Raden Trunojoyo, sering pula ditulis Trunajaya, atau gelarnya Panembahan
Maduretno (Madura, k.1649 - Payak,Bantul, 2 Januari 1680) adalah
seorang bangsawan Madura yang pernah melakukan pemberontakan terhadap
pemerintahan Amangkurat I danAmangkurat II dari Mataram. Pasukannya yang
bermarkas di Kediri pernah menyerang dan berhasil menjarah keraton
Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan
meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo akhirnya berhasil dikalahkan
Mataram dengan bantuan dari VOC pada penghujung tahun 1679.
Penaklukan Madura
Pada tahun 1624 Sultan Agung menaklukkan pulau Madura. Raden Prasena,
salah seorang bangsawan Madura, ditawan dan dibawa ke Mataram. Karena
ketampanan dan kelakuannya yang baik, Sultan Agung menyukai Raden
Prasena. Ia kemudian diangkat menjadi menantu dan dijadikan penguasa
bawahan Mataram untuk wilayah Madura Barat, dengan gelar Panembahan
Cakraningrat atau Cakraningrat I. Cakraningrat I lebih banyak berada di
Mataram daripada memerintah di Madura. Anak Cakraningrat dari selir,
bernama Raden Demang Melayakusuma, menjalankan pemerintahan sehari-hari
di Madura Barat. Mereka berdua sekaligus juga menjadi panglima perang
bagi Mataram.
Setelah Sultan Agung wafat, pemerintahan Mataram dipegang oleh
Amangkurat I, yang memerintah dengan keras dan menjalin persekutuan
dengan VOC. Hal ini menimbulkan gelombang ketidak-puasan pada kerabat
istana dan para ulama, yang ditindak dengan tegas oleh Amangkurat I.
Pertentangan yang sedemikian hebat antara Amangkurat I dan para ulama
bahkan akhirnya berujung pada penangkapan, sehingga banyak ulama dan
santri dari wilayah kekuasaan Mataram dihukum mati.
Pangeran Alit, adik Amangkurat I sendiri pada tahun 1656 melakukan
pemberontakan. Cakraningrat I dan Demang Melayakusuma diutus untuk
memadamkan pemberontakan berhasil dalam tugasnya, akan tetapi keduanya
tewas dan dimakamkan di pemakaman Mataram di Imogiri. Penguasaan Madura
kemudian dipegang oleh Raden Undagan, adik Melayakusuma yang kemudian
bergelar Panembahan Cakraningrat II. Sebagaimana ayahnya, Cakraningrat
II juga lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura.
Ketidakpuasan terhadap Amangkurat I juga dirasakan putra mahkota yang
bergelar Pangeran Adipati Anom. Namun Adipati Anom tidak berani
memberontak secara terang-terangan. Diam-diam ia meminta bantuan Raden
Kajoran alias Panembahan Rama, yang merupakan ulama dan termasuk kerabat
istana Mataram. Raden Kajoran kemudian memperkenalkan menantunya, yaitu
Trunojoyo putra Raden Demang Melayakusuma sebagai alat pemberontakan
Adipati Anom.
Trunojoyo dengan cepat berhasil membentuk laskar, yang berasal dari
rakyat Madura yang tidak menyukai penjajahan Mataram. Pemberontakan
Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II, yang kemudian
diasingkannya ke Lodaya, Kediri. Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut
kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai raja merdeka di
Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram.
Pemberontakan ini diperkirakan mendapat dukungan dari rakyat Madura,
karena Cakraningrat II dianggap telah mengabaikan pemerintahan.
Laskar Madura pimpinan Trunojoyo, kemudian juga bekerja sama Karaeng
Galesong, pemimpin kelompok pelarian warga Makassar pendukung Sultan
Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC. Kelompok tersebut berpusat di
Demung, Panarukan. Mereka setuju untuk mendukung Trunojoyo memerangi
Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC. Trunojoyo bahkan
mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong untuk mempererat
hubungan mereka. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari
Panembahan Giri dari Surabaya yang juga tidak menyukai Amangkurat I
karena tindakannya terhadap para ulama penentangnya.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura,
Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I.
Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan
perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan
tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom. Pasukan
Trunojoyo bahkan berhasil mengalahkan pasukan Mataram di bawah pimpinan
Adipati Anom yang berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober 1676.
Tanpa diduga, Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered.
Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya dan berusaha
menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya mengalami kemunduran.
Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal dan dimakamkan di
suatu tempat yang bernama Tegal Arum. Sesudahnya, Susuhunan Amangkurat I
kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal Arum. Adipati Anom
dinobatkan menjadi Amangkurat II, dan Mataram secara resmi
menandatangani persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunojoyo.
Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara (September 1677)
yang isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir
Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan
Trunojoyo.
Trunojoyo yang setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno,
kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh
wilayah pesisir Jawa sudah jatuh ke tangan Trunajaya, meskipun wilayah
pedalaman masih banyak yang setia kepada Mataram. VOC sendiri pernah
mencoba menawarkan perdamaian, dan meminta Trunojoyo agar datang secara
pribadi ke benteng VOC di Danareja. Trunojoyo menolak tawaran tersebut.
Setelah usaha perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah pimpinan
Gubernur Jendral Cornelis Speelman akhirnya memusatkan kekuatannnya
untuk menaklukkan perlawanan Trunojoyo. Di laut, VOC mengerahkan pasukan
Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka dari Boneuntuk mendukung peperangan
laut melawan pasukan Karaeng Galesong; dan mengerahkan pasukan Maluku
di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan darat
besar-besaran bersama pasukan Amangkurat II.
Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang
Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan
gabungan berkekuatan sekitar 1.500 orang berhasil terus mendesak
Trunojoyo. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh
VOC.
Dengan padamnya pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II memindah kraton
Plered yang sudah ambruk ke Kartasura. Mataram berhutang biaya
peperangan yang sedemikian besarnya kepada VOC, sehingga akhirnya
kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa diserahkan sebagai bayarannya
kepada VOC. Cakraningrat II juga diangkat kembali oleh VOC sebagai
penguasa di Madura, dan sejak saat itu VOC pun terlibat dalam penentuan
suksesi dan kekuasaan di Madura.
TRUNOJOYO PAHLAWAN ATAU PENGHIANAT ?
Berbicara tentang perjuangan Pangeran Trunojoyo atau Raden Nila Prawata,
pahlawan dari Madura ini tidaklah lengkap kiranya kalau kita tidak
melihat upaya-upaya Sultan Agung dari Kerajaan Mataram dalam memperluas
pengaruhnya dan mempersatukan kerajaan-kerajaan di Jawa dan Madura untuk
bersatu-padu melawan penjajahan kompeni Belanda pada saat itu.
Tahun 1624, Panembahan Kyai Djuru Kiting selaku panglima pasukan
Mataram, dengan kekuatan pasukan berjumlah 50.000 orang, telah berhasil
mematahkan pasukan Kraton Arosbaya - Madura yang berkekuatan hanya 2.000
orang.
Dengan bijaksana, Sultan Agung memerintahkan panglimanya Kyai Djuru
Kiting, memboyong Raden Praseno, putra Pangeran Tengah (Arosbaya) yang
pada waktu itu masih dibawah umur ke Kraton Mataram.
Setelah dewasa Raden Praseno dinikahkan dengan adik dari Sultan Agung
sebagai Permaisuri I dan diijinkan kembali ke Madura untuk memimpin
Madura dengan gelar: “Pangeran Cakraningrat I” (1624 – 1648) dimana
seluruh Madura berada dibawah pimpinannya dengan tetap tunduk dan patuh
kepada kekuasaan kerajaan Mataram Sultan Agung di Jawa.
Dari beberapa istri yang lain, Pangeran Cakraningrat I mempunyai 11
(sebelas) orang putra dan putri, dimana putra ke-3 bernama R. Demang
Mloyo Kusumo (ibunya Putri Sumenep).
R. Demang Mloyo Kusumo atau Raden Maluyo (dalam buku “Raden Trunojoyo,
Panembaham Maduratna, Pahlawan Indonesia” oleh Raden Soenarto
Hadiwijoyo) adalah ayah dari Raden Trunojoyo.
Masa kecil Pangeran Trunojoyo dididik dan dibesarkan di lingkungan
Kraton Mataram yang pada waktu itu pimpinan kerajaan sudah beralih
kepada putra Sultan Agung, yaitu: Susuhunan Amangkurat I.
Tahun 1648, terjadi peristiwa menyedihkan di Kraton Mataram (masa
pemerintahan Susuhunan Amangkurat I) perselisihan keluarga yang
menyebabkan jatuh korban anggota keluarga kerajaan Mataram, yaitu:
1. Pangeran Cakraningrat I (Raden Praseno) sehingga disebut Pangeran Siding Magiri (Sidho Hing Magiri).
2. Raden Ario Atmojonegoro putra pertama Pangeran Cakraningrat I.
3. Pangeran Ario atau Pangeran Alit, adik Susuhunan Amangkurat I dan
4. Raden Demang Mloyo Kusumo, ayah Pangeran Trunojoyo.
Terjadi perubahan kekuasan di Madura Raden Undakan putra ke-2 Pangeran
Cakraningrat I dinaikkan tahta kerajaan dengan gelar: “Pangeran
Cakraningrat II” (1648 – 1707).
Pangeran Cakraningrat II dalam melaksanakan pemerintah kerajaannya
ternyata tidak sebijaksana ayahandanya, Pangeran Cakraningrat I.
Kekuasaan pemerintahan Madura pada waktu itu hanya diserahkan kepada
bawahan-bawahannya yang ternyata hanya melakukan penekanan-penekanan
kepada rakyat yang dipimpinnya, sementara Raja Cakraningrat II, terlalu
sering berada di Kraton Mataram.
Pangeran Trunojoyo tumbuh sebagai seorang pemuda yang taat kepada
agamanya (Islam) dan tidak suka melihat ketidak-adilan yang terjadi baik
di Madura ataupun di Jawa.
Beliau segera kembali ke Madura dimana pengaruh kekuasaan Pangeran
Cakraningrat II (pamannya) semakin tidak mendapat simpati dari rakyat
seluruh Madura. Mengakui kepemimpinan Pangeran Trunojoyo dari Bangkalan
sampai dengan Sumenep dan bergelar: “Panembahan Madura”.
Dengan diidampingi Macan Wulung menantu dari Panembahan Sumenep,
Pangeran Trunojoyo mulai menyusun perlawanan melawan kompeni Belanda
yang dinamakan “Perang Trunojoyo” berlangsung dari tahun 1677 – 1680.
Pasukan Pangeran Trunojoyo bergabung dengan pelaut-pelaut Makassar
dibawah pimpinan Karaèng Galesung (yang pada akhirnya menjadi menantu
Pangeran Trunojoyo). Bantuan dari Panembahan Giri merupakan satu
kekuatan yang sangat ditakuti oleh kompeni Belanda.
Tanggal 13 Oktober 1676, terjadi pertempuran sengit di Gegodok antara
pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan Mataram yang dipimpin oleh
Adipati Anom. Dalam perang dahsyat ini telah gugur pimpinan pasukan
Mataram, yaitu: Pangeran Purboyo.
Satu demi satu daerah kekuasaan kerajaan Mataram berhasil ditaklukkan pasukan Pangeran Trunojoyo.
Sementara itu Susuhunan Amangkurat I sangat bersedih atas kekalahan itu,
pasukan Mataram yang dipimpin calon Putra Mahkota Kerajaan Mataram tak
berdaya menghadapi pasukan Pangeran Trunojoyo.
Kompeni Belanda mulai turun tangan mencampuri urusan karena kalau
kerajaan Mataram ditaklukkan Pangeran Trunojoyo berarti kompeni Belanda
tidak akan punya pengaruh lagi di tanah Jawa.
Cornelis Speelman, pada tanggal 29 Desember 1676 berangkat dari Betawi
dengan 5 kapal perang dan 1.900 orang pasukan gabungan dari Jepara
menyerbu Surabaya. Perang terjadi antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan
pasukan kompeni Belanda, walaupun akhirnya Pangeran Trunojoyo harus
mundur ke Kediri. Sementara pasukan kompeni Belanda terus mendesak ke
Madura ke pusat cadangan pasukan Pangeran Trunojoyo, kompeni Belanda
berhasil menaklukkan pasukan cadangan Pangeran Trunojoyo di Madura, tapi
pada lain pihak pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil menduduki Kraton
Kartasura.
Jatuhnya ibu kota Mataram, karena tidak ada dukungan sama sekali kepada
Susuhunan Amangkurat I, bahkan dari para Pangeran dan Bangsawan Kraton
Sendiri.
Dalam keadaan sakit, Susuhunan Amangkurat I terpaksa harus mengungsi dari Istana didampingi putranya Adipati Anom.
Di desa Kali Salak diserang Belanda dan akhirnya lari dan di Wonoyoso
Susuhunan Amangkurat I mangkat, jenasahnya dikebumikan di Tegal Arum
atau Tegal Wangi sehingga disebut “Susuhunan Tegal Wangi” tapi sebelum
mangkat, beliau masih berkesempatan menobatkan putranya menjadi
penggantinya dengan gelar: “Susuhunan Amangkurat II”.
Secara singkat dipaparkan bahwa Kraton Mataram sepeninggal Sultan Agung,
pengganti beliau baik itu Susuhunan Amangkurat I ataupun Susuhunan
Amangkurat II tidak dapat menunjukkan wibawa Kraton Mataram sebagai
kerajaan besar di Jawa.
Sedikit demi sedikit, kompeni Belanda mulai bertipu-muslihat untuk
memperkecil pengaruh kekuasaan Mataram, sementara Pemimpin Kraton
(Susuhunan Amangkurat II) tidak peduli akan keadaan kerajaan Mataram dan
rakyatnya. Wibawa kerajaan Mataram dari hari ke hari mulai suram,
akibat ulah Rajanya yang menjalin hubungan dengan kompeni Belanda.
Setiap perjanjian-perjanjian kontrak yang dilakukan Kerajaan Mataram
dengan kompeni Belanda, selalu pihak Kerajaan Mataram yang dirugikan.
Cornelis Speelman, dari pihak kompeni Belanda menawarkan diri untuk ikut
memadamkan perlawanan Pangeran Trunojoyo yang sudah tentu nantinya
meminta imbalan jasa kepada Kerajaan Mataram.
2 (dua) macam perjanjian berupa kontrak tanggal 19 dan 20 Oktober 1677
digadaikannya pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Mataram senilai 310.000 uang
Spanyol dan biaya-biaya perang harus dibayar lunas yang didapat dari
pelabuhan-pelabuhan itu. Yang kedua, daerah-daerah bawahan Kerajaan
Mataram seperti Karawang dan Pamanukan dialihkan penguasaannya kepada
kompeni Belanda.
Di seluruh wilayah kerajaan Mataram, perdagangan candu dan bahan pakaian menjadi hak monopoli kompeni Belanda.
Pertempuran tetap berlangsung dengan kemenangan-kemenangan yang selalu ada pada pihak Pangeran Trunojoyo.
Tanggal 04 Januari 1678, Cornelis Speelman mencaplok Semarang, Kaligawe dan sekitarnya dengan ijin dari Susuhunan Amangkurat II.
Bulan Agustus 1678, dibentuk pasukan gabungan, tentara Belanda, pasukan
Jakarta, Bugis dan Ambon ditambah pasukan Mataram dengan jumlah besar
dipimpin oleh Anthonie Hurdt, anggota Raad van Indie menyerbu Kediri,
pusat pertahanan Pangeran Trunojoyo.
Pertempuran berkobar dengan dahsyatnya, setiap jengkal tanah Kediri,
dipertahankan mati-matian oleh pasukan Pangeran Trunojoyo, akhirnya 25
Nopember 1678 Kediri jatuh ketangan kompeni Belanda.
Kompeni Belanda berhasil mengambil kembali Mahkota Mataram dan
harta-harta yang lain dari Pangeran Trunojoyo ketika menaklukkan Mataram
Sangat disayangkan bahwa dalam perjalanan perjuangan Pangeran Trunojoyo,
ternyata terjadi konflik intern dalam pasukan Pangeran Trunojoyo,
Angkatan Laut Makassar memisahkan diri dari pasukan Pangeran Trunojoyo.
Dari peristiwa jatuhnya Kediri, Pangeran Trunojoyo ke Blitar dan
akhirnya menuju Malang dalam kesulitan mencari tempat pertahanan baru.
Pasukan Pangeran Trunojoyo mengalami kerugian tewasnya 400 orang
prajurit akibat penyakit dan kekurangan bahan makanan.
Lebih-lebih lagi, pengiriman bahan bantuan makanan berupa 8 perahu bahan
makanan dari Madura untuk pasukan Pangeran Trunojoyo jatuh ketangan
musuh.
Tekanan dan kepungan kompeni Belanda kepada pasukan Pangeran Trunojoyo
yang sudah makin melemah karena kekurangan bahan pangan dan serangan
penyakit semakin berat. Beliau terpaksa membawa memutar pasukannya
berpindah ke Batu. Dalam keadaan prihatin, Pangeran Trunojoyo tetap
berhati teguh melanjutkan perjuangan beliau dan dukungan dari
daerah-daerah seperti Kediri, Ponorogo dan Kertosono tetap berpihak
kepada Pangeran Trunojoyo dan pasukannya 500 orang prajurit Madura
dikirim melalui Wirosobo ke Malang untuk memperkuat barisan Pangeran
Trunojoyo.
Setelah jatuhnya Kediri, Trunajaya menyingkir ke Blitar dan akhirnya
menuju Malang dalam kesulitan mencari tempat pertahanan baru. Trunajaya
kehilangan 400 orang prajurit akibat penyakit dan kekurangan bahan
makanan. Lebih-lebih lagi, pengiriman bahan bantuan berupa 8 perahu
bahan makanan dari Madura untuk pasukan Trunajaya jatuh ke tangan musuh.
Tekanan dan kepungan Kompeni kepada pasukan Trunajaya yang sudah makin
melemah karena kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit semakin
berat. Beliau terpaksa membawa memutar pasukannya berpindah ke Batu.
Dalam keadaan serba sulit, Trunajaya mendapat dukungan dari
daerah-daerah seperti Kediri, Panaraga dan Kertasana. Sebanyak 500 orang
prajurit Madura dikirim melalui Wirasaba ke Malang untuk memperkuat
barisan Trunajaya. Saat di Batu ini, istri Trunajaya meninggal dunia
karena terserang penyakit, menyusul kemudian satu-satunya putra
lelakinya juga wafat. Dari Batu Trunajaya beserta pasukannya bergeser
mengatur strategi pertahanan ke Ngantang. Sementara semakin lama jumlah
kekuatan pasukan semakin berkurang, kekurangan bahan pangan dan serangan
penyakit. Masih beruntung keadaan alam yang berupa pegunungan serta
hutan rimba di Ngantang menghambat laju tekanan pasukan Kompeni.
Sedangkan karena perundingan gagal, pasukan Karaeng Galesong membuat
kubu pertahanan di Bangil dan Kapar, sebelah utara Sungai Porong.
Kompeni meminta bantuan Arung Palakka dari Bone untuk menangkap Karaeng
Galesong. Pada tanggal 23 Agustus 1679 pasukan gabungan Bugis dan
Kompeni di bawah Jacob Couper berangkat dari Surabaya menuju ke Kapar,
markas pertahanan Karaeng Galesong. Pihak Kompeni memberi ultimatum
kepada pasukan Makassar untuk menyerah. Beberapa pemimpin pasukan
Makassar memenuhi permintaan itu pada tanggal 30 Agustus di antaranya
Daeng Tulolo. Mereka menyatakan akan bersedia untuk menyerah. Namun
tidak ada tindak lanjut dari pertemuan tersebut. Akhirnya Kompeni
memutuskan menyerang Kapar pada tanggal 8 September 1679 di bawah
pimpinan Arung Palakka. Sebelumnya Kapten Joncker dan pasukan Ambonnya
berusaha merebut Kapar namun gagal. Pada tanggal 21 Oktober 1679 Kapar
jatuh ke pasukan gabungan dalam pertempuran yang sengit dan banyak jatuh
korban.
Serangan kemudian ditujukan kepada pertahanan Trunajaya, yaitu yang
berpusat di Batu. Di situ dibangun semacam keraton yang dikelilingi oleh
pagar. Pengikutnya diperkirakan hanya berjumlah sekitar seratus orang
dan mengalami kekurangan makanan. Pasukan Makassar di bawah Karaeng
Galesong juga mengundurkan diri ke Malang. Dengan jalan perundingan, van
Vliet, komandan pasukan Kompeni, mencoba mengadakan perdamaian.
Persetujuan akhirnya tercapai dengan ketentuan bahwa pasukan Makassar
tidak akan menghalang-halangi pasukan Kompeni dalam melakukan serangan
terhadap Trunajaya. Karaeng Galesong juga berjanji bersedia untuk
dipulangkan ke Makassar. Setelah mendengar akan kejadian itu Trunajaya
segera memindahkan Karaeng Galesong ke Ngantang. Namun sebelum adanya
pengaturan yang pasti, Karaeng Galesong meninggal karena sakit pada 21
November 1679. Karaeng Galesong kemudian dimakamkan di Desa Sumberagung,
Kecamatan Ngantang sekarang. Oleh warga sekitar makam itu disebut
sebagai makam Mbah Rojo. Lokasinya sekitar 5 km dari obyek Wisata
Bendungan Selorejo.
Sebelum meninggal, Karaeng Galesong menunjuk putranya yang berusia
sekitar 17 tahun, Karaeng Mamampang, sebagai penggantinya untuk
menghindari perselisihan di antara orang Makassar. Karaeng Mamampang
mengikuti keinginan ayahnya dan membujuk pengikutnya untuk
diberangkatkan ke Makassar. Sekitar 120 orang mengikuti perintahnya,
tetapi sekitar 900 menolak dan tetap bergabung dengan Trunajaya.
Jacob Couper berusaha menghubungi Trunajaya dengan surat akan tetapi
tidak berhasil. Akhirnya Kompeni memutuskan untuk mengadakan serangan ke
Ngantang. Di Kalisturan, di kaki pegunungan Batu, pasukan Bugis
menemukan 50 lelaki, wanita, dan anak-anak Makassar dalam keadaan
kelaparan. Mereka mengatakan bahwa 300 lainnya berada di pegunungan
namun tidak dapat turun menyerahkan diri karena jalan di Gunung Rarata
(Ngrata) ditutup pasukan Madura. Esok paginya pasukan Bugis merebut kubu
Madura di Rarata dengan serangan mendadak. Mereka memaksa pasukan
Madura melarikan diri lebih ke atas gunung. Pasukan Madura mundur ke
garis pertahanan kedua, yang berupa dua dinding bambu yang saling
berhadapan dan dipisahkan oleh sungai kecil yang efektif menahan
pergerakan naik atau turun gunung. Arung Palakka bersama sekelompok
pasukan berputar mencari jalan untuk menyerang dari belakang. Sementara
itu, kapten Belanda van Vliet menuruni lembah gunung dengan pasukan
Bugisnya dan secara tiba-tiba menyerang dari atas, sehingga yang
diserang pun lari berhamburan dengan menunggang kuda. Pasukan Bugis
mengejar mereka selama hampir dua jam dan tiba di sebuah perkubuan besar
pasukan Makassar dan Madura. Pasukan Belanda tiba setelahnya, tapi
sebelum serangan dilancarkan, hujan mulai turun dan kabut tebal pun
datang. Ketika pasukan Bugis dan Belanda tiba di perkemahan, di
Ngantang, pada hari berikutnya, mereka telah melarikan diri kecuali
empat bangsawan Makassar beserta 300 orang, wanita, dan anak-anak.
Mereka memberi tahu Arung Palakka bahwa masih ada sekitar 1.500 orang
Makassar, tidak termasuk wanita dan anak-anak, yang berada di bagian
atas gunung.
Pada saat-saat pihak Trunajaya terdesak timbullah ketegangan antara
Sunan dan Arung Palakka. Sebabnya adalah bahwa menurut desas-desus dan
persaksian orang-orang tertentu ada hubungan antara Arung Palakka dengan
Trunajaya. Yang pertama telah menerima hadiah dari yang terakhir
sebagai sebuah usaha penyuapan. Ada ajakan dari pihak Trunajaya untuk
bersama-sama pergi ke Majapahit guna mendirikan benteng di sana.
Kenyataannya adalah bahwa Sunan menjauhkan diri dari Arung Palakka dan
pihak Kompeni tidak mengikutsertakannya dalam operasi penangkapan
Trunajaya. Terhadap Trunajaya sendiri Sunan menjalankan taktik baru,
yaitu bersikap bersahabat dan menganggap dia sebagai kawula. Sebaliknya
Trunajaya masih berusaha membujuk Sunan agar memisahkan diri dari
persekutuannya dengan Kompeni karena rakyat Jawa akan dinasranikan oleh
Kompeni. Sunan berketetapan hati untuk bersekutu dengan Kompeni.
Selanjutnya di sebuah gunung yang bernama Kunjangan pasukan Belanda dan
Bugis melakukan pengepungan. Mereka berharap membuat orang Makassar dan
Madura kelaparan dan keluar dari persembunyian. Setelah beberapa lama
seseorang bernama Tumenggung Wirapaksa turun dengan bendera putih menuju
Arung Palakka dan mengatakan bahwa dia dikirim langsung ke Arung
Palakka oleh tuannya Trunajaya. Arung Palakka berkata padanya, “Marilah
turun gunung menuju Komandan [Belanda] di mana kau bisa menyampaikan
pesanmu.” Tetapi Tumenggung menolak. Dia mengatakan bahwa pesan ini
bukan untuk Kompeni tapi untuk Arung Palakka sendiri. Jawaban Arung
Palakka memperlihatkan tujuannya tidak memusuhi Trunajaya tetapi untuk
menangkap Karaeng Galesong: “Saya tidak berperang dengan Sultan
[Trunajaya] dan karena itu tidak perlu berdamai dengannya. Saya di sini
atas nama Kompeni dan menuruti perintah Komandan.”
Gagal membujuk Arung Palakka, utusan Trunajaya kembali ke gunung.
Belanda kemudian memberitahu orang-orang Makassar di perkemahan
Trunajaya bahwa jika mereka menyerah akan diperlakukan dengan baik. Tapi
jika menolak, akan dihancurkan. Sekitar 2.500 orang memutuskan untuk
menerima tawaran ini dan turun dari kubu pertahanan di gunung pada
tanggal 15 Desember 1679. Jumlah rombongan ini mengejutkan Belanda yang
menganggap mereka beruntung karena orang-orang Makassar ini memutuskan
menyerah daripada bertempur. Untuk penyegaran, Jacob Couper digantikan
oleh Kapten Joncker sebagai komandan pasukan Kompeni. Lima hari kemudian
pada 20 Desember 1679 beberapa ratus orang Madura dan Makassar, di
antaranya para wanita dan beberapa ekor kuda turun dari lereng gunung
dan segera ditangkap pasukan Kompeni pimpinan Kapten Joncker.
Suatu goncangan bathin kembali menguji sang Pangeran ketika di Batu istri beliau meninggal dunia karena terserang penyakit menyusul kemudian satu-satunya putra lelakinya juga berpulang ke Rahmatullah.
Dari Batu beliau beliau beserta pasukan bergeser mengatur strategi
pertahanan ke Ngantang, sementara semakin lama jumlah kekuatan pasukan
semakin berkurang, kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit.
Masih beruntung alam dan medan pegunungan serta rimba di Ngantang menghambat laju tekanan pasukan kompeni Belanda.
Kompeni Belanda melakukan sistem pengepungan pagar betis daerah
pertahanan pasukan Pangeran Trunojoyo dikepung dan diisolir sehingga
pada tanggal 15 Desember 1679 sejumlah besar para pelaut Makassar yang
bergabung ke pasukan Pangeran Trunojoyo menyerahkan diri kepada kompeni
Belanda.
Berbagai keadaan yang berat, tidak membuat Pangeran Trunojoyo dan
pasukannya menyerah. Pahlawan tangguh dan pilih tanding ini melakukan
perang gerilya, bergerak pindah ketempat yang lebih sulit dicapai oleh
tentara kompeni Belanda dibawah pimpinan Couper.
Untuk penyegaran, kompeni Belanda mengganti pimpinan pasukannya, yaitu:
Kapten Jonker. 5 hari setelah sebagian besar pelaut-pelaut Makassar
menyerah maka pada tanggal 20 Desember 1679 beberapa ratus orang Madura
dan Makassar diantaranya para wanita dan beberapa ekor kuda turun dari
lereng gunung dan segera ditangkap pasukan kompeni Belanda pimpinan
Kapten Jonker.
Dengan mengorek keterangan dari para tawanan ini, Kapten Jonker berhasil
mengepung pertahanan terakhir Pangeran Trunojoyo dan sisa pasukannya di
gunung Limbangan itu terjadi pada tanggal 26 Desember 1679.
Terkepung dari segala penjuru
dan bahaya kelaparan sangat melemahkan moral barisan yang kira-kira
masih terdiri atas 3.000 orang itu. Tidak ada jalan lain daripada
menyerah. Akhirnya Trunajaya menyuruh pengikutnya mengumpulkan tombak
dan kerisnya, lalu menyerah kepada Kapten Joncker. Terlebih dulu dikirim
para wanita dan abdi biasa, baru kemudian Trunajaya beserta
pengikutnya, antara lain Pangeran Mugatsari, Anggakusuma, Ngabehi
Wiradersana, dan pasukan Makassar menyerahkan diri pada 25 Desember
1679. Kedua tangan beliau diikat dengan cinde sutera. Diberitakan
kemudian bahwa di dalam tawanan Trunajaya masih mempunyai rencana
mengadakan perlawanan, maka dari itu Sunan menuntut supaya dia segera
diserahkan kepadanya. Untuk menepati sumpahnya, keris Kyai Balabar tidak
akan diberi sarung besar sebelum dipakai untuk menusuk dada Trunajaya.
Di sekitar tapal batas Kediri, Sunan menikam Trunajaya dengan keris
tersebut, kemudian para menteri secara bergiliran memberikan tikamannya
pula (2 Januari 1680).
Pahlawan Besar Pangeran Trunojoyo dengan terpaksa harus menyerah dan kedua tangan beliau diikat dengan Cinde Sutera dan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 2 Januari 1680 disekitar tapal batas Kediri beliau gugur sebagai kusuma bangsa ditangan iparnya sendiri (Susuhunan Amangkurat II) dengan sebilah keris yang ditusukkan tanpa perlawanan.
Pahlawan Besar Pangeran Trunojoyo dengan terpaksa harus menyerah dan kedua tangan beliau diikat dengan Cinde Sutera dan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 2 Januari 1680 disekitar tapal batas Kediri beliau gugur sebagai kusuma bangsa ditangan iparnya sendiri (Susuhunan Amangkurat II) dengan sebilah keris yang ditusukkan tanpa perlawanan.
Perang Trunojoyo, melawan kompeni Belanda boleh berakhir 327 tahun yang
lalu tapi semangat juang yang tinggi dan cita-cita tak berkompromi
dengan penjajah (bahkan orang-orang asing) yang merugikan bangsa
Indonesia tak seharusnya pudar.
Ada beberapa hal penting yang harus diketahui :
1. Pangeran Trunojoyo mengakhiri perlawanan kepada kompeni Belanda
karena pertimbangan-pertimbangan yang dijanjikan oleh Pangeran
Cakraningrat II (pamannya).
2. Pangeran Trunojoyo menyerahkan diri kepada Susuhunan Amangkurat II bukan kepada kompeni.