Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri
Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri
membangun Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa,
yang pengaruhnya bahkan sampai ke Madura,Lombok, Kalimantan, Sulawesi,
dan Maluku.
Sunan Giri atau yang mempunyai nama lain Raden Paku, Prabu Satmoko,
Sultan Abdul Faqih,Sayid Muhammad 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra adalah
nama salah seorang Wali Songo yang berkedudukan di desa Giri, Kebomas,
Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka
Candra Sengkala “Jalmo orek werdaning ratu” (1365 Saka). dan wafat pada
tahun Saka Candra Sengkala “Sayu Sirno Sucining Sukmo” (1428 Saka) di
desa Giri, Kebomas, Gresik.
Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur
keturunan Sayidina Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir,
Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi,
Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi
ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi
al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad
Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana
Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro),
Maulana Ishaq (Syaikh Wali Lanang), dan Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Perjalanan Syeh Wali Lanang ayah Sunan Giri
Di Awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak
Sembuyu. Salah sorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan
Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagaian yang
memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula
permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit
selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun
untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau
wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad
Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin,
berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Sang Prabu hampir putus asa penyakit yang diderita putrinya. Dewi
Sekardadu hanya terbaring di kamarnya, makin hari tubuhnya makin susut,
tinggal kulit pembalut tulang. Tanda putri itu masih hidup hanyalah
adanya nafas lemah yang masih keluar masuk dari hidungnya. Sepasang
matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti mayat.
“Kanda Prabu ……” ujar permaisuri. “Apakah Kanda tega membiarkan anak kita satu-satunya ini terus dalam keadaan begini ?”
“Apa maksudmu Dinda ?” sahut Prabu Menak Sembuyu. “Bukankah aku sudah
berusaha mendatangkan semua ahli pengobatan di negeri ini. Bahkan belum
lama berselang telah mendatangkan tabib terkenal dari Pulau Dewata.
Kurangkah usahaku itu?”
“Bukan, bukan begitu maksudku Kanda ......”
“Lalu apa maumu ?”
“Buatlah sayembara,” kata permaisuri. “Siapa yang dapat menyembuhkan
putri kita akan kita beri hadiah, kalau perlu kita ambil sebagai
menantu.”
Prabu Menak Sembuyu terdiam beberapa saat. Pada akhirnya dia setuju atas
saran istrinya. Segera dia perintahkan mahapatih kerajaan Blambangan
yaitu Patih Bayul Sengara untuk mengumumkan bahwa siapa yang dapat
menyembuhkan penyakit putrid Dewi Sekardadu akan dijodohkan dengan
putrinya itu. Dan siapa dapat mengusir wabah penyakit dari Blambangan
maka akan diberi separo dari wilayah kerajaan Blambangan.
Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu
bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan
kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur
istrinya dengan menugaskan Patih Bayul Sengara untuk mencari pertapa
sakti guna mengobati penyakit putrinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Bayul Sengara berangkat
melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal di puncak atau
lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih Bayul Sengara mengajak
pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan, masuk hutan keluar hutan, naik
dan turun gunung. Pada suatu ketika mereka bertemu dengan seorang Resi
bernama Kandabaya.
Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya itu memang sakti, maka sengaja
sang patih memerintahkan para prajuritnya menyerang dan mengeroyok Sang
Resi dengan senjata terhunus.
Sepuluh orang maju serentak menyerangsang Resi yang sedang duduk
terpekur dalam semedi. Resi itu seperti tak menghiraukan adanya bahaya
yang mengancam dirinya. Sepasang matanya masih terpejam. Tapi begitu
sepuluh orang itu mendekat kearahnya dalam jarak dua langkah tubuh
mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh mereka
terjerembab ke tanah, senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka
meringis kesakitan tanpa dapat bergerak untuk bangub lagi.
Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal itu. Tapi dia masih penasaran.
Diam-diam dia mencabut kerisnya. Sang Resi masih duduk bersila, sepasang
matanya masih terpejam, Seperti tak terusik oleh prilaku Patih Bajul
Sengara dan anak buahnya.
“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara melempar kerisnya. Tepat kearah
jantung sang Resi. Bukan sekedar lemparan biasa, melainkan lemparan
seorang Mahapatih kerajaan Blambangan yang tentu juga memiliki kesaktian
tinggi. Dan memang, lemparan keris itu disertai pengerahan tenaga dalam
tingkat tinggi.
Ujung keris itu meleset ke arah sang Resi, hampir saja menyentuh dada
Sang Resi. Namun tiba-tiba keris itu membalik, melesat ke arah Patih
Bajul Sengara. Patih Bajul Sengara melengak, secepat kilat dia
merundukkan badan. Keris itu melesat di atas tubuhnya. Menghantam
sebatang pohon sawo.
“Jresss !” keris itu terbenam ke batang pohon sawo yang cukup besar,
tinggal gagangnya saja yang tampak. Patih Bajul Sengara hampik tak
berkedip menyaksikan gagang kerisnya itu.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya Sang Patih, dilihatnya batang pohon
sawo itu mengeluarkan asap dan kulit pohon itu menjadi hitam. Tak lama
kemudian buah dan pohon sawo itu rontok, berguguran ke tanah.
Serta merta Patih Bajul Sengara menjatuhkan diri, berlutut didepan sang
Resi. Resi Kandabaya masih dalam sikap semula. Duduk bersila dengan mata
terpejam. Seperti tak pernah terjadi suatu apa.
“Ampun …… ampunilah kekurangajaran hamba,” ujar Patih Bajul Sengara dengan terbata-bata.
Tak ada reaksi dari sang Resi.
Tiba-tiba ada seekor merpati putih hinggap di depan sang Resi. Merpati
itu meletakkan selembar daun lontar yang dijepit di paruhnya. Dan sesaat
kemudian merpati itu mengeluarkan bunyi. (mbekur istilah Jawanya).
Aneh, sang Resi kemudian membuka sepasang matanya setelah mendengar
suara si merpati. Sang Resi tersenyum dan segera mengelus-elus sayap
merpati.
“Terima kasih Pethak ………” ujar sang Resi.” Sekarang kau boleh bermain-main atau beristirahat sesukamu.”
Merpati itu mengangguk-anggukkan kepala, seolah mengerti apa yang
diucapkan sang Resi. Kemudian dia mengepakkan sayapnya, terbang ke
sebuah pohon kenari tak jauh dari Padepokan Resi Kandabaya.
Sang Resi segera mengambil daun lontar yang diletakkan merpati tadi. Dia
seperti tak menghiraukan adanya Patih Bajul Sangara yang membenturkan
kepalanya berkali-kali ke lantai Padepokan.
“Ampun ......... ampunilah kekurangajaran dan kelancangan hamba
menganggu ketenangan Bapa Resi ......... “ Demikian ucap Patih Bajul
Sengara.
Resi Kandabaya masih tak menghiraukan sang patih. Dia sedang asyik
membaca gurat-gurat berbentuk tulisan di daun lontar yang dipegangnya.
Sesudah membaca tulisan didaun lontar, sang Resi bangkit berdiri.
Berjalan kearah sepuluh prajurit yang menggeletak kesakitan tanpa dapat
bergerak. Hanya dengan beberapa kali tepukan pada bagian-bagian tertentu
di tubuh para prajurit itu maka kesepuluh anak buah Patih Bajul Sengara
dapat bergerak lagi dan rasa sakit di sekujur tubuh mereka telah
hilang. Serta merta sepuluh orang itu menjatuhkan diri berlutut didepan
sang Resi.
Tapi Resi itu tidak menghiraukan mereka lagi. Dia berjalan kearah
Padepokan tempatnya bersemedi tadi. Tapi kali ini dia tidak duduk
bersemedi melainkan tegak didepan Patih Bajul Sengara.
Memang hebat dan sopan caramu bertamu kemari hai Patih Bajul Sengara !” tegur sang Resi.
“Ampun bapa Resi ......... hamba harus yakin bahwa orang yang hendak
mintai pertolongan memang benar-benar mumpuni.” ujar Patih Bajul
Sengara.
“Ya, aku sudah tahu hal itu,” tukas sang resi. “Kau hendak memintaku
mengobati penyakit sang putri Dewi Sekardadu dan mengusir wabah pagebluk
dari Blambangan atas perintah Prabu Menak Sembuyu!”
“Mohon ampun Bapa Resi, memang demikianlah adanya kedatangan hamba kemari.”
“Tapi kau salah alamat Patih ! Wabah penyakit itu sudah dikehendaki
Dewata Agung. Aku tak mampu mengusirnya, juga tak mampu menyembuhkan
Dewi Sekardadu.
“Tapi ……… hamba mohon petunjuk ……… “ kata Patih Bajul Sengara, dia tidak
akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Mumpung bisa bertemu dengan
tokoh seperti Resi Kandabaya dia harus memperoleh hasil,
setidak-tidaknya dia harus mendapatkan keterangan bagaimana cara
mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi Sekardadu.
Resi Kandabaya seperti mengerti apa yang tersirat di hati Patih Bajul
Sengara. Sesudah menarik nafas panjang karena kesal melihat sikap sang
Patih diapun berkata, “Baiklah Patih, aku akan memberimu petunjuk. Pada
saat itu hanya ada satu orang yang mampu menyembuhkan penyakit Dewi
Sekardadu sekaligus mengusir wabah penyakit dari seluruh wilayah
Blambangan. Tapi ……”,
Resi Kandabaya tidak meneruskan ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam wajah
Patih Bajul Sengara. Sang Patih makin menundukkan mukanya, tak ada
keberanian baginya untuk bertatap muka dengan Resi yang terbukti sangat
sakti itu. “Apapun yang terjadi, hamba ……… juga Gusti Prabu Menak
Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari sakitnya.” ujar
Patih Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya.
“Benarkah? Tapi aku tidak yakin,” sahut sang Resi.” Akan terjadi sesuatu
di luar perhitunganmu dan hal itu akan membakar hatimu. Tapi baiklah,
kalau kau ingin mengetahui orang yang hendak menyembuhkan Dewi
Sekardadu. Ikutilah merpati putih itu terbang.
Tapi kuperingatkan, jangan kau mencoba bersikap kurang ajar kepada orang
yang hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu itu. Dan apapun syaratnya yang
diajukannya hendaknyan kau dan Prabu Menak Sembuyu meluluskannya.”
“Segala pesan Bapa Resi akan hamba perhatikan baik-baik.”
Sekarang sudah hampir malam, beristirahatlah di Padepokan ini. Besok
pagi kalian boleh berangkat menuju gunung Selangu. Merpati putih akan
mengantarmu hingga ke tempat tujuan.”
Demikianlah, Patih Bajul Sengara dan anak buahnya malam itu bermalam di
Padepokan Resi Kandabaya. Esok harinya mereka sudah bersiap-siap
berangkat kegunung Selangu.
“Sampaikan salam perdamaian kepada pertapa di gunung Selangu itu.” Pesan
Resi Kandabaya sebelum Patih Bajul Sengara meninggalkan Padepokan.
“Pesan Bapa Resi akan hamba sampaikan,” jawab Patih Bajul Sengara penuh hormat.
Perjalanan ke gunung Selangu memakan waktu yang cukup lama. Walau mereka
naik kuda pilihan tapi pada tengah hari barulah mereka sampai di gunung
Selangu. Mereka terus mengikuti arah merpati putih terbang menuju suatu
tempat. Ketika jalanan semakin naik, maka mereka menambatkan kudanya
dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Akhirnya merpati penunjuk jalan itu berhenti didepan sebuah goa. Saat
itu hari mulai gelap. Tapi ada suatu keanehan, dari dalam goa itu
memancar sinar terang, sebuah cahaya yang mampu menerangi tempat
sekitarnya .
Patih Bajul Sengara memerintahkan para prajurit pengiring untuk menunggu
di luar goa. Dia sendiri segera berjalan memasuki goa itu. Makin ke
dalam makin terang cahaya yang memancar itu.
Akhirnya sepasang mata Patih Bajul Sengara terbelalak heran, ternyata
cahaya itu bukan berasal dari sebuah lampu atau benda melainkan berasal
dari tubuh seorang berjubah putih yang sedang bersujud di tanah. Seluruh
tubuh dan pakaian orang itu mengeluarkan cahaya terang benderang. Ingat
pesan Resi Kandabaya maka Patih Bajul Sengara tidak berbuat macam-macam
yang justru akan membahayakan dirinya sendiri. Dengan bersabar dia
menunggu orang itu bersujud kemudian duduk bertafakkur. Setelah selesai
barulah Patih Bajul Sengara menyapanya.
“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari dengan membawa pesan alam perdamaian dari Resi Kandabaya,” ujar sang Patih.
Aku terima salam Resi Kandabaya,” ujar pertapa itu. “Sudah lama aku
bersahabat dengan Resi Kandabaya walaupun hanya melalui selembar daun
lontar yang diantar oleh merpati sang Resi.”
Patih Bajul Sengara lalu mengutarakan maksud kedatangannya menemui sang
pertapa. Pertapa itu mengangguk –anggukkan kepala mendengar penjelasan
sang Patih. “Sebelum aku menyatakan kesanggupanku terlebih dahulu
kuperkenalkan diriku ini, “kata pertapa itu. “Namaku Maulana Ishak,
berasal dari negeri Pasai. Aku bersedia mengobati Dewi Sekardadu dan
sekaligus mengusir wabah penyakit dari Blambangan dengan syarat bahwa
Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya masuk agama Islam. Dan rakyat
Blambangan bersedia mendengar nasehatku.”
Barangkali inilah hal-hal yang termasuk di luar perhitunganku, demikian
bisik hati sang Patih. Soal pindah agama dia tidak berani memberi
keputusan. Untuk itu dia harus menghadap sang Prabu lebih dahulu. Maka
diapun berpamit kepada Syekh Maulana Ishak untuk pulang ke istana
Blambangan, menyampaikan persyaratan yang diajukan pertapa itu.
“Ya, ada baiknya anda berunding dengan Prabu Menak Sembuyu lebih dahulu,” kata Syekh Maulana Ishak.
Terpaksa Patih Bajul Sengara kembali ke Blambangan dan menyampaikan
persyaratan yang diajukan Syekh Maulana Ishak kepada Prabu Menak
Sembuyu.
Tentu saja sangat berat bagi sang Prabu untuk melepaskan agama lama yang
terlanjur diyakini selama bertahun-tahun, namun demi rasa kasih
sayangnya pada Dewi Sekardadu, maka dia terpaksa memenuhi syarat yang
diajukan Syekh Maulana Ishak. Patih Bajul Sengara diperintahkan
menjemput Syekh Maulana Ishak. Sesampainya di goa gunung Selangu, Patih
Bajul Sengara dipersilahkan berangkat ke Blambangan lebih dahulu. Syekh
Maulana Ishak akan menyusul kemudian.
Tetapi betapa terkejut Patih Bajul Sengara ketika sampai di istana
Blambangan. Ternyata Syekh Maulana Ishak sudah datang lebih dahulu.
Bahkan sang Prabu Menak Sembuyu menegur keterlambatan sang Patih.
Sadarlah sang Patih, bahwa Syekh Maulana Ishak itu benar-benar pertapa
sakti yang mumpuni. Dia yang menempuh perjalanan naik kuda masih
dikalahkan dengan Syekh Maulana Ishak yang datang ke istana Blambangan
hanya berjalan kaki.
Tiga malam Syekh Maulana Ishak melakukan tirakat untuk mengobati Dewi
Sekardadu. Di malam keempat, sesudah melaksanakan shalat sunnah hajat
ditiupkan wajah sang putri tiga kali. Seketika sang putri membuka
matanya dan bangkit dari tidurnya. Seluruh isi istana gembira
menyaksikan hal itu terlebih permaisuri dan Prabu Menak Sembuyu.
Prabu Menak Sembuyu menepati janjinya. Syekh Maulana Ishak diambil
menantu. Dijodohkan dengan Dewi Sekardadu. Sambil menunggu keadaan tubuh
Dewi Sekardadu supaya benar-benar pulih seperti sedia kala, Syekh
Maulana Ishak berkeliling ke seluruh negeri Blambangan untuk memberikan
nasehat dan memudarkan pengaruh pagebluk yang melanda rakyat Blambangan.
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak akhirnya
diketahui bahwa rakyat Blambangan sangat ceroboh dalam menjaga
kebersihan dan kesehatan mereka. Makanan sehari-hari mereka banyak yang
mengandung racun dan penyakit, cara mereka buang hajat disembarang
tempat dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh mereka.
Setelah Maulana Ishak memberikan penyuluhan merawat kesehatan dan
membersihkan diri serta lingkungan tempat tinggal. Dan nasehat itu
dilaksanakan maka banyaklah rakyat Blambangan yang sembuh dari sakitnya.
Hanya beberapa orang yang penyakitnya tergolong berat terpaksa mendapat
perawatan khusus dari Syekh Maulana Ishak. Dan semuanya berhasil
disembuhkan seperti sedia kala.
Tibalah pada hari yang ditentukan, pernikahan Dewi Sekardadu dan Syekh
Maulana Ishak dilaksanakan. Upacara diselenggarakan dengan penuh meriah.
Karena Syekh Maulana Ishak bukan hanya berhasil menyembuhkan penyakit
Dewi Sekardadu melainkan juga mengusir wabah penyakit dari Blambangan
maka dia juga diangkat sebagai raja muda atau Adipati. Mendapat
kekuasaan separo dari wilayah kerajaan Blambangan, sesuai dengan janji
yang diucapkan oleh Prabu Menak Sembuyu sendiri.
Menurut Babad Tanah Jawi, dalam upacara pernikahan yang diselenggarakan
itu sudah terjadi ketegangan antara Syekh Maulana Ishak dengan pihak
keluarga kerajaan. Yaitu disaat jamuan makan dikeluarkan. Ternyata
makanan yang dihidangkan kepada Syekh Mulana Ishak kebanyakan adalah
terdiri dari daging binatang haram, seperti babi hutan, harimau, ular,
kera dan lain-lain.
Posisi Syekh Mulana Ishak pada saat itu sungguh sulit sekali. Kalau dia
tidak mau menyantap hidangan itu nantinya disangka bersikap sombong dan
menghina Prabu Menak Sembuyu. Jika disantap dagingnya terdiri dari hewan
yang diharamkan agama Islam, maka diapun berdoĆ” kepada Allah, memohon
jalan keluar yang terbaik.
Sesuai berdoĆ” terjadilah sesuatu diluar dugaan. Daging-daging binatang
haram yang sudah dimasak itu tiba-tiba berubah menjadi binatang hidup
berloncatan kesana–kemari. Yang asalnya dari ular menjadi ular, yang
berasal dari harimau menjadi harimau, yang asalnya babi hutan menjadi
babi hutan. Tentu saja suasana menjadi panik. Pesta meriah geger, Syekh
Maulana Ishak mengajak isterinya pulang di Kadipaten baru yang harus
diperintahnya.
Syekh Maulana Ishak hidup berbahagia bersama istrinya. Tapi hal itu
tidak berlangsung lama, karena sejak terjadinya keributan pada jamuan
makan itu Patih Bajul Sengara meniupkan isyu jahat kepada Prabu Menak
Sembuyu.
Menurut Patih Bajul Sengara, Syekh Maulana Ishak sengaja mempermalukan
sang Prabu dengan menghidupkan binatang yang sudah dimasak dan siap
dimakan para peserta pesta. Bukan hanya itu saja, keberhasilan Syekh
Maulana Ishak berdakwa mengajak rakyat Blambangan masuk Islam dianggap
membahayakan kedudukan Prabu Menak Sembuyu selaku penguasa tunggal
kerajaan Blambangan. Karena semakin hari semakin banyak pengikut Syekh
Maulana Ishak yang masuk Islam. Bahkan tidak sedikit rakyat di wilayah
kekuasaan istana Blambangan pindah menjadi penduduk Kadipaten yang
dipimpin oleh Syekh Maulana Ishak.
Lama-lama Syekh Maulana Ishak merebut kerajaan Blambangan ini dari
tangan Gusti Prabu, demikian hasut Patih Bayul Sengara. “Ya, tidak
mustahil dia akan berontak dan memaksa kita benar-benar menjadi
pengikutnya. Memang sejauh ini dia tidak tahu bahwa kita pura-pura saja
masuk Islam. Tapi pada akhirnya dia pasti mengetahuinya.
Prabu Menak Sembuyu memang hanya pura-pura masuk agama Islam demi
kesembuhan putrinya. Kini setelah termakan oleh hasutan Patih Bajul
Sengara dia mulai menaruh kebencian kepada menantunya itu.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan.
Makin hari semakin bertambah banyak saja pengikutnya. Hati Prabu Menak
Sembuyu makin panas mengetahui hal ini. Sementara Patih Bajul Sengara
tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan
jahatnya.
Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah
mengadakan terror pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit
penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak di culik disiksa
dan dipaksa kembali kepada agama lama. Walau kegiatan itu dilakukan
secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak
mengetahui juga.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana
Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang
seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung
akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk meninggalkan
Blambangan.
“Sungguh tidak pantas seorang anak menantu berperang melawan mertuanya.
Lebih tidak tega lagi hatiku bila melihat rakyat yang tak berdosa,
sama-sama sewilayah Blambangan harus berperang habis-habisan. Yang
diinginkan Rama Prabu adalah diriku, maka relakanlah daku pergi kembali
ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah nama Raden Paku, jika
lahir perempuan terserah adinda menamakannya.
Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus
meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak
berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri.
Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih
Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan
Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih kecele, walaupun seluruh isi
istana di obrak-abrik dia tidak menemukan Syekh Maulana Ishak yang
sangat dibencinya.
Sang Patih hanya dapat memboyong Dewi Sekardadu untuk pulang ke istana
Blambangan. Seluruh pengikut Syekh Maulana Ishak sudah diperintah Dewi
Sekardadu untuk menyerah agar tidak terjadi pertumpahan darah. Patih
Bajul Sengara untuk sementara merasa bangga atas kemenangannya itu. Tapi
sesungguhnya dendam kesumat masih membara di dadanya.
Kelahiran Sunan Giri
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang
elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa
senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan
itu.
Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.
Terlebih Dewi Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih
ditinggal suami sedikit terobati.
Seisi istana bergembira.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat
limpahan kasih saying keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah
itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah
penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara
mengkambing hitamkan Syekh Maulana Ishak sebagai penyebabnya.
“Semua bencana yang menimpa rakyat Blambangan ini disebabkan ulah Syekh
Maulana Ishak. Dewa murka karena penduduk Blambangan banyak masuk agama
Islam dan meninggalkan kepercayaan lama. Jika penduduk Blambangan ingin
terhindar dari bencana kita harus kembali kepada agama lama, dan
melenyapkan semua bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak,” demikian kata
sang Patih.
“Apa maksudmu dengan melenyapkan bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak itu?”
tanya sang Prabu.
“Salah satu diantaranya ialah bayi keturunannya, Gusti Prabu !”
Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri ?”
“Benar gusti Prabu ! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di
kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di
Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi
itu !” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya
dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada
bosan-bosannya menteror denga hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang
Prabu terpengaruh juga. Walau demikian tiada juga dia memerintahkan
pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia
empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang
kelaut.
“Biarlah Dewata sendiri yang menentukan nasibnya di Samodra.” Ujar sang Prabu kepada Dewi Sekardadu.
Tentu saja Dewi Sekardadu menangis dengan suara menghayat hati. Ibu mana
yang rela bayinya dibuang begitu saja tanpa alasan yang masuk di akal.
Apalagi tempat pembuangan itu adalah lautan besar di selat Bali.
Dengan hati hancur ia ikut mengantarkan upacara Pelarungan atau
pembuangan bayi yang tak berdosa itu. Dengan tatapan kosong ia memandang
ke arah peti yang dibuang ke tengah lautan, peti itu makin lama makin
ke tengah pada akhirnya hilang dari pandangan mata. Meski demikian
wanita muda itu tidak beranjak dari tempatnya. Suasana di tepi pantai
itu sudah sunyi senyap, hanya debur ombak yang terdengar membentur batu
karang. Matahari mulai condong ke langit barat. Para prajurit yang
diperintahkan menunggu Dewi Sekardadu segera pulang ke istana,
melaporkan prilaku sang putri yang masih duduk tepekur di tepi pantai.
Di saat para prajurit meninggalkannya itulah Dewi sekardadu beranjak
dari tempatnya duduk. Dengan gontai dia melangkahkan kakinya. Bukan ke
istana Blambangan. Melainkan mengembara tanpa tujuan yang pasti. Dan tak
seorangpun dapat menemukannya lagi.
Belakangan baru diketahui bahwa sikap benci sang Patih kepada Syekh
Maulana Ishak adalah dikarenakan ambisinya untuk dapat memperistri Dewi
Sekardadu sendiri. Tapi ambisi itu memudar manakala kenyataan berbicara
lain, Dewi Sekardadu yang telah lama diimpikannya sebagai batu loncatan
untuk dapat mewarisi tahta Blambangan ternyata lebih dahulu di sunting
oleh Syekh Maulana Ishak.
Meski demikian ambisi itu tak pernah padam. Setelah berhasil
menyingkirkan Syekh Maulana Ishak dari bumi Blambangan, dia berharap
akan dapat berjodoh dengan Dewi Sekardadu yang telah menjadi janda,
demikian pikir sang Patih. Untuk itu dia harus menyingkirkan putra Syekh
Maulana Ishak, supaya Dewi Sekardadu benar-benar dapat melupakan
suaminya yang dahulu dan di belakang hari bayi itu tidak menjadi
perintang cita-citanya.
Kini, setelah mendengar laporan para prajurit bahwa Dewi Sekardadu yang
duduk terpekur di tepi pantai hingga sore hari ternyata sudah tidak ada
di tempat. Patih itu kelabakan, dia perintahkan ratusan prajurit untuk
mencari sang putri. namun itu sia-sia belaka. Sang Putri seolah-olah
lenyap di telan bumi.
Konon, Syekh Maulana Ishak sebelum meneruskan perjalanan ke negeri Pasai
sempat mampir ke Ampeldenta di Surabaya. Kepada Raden Rahmat atau Sunan
Ampel dia berpesan, apabila bertemu dengan anak yang pernah dibuang ke
laut oleh Prabu Menak Sembuyu itu supaya dinamakan Raden Paku dan
hendaklah Raden Rahmat suka mendidiknya secara Islami.
Sudah barang tentu Sunan Ampel tidak berkeberatan menerima amanat itu.
Jika kita amati di dalam Babat Tanah Jawa, sesudah pertemuan dengan
Sunan Ampel, Syekh Maulana Ishak masih terus mengembara di sekitar Pulau
Jawa terutama di bagian Tengah. Dan kemudian beliau mendapat sebutan
Syekh Wali Lanang.
Kemudian berangkatlah Syekh Maulana Ishak ke negeri Pasai. Mendirikan
perguruan Islam di sana dan terkenal sebutan Syekh Awwalul Islam.
Tetapi, berdasarkan bukti adanya makam Syekh Maulana Ishak di Gresik
dekat makam Maulana Malik Ibrahim, maka di duga pada usia lanjut atau
pada jaman kejayaan Sunan Giri. Syekh Maulana Ishak itu kembali ke Jawa,
mendampingi Sunan Giri yang memerintah di Giri Kedaton dan kemudian
wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek pemakaman Syekh
Maulana Malik Ibrahim.
Bayi dinamakan Joko Samodra oleh Nyai Ageng Pinatih
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat
Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah Selat Bali tiba-tiba
terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa
mundurpun tak bisa.
Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan
itu, mungkinkah perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa
ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti
peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga.
Nakhoda memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka,
semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil
yang bertubuh montok dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat
menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang
tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak
berperikemanusiaan.
Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke
Pulau Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar
dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian diluar perhitungan manusia
biasa. Pertama hanya karena peti perahu ini tak dapat bergerak, kemudian
setelah peti ini kita buka perahu tak dapat bergerak maju. Ketika
perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan
pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian diluar perhitungan manusia
biasa. Pertama hanya karena petiperahu ini tak dapat bergerak, kemudian
setelah peti ini kita buka perahu tak dapat melanjutkan perjalanan ke
Pulau Bali. Baiklah kita kembali saja ke Gresik, kita laporkan kejadian
aneh ini kepada majikan kita,” demikian kata Nakhoda kepada anak
buahnya.
Perahu itupun melaju cepat ke arah Gresik. Tanpa ada halangan dan
rintangan. Padahal berdasarkan perhitungan, berlayar ke arah barat saat
itu sama dengan menentang gelombang dan badai.
Mereka tiba di pelabuhan Gresik dengan selamat. Tetapi Nyai Ageng
Pinatih merasa cemas melihat kapal perahu dagang miliknya kembali lebih
cepat dari biasanya. “Apa yang terjadi? Mengapa kalian pulang secepatnya
ini ?”
Lebih-lebih setelah diperiksa barang dagangan masih utuh seperti semula. Nyai Ageng Pinatih mulai naik pitam.
Nakhoda perahu tak banyak bicara, dia perintahkan anak buahnya membawa peti berisi bayi ke hadapan Nyai Ageng Pinatih.
“Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami
tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang Nakhoda.
“Hanya karena peti? Apa isinya? Harta karun?” hardik Nyai Ageng Pinatih.
“Inilah isinya, kata Nakhoda sembari membuka tutup peti itu. Sepasang
mata Nyai Ageng Pinatih terbelalak heran melihat bayi montok, sehat dan
rupawan menggerakgerakkan tangannya sembari menatap ke arahnya.
“Bayi ………. ? Bayi siapa ini ?” guman Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Begitu diangkat bayi itu tampak tersenyum. Hati Nyai Ageng Pinatih
berbinar-binar, seketika itu juga dia merasa sangat suka pada si bayi.
Lebih-lebih dia itu adalah seorang janda yang tidak dikaruniai seorang
putrapun.
“Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali, jawab nakhoda kapal.
“Tengah samodra ?” ulang Nyai Ageng Pinatih.
“Benar Nyai Ageng.”
“Lalu apa rencana kalian atas bayi ini ?”
“Banyak di antara kami yang menyukai bayi itu dan mengambilnya sebagai
anak. Tapi kami tahu betapa lama Nyai Ageng mendambahkan seorang putra,
maka lebih tepat kiranya bila Nyai Ageng yang merawat dan membesarkan
bayi itu.”
“Jelasnya kalian berikan bayi ini kepadaku ?” Nyai Ageng menegaskan.
“Benar Nyai Ageng.”
Nyai Ageng Pinatih merasa sangat berterima kasih kepada nakhoda dan anak
buahnya. Memang sudah lama dia mengingingkan seorang anak. Sebagai
ungkapan rasa senangnya.... Kepada nakhoda dan anak buahnya.
Selanjutnya bayi itu diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih,
seorang janda kaya raya yang disegani masyarakat Gresik. Karena bayi itu
ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinati kemudian memberinya
nama Joko Samodra.
Nyai Ageng Pinatih adalah seorang muslimah yang baik, walau Joko Samodra
bukan anak kandungnya dia merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih
sayang. Terlebih Joko Samodra itu ternyata mempunyai sifat yang baik,
kepada ibunya dia sangat berbakti selalu bersikap menyenangkan hati.
Kepada orang yang lebih tua dia selalu menghormati dan menjunjung
tinggi. Kepada teman-teman sebayanya dia tak pernah menyakiti atau
berbuat usil. Pendek kata Joko Samodra benar-benar merupakan profil anak
yang menjadi buah hati orang tua dan pantas dibanggakan setiap orang
tua. Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko
Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya.
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke
Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan
agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih
konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Dalam beberapa minggu saja Sunan Ampel telah dapat mengetahui bahwa Joko
Samodra bukanlah anak sembarangan. Muridnya yang satu ini memiliki
kecerdasan luar biasa. Semua pelajaran yang diberikan mampu dicerna dan
dihafal dalam tempo yang tidak terlalu lama.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu
guna melaksanakan shalat tahajjud, mendoƔkan murid-muridnya dan
mendoƔkan ummat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudlu
Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di
asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah
seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang
itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya
bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh, Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
“Siapakah di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan ?” Tanya Sunan Ampel.
“Saya Kanjeng Sunan ………. “acung Joko Samodra.
Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin
bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu
Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan ini
digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal usul Joko
Samodra. Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko
Samodra di temukan di tengah Selat Bali ketika masih bayi. Peti yang
digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi
di rumah Nyai Ageng Pinatih.
Sunan Ampel kemudian menyempatkan diri datang ke Gresik untuk melihat
peti yang masih tersimpan rapi itu. Berdasarkan pengamatan Sunan Ampel
peti itu memang berasal dari kalangan istana Blambangan, hal itu
diketahui dari ciri-ciri ukiran dan tanda khusus pada peti itu. Yakinlah
Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syekh Maulana Ishak yang
dibuang ke tengah samodra.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri
Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar
nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih
menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar
yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang
Pangeran Majapahit itu.
Penamaan Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab
bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim.
Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling
mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba
pengetahuan yang lebih tinggi di negeri Seberang sambil meluaskan
pengalaman. “Di Negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri.
Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah
ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah
kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam
mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan
berguna kelak bagi kehidupanmu yang akan datang.”
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan
begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru
dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak
pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di
tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih
dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Sebaliknya Syekh Maulana
Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di
Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang sangat
dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi
kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak
Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya
berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia. Dalam
hatinya telah bertekad untuk pada suatu ketika akan datang ke Blambangan
menuntut balas atas kekejaman kakeknya itu.
Namun Syekh Maulana Ishak segera meredahkan gelora hati Raden Paku yang
masih berusia muda itu. “janganlah kau diperbudak iblis sehingga berniat
membalas dendam pada kakekmu, Ujar Syekh Maulana Ishak.” Memang boleh
kita membalas perbuatan jahat seorang dengan balasan yang setimpal
dengan perbuatannya. Tapi memberi maaf itu lebih baik. Jika engkau
pemuda Islam yang baik yang tidak sama dengan pemuda lain dengan
menunjukkan kepribadian kita yang baik, sudah otomatis kita berdakwah
dengan perbuatan nyata.”
Nasehat Syekh Wali Lanang/Syekh Awallul Islam ( Maulana Ishak ) kepada putranya Raden Paku (Sunan Giri) :
Macam-macam Ilmu Manusia
Adalah suatu yang pasti terjadi anakku, ketahuilah ini, renungkan demi
kasampurnaan ilmumu. Di dunia ini, entah kapan, sakit, dan mati pasti
terjadi. Maka hendaklah waspada, tidak urung kita juga akan mati, jangan
lupa pada sangkan paran dumadi. Untuk itu, di dunia ini hendaklah
selalu prihatin; agar benar-benar sempurna engkau berilmu.
Dalam memperbincangkan ilmu kasempurnaan ini, jangan lupa arti bahasanya
jika engkau mempertanyakannya. Karena mengetahui arti bahasa adalah
kuncinya. Kesungguhanlah yang pasti, itulah yang perlu benar-benar
engkau mengerti. Jangan takut pada biaya. Bukan emas, bukan dirham, dan
bukan pula harta benda. Namun hanya niat ikhlas saja yang diperlukan.
Adapun ilmu manusia itu ada dua, anakku :
-Yang pertama adalah ilmu kamanungsa'an yang lahir dari jalan indrawi dan melalui laku kemanungsa'an.
-Yang kedua adalah ilmu kasampurna'an yang lahir melalui pembelajaran langsung dari Sang Khalik.
Untuk yang kedua ini, ia terjadi melalui dua cara, yaitu dari luar dan
dari dalam. Yang dari luar, dilalui dengan cara belajar. Sedangkan yang
dari dalam, dilalui dengan cara menyibukan diri dengan jalan bertafakur.
Adapun bertafakur secara batin itu sepadan dengan belajar secara lahir.
Belajar memilki arti pengambilan manfaat oleh seorang murid dari gerak
seorang guru. Sedangkan tafakur memilki makna batin, yaitu suksma
seorang murid yang mengambil manfaat dari suksma sejati, ialah jiwa
sejati.
Suksma sejati dalam olah ngelmu memilki pengaruh yang lebih kuat
dibandingkan berbagai nasehat dari ahli ilmu dan ahli nalar. Ilmu-ilmu
seperti itu tersimpan kuat pada pangkal suksma, bagaikan benih yang
tertanam dalam tanah, atau mutiara di dasar laut.
Ketahuilah anakku, kewajiban orang hidup tidak lain adalah selalu
berusaha menjadikan daya potensial yang ada di dalam dirinya menjadi
suatu bentuk aksi (perbuatan) yang bermanfaat. Sebagaimana engkau juga
wajib mengubah daya potensial yang ada dalam dirimu menjadi perbuatan,
melalui belajar. Sejatinya dalam belajar, suksma sang murid menyerupai
dan berdekatan dengan suksma sang guru. Sebagai yang memberi manfaat,
guru laksana petani. Dan sebagai yang meminta manfaat, murid ibarat bumi
atau tanah.
Anakku ketahuilah, ilmu merupakan kekuatan seperti benih atau tepatnya
seperti tumbuh-tumbuhan. Apabila suksma sang murid sudah matang, ia akan
menjadi seperti pohon yang berbuah, atau seperti mutiara yang sudah
dikeluarkan dari dasar laut. Jika kekuatan badaniah mengalahkan jiwa,
berarti murid masih harus terus menjalani laku prihatin dalam olah
ngelmu dengan menyelami kesulitan demi kesulitan dan kepenatan demi
kepenatan, dalam rangka menggapai manfaat.
Jika Cahaya Rasa mengalahkan macam-macam indra, berarti murid lebih
membutuhkan sedikit tafakur ketimbang banyak belajar. Sebab suksma yang
cair atau dalam bahasa arab disebut nafs al-qabil akan berhasil
menggapai manfaat walau hanya dengan berfikir sesaat, ketimbang proses
belajar setahun yang dilakukan oleh suksma yang beku nafs al-jamid.
Jadi, engkau bisa meraih ilmu dengan cara belajar, dan bisa juga
mendapatkannya dengan cara bertafakur. Walaupun sebenarnya dalam belajar
itu juga memerlukan proses tafakur. Dan dengan tafakur engkau tahu
manusia hanya bisa mempelajari sebagian saja dari seluruh ilmu dan tidak
bisa semuanya.
Banyak ilmu-ilmu mendasar atau yang disebut annazhariyyah dan
penemuan-penemuan baru, berhasil dikuak oleh orang-orang yg memilki
kearifan. Dengan kejernihan otak, kekuatan daya fikir dan ketajaman
batin, mereka berhasil menguak hal-hal tersebut tanpa proses belajar dan
usaha pencapaian ilmu yang berlebihan.
Cara bertafakur, manusia berhasil menguak ajaran sangkan paraning
dumadi. Dengan begitu terbukalah asumsi dasar dari keilmuan sehingga
persoalan tidak berlarut-larut dan segera tersingkap kebodohan yang
menyelimuti kalbu.
Seperti telah kuberitahukan sebelumnya anakku, suksma tidak bisa
mempelajari semua yang diinginkan, baik yang bersifat sebagian (juz’i /
parsial) maupun yang menyeluruh (kulli /universal) dengan cara belajar.
Ia harus mempelajari dengan induksi, sebagian dari deduksi sebagaimana
umumnya manusia dan sebagian lagi dengan analogi yang membutuhkan
kejernihan berfikir. Berdasarkan hal ini, ahli ilmu terus membentangkan
kaidah-kaidah keilmuan.
Ketahuilah anakku, seorang ahli ilmu tidak bisa mempelajari apa yang
dibutuhkan seluruh hidupnya. Ia hanya bisa mempelajari keilmuan umum dan
beragam bentuk yang merupakan turunannya dan hal itu menjadi dasar
untuk melakukan qiyas terhadap berbagi persoalan lainnya. Begitu pula
para tabib, tidaklah bisa mempelajari seluruh unsur obat-obatan untuk
orang lain. Meraka hanya mempelajari gejala-gejala umum. Dan setiap
orang diobati menurut sifat masing-masing. Demikian juga para ahli
perbintangan, mereka mempelajari hal-hal umum yang berkaitan dengan
bintang, kemudian berfikir dan memutuskan berbagai hukum. Demikian juga
halnya seorang ahli fikih dan pujangga. Begitu seterusnya, imajinasi dan
karsa yang indah-indah berjalan. Yang satu menggunakan tafakur sebagai
alat pukul, semacam lidi, sedangkan yang lain menggunakan alat bantu
lain untuk merealisasikan.
Anakku jika pintu suksma terbuka, ia akan tahu bagaimana cara bertafakur
dengan benar dan selanjutnya ia bisa memahami bagaimana merealisasikan
apa yang diinginkan. Karena itu hati pun menjadi lapang, pikiran jadi
terbuka dan daya potensial yang ada dalam diri akan lahir menjadi aksi
(perbuatan) yang berkelanjutan dan tak mengenal lelah.
Memahami Ilmu Kasampurnaan
Ketahuilah anakku bahwa ilmu kasampurnaan itu ada dua macam,
-Pertama, diberikan melalui wahyu.
Apabila suksma manusia telah sempurna, niscaya akan sirna segala sesuatu
yang dapat mengotori watak, seperti halnya sikap rakus dan impian semu.
Suksma akan menghadap Sang Pencipta, merengkuh cintaNya dan berharap
manfaat serta limpahan cahayaNya.
Allah akan menyambut suksma itu secara total. Tatapan Ketuhanan
memandanginya dan menjadikannya seperti papan. kemudian Allah akan
menjadikan pena dari suskma sejati. Dan pena itu diukirkan ilmu pada
papan tadi.
Suksma sejati laksana guru, suksma manusia suci ibarat sang murid.
Sehingga dicapailah seluruh ilmu, dan padanya semua bentuk terukir tanpa
proses belajar maupun berfikir.
Dalilnya : “Dan Dialah yang mengajarkanmu apa-apa yang tidak kamu ketahui” (QS. An-Nisa:213).
Ilmu para nabi lebih tinggi derajatnya dibandingkan ilmu mahluk-mahluk
yang lain. Karena ilmu tersebut diperoleh langsung dari Yang Maha Esa
tanpa perantara. Kau bisa memahami dalam kisah para malaikat dengan
kanjeng Nabi Adam. Sepanjang usianya para malaikat terus belajar. Dan
dengan berbagai cara mereka berhasil mendapatkan banyak macam ilmu,
sehingga mereka menjadi mahluk yang paling berilmu dan mahluk paling
berpengetahuan.
Sementara itu, Adam tidaklah tergolong ahli ngelmu karena ia tidak
pernah belajar dan berjumpa dengan seorang guru. Malaikat bangga dan
dengan besar hati mereka berkata: “padahal kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (QS. Al-Baqarah:30).
Kanjeng Nabi Adam kembali menuju Sang Pencipta. Lantas beberapa bagian
dalam hati Kanjeng Nabi oleh Allah dikeluarkan ketika ia menghadap dan
memohon pertolongan kepada Tuhan. Lalu Allah ajarkan seluruh nama-nama
benda. “Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat, lantas Allah
berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar” (QS. Al-Baqarah:31).
Ketahuilah, malaikat menjadi kerdil dihadapan Adam. Ilmu mereka menjadi
terlihat sempit. Mereka tak bisa berbangga dan besar hati, justru yang
ada hanya rasa tak berdaya. “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami” (QS.
Al-Baqarah:32).
Maka kepada mereka Adam diberitahukan beberapa bagian ilmu dan hal-hal
yang masih tersembunyi. Akhirnya jelaslah bagi kaum berakal, bahwa ilmu
gaib yang bersumber dari wahyu lebih kuat dan lebih sempurna
dibandingkan ilmu yang diperoleh dengan penglihatan langsung.
Ilmu yang diperoleh melalui wahyu merupakan warisan dari hak para nabi.
Namun mulai masa Kanjeng Nabi Muhammad pintu wahyu telah ditutup oleh
Allah. Sebab Muhammad adalah penutup para nabi. Dia mewakili sosok
paling berilmu dan paling fasih dikalangan manusia. Allah telah
mendidiknya dengan budi pekertinya menjadi baik.
Ketahuilah anakku, Ilmu Rasul itu lebih sempurna, lebih mulia, dan kuat.
Karena ilmu tersebut diperoleh langsung dari Sang Khalik. Beliau sama
sekali tidak pernah menjalankan proses belajar-mengajar insani.
-Ilmu Kasampurnaan yang Kedua
Disampaikan sebagai ilham yaitu peringatan suksma sejati terhadap suksma
manusia berdasarkan kadar kejernihan, penerimaan dan daya kesiapannya.
Ilham boleh dikatakan mengiringi wahyu. Kalau wahyu merupakan penegasan
perkara gaib, maka ilham merupakan penjelasannya. Ilmu yang diperoleh
dengan wahyu itulah sejatinya ilmu kenabian, sedangkan yang diperoleh
dengan ilham itulah sejatinya ilmu kewalian.
Ilmu kewalian diperoleh secara langsung, tanpa perantara antara suksma
dan Sang Pencipta. Ilmu Kasampurnaan itu laksana secercah cahaya dari
alam gaib, yang datang menerpa hati yang jernih, hampa dan lembut.
Semua ilmu merupakan produk pengetahuan yang diperoleh dari suksma
sejati yang terdapat dalam inti sangkan paraning dumadi dengan
menisbatkan pada RASA SEJATI, seperti penisbatan Siti Hawa kepada
Kanjeng Nabi Adam.
Ketahuilah anakku, rasa sejati lebih mulia, lebih sempurna dan lebih
kuat dari disisi Allah dibandingkan suksma sejati. Sedangkan suksma
sejati lebih terhormat, lebih lembut dan lebih mulia dibandingkan
mahluk-mahluk lain.
Adapun ilham itu terlahir dari melimpahnya rasa sejati dan juga terlahir
dari melimpahnya pancaran sinar suksma sejati. Jika wahyu menjadi
perhiasan para nabi, maka ilham menjadi perhiasan para wali. Adapun ilmu
yg diperoleh dari wahyu adalah sebagaimana suksma tanpa rasa atau wali
tanpa nabi. Begitu pula ilham tanpa wahyu akan menjadi lemah. Ilmu akan
menjadi kuat jika dinisbatkan kepada wahyu yang bersandar pada
penglihatan ruhani. Itulah ilmu para nabi dan wali.
Ketahuilah, ilmu yang diperoleh dengan wahyu hanya khusus bagi para
rasul, seperti diberikan kepada Adam, Musa, Ibrahim, Isa, Muhammad saw
dan para rasul lain. Itulah yang membedakan antara risalah dengan
nubuwwah . Adapun nubuwwah adalah perolehan hakikat dari ilmu dan
rasionalitas-rasionalitas oleh suksma yang suci kepada orang-orang yang
mengambil manfaat. Barangkali perolehan semacam itu didapat salah satu
suksma, tetapi ia tidak berkewajiban menyebarkannya karena suatu alasan
dan oleh sebab-sebab tertentu.
Ilmu kasampurnaan menjadi milik seorang nabi dan wali, sebagaimana
dimilki Khidir a.s. Hal itu terdapat pada dalil: “Dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS. Al-Kahfi:65).
Ingatlah ketika khalifah Ali berkata: “Kumasukan lisanku kemulutku,
hingga terbukalah dihatiku seribu pintu ilmu, yang pada setiap pintu
terdapat seribu pintu yang lain”. Dan ia berkata: “Andai kuletakkan
bantal dan aku duduk diatasnya, niscaya aku akan mengambil putusan hukum
bagi penganut Taurat berdasarkan Taurat mereka, bagi penganut Injil
berdasarkan Injil mereka, dan bagi penganut al-Quran berdasarkan
al-Quran mereka”.
Derajat seperti ini tidak bisa diterima dengan melalui ilmu kemanungsan
semata yang hanya dari pembelajaran insani. Pastilah seseorang yang
telah mencapai derajat tersebut telah dikarunia ilmu kasampurnaan.
Jika Allah mengkehendaki kebaikan pada dirimu, Dia akan menyingkap tabir
atau hijab yg menghalangi dirimu dengan suksma yang menjadi papan itu.
Dengan demikian, sebagian rahasia dari apa-apa yang tersembunyi akan
ditampakan padamu. Segenap makna yang terkandung didalam rahasia
tersebut akan terpahat pada suksmamu. Dan suksma itupun mengungkapkan
sebagaimana engkau ingin karena dikehendakiNya.
Sejatinya, kearifan bisa lahir dari ilmu kasampurnaan. Selama engkau
belum mencapai derajat atau tingkatan ini, engkau tidak akan menjadi
seorang arif. Karena kearifan merupakan pemberian Hyang Widi. Dalilnya
:
“Allah menganugrahkan al-hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal-lah
yang dapat mengambil pelajaran ” (QS. Al-Baqarah:269).
Hal itu karena orang-orang yg berhasil mencapai ilmu kasampurnaan tidak
perlu lagi banyak berusaha memahami ilmu secara induktif dan
berpayah-payah belajar. Orang yang demikian sedikit belajar, banyak
mengajar, sedikit capai, banyak istirahat.
Ketahuilah anakku, setelah wahyu terputus dan sesudah pintu risalah
ditutup, umat manusia tidak lagi membutuhkan kehadiran rasul atau
utusan. Mereka tidak lagi memerlukan penampakan dakwah setelah
penyempurnaan agama. Bukanlah termasuk kearifan menampakan nilai lebih
tidak berdasarkan kebutuhan.
Tapi ketahuilah anakku, pintu ilham itu tidak pernah ditutup. Pancaran
cahaya suksma sejati tidak pernah terputus. Karena suksma terus
membutuhkan arahan, pembaharuan dan peringatan. Umat manusia tidak
memerlukan risalah dan dakwah, tetapi masih membutuhkan peringatan
sebagai akibat dari tenggelamnya mereka pada rasa was-was dan terhanyut
oleh gelombang syahwat.
Karena itu Allah menutup pintu wahyu sebagai pertanda bagi hamba-Nya dan
membuka pintu ilham sebagai rahmat serta menyiapkan segala sesuatu
menyusun tingkatan-tingkatan supaya mereka tahu bahwa Allah Maha Lembut
kepada hamba-hambaNya, memberikan rezeki kepada siapa saja yang
dikendaki tanpa perhitungan. Selesai sudah nasehatku tentang kawruh
kesejatian yang kubeberkan padamu. Hendaklah engkau bisa menggunakan
sebaik mungkin.
Karena nasehat ayahnya yang bijaksana itu Raden Paku mengurungkan
niatnya untuk membalas dendam pada Prabu Menak Sembuyu. Toh raja
Blambangan itu masih terhitung kakeknya sendiri.
Di negeri Pasai ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka
pelajaran agana Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak
disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda
itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri
maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu
yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah
tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Ta uhid mereka juga mempelajari
ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di
negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku
dalam prilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai
ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama
yang berusia lanjut dan berpengalaman. Guru-gurunya kemudian memberinya
gelar Syekh Maulana A’inul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap
cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali
ke Tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan putih
berisi tanah.
“Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah tanah
yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini, disitulah kau
membangun Pesantren,” Demikian pesan ayahnya.
Kedua pemuda itu kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya
kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di
daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ibu
angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih. “Tiba masanya bagimu untuk berbakti
kepada Nyai Ageng Pinatih.” Kata Sunan Ampel. “Walau dia bukan ibu
kandungmu tapi dialah yang membesarkan dan merawatmu sejak kecil.
Bantulah dagangan ibumu sambil berdakwah. Orang-orang pendahulu kita
juga melakukan da’wah sambil berdagang.”
Demikianlah, Raden Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban dengan menggunakan
gamelan untuk menarik masa maka akhirnya dia dikenal sebagai Sunan
Bonang. Sesuai dengan nama gamelan yang sering di gunakan melantunkan
lagu-lagu atau tembang keagamaan.
Sedang Raden Paku kembali ke Gresik untuk membantu ibu angkatnya dalam mengurus perdagangan antar pulau.
Raden Paku Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal
barang dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya
dengan senang hati. Nakhoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu
Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi
Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut
memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh
muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di pulau Banjar
maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari Pulau Banjar
yang sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan
lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat
ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar,
Raden Paku membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis
kepada penduduk setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera
memprotes tindakan Raden Paku, “Raden …… kita pasti akan mendapat murka
Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara
Cuma-Cuma ?”
“Jangan kuatir Paman, “Kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat.
Penduduk Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda
kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak
mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkah ibu memberikan hartanya
dengan membayar zakat kepada mereka ?. Saya kira belum, nah sekaranglah
saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.”
“Itu diluar wewenang saya Raden ,” Kata Abu Hurairah. “Jika kita tidak
memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng
dihantam ombak dan badai ?”
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis
biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang
dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan
Pulau Banjar akan dibeli. “Paman tak usah risau,” kata Raden Paku
dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita
dengan batu dan pasir.”
Walaupun agak konyol tapi benar juga akal itu, demikian pikir Abu
Hurairah. Kapal itupun diisi dengan karung-karung yang berisi pasir dan
batu. Sekedar menjaga keseimbangan agar kapal itu tidak karam dihantam
badai.
Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam
keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat kebit sewaktu
berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih. Dugaan
Abu Hurairah memang tepat.
Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.
“Ibu jangan terburu marah-marah,” kata Raden Paku. “Lebih baik ibu lihat dulu apakah isi karung-karung dalam kapal itu ?”
“Apakah yang dilihat lagi, Abu Hurairah tak pernah berbohong kepadaku.
Pasir dan batu apa susahnya mencari di Gresik ini. Aku tidak keberatan
barang dagangan itu kau sedekahkan kepada penduduk Banjar yang menderita
tapi pasir dan batu itu buat apa ?”
“Sebaiknya ibu lihat lebih dahulu !” pinta Raden Paku.
“Sudah, jangan banyak bicara, buang saja pasir dan batu itu. Hanya
mengotori karung-karung kita saja !” Hardik Nyai Ageng pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu, mereka terkejut.
Karung-karung itu isinya berubah menjadi barang-barang dagangan yang
biasa mereka bawa dari Banjar, seperti rotan, damar, kain dan emas serta
intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang barang
dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar. Sejak saat itu Nyai
Ageng Pinatih tidak berani menganggap sembarangan pada anak angkatnya.
Dia yakin kelak Raden Paku akan menjadi orang besar, seorang yang
mempunyai kelebihan dibanding pemuda-pemuda biasa lainnya.
Perkawinan Raden Paku
Al-kisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul.
Ia mempunyai Sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan
rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang
berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa
penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia.
Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki
Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah
pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Pakuh, dan ia berkata, “kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah.”
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang
dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan
dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi
hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
“Tak usah bingung. Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik, aku
yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu sudah
menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat
baiknya itu.” Demikian kata Sunan Ampel.
“Tapi .......... bukankah saya hendak menikah dengan putri Kan jeng Sunan yaitu dengan Dewi Murtasiah ?” Ujar Raden Paku.
“Tidak mengapa?” Kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad nikah
dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan
dengan Dewi Wardah.”
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah
dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng
Bungkul seorang Bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya
terawat baik di Surabaya. Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat
berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu pula beliau
menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup
terkenal di kepulauan Nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin
berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok
Pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia
perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. Andaikata
hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya
rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang
kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus
seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanta itu ikhlas melepaskan
Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam
beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden
Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada, yaitu desa Kembangan dan
Kebomas. Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya
sewaktu belajar di Negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk
mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang di bawa dari Negeri
Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang
hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokan tanah yang
dibawanya dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di
desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat
itu adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah pesantren Giri.
Giri dalam bahasa Sangsekerta artinya gunung. Atas dukungan istri-istri
dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel. Tidak begitu lama,
hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh
Nusantara.
Peranan Sunan Giri Dalam Perjuangan Wali Sanga
Dimuka telah disebutkan bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan
Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh
Nusantara. Menurut Dr. H.J. De Graaf, sesudah pulang dari
pengembaraannya atau berguru ke Negeri Pasai, ia memperkenalkan diri
kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia
menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang
ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan
rakyat dibicarakan adanya Giri Kedaton ( Kerajaan Giri ) . Murid-murid
Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura,
Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran
hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa ( Rum ), Arab,
Mesir, Cina dan lain-lain.
Semua itu adalah pengembara kebesaran nama Sunan Giri sebagai ulama
besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya
yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan
iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga
membangun asrama yang luas.
Disekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk
dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri
masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber
air itu sangat aneh dan gaib, hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.
Sunan Giri Sebagai Pemimpin Kaum Putihan
Dalam menentukan hokum agama yang pada saat itu memang sedang menghadapi
ujian adanya masalah-masalah ummat yang pelik, Sunan Giri sangat
berhati-hati, beliau kuatir terjerumus pada jurang kemusyrikan. Itu
sebabnya beliau sangat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi
yang sahih.
Ibadah menurut beliau haruslah sesuai dengan ajaran Nabi, tidak boleh
dicampuri dengan berbagai kepercayaan lama yang justru bertentangan
dengan agama Islam. Karena mahirnya beliau di bidang ilmu fiqih maka
beliau mendapat sebutan Sultan Abdul Fakih. Di bidang tauhid beliau juga
tak kenal kompromi dengan adat istiadat lama dan kepercayaan lama.
Kepercayaan Hindu-Budha atau animesme dan dinamisme harus dikikis habis.
Adat istiadat lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus
dilenyapkan supaya tidak menyesatkan ummat dibelakang hari.
Pelaksanaan syariat Islam di bidang agama ibadah haruslah sesuai dengan
ajaran aslinya yang termasuk di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena
sikapnya ini maka Sunan Giri dan pengikutnya disebut kaum Putihan atau
Islam Putih. Islam Putihan ini artinya adalah dalam beragama mengikuti
jalan lurus, putih bersih seperti ajaran aslinya. Pemimpin kaum putihan
adalah Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajad.
Kalau ada Islam Putihan tentunya ada Islam Abangan, anak Islam Abangan
ini adalah para pengikut Sunan Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan Muria.
Tujuan Aliran Islam Abangan ini adalah agar Islam cepat tersiar
keseluruh penduduk Tanah Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama
Islam, karena itu mereka berpendapat :
1.Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidak merubah
adat yang berat ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam
menyebarkan Islam.
2.Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka ditiadakan.
3.Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi
diusahakan untuk mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima
Islam yang benar.
4.Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau terjadinya
kekerasan dalam menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil
ikannya tanpa mengeruhkan airnya
5.Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga
rakyat mau diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan
keterangan apa sih ajaran agama Islam itu ? Jadi tidak dibenarkan
menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha
menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para ulama atau para
Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat seperti
gending dan wayang kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.
Itulah pendapat kaum Abangan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Perlu
diketahui walaupun ada perbedaan dalam cara menyiarkan Islam, tapi pada
waktu itu tidak sampai terjadi ketegangan kedua pihak masih sama-sama
berfaham Ahlussunah waljamaah dan bermahZab Syafi’i. Kedua pihak
sama-sama menyadari pentingnya pos mereka. Pihak Putihan menjaga
kemurnian agama Islam agar tidak bercampur dengan faham yang berbau
syirik. Sedangkan pihak Abangan adalah mengajak masyarakat atau rakyat
secepatnya menjadi pemeluk agama Islam. Bila sudah menjadi pemeluk Islam
tinggal menyempurnakan iman mereka saja.
Peresmian Masjid Agung Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka
dengan pertunjukan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih
wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit
binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang
yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian
menurut Sunan Giri.
Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan
membuka pegelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat
berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri
mengusulkan agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari jum’at sembari
melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar
kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan
Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak
bisa disebut sebagai gambar manusia lagi. Lebih mirip karikatur seperti
bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan sidang para Wali.
Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri
menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah. Perubahan
bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena
itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu.
Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang
Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi.
Peresmian itu akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan
dengan pertunjukan wayang kulit yang dinamakan oleh Ki Dalang Sunan
Kalijaga. Peranan Sunan Giri dalam perjuangan Wali Songo sebenarnya
masih banyak, diantaranya akan kami turunkan dalam bab lain di buku ini.
Prabu Satmoko Dan Giri Kedaton
Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan spiritualnya
juga semakin luas. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren Giri
kemudian berubah menjadi kerajaan Giri yang sering disebut Giri Kedaton.
Dan Sunan Giri sebagai raja pertama bergelar Prabu Satmoko
Ketika Sunan Ampel wafat pada tahun 1478, maka Sunan Girilah yang
diangkat sebagai sesepuh Wali Songo atau Mufti ( pemimpin agama se Tanah
Jawa ). Sunan Ampel adalah Penasehat bagian politik Demak. Jasa beliau
sungguh besar bagi perjuangan Wali Songo, yaitu menyebarkan agama Islam
tanpa kekerasan. Beliaulah yang paling tidak setuju atas beberapa usul
agar Raden Patah segera menyerang Majapahit agar Demak dapat berdiri
sebagai kerajaan Islam merdeka tanpa harus tunduk kepada Majapahit.
Sunan Ampel dan Sunan Giri yang masih terhitung keluarga kerajaan
Majapahit memang dianggap Prabu Brawijaya sebagai pembesar atau para
Pangeran Majapahit yang berkuasa didaerah masing-masing. Sunan Ampel
berkuasa di Surabaya dan Sunan Giri berkuasa di Giri Gresik. Dengan
demikian Sunan Ampel adalah orang yang paling tahu situasi kerajaan
Majapahit. Ketika beberapa wali mengusulkan untuk menyerbu Majapait,
Sunan Ampel menyatakan ketidak setujuannya.
“Tanpa diserbupun Kerajaan Majapahit sudah keropos dari dalam. Lagi pula
Prabu Brawijaya Kertabumi itu masih ayah kandung Raden Patah selaku
Pangeran Demak Bintoro,” Kata Sunan Ampel. “Apa kata orang nanti bila
seorang anak durhaka menyerang dan merebut tahta ayahnya sendiri ? Saya
kira Kerajaan Majapahit akan sirna dengan sendirinya, beberapa adipati
yang masih beragama Hindu sudah banyak yang ingin merebut kekuasaan.
Kita tak usah ikut-ikutan merebut tahta Majapahit yang hanya mencemarkan
keagungan agama yang kita anut.”
Ramalan Sunan Ampel memang benar. Tidak lama setelah beliau masuk islam
dan uzlah ke gunung Lawu dan meninggal dunia di tempat munajat Sang
Prabu. Adipati Keling atau Kediri bernama Girindrawardhana menyerbu
kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa Prabu Kertabumi atau Ayah
Raden Patah itu tewas dalam serangan mendadak yang dilakukan Prabu
Girindrawardhana dari Kediri. Setelah Sunan Ampel wafat, penasehat
bagian politik Demak digantikan oleh Sunan Kalijaga. Sedang Sunan Giri
dianggap sesepuh yang sering dimintai pertimbangan di bidang politik
kenegaraan.
Para Wali mengadakan sidang sesudah jatuhnya Majapahit oleh serangan
menyerang Prabu Girindrawardhana yang berkuasa di Majapahit. Sebab Raden
Patah adalah pewaris utama kerajaan Majapahit. Dengan demikian ketika
Demak menyerbu Majapahit bukanlah menyerang Prabu Kertabumi yang menjadi
ayah Raden Patah, melainkan justru merebut tahta Majapahit dari tangan
musuh Prabu Kertabumi. Pada waktu Prabu Girindrawardhana ini berkuasa di
Majapahit pernah berusaha menggempur Giri Kedaton, karena Sunan Giri
dianggap salah satu kerabat Prabu Kertabumi. Tetapi serangan itu dapat
dipatahkan oleh Sunan Giri.
Kebesaran nama Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmata itu juga terdengar
oleh seorang Begawan dari Lereng Lawu. Namanya Begawan Mintasemeru.
Brahmana ini sengaja datang ke Giri Kedaton untuk menentang Sunan Giri
adu kesaktian. Diantara adu kesaktian beragam jenisnya itu, yang paling
terkenal adalah adu tebakan. Begawan Mintasemeru menciptakan sepasang
angsa jantan dan betina, kemudian dikubur hidup-hidup diatas gunung
Patukangan. Sesudah itu dia kembali menemui Sunan Giri.
“Apakah yang baru saya tanam di puncak gunung Patukangan itu, demikian tanya Begawan Mintasemeru menguji Sunan Giri.
“Yang Tuan tanam adalah sepasang naga jantan dan betina!” jawab Sunan Giri dengan tenangnya.
Begawan itu tertawa terbahak-bahak sembari memperolok-olok kebodohan Sunan Giri.
“Jika Tuan Begawan tidak percaya boleh anda lihat lagi, hewan apakah yang Tuan tanam di puncak gunung itu,” kata Sunan Giri.
Sang Begawan menurut. Dia bongkar kuburan sepasang angsa ciptaannya.
Ternyata angsa itu lenyap sebagai gantinya adalah sepasang naga yang
meliuk-liuk hendak menerkamnya. Tentu saja sang Begawan merasa teramat
malu. Selanjutnya dikatakan bahwa Begawan Mintasemeru masih
mendemonstrasikan beberapa kesaktiannya yang menakjubkan, tapi semuanya
dapat dikalahkan oleh Sunan Giri. Pada akhirnya Begawan Mintasemeru
menyerah kalah, tunduk dan masuk Islam, kemudian menyebarkan agama Islam
di Gunung Lawu. Legenda tentang adu tebak kewaskitaan itu diabadikan
dalam monumen patung sepasang naga di tangga masuk ke makam Sunan Giri
yaitu tangga yang sebelah selatan. Disana ada sepasang naga dari ukiran
batu yang mirip dengan angsa.
Jasa-Jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama
Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri
sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun dilakukannya sendiri sewaktu
masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang
ditugaskan keluar pulau.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar,
seorang Wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme
dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainnya. Dengan
demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan
dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan
agama Islam secara murni dan konsekwen berdampak positif bagi generasi
Islam berikutnya.
Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi, tanpa di
campuri kepercayaan atau adapt istiadat lama. Di bidang kesenian beliau
juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan
tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain :
Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan. Diantara permainan
anak-anak yang dicintanya ialah sebagai berikut :
Diantara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang
lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu
bila telah berpegang pada tonggak atau batang pohon yang telah
ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti
permainan tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada
agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis
yang dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
dolanane na ing latar,
ngalap padhang gilar-gilar,
nundhung begog hangetikar.”
Artinya adalah sebagai berikut :
“Malam terang bulan, marilah lekas bermain,
bermain di halaman, mengambil di halaman,
mengambil manfaat benderangnya rembulan,
mengusir gelap yang lari terbirit-birit.”
Maksud lagu dolanan tersebut ialah : Agama Islam telah datang, maka
marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk
mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan
kesesatan.
Sunan Giri jauh-jauh sudah memperingatkan umat agar berhati-hati
terhadap perubahan jaman. Beliau pernah meramalkan bahwa pada masa yang
akan datang akan banyak orang yang mengaku mendapat wahyu Tuhan tetapi
sebetulnya mereka sangat jauh dari agama. Bahkan sama sekali tak
mengerti ilmu agama. Mereka dipuja-puja ummat padahal menjadi benalu
atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi menghiraukan syariat agama, bahkan
menginjak-nginjak syariat tersebut dengan mendakwakan dirinya sudah
tidak perlu melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena
dirinya sudah baik, sudah sempurna. Itulah orang yang tergelincir
ilmunya. Mereka sesat dan menyesatkan ummat pengikutnya.
Dimasa yang akan datang juga akan muncul guru-guru ilmu yang merasa
ilmunya sudah tinggi, sudah sempurna, mereka mengaku mendapat wangsit
dari Tuhan dan karenanya bebas berbuat apa saja. Guru semacam ini justru
dipuja-puja para pengikutnya sampai-sampai masyarakat rela mengorbankan
harta, harga diri dan jiwanya demi kesenangan sang guru. Dalam
kenyataannya ramalan Sunan Giri itu memang sudah sering terbukti. Sudah
berapa kalikah masyarakat dibodohi guru-guru semacam itu, mulai dari
dukun cabul hingga orang-orang yang mengaku dirinya Wali ternyata adalah
bajingan.
Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan
Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun
1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmoko.
Pengaruh Sunan Giri sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di
Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa
apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan
pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun.
Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau digantikan anak
keturunannya yaitu :
1.Sunan Dalem
2.Sunan Sedomargi
3.Sunan Giri Prapen
4.Sunan Kawis Guwa
5.Panembahan Ageng Giri
6.Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7.Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri )
8.Pangeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari sebuah
Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Serbuan ke
Giri itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan
oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah menjungkir
balikkan Mataram dan bahkan pernah menjadi Raja di Kediri.
Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan sewenang-wenang
dari Sunan Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama’
Ahlusunnah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap
raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki tangan
Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham Manunggaling
Kawula Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang ditentang
Wali Sanga. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah
kekuasaan Giri Kedaton.
Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri.
Yang dirawat oleh juru kunci Pemakaman Giri.