Nasab dan kelahiran Imam Achmad
Beliau adalah Abu Abdillah Achmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin
Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf
bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli
asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar
bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi
Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota
Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau
dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang
paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika
beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke
wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan
Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani
‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah.
Disebutkan bahwa Hanbal dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah
binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam
mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk
mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati
sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang
sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan
syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai
semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar
mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu,
kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh
dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta
penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’,
ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di
al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke
ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan
tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau
dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap
memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan.
Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera
pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera
mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan
berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan
mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang
pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf,
murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16
tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari
syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan
mulazamahkepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy
hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau
bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits
lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke
Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling
menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama
perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i.
Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i
sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau
rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi
sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin
‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan
lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik,
tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan
saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah
menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya
itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah
tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang
berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua
ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama
mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap
menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.”Dan memang senantiasa
seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan
kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin.
Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil
darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah
mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah
dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan
lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu
sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180
saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab
tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh,
tentang yangmuqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang
jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-Manasik
ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah
wa az-Zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah,
kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal,
kitabal-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah,Fadha’il
ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada
hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad
menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada
Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda,
tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.”Setelah itu
pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah
al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau
lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih
(yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya)
dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.”
Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau
mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara
itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih
faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang
seperti Ahmad bin Hanbal.” Orang-orang bertanya kepadanya,“Dalam hal
apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang
lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000
masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada
kami,’ atau, ‘Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban
berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan
kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia
akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami.
Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.”
Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah
salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam
huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan
lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di
atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya.
Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama
rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan
khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai
kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan
orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim
memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit
kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai
penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani,
Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa.
Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam
akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat
menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah,
Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tazilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa,
terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi
Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan
pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari
sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari
pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa
kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan
Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak
tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada
seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan
oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata,
‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa
Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang
itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak
pernah dilakukan oleh seorang pun.’”Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan
kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha
menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya.
Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka
mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran,
al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian
tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan
bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan
warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan
pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak
dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama
tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat
kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap
konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah,
bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad
dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun
akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin
Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam
Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah
sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa
Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya,
al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan
pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut;
dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara
lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka
mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu
membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya
beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke
dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an
bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam
keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk
mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah.
Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam
dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras
dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad
dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan
kokohnya.
Imam Achmad dalam masalah Bid'ah Hasanah
Al-Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ulama mujtahid yang mengakui bid’ah
hasanah. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan fatwa beliau kepada
muridnya. Al-Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi
meriwayatkan dalam kitab al-Mughni (1/838):
قَالَ الْفَضْلُ بْنُ زِيَادٍ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ فَقُلْتُ:
أَخْتِمُ الْقُرْآنَ؛ أَجْعَلُهُ فِي الْوِتْرِ أَوْ فِي التَّرَاوِيْحِ؟
قَالَ: اجْعَلْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ حَتَّى يَكُوْنَ لَنَا دُعَاءٌ بَيْنَ
اثْنَيْنِ. قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: إِذَا فَرَغْتَ مِنْ آخِرِ
الْقُرْآنِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ وَادْعُ بِنَا
وَنَحْنُ فِي الصَّلاةِ وَأَطِلِ الْقِيَامَ. قُلْتُ: بِمَ أَدْعُوْ؟
قَالَ: بِمَا شِئْتَ. قَالَ: فَفَعَلْتُ بِمَا أَمَرَنِيْ وَهُوَ خَلْفِيْ
يَدْعُوْ قَائِمًا وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ. قَالَ حَنْبَلٌ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ
يَقُوْلُ فِي خَتْمِ الْقُرْآنِ: إِذَا فَرَغْتَ مِنْ قِرَاءَةِ: قُلْ
أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ فِي الدُّعَاءِ قَبْلَ
الرُّكُوْعِ. قُلْتُ: إِلَى أَيِّ شَيْءٍ تَذْهَبُ فِيْ هَذَا؟ قَالَ:
رَأَيْتُ أَهْلَ مَكَّةَ يَفْعَلُوْنَهُ، وَكَانَ سُفْيَانُ بْنُ
عُيَيْنَةَ يَفْعَلُهُ مَعَهُمْ بِمَكَّةَ. انتهى. (الإمام ابن قدامة
المقدسي، المغني، 1/838).
“Al-Fadhl bin Ziyad berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin
Hanbal: “Aku akan mengkhatamkan al-Qur’an, aku baca dalam shalat witir
atau tarawih?” Ahmad menjawab: “Baca dalam tarawih sehingga kita dapat
berdoa antara dua rakaat.” Aku bertanya: “Bagaimana caranya?” Ia
menjawab: “Bila kamu selesai dari akhir al-Qur’an, angkatlah kedua
tanganmu sebelum ruku’, berdoalah bersama kami dalam shalat, dan
perpanjang berdirinya.” Aku bertanya: “Doa apa yang akan aku baca?” Ia
menjawab: “Semaumu.” Al-Fadhl berkata: “Lalu aku lakukan apa yang ia
sarankan, sedangkan ia berdoa sambil berdiri di belakangku dan
mengangkat kedua tangannya.”
Hanbal berkata: “Aku mendengar Ahmad berkata mengenai khatmil Qur’an:
“Bila kamu selesai membaca Qul a’udzu birabbinnas, maka angkatlah kedua
tanganmu dalam doa sebelum ruku’.” Lalu aku bertanya: “Apa dasar Anda
dalam hal ini?” Ia menjawab: “Aku melihat penduduk Mekah melakukannya,
dan Sufyan bin ‘Uyainah melakukannya bersama mereka.” (Lihat pula, Ibn
al-Qayyim, Jala’ al-Afham, hal. 226).
Kesimpulan:
Dalam riwayat di atas ada beberapa anjuran dari Imam Ahmad bin Hanbal:
1) Anjuran mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat taraweh
2) Setelah khatam, dianjurkan membaca doa
3) Dibaca sebelum ruku’ shalat taraweh
4) Kedua tangan diangkat dan doanya baca yang panjang
5) Doa yang dibaca bebas
6) Demikian ini dasarnya bukan al-Qur’an, bukan hadits dan bukan pula amaliah sahabat
7) Dasarnya justru penduduk Mekkah melakukan demikian
8) Imam Sufyan bin ‘Uyainah, juga melakukan demikian
9) Berarti apa yang beliau fatwakan termasuk bid’ah hasanah
10) Berarti bid’ah hasanah memang ada
Di antara bid’ah hasanah al-Imam Ahmad bin Hanbal adalah mendoakan
gurunya dalam shalat sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi
berikut ini:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ
لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ
الشَّافِعِيِّ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، 2/254).
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i
dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah
ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.”
(Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
Kesimpulan:
1) Tidak ada riwayat dari hadits maupun dari sahabat, mendoakan orang tua dan guru dalam sujud di dalam shalat
2) Imam Ahmad melakukannya selama 40 tahun, dengan redaksi doa susunan beliau sendiri
3) Amaliah beliau termasuk bid’ah hasanah.
Karya sang Imam
Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk
sebesar-besarnya kitab "Musnad" dan sebaik baik karangan dia dan sebaik
baik penelitian Hadits. Ia tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang
dibutuhkan sebagai hujjah. Kitab Musnad ini berisi lebih dari 25.000
hadits.
Di antara karya Imam Ahmad adalah ensiklopedia hadits atau Musnad,
disusun oleh anaknya dari ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari
40 ribu hadits juga Kitab ash-Salat dan Kitab as-Sunnah.
Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahSunting
Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini telah hilang”.
Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
Kitab at-Tarikh
Kitab Hadits Syu'bah
Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
Kitab Jawabah al-Qur`an
Kitab al-Manasik al-Kabir
Kitab al-Manasik as-Saghir
Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin HanbalSunting
Kitab al-'Ilal
Kitab al-Manasik
Kitab az-Zuhd
Kitab al-Iman
Kitab al-Masa'il
Kitab al-Asyribah
Kitab al-Fadha'il
Kitab Tha'ah ar-Rasul
Kitab al-Fara'idh
Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke
rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh
dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan
pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan
ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan
ayah dan kakeknya. Dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad
dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang
kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama
orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar
darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan
itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq
meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua
tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih
dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut.
Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat
tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang
melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli
hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka
demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman
itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan
kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya
disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar
bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar
sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka
berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan
menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan
hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada
rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin
bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut
mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang
mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang,
bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang
menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang
hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka
kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada
ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada)
hari kematian kami.”
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad.
Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali
oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap
seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran.
Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu,
maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau
sabar dan teguh dalam membelanya.
Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad,“Allah
telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang
ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat
orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan
Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah.