tempat dimana calon-calon
pengemban amanah negara tumbuh dan belajar membekali diri dengan
menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual untuk menyongsong
hiruk-pikuk masa depan. Kekuatan elit pesantren tidak diragukan lagi
sebagai bagian integral dari kelompok agent of change diharapkan mampu
memberikan kontribusi bagi pencerahan masyarakat.
Berdasarkan fakta-fakta historis, sangat sulit dipungkiri keterlibatan
pondok pesantren dalam membentuk dan mencerdaskan bangsa Indonesia.
Namun perkembangan konstelasi politik dan sistem pendidikan di Indonesia
telah sedikit banyak mengkaburkan peran tersebut sehingga seakan-akan
pondok pesantren tidak memiliki kontribusi yang memadai bagi lahirnya
Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat serta
berketuhanan.
Tulisan ini secara ringkas mencoba untuk mengidentifikasi fakta-fakta
historis peranan pondok pesantren bagi bangsa Indonesia sejak zaman pra
kolonial hingga era reformasi. Kemudian fakta-fakta tersebut akan dicoba
untuk dianalisa guna menjelaskan sumbangsih pondok pesantren dalam
perjalanan bangsa ini.
Gambaran Umum Pesantren
Sejarah Singkat Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
Pondok Pesantren sejatinya merupakan fenomena pendidikan Islam klasik
yang terdapat sejak dari Aceh hingga Nusa Tenggara, yang muncul sejak
abad ke 15, dengan berbagai nama seperti dayah (Aceh), pondok (Jawa
Barat), nyantren (Madura), pesantren (Jawa Tengah dan Jawa Timur), dan
sebagainya. Meski demikian, dalam perjalanan sejarahnya, pondok
pesantren lahir dan berkembang sebagai pembebas masyarakat dari
keterbelengguan pendidikan (agama), sosial, ekonomi, politik dan
didirikan sebagai bagian dari adaptasi budaya komunitasnya terhadap
tantangan modernitas.
Pesantren sendiri pada dasarnya berari tempat belajar para santri,
sedangkan pondok berarti tempat tinggal sederhana yang terbuat dari
pohon bambu. Kata pondok bersal dari bahasa Arab “فندوق”yang berarti
Hotel atau Asrama yang secara terminologis maknanya adalah lembaga
pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan
pengajarannya diberikan dengan cara non klasikal (sistem sorongan dan
bandongan) oleh seorang Kiai dengan kitab-kitab klasik (kitab kuning)
dan santri tinggal di dalam pondok atau asrama pesantren.
Pesantren merupakan pelopor sistem pendidikan Islam di Indonesia,
didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini dapat
dilihat dari perjalanan sejarah dimana bila diruntut kembali,
sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah
Islamiyah yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus
mencetak kader-kader ulama dan da’i.
Menurut Suryadi Siregar, terdapat dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di Indonesia
Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi
Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Menurut pendapat ini, pesantren
mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum
sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia
pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini
ditandai oleh terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang
melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat
yang disebut kiai atau mursyid mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan
suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal
bersama, sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melaksanakan
ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai.
Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk
penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri dan kanan
masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu
juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan agama
Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini
kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga
pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pesantren.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa pondok pesantren yang kita kenal
sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem
pesantren yang sudah lebih dahulu diadakan oleh orang-orang Hindu di
Nusantara.
Kesimpulan ini berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke
Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negri ini. Pendirian pesantren
pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan agama Hindu dan
tempat membina kader. Anggapan lain mempercayai bahwa pesantren bukan
berasal dari tradisi Islam alasannya adalah tidak ditemukannya lembaga
pesantren di negara-negara Islam lainnya, sementara lembaga yang serupa
dengan pesantren banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu dan Budha,
seperti di India, Myanmar dan Thailand.Tampaknya dalam permasalahan ini
pendapat yang terakhirlah yang lebih kuat secara historis.
Pesantren dalam pengertian sebagai sebuah lembaga pendidikan dan
pengembangan agama Islam di tanah air, khususnya di Pulau Jawa, dimulai
dan dipelopori oleh Walisongo pada awal abad ke-15. hal ini karena model
pesantren di Pulau Jawa pertama kali didirikan oleh Syekh Maulana Malik
Ibrahim atau Syekh Maghribi, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 882 H
bertepatan dengan 8 April 1419M. Syekh Maulana Malik Ibrahim dikenal
juga dengan nama Sunan Gresik dimana beliau adalah orang pertama dari
sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.
Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan
mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden
Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren Kembang Kuning, yang pada
waktu didirikan hanya memiliki tiga santri, yaitu Wiryo Suroso, Abu
Hurairoh dan Kyai Kebang Kuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta,
Surabaya, dan mendirikan pondok pesantren di sana
Sedangkan Mastuhu berpendapat bahwa kapan pesantren pertama kali didirikan dan oleh siapa, tidak ada keterangan yang pasti.
Dan hasil pendataan pendataan Departemen Agama pada tahun 1984-1985,
diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062,
atas nama Pesantren Tan Jampes II di Pamekasan, Madura. Tetapi hal ini
juga diragukan karena tentunya ada Pesantren Tan Jampes I yang sudah
pasti lebih tua, dan dalam buku Departemen Agama tersebut banyak
dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian. Jadi, mungkin mereka
memiliki usia yang lebih tua. Mastuhu menambahkan bahwa pesantren telah
mulai dikenal di bumi nusantara ini dalam periode abad ke-13 sampai 17
M, dan di Pulau Jawa pada abad ke-15 sampai 16 M. Melalui data sejarah
tentang masuknya Islam di Indonesia, yang bersifat global atau makro
tersebut, sangat sulit menentukan tahun berapa dan dimana pesantren
pertama kali didirikan.
Pesantren di Indonesia dalam perkembangannya mengajarkan berbagai kitab
Islam klasik dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf. Pesantren ini
kemudian menjadi pusat pusat penyiaran Islam seperti; Syamsul Huda di
Jembrana (Bali) Tebu Ireng di Jombang, Al Kariyah di Banten, Tengku Haji
Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdlatul Wathan di Lombok,
Asadiyah di Wajo (Sulawesi) dan Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di
Matapawa (Kalimantan Selatan) dan banyak lainnya.
Walaupun tiap pesantren mempunyai ciri yang khas, namun ada 5 prinsip dasar pendidikannya, yang tetap sama yaitu;
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai
2. Santri taat dan patuh kepada kyainya, karena kebijaksanaan yang dimiliki oleh kyai
3. Santri hidup secara mandiri dan sederhana
4. Adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan
5. Para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat
Saat ini, secara garis besar ada dua tipologi pondok pesantren yang
tetap eksis di Indonesia. Yang perama tipe tradisional (salaf) dan yang
kedua pesantren tipe modern (kholaf) dalam arti sudah memadukan sisem
pesantren dengan sistem pendidikan sekolah moderen atau madrasah dan
memuat kurikulum pelajaran umum. Menurut Gus Dur, ciri pesantren
tradisional adalah cara pemberian pengajaran yang ditekankan pada
penangkapan harfiah atas suatu kitab tertentu. Orientasinya adalah
menyelesaikan pembacaan kitab tersebut untuk kemudian dilanjutkan pada
kitab yang lain. Dalam pesantren tipe tradisional ini banyak pendidikan
yang pengajarannya di luar kurikulum formalnya, pengajaran tambahan yang
senantiasa berubah-ubah formanya dari waktu ke waktu. Karena itu tidak
didapati suatu mekanisme pendidikan yang pasti, yang ada hanyalah
kesadaran tunggal bahwa pengajaran harus dilakukan dan diberikan secara
berjenjang dengan kitab-kitab yang sudah tersedia.
Unsur-unsur Pesantren
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak
diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah danrangkang di Aceh, surau
di Sumatra Barat, danpondok pesantren di Jawa. Pondok pesantren di
Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis
pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan,
jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi.
Adapun unsur-unsur pokok yang membedakan pondok pesanren dengan lembaga
pendidikan lainnya adalah:
Pemondokan (asrama)
Pada awal perkembangannya pondok tidak semata-mata digunakan untuk
mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Kyai tetapi juga sebagai tempat
latihan bagi santri agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Istilah
‘pondok’ secara terminologi adalah tempat sederhana yang merupakan
tempat tinggal kyai bersama para santrinya. Di Jawa, besarnya pondok
tergantung pada jumlah santrinya dan tanpa memperhatikan berapa jumlah
santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri
laki-laki.
Komplek sebuah pemondokan di pesantren biasanya terdapat gedung-gedung
seperti asrama santri, rumah kyai, perumahan ustad, gedung madrasah,
lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian, dan lahan
pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai
dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk
mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Pemondokan didirikan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri dan
sekaligus sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan
ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam
masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri,
mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara kebersihan
dan ketertiban lingkungan pondok
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan
sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti
sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem
yang digunakan di Afghanistan.
Masjid
Keberadaan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar.
Masjid merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi
sebagai tempat melakukan sholat Jama’ah setiap waktu sholat, juga
berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Pendidikan Islam dan masjid
sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia karena
dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah
dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat
kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid
merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi
masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang
paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek
sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik.” Biasanya bangunan masjid inilah yang
pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah
pesantren..
Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah
pondok pesantren karena dalam sebuah pondok pesantren harus ada murid
yang datang untuk belajar dari seorang guru. Kalau murid itu sudah
menetap di rumah seorang guru, barulah si guru itu bisa disebut kyai dan
mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Biasanya santri terdiri dari dua kelompok yaitu Santri Mukim yang
biasanya berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok
pesantren dan Santri Kalong yang berasal dari daerah-daerah di sekitar
sehingga idak perlu inggal di pondokan dan biasanya mereka tidak menetap
dalam pesantren, tetapi mereka pulang kerumah masing-masing setiap
selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren
yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus
penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi
sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren.
Kyai
Istilah “kyai” bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa
Jawa. Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar
yang berbeda, yaitu:
(1).sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat;
contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang
ada di Kraton Yogyakarta;
(2). gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya;
(3). gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab
Islam klasik kepada para santrinya.
Kyai sebagai tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran.
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan
pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling
esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren
banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan
wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat
menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren. Pada akhirnya
memang kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu
pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu,
kharismatik dan wibawa serta keterampilan kiai yang bersangkutan dalam
mengelola pesantrennya.
Kitab kuning
Adanya kitab-kitab Islam klasik yang dikarang para ulama terdahulu.
Perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi ciri setiap pesantren khususnya
NU adalah pengajian kitab kuning, yaitu kitab yang berisi ilmu-ilmu
keislaman yang ditulis dengan huruf Arab tanpa tanda baca sehingga
disebut juga sebagai “Kitab Gundul”.
Kitab-kitab kuning yang dipelajari di pesantren adalah kitab-kitab
klasik yang dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran
mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Pada
masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya
pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Namun
sekarang ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran
pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan
pesantren. Meskipun begitu, porsi pengajaran kitab-kitab Islam klasik
masih diberi ruang yang paling tinggi. Pada umumnya, pelajaran kitab
dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan
kitab-kitab yang lebih mendalam, bahkan tingkatan suatu pesantren bisa
diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.
Biasanya dalam dunia pesantren setidaknya ada delapan macam bidang
pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, yaitu:
1.nahwu dan saraf (morfologi);
2.fiqh;
3.usul fiqh;
4.hadis;
5.tafsir;
6.tauhid;
7.tasawwuf dan etika; dan
8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.
Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat
ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang
diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama.
Sistem Pendidikan Pondok Pesantren:
Pada masa lalu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah
sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru,
dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam
hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari.
Tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi
embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti
bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti
sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam
waktu yang lebih lama.
Pola pendidikan dalam pondok pesantren memiliki dua sistem pengajaran,
yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem
bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan
sistemsorogan, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara
langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan
dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán
dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini
menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid.
Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat
mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren.
Adapun sitem bandongan atau wetonan merupakan sistem transformasi ilmu
yang utama dalam sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Dalam sistem
ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab.
Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya
sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Sistem
sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk
santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Pesantren sekarang ini dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu
pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren
tradisional sering disebut sistem salaf. Yaitu sistem yang tetap
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem
pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem
tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
Proses modernisasi pondok pesantren saat ini ditujukan untuk
menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren.
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan
baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan.
Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk:
mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas
perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di
pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai
pusat pengembangan masyarakat.
Pondok Pesantren dalam Perjalanan Bangsa Indonesia
Peran Pesantren pada Masa Pra Kolonial
Sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, wujud pondok
pesantren di Nusantara hampir bersamaan dengan datangnya umat Islam
dinegeri ini. Karenanya peran pesantren dalam membangun negeri ini
sebernarnya sama dengan peran Islam itu sendiri. Peran Islam dalam
membangunkan dunia Melayu sudah terbukti secara historis. Dalam teori
Prof. Naquib al-Attas tentang Islamisasi masyarakat Melayu, Islam datang
dengan membawa pandangan hidup baru yang ditandai oleh munculnya
semangat rasionalisme dan intelektualisme. Pandangan hidup baru ini
kemudian merubah pandangan hidup bangsa Melayu-Indonesia yang sebelumnya
dikuasai oleh dunia mitologi.
Islam mampu menjadi pandangan hidup bagi sebagian besar bangsa Indonesia
setelah melalui proses transformasi konsep-konsep ke dalam pikiran
masyarakat, dan pemahaman suatu konsep hanya effektif dilakukan melalui
proses belajar mengajar. Pesantren dalam hal ini telah sukses berperan
aktif dalam transformasi konsep-konsep penting dalam Islam ke
tengah-tengah masyarakat pada waktu itu. Hal ini berbeda dengan agama
Hindu yang tidak mempunyai peran dalam pembinaan spiritual masyarakat
awam yang kebanyakan dari kasta rendah. Sebagai contoh di Sumatera,
yang pernah dikenal sebagai pusat berkumpulnya para pemikir Hindu,
misalnya, pandangan hidup Hindu hampir tidak tersentuh oleh kasta sudra
yang merupakan masyarakat awam. Karena itulah pada masa kekuasaan
kerajaan Hindu banyak anggota masyarakat kelas awam yang tertarik pada
pandangan hidup Islam yang lebih egaliter.
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa salah satu peran
terpenting dari pondok pesantren pada zaman pra kolonial dalah sebagai
agen perubahan sosial yang mampu merubah pandangan hidup bangsa
Indonesia khususnya dari hal yang statis dan mistis menuju pola
pandangan hidup yang dinamis, rasional dan progresif yang disebut dengan
proses Islamisasi. Pada gilirannya nanti, rasionalitas dan dinamisasi
inilah yang kemudian memicu bangsa Indonesia untuk tergerak menentang
segala bentuk kolonialisme di bumi Nusantara.
Peran pesantren yang juga menonjol bagi perjalanan bangsa Indonesia pada
periode ini adalah fungsinya sebagai lembaga da’wah syiar agama Islam.
Terbukti dalam sejarah bahwa pondok pesantren telah menjadi ujung tombak
dalam mengenalkan Islam kepada bangsa Indonesia yang pada gilirannya
nanti terbukti bahwa Islam sebagai sebuah agama telah menjadi unsur
perekat bangsa Indonesia sekaligus sebagai unsur terpenting dari
munculnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada masa pra kolonial ini, kita mengenal pesantren Giri di Gresik
bersama institusi sejenis di Samudra Pasai yang menjadi pusat penyebaran
keislaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel
Denta menjadi tempat para Wali menempa diri yang diantaranya mereka
kemudian disebut wali Songo yang masyhur dalam penyebaran Islam
khususnya di Jawa. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri
Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur
lainnya. Di Makassar inilah kemudian lahir Syekh Yusuf, ulama besar dan
tokoh pergerakan bangsa yang namanya masyhur di Makassar, Banten,
Srilanka hingga Afrika Selatan.
Peran pesantren yang lain pada periode ini yaitu sebagai sebuah lembaga
pendidikan yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari keterbelakangan
dan berupaya mencerdaskan bangsa. Kemunculan pesantren sungguh telah
menjadi awal munculnya pencerdasan bangsa Indonesia, sebab melalui
pesantren inilah bangsa Indonesia mulai mengenyam pembelajaran baik
keagamaan maupun cara bermasyarakat dan bernegara.
Pesantren dianggap berhasil mengenalkan sistem bahasa Arab Melayu sampai
pada masyarakat kelas bawah. Dengan kata lain pesantren merupakan
lembaga pendidikan Indonesia pertama yang mampu membuka isolasi kultural
dengan dunia luar secara luas. Pada gilirannya nanti bahasa Arab Melayu
dengan huruf “pegon” telah menjadi alat pemersatu dan sekaligus sebagai
alat atau media ekspresi para ilmuwan dan pujangga di tanah Melayu dan
Indonesia. Saat ini pun kita masih bisa menjumpai hasil karya di bidang
sastra yang luar biasa tinggi nilainya yang ditulis dengan aksara pegon.
Peran Pesantren pada Masa Kolonial
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, penyebaran ajaran Islam
merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Begitu pula yang
terjadi ketika Belanda mulai bercokol di bumi Nusantara, penyebaran
Islam dan pendidikan Islam masih menjadi salah satu peran pokok dari
pondok pesantren. Namun disamping itu, pada masa awal penjajahan Belanda
banyak tokoh-tokoh pesantren yang terpanggil menjadi tokoh-tokoh
perjuangan bangsa Indonesia dan gigih terlibat dalam berbagai perlawanan
menentang Belanda. Sebagai contoh misalnya dalam perang Dipenogoro di
Jawa -selain Pangeran Diponegoro sendiri adalah santri beliau juga
dibantu oleh Kyai Mojo dan Sentot Prawirodirjo yang merupakan elit
pesantren. Mereka bahu membahu menentang penjajah Belanda yang dalam
pemahaman mereka adalah kafir.
Selain Pangeran Diponegoro, kasus yang hampir sama terjadi pada Perang
Paderi dengan tokoh sentralnya Imam Bonjol yang juga tergolong dari kaum
santri. Perang Aceh mengenalkan kita pada Teuku Umar, Cut Nyak Dien,
Cut Nyak Muthia, Panglima Polim, Teuku Cik Di Tiro dan kawan-kawan yang
kesemuanya merupakan didikan dayah di Aceh. Bahkan yang paling akhir
kita mengenal KH. Zenal Mustofa dari Tasikmalaya dengan santrinya
memberontak penjajah Jepang, sehingga banyak diantara mereka yang gugur
di medan perang menjadi syuhada. Kemudian ketika Jepang memobilisir
tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kyai dan
santri mendirikan tentara Hizbullah dan Sabilillah sebagai bentuk
manifestasi jihad melawan kekafiran. Laskar Hizbullah dan Sabilillah
kemudian yang berkontribusi pada terbentuknya BKR dan TKR yang
merupakan cikal bakal TNI.
Pesantren yang hadir hingga di pelosok-pelosok pedesaan, mampu
mengembangkan masyarakat Muslim yang solid, yang pada gilirannya
berperan sebagai kubu pertahanan rakyat dalam melawan penjajah.
Masyarakat Muslim yang solid ini kelak menjadi modal yang kuat bagi
persatuan bangsa Indonesia sehingga bangsa ini bisa berdiri sebagai
bangsa yang merdeka.
Pengaruh kyai dari pesantren ternyata tidak hanya terbatas pada
masyarakat awam, tapi juga menjangkau istana-istana. Kiai Hasan Besari,
dari pesantren Tegalsari Ponorogo, misalnya berperan besar dalam
meleraikan pemberontakan di Keraton Kartasura. Bukan hanya itu,
pesantren dulu juga mampu melahirkan pujangga. Raden Ngabehi
Ronggowarsito adalah santri Kiai Hasan Besari Tegalsari yang berhasil
menjadi Pujangga Jawa terkenal.
Pada awal abad ke-20 Kyai Kholil, Bangkalan-Madura mendorong dan
merestui KH Hasyim Asy'ari untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun
menjadi organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia.
Di jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan KH Hasyim Asy'ari di
Makkah, yaitu KH Ahmad Dahlan pun mengambil peran yang kemudian
mempengaruhi kelahiran "pesantren moderen" .
Awal abad ke-20 antara tahun 1900-1930 adalah periode kebangkitan
intelektual di wilayah yang kemudian disebut sebagai Nusantara. Pada
periode ini berdirilah Syarekat Islam (sebelumnya Syarekat Dagang Islam)
yang di arsiteki H. Samanhudi dan HOS Cokroaminoto yang lagi-lagi orang
pesantren. Bahkan menurut banyak sumber, kelahiran Syarekat Dagang
Islam sebagai sebuah organisasi nasional lebih dahulu dari pada Budi
Utomo. Pada periode ini berdiri pula beberapa pesantren seperti
Pesantren Salafiyah Syafi’iah Situbondo (1914), Pesantren Cipasung
(1931), Pesantren DDI (Darul Dakwah wal Irsyad) Mangkoso (1939) dan
sebagainya. Pondok-pondok tersebut lahir dan berkembang sebagai respon
atas hegemoni kolonial Belanda yang tidak memberi kesempatan masyarakat
untuk mendapatkan hak-hak dasarnya, terutama hak memperoleh pendidikan.
Menurut K.H. Miscbach, seorang tokoh dari kalangan ulama, dalam Mubes I
Ittihad al-Ma’ahid Islamiyah pada tanggal 2-3 Agustus 1969 ia mengatakan
bahwa pesantren merupakan kubu pertahanan mental masa-masa kolonialis
Belanda. Artinya, pesantren tidak hanya sebagai lembaga pertahanan fisik
terhadap intimidasi dan senjata penjajah, namun pesantren juga menjadi
kubu pertahanan yang bersifat mental ataupun moral. Pemikiran Snouck
Hurgronje yang berupaya mengasimilasikan kebudayaan Indonesia dengan
Belanda tidak mencapai keberhasilan karena sistem pertahanan masyarakat
Indonesia saat itu dominan dipengaruhi pesantren. Tentu, ini dikarenakan
tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi dengan budaya
Barat, dalam hal ini Belanda sebagai penjajah.
Pesantren juga sukses dalam memberantas buta huruf pada masyarakat akar
rumput di masa penjajahan dengan mengenalkan sistem bahasa Arab Melayu.
Di lain hal, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis
masyarakat muslim Indonesia yang pertama membuka isolasi kultural dengan
dunia luar. Hal ini adalah bentuk kemampuan pesantren dalam
mengaktualkan bahasa Arab. Turunannya adalah membuka wacana bangsa
hingga dapat berinteraksi dengan dunia dan keilmuan yang lebih luas.
Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren berhasil melahirkan
tokoh-tokoh ulama, zuama’, bahkan politikus kaliber internasional.
Peran Pesantren pada Masa Kemerdekaan
Di zaman pergerakan pra-kemerdekaan, peran para elit pesantren juga
sangat menonjol, lagi-lagi melalui alumninya. HOS Cokroaminoto pendiri
gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya, adalah
juga alumni pesantren. KH. Mas Mansur, KH.Hasyim Ash’ari, KH. Ahmad
Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir dan beberapa orang lagi
adalah alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat yang sangat
berpengaruh. Di tengah masyarakat mereka adalah guru bangsa, tempat
merujuk segala persoalan di masyarakat. Di tengah percaturan politik
menjelang kemerdekaan Republik Indonesia peran mereka tidak diragukan
lagi.
Pada masa pasca Kemerdekaan Indonesia, munculah para tokoh pendidikan
seperti Ki Hasyim ‘Asy’ary dari Nahdlatul Ulama, Mohammad Dahlan dari
Muhammadiyyah, KH. Agus Salim, HOS. Cokroaminoto (guru dari Soekarno,
Tan Malaka, dan Kartosuwiryo) serta banyak lagi yang lainnya. Mereka
semua adalah para tokoh jebolan pesantren yang begitu besar jasanya
terhadap kemerdekaan dan konsen pada pengembangan pendidikan di
Indonesia.
Dalam konteks mempertahankan kemerdekaan, sejarah perjuangan bangsa
Indonesia mencatat sebuah peristiwa dahsyat di Surabaya pada tanggal 10
November 1945. Hari tersebut saat ini diperingati sebagai hari pahlawan.
Dalam peristiwa tersebut Sutomo yang didukung oleh arek-arek Surabaya
berjuang mati-matian mempertahankan setiap jengkal tanah air. Bahkan KH.
Hasyim Asy’ari pada tanggal 20 November 1945 mengeluarkan fatwa
Resolusi Jihad untuk mempertahankan tiap jengkal tanah air Indonesia.
Keterlibatan pesantren dan kaum santri dalam peristiwa-peristiwa
perlawanan terhadap penjajah sangat sulit untuk dipungkiri, cuma sangat
disayangkan bahwa dalam penulisan sejarah peran mereka sepertinya
sengaja dimarjinalkan.
Pada perkembangan selanjutnya, alumni-alumni pesantren terus memainkan
perannya dalam mengisi kemerdekaan. Mohammad Rasyidi, alumni pondok
Jamsaren adalah Menteri Agama RI pertama, Mohammad Natsir alumni
pesantren Persis, menjadi Perdana Menteri, KH.Wahid Hasyim, alumni
pondok Tebuireng, KH.Kahar Muzakkir dan lain-lain menjadi Panitia
Persiapan Kemerdekaan; KH. Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi
alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham
Khalid menjadi wakil Perdana Menteri dan ketua MPRS. Ditambah lagi dari
kalangan 'moderen' sempat menyumbangkan tokoh-tokoh penting di
pemerintahan, seperti Mukti Ali di lingkup Departemen Agama, Muhammad
Natsir yang pernah menjadi perdana menteri, serta Syafrudin
Prawiranegara yang sempat menjadi perancang ekonomi nasional maupun
perdana menteri. Singkatnya, di awal-awal kemerdekaan RI para kyai dan
alumni pesantren berpatisipasi hampir di setiap lini perjuangan bangsa.
Perlu dicatat bahwa jabatan-jabatan itu bukan diraih untuk tujuan
politik sesaat, tapi untuk sarana membela dan memperjuangkan agama,
negara dan bangsa.
Peran Pesantren pada Masa Orde Lama
Pada Orde Lama dimana Soekarno semakin nampak sebagai seorang diktator
sejak ia diangkat menjadi presiden seumur hidup. Sebenarnya, sedikit
banyak ada juga peran dari pesantren dalam proses pencitraan Soekarno
yang kemudian berhasil menjadi penguasa mutlak di Indonesia. Elit
pesantren NU bahkan pada tahun 1954 malah menyematkan gelar waliyul
amri adh dhorury bi asy syaukah bagi Soekarno yang berarti menambah
legitimasi kekuatannya. Keputusan ini sangat ditentang oleh Masyumi dan
pesantren-pesantren yang menyokongnya sebab bisa menghalangi perjuangan
untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara yang akan diperjuangkan
dalam sidang konstituante.
Pada masa Soekarno menggalakkan ideologi yang saling bertentangan, yaitu
Islamisme, Nasionalisme dan Komunisme (Nasakom), maka kyai-kyai NU
kemudian mengambil jalan tengah mendukung konsep Nasakom yang digagas
oleh Soekarno yang saat itu benar-benar sebagai penguasa mutlak.
Kyai-kyai NU juga mendukung terhadap keputusan Presiden Soekarno untuk
melakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai cara untuk mengakhiri
perdebatan di dalam Sidang Konstituante yang berlarut-larut selama 3,5
tahun. Perdebatan di Dewan Konstituante memang sangat meruncing dan
cukup mengkhawatirkan bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Perdebatan ini
akhirnya tidak menghasilkan keputusan tentang dasar negara apakah
Islam, Komunisme atau Pancasila. Menurut Soekarno, Dekrit Presiden untuk
kembali ke Pancasila, UUD 1945 dan NKRI merupakan keputusan yang harus
diambil karena menghindarkan keterpecahbelahan kesatuan dan persatuan
bangsa.
Adapun pesantren-pesantren lainnya yang tidak berafiliasi ke NU justru
kebanyakan berada di luar lingkaran pemerintahan dan tidak mau
berkompromi dengan keberadaan PKI di bumi Indonesia yang berketuhanan.
PKI dalam mainstream mereka adalah kumpulan orang-orang kafir yang
menghinakan agama. Pesantren-pesantren yang semacam inilah yang kemudian
menjadi korban dan target sasaran PKI dalam menjalankan agenda-agenda
politiknya. Banyak tokoh-tokoh ulama yang kritis terhadap Nasakom dan
para kyai langgar yang menjadi korban pembantaian PKI. Kekuatan
pesantren oposisi inilah yang kemudian merapat mendekati Angkatan Darat
karena mempunyai misi yang hampir sama.
Dalam perkembangannya, ternyata PKI sebagai salah satu kekuatan Nasakom
melakukan kudeta berdarah dengan melakukan penculikan dan pembunuhan
terhadap para jendral angkatan darat yang mereka sebut sebagai anggota
Dewan Jendral. Tindakan ini sebenarnya blunder besar bagi perjalanan PKI
di Indonesia. Karena blunder tersebut, pencitraan PKI di masyarakat
memburuk dan oleh Angkatan Darat bersama dengan dukungan dari pesantren
berhasil menumpas PKI dan antek-anteknya di bumi pertiwi. Pada sekitar
tahun 1965 sampai 1967 ketika mahasiswa melalui KAMI, HMI, PII, dan
lainnya bergerak melalui demonstrasi besar-besaran menuntut pembubaran
PKI di Indonesia maka pesantren tidak mau ketinggalan dengan melakukan
penyadaran di tingkat grass root, bahkan mereka turut serta dalam
pembasmian anggota-anggota PKI.
Peran Pesantren pada Masa Orde Baru
Di era Orde Baru pembangunan fisik di segala bidang di galakkan oleh
Soeharto. Akan tetapi kekuatan Islam yang dahulu ikut menaikkannya ke
tampuk kekuasaan ternyata oleh Soeharto sengaja di marginalkan. Proses
marginalisasi peran politik ummat Islam semakin menjadi ketika
pemerintah memaksakan fusi bagi partai-partai Islam menjadi satu partai
yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Tokoh-tokoh partai Islam yang
kebanyakan berasal dari peantren kemudian balik ke ‘kandang’
masing-masing sehinggga pesantren berusaha menempatkan dirinya pada
wilayah yang netral, yang bersih dari efek pergesekan dengan dunia
politik. Meski demikian, terdapat pula beberapa pesantren yang tumbuh
sebagai identitas keIslaman yang berbeda suara dengan pemerintah. Pada
periode ini lahir beberapa pesantren seperti Pesantren Istiqlal
Ciranjang Cianjur (1963), Pesantren al-Mukmin Ngruki (1967), Pesantren
Darul Istiqomah Maccopa Maros (1967), dan Pesantren Qomarul Huda Bagu,
Lombok Tengah (1972)
Pada periode 1980-an, pesantren lebih banyak mencerminkan peran
sosialnya, terutama sebagai penguat masyarakat sipil ditengah hegemoni
negara yang mencengkeram kuat rakyatnya, adapun peran politiknya bisa
dikatakan terkebiri sejak LB Moerdani dan Ali Murtopo menjadi orang
penting di ring I Soeharto. Pada periode ini lahir pesantren-pesantren
seperti Pondok Modern Muhammadiyah (1983), Pesantren Edi Mancoro
Salatiga (1984) dan sebagainya.
Pada masa Orde Baru ini, ditengah kekuasaan yang hegemonic, kalangan
pesantren secara umum mengambil sikap oposisi terhadap kekuasaan karena
banyak kebijakan-kebijakan LB Moerdani dan Ali murtopo yang sengaja
menyudutkan umat Islam. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa masyoritas
masyarakat pesantren tidak berafiliasi terhadap partai mayoritas. Namun
peran yang lebih tegas ditunjukkan pasca tahun 1984 dimana kalangan
pesantren mulai menjadi tempat persemaian kekuatan masyarakat sipil.
Gerakan pemberdayaan masyarakat melalui pesantren mulai gencar
dilakukan. Relasi yang awalnya oposisi mutlak dengan penguasa mengalami
dinamisasi menjadi lebih taktis. Dengan cara yang demikian tanpa
mengurangi kemandirian dan kekritisannya pesantren dapat bekerjasama
dengan pemerintah untuk tujuan pemberdayaan masyarakat.
Pada periode ini beberapa pesantren besar mengalami penurunan jumlah
santri secara signifikan dikarenakan adanya peraturan dari pemerintah di
bidang pendidikan yang tidak mengakui ijazah pesantren. Hal ini tidak
lantas mematikan pesantren dan perannya di dalam masyarakat, tetapi
justru banyak pesantren yang kemudian berlomba-lomba menyesuaikan diri
dengan membangun madrasah-madrasah yang diakui pemerintah dan tentunya
mengajarkan ilmu-ilmu umum selain ilmu keagamaan. Animo masyarakat untuk
sekolah di madrasah-madrasah di bawah pesantren pun ternyata luar biasa
besarnya, sehingga pesantren tidak sampai kehilangan fungsi dan peran
khusunya di ranah pendidikan.
Ketika pengetahuan agama dan umum sama-sama diajarkan di pesantren,
maka sebaran distribusi alumni pesantren menjadi semakin luas. Banyak
santri yang kemudian melanjutkan studinya ke perguruan tinggi umum non
perguruan tinggi agama Islam. Para santri ini kemudian mengembangkan
kajian-kajian agama secara informal dan intensif yang melibatkan
mahasiswa-mahasiswa yang tidak memilik background agama. Pada akhir
70-an dan awal 80-a, kajian-kajian tersebut kemudian menguatkan
pergerakan-pergerakan mahasiswa seperti HMI, PMII, IMM, LDK,
usrah-usrah, aktifitas masjid kampus dan lain-lain yang kesemuanya tidak
dapat dipisahkan dari peran dan kontribusi alumni-alumni pesantren.
Harus diketahui, bahwa pada periode ini tumbuhlah pemikir-pemikir Islam
kaliber Internasional yang berasal dari kaum santi seperti Nurcholis
Majid, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Musthofa Bisri di bidang budaya,
dan sebagainya. Pada gilirannya nanti, tokoh-tokoh di atas lah yang
dengan lantang berani mengemukakan isu-isu perubahan nasional dan isu
suksesi yang pada masa Soeharto adalah sesuatu yang tabu.
Peran Pesantren pada Masa Reformasi
Dari masa ke masa, ranah pendidikan tetaplah menjadi wilayah strategis
bagi pondok pesantren untuk menunjukkan perannya. Tapi, di era reformasi
para elit pesantren banyak yang terseret arus untuk terjun dalam
percaturan politik. Akibatnya banyak pesantren-pesantren yang secara
akademis “terlupakan” oleh para kyainya sendiri karena disibukkan oleh
kegiatan politik. Bahkan ada beberapa pesantren yang iklimnya “memanas”
gara-gara para elitnya berseberangan partai.
Kasus pesantren di Jawa Timur sangat unik karena banyak pesantren yang
para pengelolanya mengalami konflik internal karena di sebuah pesantren
saja ada Kyai yang di PKB, kemudian Kyai satunya di PKNU, satunya lagi
PPP, atau di Partai Golkar dan sebagainya. Kran demokrasi era reformasi
yang terbuka lebar seakan-akan menjadi kesempatan emas bagi para elit
pesantren untuk berkiprah di dunia politik dimana di era Orde Baru akses
untuk ini tertutup rapat.
Alam reformasi telah memunculkan sejumlah nama tokoh yang tidak lepas
dari peran pendidikan pesantren, baik langsung maupun tidak langsung.
Amien Rais, pendiri PAN dan mantan Ketua MPR; Abdurrahman Wahid, pendiri
PKB sekaligus mantan Presiden RI ke-4; Hidayat Nur Wahid, mantan
Presiden PKS sekaligus Mantan Ketua MPR; Hasyim Muzadi, mantan Ketua PB
NU dan Hamzah Haz mantan Wakil Presiden RI; Nurcholis Madjid, Rektor
Paramadina; dan selainnya adalah beberapa nama tokoh dari dunia
pesantren yang aktif berperan dalam pembangunan dan penataan kembali
bangsa Indonesia. Hal ini tidak saja menunjukkan kualitas pendidikan
pesantren dalam mencetak pemimpin dan tokoh-tokoh bangsa tapi
membuktikan besarnya kepedulian santri terhadap problematika bangsa ini.
Setelah lebih dari sepuluh tahun reformasi bergulir, sepanjang itu pula
pesantren berperan bagi pembangunan negara. Dalam kondisi seperti ini
posisi pesantren semakin diperhitungkan dalam interaksi riil sosial,
politik dan budaya. Dalam kancah politik, kaum santri tidak lagi menjadi
obyek dari kepentingan sesaat para politisi dan partai politik, akan
tetapi dinamika perpolitikan Indonesia diwarnai pula oleh politisi
santri yang tidak lagi malu dengan identitas kesantriannya, atau
munculnya partai-partai politik yang berbasis massa kaum sarungan
seperti PKB, PKU, PNU, PBR, PKNU dan sebagainya.
Jika kini beberapa gelintir
alumni pesantren dituduh terlibat dalam berbagai aksi terorisme, maka
tidak pada tempatnya jika kemudian peran dan potensi pesantren dalam
membangun bangsa ini, baik di masa lalu maupun di masa depan, dinafikan.
Jangan-jangan itu hanya rekayasa pihak-pihak yang takut dengan dominasi
pesantren di kancah perpolitikan nasional saat ini. Sehingga mereka
membuat berbagai fitnah untuk menyudutkan pesantren. Dalam menghadapi
isu-isu ini, pemerintah seharusnya tidak perlu lagi mempertanyakan apa
peran dan fungsi pesantren dalam membangun negara ini, yang justru perlu
dipertanyakan adalah apa yang telah dilakukan pemerintah dalam
membangun pesantren sebagai sebuah kekayaan bangsa yang orisinil.