Kabupaten Ngawi adalah sebuah wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Timur,
Indonesia. Ibukotanya adalah Ngawi. Kota kabupaten ini terletak di
bagian barat Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan
Provinsi Jawa Tengah.
ASAL- USUL NAMA NGAWI
Nama ngawi berasal dari “awi” atau “bambu” yang selanjutnya mendapat
tambahan huruf sengau “ng” menjadi “ngawi”. Apabila diperhatikan, di
Indonesia khususnya jawa, banyak sekali nama-nama tempat (desa) yang
dikaitkan dengan flora, seperti : Ciawi, Waringin Pitu, Pelem, Pakis,
Manggis dan lain-lain.
Demikian pula halnya dengan ngawi yang berasal dari “awi” menunjukkan
suatu tempat yaitu sekitar pinggir ”Bengawan Solo” dan ”Bengawan Madiun”
yang banyak tumbuh pohon “awi”. Tumbuhan “awi” atau “bambu” mempunyai
arti yang sangat bernilai, yaitu :
1. Dalam kehidupan sehari-hari Bambu bagi masyarakat desa mempunyai peranan penting apalagi dalam masa pembangunan ini.
2. Dalam Agama Budha , hutan bambu merupakan tempat suci :
- Raja Ajatasatru setelah memeluk agama Budha, ia menghadiahkan sebuah ”
hutan yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan bambu” kepada sang Budha
Gautama.
- Candi Ngawen dan Candi Mendut yang disebut sebagai Wenu Wana Mandira
atau Candi Hutan Bambu (Temple Of The Bamboo Grove), keduanya merupakan
bangunan suci Agama Budha.
3. Pohon Bambu dalam Karya Sastra yang indah juga mampu menimbulkan inspirasi pengandaian yang menggetarkan jiwa.
Dalam Kakawin Siwara Trikalpa karya Pujangga Majapahit ”Empu Tanakung”
disebut pada canto (Nyanyian) 6 Bait 1 dan 2, yang apabila diterjemahkan
dalam bahasa indonesia, lebih kurang mempunyai arti sebagai berikut :
- Kemudian menjadi siang dan matahari menghalau kabut, semua kayu-kayuan
yang indah gemulai mulai terbuka, burung-burung gembira diatas dahan
saling bersaut – sautan bagaikan pertemuan Ahli Kebatinan (Esoteric
Truth) saling berdebat.
- Saling bercinta bagaikan kayu – kayuan yang sedang berbunga, pohon
bambu membuka kainnya dan tanaman Jangga saling berpelukan serta
menghisap sari bunga Rara Malayu, bergerak-gerak mendesah, Pohon Bambu
saling berciuman dangan mesranya.
4. ”awi” atau ”bambu” dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia
mempunyai nilai sejarah, yaitu dalam bentuk ”bambu runcing” yang menjadi
salah satu senjata untuk melawan dan mengusir penjajah yang tenyata
senjata dari ”bambu” ini ditakuti dari pihak lawan (digambarkan yang
”terkena” akan menderita sakit cukup lama dan ngeri).
Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ini ada juga ”bambu
runcing” yang dikenal dan disebut dengan ”Geranggang Parakan”. Dengan
demikian jelaslah bahwa ”ngawi” berasal dari ”awi” atau ”bambu”,
Sekaligus menunjukkan lokasi Ngawi sebagai ”desa” di pinggir Bengawan
Solo dan Bengawan Madiun.
Wilayah Kab Ngawi
Kabupaten Ngawi terletak di wilayah barat Provinsi Jawa Timur yang
berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten
Ngawi adalah 1.298,58 km2, di mana sekitar 40 persen atau sekitar 506,6
km2 berupa lahan sawah. Secara administrasi wilayah ini terbagi ke dalam
19 kecamatan dan 217 desa, dimana 4 dari 217 desa tersebut adalah
kelurahan. Pada tahun 2004 berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) wilayah
Kabupaten Ngawi terbagi ke dalam 19 kecamatan, namun karena prasaranan
administrasi di kedua kecamatan baru belum terbentuk maka dalam
publikasi ini masih menggunakan Perda yang lama.
Secara geografis Kabupaten Ngawi terletak pada posisi 7° 21’ - 7° 31’
Lintang Selatan dan 110° 10’ - 111° 40’ Bujur Timur. Topografi wilayah
ini adalah berupa dataran tinggi dan tanah datar. Tercatat 4 kecamatan
terletak pada dataran tinggi yaitu Sine,Ngrambe, Jogorogo dan Kendal
yang terletak di kaki Gunung Lawu.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Grobogan, Kabupaten
Blora(keduanya termasuk wilayah Provinsi Jawa Tengah), dan Kabupaten
Bojonegoro di utara, Kabupaten Madiun di timur, Kabupaten Magetan dan
Kabupaten Madiun di selatan, serta Kabupaten Sragen (Jawa Tengah) di
barat. Bagian utara merupakan perbukitan, bagian dari Pegunungan
Kendeng. Bagian barat daya adalah kawasan pegunungan, bagian dari sistem
Gunung Lawu (3.265 meter).
Kecamatan
Kabupaten Ngawi terdiri atas 19 kecamatan yang terbagi dalam sejumlah
217 desadan 4 kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Ngawi.
Kecamatan Bringin.
Kecamatan Geneng.
Kecamatan Jogorogo.
Kecamatan Karangjati.
Kecamatan Kedunggalar.
Kecamatan Kendal.
Kecamatan Kwadungan.
Kecamatan Mantingan.
Kecamatan Ngawi.
Kecamatan Ngrambe.
Kecamatan Padas.
Kecamatan Pangkur.
Kecamatan Paron.
Kecamatan Pitu.
Kecamatan Sine.
Kecamatan Widodaren.
Kecamatan Karanganyar
Kecamatan Kasreman
Kecamatan Gerih
Transportasi
Kabupaten Ngawi dilintasi jalur utama Surabaya-Yogyakarta, jalur utama
Cepu,Bojonegoro-Madiun dan menjadi gerbang utama Jawa Timur jalur
selatan. Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api
Jakarta-Yogyakarta-Bandung/Jakarta, namun tidak melewati ibukota
kabupaten. Stasiun kereta api terdapat di Geneng,Paron, Kedunggalar, dan
Walikukun.
Disamping itu dari jalur tengah yang menghubungkan Solo ke ngawi ada
beberapa jalur jalan klas III yang kemudian saling berkait dari paling
barat mantingan-sine ngrambe, Gendingan-walikukun ngrambe
jogorogo-keutara paron terus ngawi, sedangkan jogorogo ke timur kendal
terus bisa ke Magetan, jalur ini sering dipakai sbg jalur alternatif
apabila jalur utama mengalami gangguan misalnya banjir, sehingga
kendaraan banyak yg melintasi jalur ini. dari kota Ngawi jalur pintas ke
surabaya lewat karangjati terus ke caruban / surabaya
Objek wisata
Sedangkan tempat rekreasi yang ada saat ini adalah Wisata Air Terjun
Pengantin yang terletak di dusun Besek Desa Hargomulyo Kec. Ngrambe,
pemandian Tawun,Waduk Pondok, Air terjun Srambang, serta kebun Teh Jamus
yang berhawa sejuk dan terdapat Kolam Pemandian di sekitar Perkebunan
Teh tersebut.
Perkebunan Teh ini terletak di Kecamatan Sine, Selain Kebun Teh Jamus di
Kec. Sine, selain teh di kecamatan sine ada pula perkebunan karet yang
dikelola oleh PTP XXIII Tretes Juga ada Bendungan Ndorjo yang lokasinya
di Desa hargosari Dsn. Gondorejo.
Selain itu terdapat juga situs purbakala Trinil yang menyimpan fosil
Pithecanthropus erectus (Manusia kera berjalan tegak) pertama kali
ditemukan oleh arkeolog Belanda bernama Eugene Dubois.
Gunung Liliran merupakan objek wisata ziarah yang terkenal bagi
masyarakat Jawa. Pada bulan Muharam (Syura) para peziarah berdatangan ke
puncak bukit pada siang dan malam hari. Sebagian dari mereka bersemadi
di beberapa gua atau berziarah ke Makam Joko Buduk. Pemandangan dari
puncak bukit memang sangat indah berupa pesawahan dan sungai yang meliuk
ke arah utara menuju Bengawan Solo. Sayang hutan di Gunung Liliran
tidak indah lagi karena tanaman pinus yang dikelola Perhutani kini
banyak ditebangi.
Di daerah ini terdapat Benteng van Den Bosch yang digunakan oleh Belanda
sebagai strategi Benteng Steelsel dalam upaya mempersempit ruang gerak
Pangeran Diponegoro dalam perang gerilya. Benteng ini sekarang terbuka
untuk umum.
PENETAPAN HARI JADI NGAWI
Berdasarkan penelitian benda-benda kuno, menunjukkan bahwa di Ngawi
telah berlangsung suatu aktifitas keagamaan sejak pemerintahan Airlangga
dan rupanya masih tetap bertahan hingga masa akhir Pemerintahan Raja
Majapahit.
Fragmen-fragmen Percandian menunjukkan sifat kesiwaan yang erat
hubungannya dengan pemujaan Gunung Lawu (Girindra), namun dalam
perjalanan selanjutnya terjadi pergeseran oleh pengaruh masuknya Agama
Islam serta kebudayaan yang dibawa Bangsa Eropa khususnya belanda yang
cukup lama menguasai pemerintahan di Indonesia, disamping itu Ngawi
sejak jaman prasejarah mempunyai peranan penting dalam lalu lintas
(memiliki posisi Geostrategis yang sangat penting).
Dari 44 desa penambangan yang mampu berkembang terus dan berhasil
meningkatkan statusnya menjadi Kabupaten Ngawi sampai dengan sekarang.
Penelitian terhadap peninggalan benda-benda kuno dan dokumen sejarah
menunjukkan beberapa status Ngawi dalam perjalanan sejarahnya :
1. Ngawi sebagai Daerah Swatantra dan Naditira pradesa, pada jaman
Pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Majapahit) tepatnya tanggal 7 Juli 1358
Masehi, (tersebut dalam Prasati Canggu yang berangka Tahun Saka 1280)
2. Ngawi sebagai Daerah Narawita Sultan Yogyakarta dengan Palungguh
Bupati – Wedono Monconegoro Wetan, tepatnya tanggal 10 Nopember 1828 M
(tersebut dalam surat Piagam Sultan Hamengkubuwono V tertanggal 2
Jumadil awal 1756 AJ).
3. Ngawi sebagai Onder-Regentschap yang dikepalai oleh Onder Regent
(Bupati Anom) Raden Ngabehi Sumodigdo, tepatnya tertanggal 31 Agustus
1830 M.
Nama Van Den Bosch berkaitan dengan nama ”Benteng Van Den Bosch Di
Ngawi, yang dibangun pada Tahun 1839 – 1845 untuk menghadapi kelanjutan
Perjuangan Perlawanan dan serangan rakyat terhadap penjajah, diantaranya
di ngawi yang dipimpin oleh Wirotani, salah satu pengikut Pangeran
Diponegoro. ”Tentang Pemberontakan Wirotani di Ngawi”. Bersamaan dengan
ketetapan ngawi sebagai Onder – Regentschap telah ditetapkan
pembentukan 8 regentschap atau Kabupaten dalam wilayah Ex. Karesidenan
Madiun akan tetapi hanya 2 regentschap saja yang mampu bertahan dan
berstatus sebagai Kabupaten yaitu Kabupaten Madiun dan Kabupaten
Magetan.
Adapun Ngawi yang berstatus sebagai Onder – Regentschap dinaikkan
menjadi regentschap atau kabupaten, karena disamping letak geografisnya
sangat menguntungkan juga memiliki potensi ynag cukup memadai.
4. Ngawi sebagai regentschap yang dikepalai oleh Regent Atau Bupati
Raden Adipati Kertonegoro pada tahun 1834 (Almanak Naam Den
Gregoriaanschen Stijl, Vor Het Jaar Na De Geboorte Van Jezus
Christus,1834 Halaman 31)
Dari hasil penelitian tersebut di atas, apabila hari jadi ngawi
ditetapkan pada saat berdirinya Onder – Regentschap pada tanggal 31
Agustus 1830 berarti akan memperingati berdirinya pemerintahan
penjajahan di Ngawi, dan tidak mengakui kenyataan statusnya yang sudah
ada sebelum masa penjajahan.
Dari penelusuran 4 (empat) status Ngawi di atas, Prasati Canggu yang
merupakan sumber data tertua, digunakan sebagai penetapan hari jadi
ngawi, yaitu pada tahun 1280 Saka atau pada tanggal 8 hari Sabtu Legi
Bulan Rajab Tahun 1280 Saka, tepatnya pada tanggal 7 Juli 1358 Masehi
(berdasarkan perhitungan menurut Lc. Damais) dengan status ngawi sebagai
Daerah Swatantra dan Naditira Pradesa.
Sesuai dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Ngawi
dalam Surat Keputusannya Nomor 188.170/34/1986 tanggal 31 Desember 1986
tentang Persetujuan Terhadap Usulan Penetapan Hari Jadi Ngawi maka
berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Ngawi Nomor
04 Tahun 1987 tanggal 14 Januari 1987, Tanggal 7 Juli 1358 Masehi
Ditetapkan Sebagai ”Hari Jadi Ngawi”.
SEJARAH NAMA BUPATI NGAWI
Bupati Ngawi Periode (1830 s/d 2010)
1. RADEN NGABEI SOMODIGDO.
Jabatan : Onder Regent
Masa Jabatan : 31 Agustus 1830 s/d 1832.
2. RADEN NGABEI MALANG NUGROHO.
Jabatan : Onder Regent
Masa jabatan : 1832 s/d 1834
3. RADEN ADIPATI KERTONEGORO.
Jabatan : Regent
Masa jabatan : 1834 s/d 1837
4. RADEN TUMENGGUNG MANGUN DIRJO
(Raden Adipati Yudodiningrat)
Jabatan : Regent
Masa jabatan : 2311937 s/d 1869 .
5. RADEN MAS TUMENGGUNG ARIYO SUMANINGRAT.
Jabatan : Regent
Masa jabatan : 18 69 s/d 1877
6. RADEN MAS TUMENGGUNG BROTO DININGRAT.
Jabatan : Regent
Masa jabatan : 1877 s/d 1885
7. RADEN MAS TUMENGGUNG SOSRO ADININGRAT.
Jabatan : Regent
Masa jabatan : 1885 s/d 1887
8. RADEN TUMENGGUNG PURWODIPROJO.
Jabatan : Regent
Masa jabatan : 1887 s/d 1902
9. RADEN MAS TUMENGGUNG UTOJO.
Jabatan : Regent
Masa jabatan : 1902 s/d 1905
10. PANGERAN ARIJO SOSRO BUSONO.
Jabatan : Regent/Kenco
Masa jabatan : 1905 s/d 1943
11. RADEN TUMENGGUNG ARIJO SURJO ADICOKRO
Jabatan : Kenco
Masa jabatan : 1943 s/d 1944 .
12. RADEN MAS SIDARTO.
Jabatan : Kenco/Bupati
Masa jabatan : 1943 s/d 1944
13. M. MOEDAJAT.
Jabatan : Bupati
Masa jabatan : 1947 s/d 1950
14. MAS DAROES MOELJO SOEGONDO.
Jabatan : Bupati
Masa jabatan : 1949 s/d 1950
15. R. AHMAD SAPARDI.
Jabatan : Bupati
Masa jabatan : 1950 s/d 1958
16. SUHIRMAN
Jabatan : Kepala Daerah (Terlibat G.30 S. PKI )
Masa jabatan : 1958 s/d 1965 .
17. R. ISMAOEN.
Jabatan : Bupati dpb.Pada Residen Madiun
(Wilayah Ngawi)
Masa jabatan : 1958 s/d 1960
18. RADEN HASSAN WIRJOKOESOEMO.
Jabatan : Bupati dpb.Kdh Ngawi
Masa jabatan : 1960 s/d 1961
19. R. BAMBANG SOEBIJANTORO KARTO KOESOEMO
Jabatan : Kep. Daerah (Pj.Bupati KDH)
Masa jabatan : 1965 s/d 1967
20. SOEWOJO (AD).
Jabatan : Bupati KDH Tk. II Ngawi
Masa jabatan : 1967 (I) / (II) 1973 s/d 1978
21. PANOEDJOE (AD).
Jabatan : Bupati KDH Tk. II Ngawi
Masa jabatan : 1978 s/d 1983
22. SOELARDJO (Pol).
Jabatan : Bupati KDH Tk. II Ngawi
Masa jabatan : 1983 s/d 1993
23. SOEDARNO HARJO PRAWIRO.
Jabatan : Bupati KDH Tk. II Ngawi
Masa jabatan : 1988 s/d 1993
24. SOEDIBJO.
Jabatan : Bupati KDH Tk. II Ngawi
Masa jabatan : 1993 s/d 1993
25. SOEBAGJO.
Jabatan : Bupati KDH Tk. II Ngawi
Masa jabatan : 1994 s/d 1999 .
26. HARSONO.
Jabatan : Bupati Ngawi
Masa jabatan : 1999 s/d 2010 .
27. Ir. BUDI SULISTYONO
Jabatan : Bupati Ngawi
Masa Jabatan : 2010 s/d sekarang
PENINGGALAN SEJARAH, SENI DAN BUDAYA.
Sejarah ;
Selain penemuan benda-benda bersejarah di wilayah sekitar Ngawi juga
terdapat tempat-tempat sejarah yang cukup terkenal yaitu Jagara, Alas
Ketangga dan Tawun.
Dalam penelitian diperkirakan ketiga tempat tersebut berhubvungan dengan
daerah di sekitar Ngawi.
1. Sejarah Negara Jagaraga.
Negara Jagaraga adalah suatu daerah yang terletak di lereng Gunung Lawu
dan disebelah selatan pegunungan Kendeng. Jagaraga berasal dari kata
(jaga=waspada,raga=tubuh). Di dalam buku Valentijn menyebutkan daeah
Jagaraga (het landschap Jagaraga) dengan kotanya bernama (de staad
Jagaraga), terletak di daerah antara gunung lawu dan Kali Semanggi
(sekarang bernama bengawan Solo), sedangkan Dr. NJ.Krom menyebutkan
letak Jagaraga di daerah Madiun. Nama Jagaraga tersebut dalam prasasti
tembaga Waringin Pitu yang diketemukan di Desa Suradakan (Kabupaten
Trenggalek) sekitar tahun
1369 Saka (1474 M). Serta buku Pararaton (terbit tahun 1613 m).
Prasasti tembaga Waringin Pitu dikeluarkan oleh Raja Widjaya Parakrama
Wardhana (Dyah Kerta Wijaya) pada tahun 1369 Saka atau tepatnya 22
November 1474 m.
Prasasti ini menyebutkan tentang penguasa di Jaga raga (paduka Bhattara
ring Jagaraga) bernama Wijayandudewi sebagai nama penobatan (nama raja
bhiseka) atau Wijayaduhita sebagai nama kecil (Garbhapra Sutinama),
seorang puteri yang mengaku keturunan Raden Wijaya. (Kertarajasa Jayawardhana) pendiri Kerajaan Majapahit,
Prasasti ini juga memuji raja puteri (ratu) Jagaraga dengan deretan
kalimat (ansekerta) yang indah dan menurut terjemahan Mr.Moh.Yamin
adalah sebagai berikut ;
“Perintah Sang Parbu diiringi pula oleh Seri Paduka Batara Jagaraga” ;
- Nan bertingkah laku lemah lembut gemulai dan utama sesuai dengan kesetiaan kepada suaminya”.
- Nan dibersihkan kesadaran yang utama dan tidak bercacat, yang kaki
tangannya dihiasi perhiasan utama, yaitu tingkah laku penuh kebajikan.
- Nan berhati sanubari sesuai dengan kenang kenangan yang tidak putus-putusnya kepada suami.
2. Sejarah Negara Matahun.
Oleh para Sarjana wialayah di sebelah Barat Jagaraga di seberang
bengawan Sala di perkirakan wilayah kekuasaan Negara Matahun , ini
meliputi daerah atau Desa Tawun yang saat sekarang ini di wilayah
Kecamatan Padas Kabupaten Ngawi yang terkenal dengan sendang bulusnya.
Menurut prasasti Waringin Pitu, Raja Matahun bernama Dyah Samara Wijaya
yang bergelar Wijayaparakrama, tetapi menurut Prasasti Kusmala (batu
tilis dari Kandangan, Para Kediri) berangkat tahun 1272 Saka atau 1350
M, yang
menjadi Raja Matahun adalah Paduka Bhatara Matahun) adalah
Sriwijayarajasa nantawikrama tunggadewa, yang dikatakan telah berhasil
membuat sebuah tanggul kokoh kuat dan indah (Rawuhan atita durgga
mahalip), sehingga
menyebabkan kegembiraan semua penduduk.
Alas Ketangga.
Sebagian masyarakat, Alas Ketangga dikaitkan dengan “Jangka Jayabaya” .
Oleh Dr. J.Brandes dalam karangannya yang berjudul “Lets Over een
ouderen
Dipanagara in verband met een prototype van de voorspellingen van Jayabaya”.
Dalam karangannya menyebutkan bahwa sebua naskah Jawa dimulai dengan kalimat yang berbunyi ;
“Punika serat jangka, cariosipun prabu Jayabaya ing Moneng, nalika
katamuan raja pandita saking Erum, nama Maolana Ngali Samsujen”. (Ini
kitab ramalan , cerita Raja Jayabaya di Momenang pada waktu menerima
tamu Raja pendeta dari Erun, bernama Maolana Ngali Samsujen).
Setelah itu disinggung nama kitab Musarar (Kitab Hasrar : boek derge
heimenissen), yang berisi lamaran di seluruh dunia (jangkaning jagad
sedaya); dan diteruskan dengan menyebut nama beberapa orang raja dan
kerator dan juga beberapa ramalan apabila diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia anatara lain sebagai berikut :
“Ada yang bernama Raden Amisan, menobatkan Ratu Adil, dari tanah Arab,
menguasai seluruh dunia, Raden Amisan bernama Sultan Erucakra, waktu itu
berhentilah kekacauan Negara.
Seni dan Budaya ;
Kebudayaan daerah di Kabupaten Ngawi telah mengalami pengikisan tanpa
terasa, mengikuti kondisi dan situasi serta pengaruh dari daerah
sekitarnya bahkan dari luar daerah, namun demikian seni dan budaya yang
sampai saat ini masih selalu di kenang dan di lestarikan adalah sebagai
berikut ;
1. Seni Gaplik
Kesenian Gaplik berasal dari Desa Kendung Kecamatan Kwadungan Kabupaten
Ngawi, keseniaan ini mempunyai maksud dan tujuan mengusir bala (mala
petaka) yang melanda desa.
Nama Gaplik diambil dari nama orang yang telah menciptakan dan
mengembangkan kesenian tersebut Kesenian Gaplik dilaksanakan tiap tahun
sekali, pada saat dilakukan “bersih desa” didesa yang bersangkutan,
yaitu masa sehabis panen, didahului dengan upacara di makam,dilanjutkan
pentas kesenian Gaplik pada malam harinya, di halaman rumah Kepala Desa.
a. Latar Belakang kesenian Gaplik
Di desa kendung pernah terjadi mala petaka, penduduk banyak yang sakit
dan meninggal, tanaman diserang hama,di rampok atau dicuri. Pada saat
itu ada seorang penduduk yang kesurupan ( kemasukan Roh), mengatakan
bahwa desa akan aman tentram bila diadakan keramaian dengan pementasan“
Badut “ dan “ Tandak “(penari wanita) di punden ( makam Desa kendung ).
b. Bentuk Kesenian Gaplik
Merupakan pagelaran berbentuk arena terbuka, antara pemain dan penonton
saling berdekatan sehingga menimbulkan komunikasi langsung dan lancar
antara pemain dan penonton, berdialog sambil berdiri.
c. Gerak dan Perwujudan kesenian
Para pemain terdiri dari seorang pria dan seorang wanita sebagai peran
utama, ditambah pelengkap seorang sebagai peran anak. Pertunjukan
diawali dengan
tandak/ penari gamyong.
- Peran Pria berpakaian seperti punakawan “Gareng” dalam pewayangan,
mengenakan topi serdadu (Prajurit), membawa bilah bamboo sepanjang 1
meter. Tata rias wajah lucu dan menyolok. Tokoh ini selain melakukan
gerak humor juga dialog sesuai dengan permasalahan yang ingin
disampaikan kepada masyarakat.
- Peran wanita, mengenakan kain kebaya, dengan tatarias menarik dan menawan. Melakukan dialog tentang kehidupan rumah tangga.
- Peran anak sebagai pelengkap, sekaligus menyempurnakan suasana.
- Pertunjukan diiringi gending- gending jawa (karawitan ) berirama dinamis.
Kesenian Gaplik yang semula dimaksudkan untuk penolak bala,dalam
perkembangannya dimanfaatkan sebagai saran komunikasi antara Pemerintah
dan masyarakat,utamanya menyampaikan informasi pembangunan dan
meningkatkan gairah berpartisipasinya masyarakat terhadap pembangunan.
2. Upacara Adat Tawun
Dilaksanakan di Desa Tawun Kecamatan Padas, yang terkenal dengan Sendang ( kolam alam ) keramat.
Dilaksanakan tiap tahun sekali ,hari selasa kliwon setelah panen, sehabis gugurnya daun jati.
a. Latar Belakang
Sekitar abad 15, seorang pengembara bernama Ki Ageng Tawun menemukan
sendang, yang oleh masyarakat setempat disebut Sendang Tawun.
Disekitar sendang itu Ki Ageng Tawun beserta keluarganya hidup
tentram;dan menggunakan sendang tersebut untuk kehidupan sehari- hari (
mandi, masak, dan pertanian )
Ki Ageng mempunyai 2 putera Raden Lodojoyo dan Raden Hascaryo, yang masing- masing mempunyai perjalanan sebagai berikut:
- RADEN LODROJOYO
Mempunyai kegemaran berendam di sendang. Pada suatu malam, malam Jum’at
Legi, sekitar pukul 24.00, terdengar suara ledakan keras sehingga
membangunkan warga masyarakat setempat. Raden Lodrojoyo yang sedang
berendam seketika menghilang, dan sendang pun yang semula berada
di selatan, pindah ke sebelah utara. Ki
Ageng dan masyarakat mengadakan pencarian Raden Lodrojoyo di dalam
sendang tersebut, sampai dengan Hari Selasa Kliwon tapi tidak
diketemukan.
- RADEN HASCARYO
Raden Sinorowito adalah putera Sultan Pajang yang telah datang mengabdi dan berguru kepada Ki Ageng Tawun.
Raden Sinorowito inilah yang kemudian yang mengajak Raden Hascaryo menghadap dan mengabdi kepada Sultan Pajang.
Pada waktu terjadi peperangan antara Pajang- Blambangan, Raden
Hascaryo diangkat sebagai Senopati Pajang. Oleh Ki Ageng Tawun, Raden
Hascaryo diberi Cinde pusaka dan karena pusaka inilah maka puteranya
memperoleh kemenangan.
Pada saat Raden Hascaryo berperang melawan Blambangan, Ki Ageng sakit keras dan akhirnya wafat, dimakamkan disekitar sendang.
Sampai sekarang makam tersebut masih terpelihara.
b. Bentuk Upacara
Merupakan upacara bersih Desa, dengan membersihkan Sendang Tawun dari
berbagai macam kotoran, Lumpur dan sampah sehingga air menjadi bening
kembali. Dipimpin oleh dua juru selam yang berpakaian sepasang
penganten, yang didahului penyajian sesami mengucapkan doa. Upacara
adapt ini terdiri dari serangkaian berbagai kegiatan diiringi gending-
gending Jawa (Karawitan). Bukan saja untuk mengungkapkan rasa syukur
kepada Yang Maha Kuasa, sekaligus mengenang masa kehidupan dan peranan
Ki Ageng Tawun beserta keluarganya.
c. Perwujudan upacara adat
1. Sesaji yang disejiakan terdiri dari 30 macam, termasuk
2 ekor panggang kambing, yang sebelum disembelih dimandikan dulu di sendang 3 kali.
3. Juru selam dengan pakaian kebesarannya melakukan penyelaman sambil
membersihkan sendang, diikuti oleh penduduk yang lain (tanpa menyelam)
dan
dilanjutkan dengan kegiatan lainnya seperti ;
Ø Sekelompok orang berjalan melintasi sendang dari timur ke barat dengan membawa tumpeng.
Ø Perebutan tumpeng dan makan bersama.
Ø Penuangan air tape ke sendang sebagai penjernih air.
Ø Permainan pecut (sebatang ranting kecil panjang) berpasang-pasangan
sasaran lutut kebawah, sebagai ungkapan latihan perang antara prajurit
dengan senopati.
Ø Tarian bersama sebagai penutup upacara bersih desa.
3- Tari Orek-orek.
Tari ini sebenarnya berasal dari daerah Jawa Tengah yang kemudian di kembangkan di Kabuapten Ngawi.
- Bentuk Kesenian ;
Merupakan tarian dengan gerak dinamis dengan pemain terdiri dari pria,
wanita berpasangan. Menggambarkan muda mudi masyarakat desa yang sehabis
kerja berat gotong royong, melakukan tarian gembira ria untuk
melepaskan lelah.
- Gerak kesenian ;
Dapat dilakukan oleh sepasang muda-mudi atau beberapa pasang secara
masal. Tat arias dan kostum meriah dan menarik sehingga menggambarkan
keadaan muda-mudi desa yang tangkas dan dinamis.
4. Tari Penthul Melikan.
Tari ini berasal dari Desa Melikan Tempuran Kecamatan Paron, dimaksudkan
untuk menghibur masyarakat Desa pada upacara hari-hari besar. Sebagai
rasa syukur dan ungkapan gembira masyarakat desa yang telah berhasil
membangun sebuah jembatan, masyarakat sepakat untuk membuat suatu
tontonan/hiburan yang menarik dan lucu. Sesuai dengan keadaan masyarakat
pada waktu itu yang serba mistik, mempunyai keyakinan dan kepercayaan
tentang kemampuan indra keenam yang memungkinkan seseorang berkomunikasi dengan masa lampau.
Adapun pencipta Tari Penthul Melikan adalah ;
1. Kyai Munajahum, seseorang guru Toriqoh akmaliyah (aliran kebatinan Islam).
2. Hardjodinomo, seorang guru Toriqoh akmaliyah, sekaligus mempunyai
kedudukan sebagai Pamong Desa (kamituwa), pejuang kemerdekaan RI,
berpendidikan Pondok pesantren dan mempunyai keahlian sebagai tukang
pijat.
3. Syahid, seorang tokoh masyarakat berpendidikan HIS.
4. Yanudi, seorang goro Toriqoh akmaliyah, tidak bersekolah dan sebagai pejuang kemerdekaan RI.
- Bentuk Kesenian.
Bentuk tarian yang berfungsi sebagai media hiburan dan media pendidikan.
Para pemain mengenakan topeng terbuat dari kayu, melambangkan watak
manusia yang berbeda-beda tetapi bersatu dalam kerja. Diiringi dengan
gending jawa yang sedikit mendapat pengaruh reog ponorogo. Gerak tarian
diarahkan sebagai lambang menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
mengajak manusia untuk hidup bersatu demi terwujudnya suasana aman dan
damai.
- Gerak Kesenian
Gerak tarian berbentuk barisan setengah lingkar dan setiap gerakan mengandung makna ;
> Tangan mengacungkan telunjuk keatas artinya itu Esa dan matahari
itu satu. Matahari adalah ciptaan Tuhan yang sangat bernilai bagi
kehidupan manusia.
> Dua tangan mengadah ke depan, artinya ajakan untuk maju dalam menyembah kepada Tuhan dan maju dalam bekerja.
> Tangan mengacungkan jari telunjuk diatas kepala dengan gerakan
melingkar artinya ; jagad raya, matahari rembulan itu berbentuk bulat,
suatu bentuk yang sempurna.
> Tangan dirangkai artinya hidup bermasyarakat harus bersatu dan saling talang menolong.
> Dua tangan mengembang di depan hidung artinya kegunaan dan peran
dari pernafasan dalam toriqoh akmaliyah adalah cukup penting.
> Telunjuk menunjuk kedepan artinya piutang tersebut merupakan piwulang yang baik untuk mengalahkan nafsu angkara murka.
> Dua tangan yang mengembang diatas kepala artinya kegembiraan berhasil mencapai tujuan.
PENINGGALAN ZAMAN ARKEOLOGI KLASIK.
A. Kepurbakalaan Trinil
Kepurbakalaan Trinil terletak di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan
Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Berjarak kurang lebih 14 Km dari Kota
Ngawi kea rah Barat daya pada Km 11 jalan raya jurusan Ngawi Solo
terdapat pertigaan belok kekanan arah utara menelusuri jalan beraspal
sepanjang 3 Km menuju
Museum Trinil dan sekitarnya.
Pada sudut tenggara di halaman museum berdiri monument yang didirikan
oleh EUGENE DOUBIS yang menunjukkan posisi temuan Pithecanthropus I pada
tahun 1891/1893.
Sejarah penelitian Palacoanthropologi di Indonesia. :
Penelitian ilmiah tentang fosil manusia dikelompokkan menjadi 3 tahap :
Tahap I tahun 1889 – 1909.
Tahap II tahun 1931 – 1941
Tahap III tahun 1952 sampai sekarang.
1. Penemuan dan penelitian fosil manusia Purba tahap I dikalukan oleh
Van Rietroboten dan Eugene Debois di wajak dekat campur darat
Tulungagung pada tahun 1889 dan 1890, manusia disebut Homo Wajakensis.
Pernemuan berikutnya di daerah Trini Ngawi mulai tahun 1890 – 1907
berupa gigi geraham, atap tengkorak dan lainnya, milik Pithecanthropun
erectus. Kemudian tahun 1907 – 1908 Nj.Selenka mengadakan penyelidikan
dan penggalian di Trinil tidak menemukan fosil manusia tetapi banyak
menemukan fosil hewan dan tumbuhan, sehingga berguna dalam memahami
lingkungan plestosin tengah di daerah tersebut.
2. Penemuan dan Penelitian manusia Purba tahap II tahun 1931-1933 oleh
Ter Haar, oppenoorth dan Von Koenigswald menemukan sejumlah besar
tengkorak dan tulang kering Pithecanthropus Soloensis di Ngandong.
Kabupaten Blora.
Selanjutnya tahun 1936 Tjokrohandojo di bawah pimpinan Dufyes menemukan
Mojokertensis. Tahun 1936 – 1941 dilakukan penyelidikan di daerah
Sangiran Surakarta oleh Von Koenigswald, penemuannya berupa
Pithecanthropus
Erctus dan Meganthropus Palacojavanicus.
3. Penyelidikan Tahap III mulai tahun 1952 di daerah Sangiran menemukan
Pithecanthropus Soloensis, kemudian di Sambung Macan Sragen dan lainnya.
Hasil penelitian Tahap I disimpan di Leiden Belanda
Hasil penelitian Tahap II disimpan di Frankfurt Jerman.
Hasil penelitian Tahap III disimpan di laboratorium Palacoantropologi Yogyakarta Indonesia.
B. Manusia Trinil
Lokasi di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Lokasi ini merupakan salah satuvtempat hunian manusia masa Plestosin
tengah kurang lebih 1 juta tahun yang lalu, ditemukan manisia purba
serta fauna dan
flora.
1. Tahun 1890 Eugene Dubois menemukan gigi geraham Pithecanthropus erectus yang diberi kode Trinil I.
2. Tahun 1891 ditemukan atap tengkorak diberi kode Trinil 2 menunjukkan
ciri – ciri makhluk setengah manusia setengah kera yaitu volume otaknya
900 cc. Bentuk dahi menonjol dan belakangnya dibatasi penyempitan yang
menyolok,
tulang kepala bagian bawah tempat pelekatan otot – otot tengkorak luas
menunjukkan makhluk ini otaknya belum berkembang, gigi geraham alat
kunyah besar dan kuat.
3. Tahun 1892 menemukan tulang paha kiri diberi kode Trinil 3 diduga merupakan milik perempuan dengan tinggi 168 cm.
Batang tulang tulang lurus tempat pelekatan sangat nyata yang
menunjukkan makhluk tersebut berdiri tegak, oleh Eugene Dubois dinamakan
Pithecanthropus erectus.
Menurut Darwin merupakan “ Missing Link” atau rantai penghubung antara
manusia dan binatang leluhurnya yang hilang berdasarkan teori evolusi
manusia. Pendapat EUGENE Dubois dalam karangannya yang pertama berjudul
Java tahun 1894,
Namun penelitian yang dilakukan oleh T. Yakop terhadap tulang paha
menunjukkan ada persamaan dengan tulang manusia sekarang dan menyebutkan
Homo Erectus.
4. Tahun 1900 ditemukan Fragmen tulang oleh Eugene Dubois diberi kode Trinil 4,5,6, dan 7.
Trinil 4 adalah tulang paha kanan.
Trinil 5 adalah batang tulang paha kiri tanpa ujung.
Trinil 6 sama dengan Trinil 4 dan Trinil 7 adalah fragmen tulang paha
kanan diduga pasangan dari Trinil 5 karena bentuk dan lebar yang sama.
Dari penemuan fosil – fosil tulang paha dapat diketahui bahwa tinggi
tubuh
pithecanthropus erectus berkisar antara 160 cm hingga 170 cm dan berat
badannya sekitar 104 kg. semula EUGENE Dubois mengemukakan dugaan bahwa
umur manusia Trinil atau Pithecanthropus erectus hidup pada jaman
Plestosin awal.
Unsur tulangnya berganti dengan mineral terutama calsium fosfat dan
calsium karbonat. Pada fosil terdapat unsure fluor merupakan fosil masa
plestosin.
Fragmen Manusia Trinil di Desa Kawu Kecamatan Kedunggalar
C. Fauna dan Flora Trinil
Tahun 1907 – 1908 H. Eleonare selenka melaksanakan penggalian sistematis
di lokasi tempat penemuan Pithecanthropus erectus. Hasil ekskavasinya
ditemukan sejumlah besar fosil hewan yang hidup dalam masa pletosin
tengah. Temuan fosil hewan diteliti oleh Eugene Dubois, Martin dan von
Koenigswald, hasilnya dapat diketahui jenis fauna yang hidup pada masa
plestosin tengah di wilayah Trinil antara lain :
-. Primata
1. Pithecanthopus erectus Dubois
2. Pithecanthropus Soloensis
3. Pongo Pygmaesus Hoppins.
4. Symphalangus Syndoctylus Raffles.
5. Hyaobates Ofmeloch Andebert.
6. Trachypithecus Cristatus raffles
7. Nacaca Fascicalois.
-. Proboscidea
1. Stegodon trigonocephalus Martin.
2. Elephos Hysudrindicus Dubois
3. Crytomastodon Marti Von Koeningwald.
-. Ungulata
1. Rhinoceros Sondaicus Desmarst.
2. Rhinoceros Kendengidicus Dubois
3. Tapirus Of AngostusMet G.
4. Sus Magragnatus Dubois
5. Sus Brachygnatus Dubois
6. Hipopotamus sivajavanicus Dubois
7. Cervus ( Axis ) Lydekkin Martin
8. Cervus (Rusa ) Heppelaphus Cuvier.
9. Muntiacus Muntjae Kendegen sis Streunne.
10. Tragulus Konchil Raffles.
11. Doboisa Santeng Dobois.
12. Epilotobus Groeneveldtii Dobois.
13. Bebos Palaeosondaicus Dubois.
14. Bubalus Palaeoherabos Dubois.
15. Bubalus Sp.
-. Carnivora
1. Felis Palaeojavanicus Sterune
2. Felis Trigis Linnocus
3. Felis Pardus Linoccus
4. Felis Bengbensis Kerr
5. Paradoxurus Hermaproditus Pall.
6. Artictus Binturong Raffles
7. Viverricula Palachensis Gml.
8. Vivera div. Spec
9. Mececyon Trinilensis Streunne
10. Cuon Sangiranensis
11. Ursus Melayanos Raffles.
12. Gutra of Einerer Illeg.
13. Gutra of Sumatrana.
-. Insectivera :
1. Echinosores Sp.
-. Rodentia :
1. Sepus Negricollis Cuvier.
2. Sepus Lapes Brachyrus Hinnacus.
3. Nyantrix Sp.
4. Rhiscmys of Sumatraensis Raffles.
5. Rattus Sp.
Hasil penggalian H.Eleonare Selenka di Trinil tentang alam tumbuhan
dikatakan Julius Schuter terdapat 52 spesies tumbuhan fosil didalam
endapan lahar.
Dari 52 spesies hanya 21 spesies yang masih hidup hingga kini dan 4 spesies
sekarang masih hidup di daerah Trinil.
D. Peninggalan zaman kebudayaan Jawa Hindu.
Yaitu jaman kebudayaan Jawa Hindu ketika bangsa Indonesia sudah mengenal tulisan sampai dengan runtuhnya kerajaan Majapahit.
Seperti peninggalan Candi dan Arca Batu.
1. Arca Ganesa di dukuh Pendem Desa Pucangan Kecamatan Ngrambe.
Arca Ganeca di desa Pucangan Kecamatan Ngrambe
2. Arca Nandi di tengah halaman SMP Ngrambe, Nandi adalah wahana dewa
Siwa, Wahana (bahasa Sansekerta) artinya kendaraan (rinding animal).
Koleksi Arca Nandi (wahana = kendaraan) Dewa Siwa.
3. Pragmen-pragmen Percandian di desa Tulakan Kecamatan Sine, yang
berupa batu Gilang. Batu Gilang di Desa Ploso KecamatanKendal.
4. Peninggalan Prasasti Batu dan Tembaga;
a. Prasasti Canggu (terbuat dari tembaga). @ Merupakan Peninggalan jaman
Majapahit pada tahun Saka 1280 (1358 M) yaitu pada jaman Pemerintahan
Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) Dalam Prasasti ini menyebutkan nama Ngawi
sebagai desa penambangan atau penyeberangan (naditira pradesa) ataupun
sebagai daerah Swatantra. Prasasti Canggu berupa lempengan tembaga
berbentuk empat persegi panjang berukuran panjang 36,5 cm, lebar 10,4
cm.
Prasati ini seluruhnya berjumlah 11 lempengan tetapi baru diketemukan 5 lempengen.
Pada saat ini lempengan Prasasti Cangu tersebut berada di Museum Jakarta dengan kode E 54 C.
@ Prasasti Batu dari Desa Sine Kecamatan Sine dalam ROD tersebut sebuah
prasasti pada tahun Saka 1381 (1459 M), terdapat tulisan “Ong dana
pasagira Werit prami, Saka kala 1381” yang artinya “Ong dana pemberian
(upeti) (Dana = pemberian) Werit prami = raja putri (ratu). Berdasarkan
prasasti tersebut
diperkirakan Abad XIV daerah Sine termasuk wilayah kekuasaan seorang
raja puteri (ratu) dan atas kebaikan masyarakat di daerah ini telah
mendapatkan
hadiah dari ratu.
Prasasti Canggu terbuat dari tembaga (lempeng 5) tahun – 1358M
E. Peninggalan Zaman Kuno Belanda
Peninggalan Belanda yang terkenal di Kabupaten Ngawi berupa sebuah
benteng Van de Bosch terletak di dalam Kota di pojok timur laut, disudut
pertemuan antara Bengawan Solo dengan Bengawan Madiun.
Dibangun pada tahun 1839 – 1845 M, oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada
waktu itu Ngawi mempunyai kedudukan sangat penting di bidang
transportasi yaitu sebagai urat nadi lalu lintas antara Madiun –
Rembang, Surakarta – Madiun – Gersik dan Surabaya.
Untuk mempertahankan kedudukan Strategis dan fungsi Ngawi. Pemerintah
Hindia Belanda membangun sebuah benteng pertahanan yang kemudian di
sebut Benteng Van Den Bosch, oleh masyarakat Ngawi disebut Benteng
Pendem, karena seolah olah nampak terpendam dikelilingi oleh parit yang
lebar dan dalam yang dialiri oleh air dari sungai. Benteng Van De Bosch
Peninggalan Pemerintah Hindia Belanda di Bangun pada tahun (1839-1845).
Peninggalan Belanda yang tidak kalah pentingnya adalah jembatan Dungus
yang pernah dihancurkan Belanda untuk menghambat masuknya tentara Jepang
di Ngawi. Jembatan Dungus yang pernah dihancurkan oleh Belanda untuk
menghambat masuknya tentara Jepang.