Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ
عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى
الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ «
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا
الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »
Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua
berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin
Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam
ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di
sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku
untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan
melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku
pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau
akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)
Keutamaan Ziarah kubur :
Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan
kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]).
Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)
Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim
Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar
untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk
mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al
Janaaiz Lil Albani, 187)
Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka
berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh
(Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).
Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi
Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan
diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)
An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa
ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan
Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup.
Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat
hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan
hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور
“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)
Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325).
Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita
karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan
mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun
perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).
Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة
“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)
Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat
melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian
akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak
(qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)
Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud
terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat
kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR.
Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang
kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat
kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya
yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang
kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya
untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa.
Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang
berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil
Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun
bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa
disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari
peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين
والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم
للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul
qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa
ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul
mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum
lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin
penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului
(mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh,
Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang
diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan
mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan
orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada
shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah
kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain
disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul
qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti
suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk
surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin
melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui
disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan
menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak
sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang
menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat
syirik.
Syaikh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh
1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia
memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera
dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah
Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syaikh Ulama di Kuala).
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal
Fansuri As-Singkili.Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari
Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada
akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya
sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda
Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses
pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk
mendalami agama Islam.
Pendidikan pertama Syiah Kuala didapat dari ayahnya yang juga mempunyai
dayah. Ketika itu Fansur menjadi salah satu pusat Islam penting di
nusantara serta titik hubung antara orang Melayu dan kaum muslim dari
Asia Barat serta Selatan. Beberapa tahun kemudian Syiah Kuala berangkat
ke Banda Aceh dan belajar pada Syamsuddin Sumatrani, seorang ulama
pengusung wujudiyah. Syiah Kuala melanjutkan pendidikan ke Jazirah Arab
pada 1642 Masehi.
Tercatat Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman
Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja
Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah
suci. Banyak pusat-pusat keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur
perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara
formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama
seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari
Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal.
Syeikh Muhammad Al Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka
kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal
sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di
Mekah.
Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’
dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’.
Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh
Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh
Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini
syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Tercatat sekitar 19 guru pernah mengajarinya berbagai disiplin ilmu
Islam, selain 27 ulama terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di
sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha
(Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Mekah, dan Madinah. Studi
keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama
besar, Abd Al-Qadir al Mawrir. Sepanjang hidupnya, tercatat Syiah Kuala
sudah menggarap sekitar 21 karya tulis yang terdiri dari satu kitab
tafsir, dua kitab hadis, tiga kitab fikih, dan selebihnya kitab tasawuf.
Bahkan Tarjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab
tafsir Syiah Kuala yang pertama dihasilkan di Indonesia dan berbahasa
Melayu.
Namun di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang
dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara, yaitu kitab tafsir
berjudul Tarjuman al-Mustafid. Kitab ini ditulis ketika Syiah Kuala
masih berada di Aceh. Kitab ini beredar di kawasan Melayu-Indonesia,
bahkan luar negeri. Diyakini banyak kalangan, tafsir ini telah banyak
memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Selain itu, kitab
tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir
Alquran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.
Karya tulis Syekh Abdurrauf kini masih bisa ditemukan di Pustaka Islam,
Seulimum, Aceh Besar. Hal ini merujuk pada buku yang dikarang Teuku
Ibrahim Alfian berjudul Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik yang
berdasarkan hasil penelitian Al Yasa’ Abubakar. Disebutkan dalam tulisan
itu, karya tulis As-Singkili lebih kurang mencapai 36 buah kitab.
Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam
kata-kata yang berbunyi “Adat bak Poteu Mereuhom, Hukom bak Syiah Kuala”
maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat
(Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya
kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang
hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan
ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan.
Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, Syaikh untuk Tarekat Syattariyah
Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul
dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan
Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan
tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar
at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul
tahun 1884.
Sebagai ulama tasawuf, Syeikh Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan tarekat Syatariyah. Hampir semua ordo tarekat Syatariyah di
Nusantara silsilahnya berujung padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari
Aceh hinga ke Sumatera Barat. Kemudian berkembang menyusur ke Sumatera
Selatan hingga Cirebon.
Dalam bertasawuf Abdurauf menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki
adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan
dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wu jud
bayangan (alam), terdapat keserupaan antara wujud ini. Tuhan melakukan
tajali (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara
tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna
pada Insan Kamil.
Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud.
Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa
betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap
mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21
kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab
tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh
Abdurauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang
berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang
dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil
Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu
kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan
fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di
kerajaan Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya natara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al
Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk
Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting
Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin
terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir,
sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan asal usul mistik.
Pengajaran
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan
mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya.
Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah
Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh
Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul
Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya, Jawa Barat).
Karya-Karya Syeh Abdurrauf As-Singkili
Syekh Abdurrauf selain dikenal sebagai tokok tasawuf aliran Syattariyah
dan tokoh fiqh yang membolehkan wanita manjadi hakim, beliau juga
dikenal sebagai penulis yang cukup produktif, ia telah melahirkan
karya-karyanya yang merupakan kekayaan intelektual muslim indonesia yang
sangat berharga. menurut Shalahuddin Hamid dalam bukunya” 100 Tokoh
Islam yang paling berpengaruh di Indonesia”, jumlah karya tulis Syeh
Abdurrauf as-Singkili berjumlah 21 buku, yang terdiri dari 1 kitab
tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasawuf
Karya-karya beliau tersebut adalah :
1. Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah), merupakan kitab
tafsir pertama dalam bahasa melayu, kitab ini ditulis oleh Syeh
Abdurrauf sekembalinya dari negeri Arab.
2. Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat li
al-Malik al-Wahhab, kitab fiqh yang ditulis olehnya atas permintaan
Sulthanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah, isi kitab ini adalah kajian
tentang muamalat, termasuk dalam kitab ini adalah kajian beliau yang
membolehkan perempuan sebagai qadhi dan pemimpin.
3. Al faraidh, risalah tentang hukum kewarisan dalam Islam.
4. Hidayah al-Balighah, kitab fiqh yang isimya mengenai pembuktian dalam peradilan, kesaksian, dan sumpah.
5. ’Umdat al Muhtajin ila suluk maslak al-Mufridin, kitab tasauf
yang isinya terdiri atas tujuh bab, di akhir kitab ini Syeh Abdurrauf
menguraikan silsilah tarekat Syattariyah sampai kepada Nabi Muhammad
SAW.
6. Kifayatul Muhtajin ila masyrah al-Muwahhidin al Qailin bi Wahdat al-Wujud, berisi beberapa fragmen mengenai ilmu tasauf.
7. Daqaiqul Huruf, yang isinya terhadap beberapa bait syair Ibn Arabi
8. Bayan Tajalli, kitab ini berisi tentang penjelasan Abdurrauf tentang zikir yang yang utama dibaca ketika sakaratul maut
9. Tambihul Masyi Manshub ila Thariqi al-Qushasi, isinya
mencerminkan perjalanan tasauf Syeh Abdurrauf dengan gurunya Ahmad
Qushasi.
10. Attariqat as-Syattariyah, berisi tentang pokok ajaran Syattariyah.
11. Mawaizil Badiah, berisi tiga puluh dua hadits beserta syarahnya yang berhubungan dengan tauhid, akhlaq, ibadat dan tasauf.
12. Penjelasan tentang Matan al-Arba’in an-Nawawi.
13. Bayan al-Arkan, pedoman dalam melaksanakan ibadat.
14. Risalah adab Murid dengan Syeh.
15. Risalah Mukhtasar fi Bayan Syurut as-Syeh wa al-Murid, yang berisi
tentang kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka terutama dalam
metode zikir metode tarekat Syattariyah.
16. Syams al-Makrifat, uraian berisi tasauf, ilmu ma’rifat yang beliau ambil dari Ahmad Qushasi.
17. Majmu’ Masail, berisi tasauf terutama uraiaan menyangkut kehidupan beragama.
18. Bayan al-Aghmadal Masail wa Sifat al-Wajibat li Rabb al-Ard wa
as-Samawati, isinya tentang al-Akyan as-sabithah, sebuah masalah yang
dianggap sangat rumit oleh para sufi termasuk oleh Nuruddin ar-Raniry.
19. Lubb al-Kasy wa al-Bayan lima yarahu al-Muqtadar bi al-Iyan, isinya tentang sakaratul maut.
20. Sullam al-Mustafidhin, penjelasan tentang nazam-nazam yang dikarang oleh gurunya al Qushasi.
21. Pernyataan tentang zikir yang paling utama pada saat sakaratul maut, yaitu la ilaa ha illa Allah.
Wafat nya Syaikh
Syaikh Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia
73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala
Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.
SYEKH Abdurrauf As-Singkili salah satu ulama besar dari Singkil. Namanya
kini dilaqobkan menjadi nama Universitas Syiah Kuala atau Unsyiah.
Universitas itu berada di Darussalam, Banda Aceh.
Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercaya memiliki dua makam.
Satu berada di Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.
Satu lagi di Desa Kilangan, Singkil. Makam di Singkil berada di bibir Krueng Singkil.
Banyak peziarah mendatangi makam ini, baik dari Aceh maupun dari luar
daerah seperti Sumatera Barat. Sementara di Banda Aceh, lokasi makam
Syiah Kuala berada di bibir Selat Malaka. Seperti halnya di Singkil,
lokasi makam ini juga banyak dikunjungi peziarah.
Bahkan makam dijadikan sebagai lokasi wisata religi di Tanah Rencong Nanggroe Aceh Darussalam.