Pada zaman dahulu sebelum adanya kerajaan Wengker dan Kabupaten
Ponorogo, di daerah sebelah barat dan timur pernah dihuni oleh manusia.
Sebelah timur di kaki gunung Pandan seudah pernah didiami manusia.
Karena disana banyak ditemukan fosil atau tulang manusia yang bentuknya
besar-besar dan disebut sebagai tulang raksasa. Kemudian di sebelah
barat yaitu di sekitar Kecamatan Sampung pernah juga ditemukan fosil
hewan dan manusia kemudian disana juga ditemukan alat-alat pertanian
seperti linggis, kapak, dan alu yang semuanya berasal dari batu.
Sehingga pada waktu itu disebut Zaman Batu.
Jika dihuni oleh manusia berarti memang benar sebab disana ada
bukti-bukti peninggalannya. Hanya saja belum bisa diketahui dari bangsa
apa dan negara mana. Waktu itu manusia belum bisa baca tulis, karena
belum mempunyai huruf sehingga tidak dapat membuat bukti-bukti tertulis
atau prasasti atau peninggalan sejarah yang tertulis. Keadaan seperti
ini disebut zaman prasejarah dimana zaman sebelum manusia dapat menulis
sejarah. Zaman Wengker dahulu di Ponorogo ini memiliki suatu kerajaan.
Kerajaan ini oleh banyak orang disebut dengan Kerajaan Wengker. Kerajaan
Wengker ini ada sekitaran tahun 986-1037 M. Selanjutnya datangnya agama
Islam di Ponorogo dan berdirinya Kadipaten Ponorogo pada tahun 1486 M.
Zaman Kerajaan Wengker
Setelah kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah banyak rakyatnya yang
pindah ke Jawa Timur. Pada tahun 928M Empu Sendhok memindahkan pusat
Pemerintahan ke Jawa Timur Tidak sedikit rakyat yang mengikuti jejak
Empu Sendhok untuk pindah ke Jawa Timur.
Mpu Sendok kemudian mendirikan sebuah Kerajaan yang diberi nama
keraajaan Watonmas. Letaknya berada disekitar sungai Brantas antara
Malang dan Surabaya. Kemudian Empu Sendhok itu dinobatkan sebagai raja
pertama dengan gelar Sri Isana Wikrama Darrmotungga Dewa, yang mana
menjadi moyang bagi raja-raja di Jawa selama 300 tahun berturut-turut
sampai dengan tiga keturunan. Akan tetapi kerajaan Watonmas itu tidak
bertahan lama karena diserang oleh musuh sehingga kerajaan Watonmas itu
runtuh. Kemudian muncul suatu kerajaan baru yaitu kerajaan Kahuripan.
Kerajaan Kahuripan dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja
Airlangga. Masa pemerintahan Raja Erlangga antara tahun 1000-1042.
Setelah Empu Sendhok, ternyata juga ada rombongan lain dari Jawa Tengah
yang pindah ke Jawa Timur di bawah pimpinan putra Raja Medhang yang
bernama Kettu Wijaya.
Kemudiaan Kettu Wijaya beserta rombongannya berjalan melewati jalur
sebelah selatan hingga di sebelah timur Gunung Lawu kemudian mereka
beristirahat dan menetap disana. Dengan kejadian itu mereka mendirikan
sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Wengker. Berdirinya kerajaan
Wengker itu dibuktikan dengan adanya sebuah prasasti yang ditemukan di
Sendang Kanal Madiun. Didalam prasasti tertulis berdirinya kerajaan
Wengker pada tahun 986 – 1037 M dengan rajanya yang bergelar Kettu
Wijaya.
Nama Wengker merupakan akronim dari “Wewengkon angker” atau tempat yang
angker. Wilayah kerajaan Wengker meliputi sebelah Utara yaitu Gunung
Kendeng sampai Gunung Pandan. Kemudian sebelah timur merupakan Gunung
Wilis ke selatan sampai ke laut selatan. Kemudian sebelah selatan
merupakan wilayah laut selatan dan sebelah barat dari pegunungan mulai
laut kidul ke utara samapai ke Gunung Lawu.
Kerajaan Wengker itu kerajaan yang kuat, amat sentosa, rajanya sakti
mandraguna dan rakyatnya banyak yang berilmu tinggi dan senang dalam
melakukan dalam tapa brata.
Disamping itu Kerajaan Wengker dikelilingi oleh sungai yang menjadi
batas kota dan sebagai benteng pertahanan. Selain itu juga terdapat tiga
benteng dalam tanah istilahnya Benteng Pendem.
Pada tahun 947 M, Empu Sendhok digantikan anaknya yang bernama Sri
Isyanatungga Wijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Selanjutnya ia
digantikan putranya, Sri Makuyhawangsa Wardana. Sri Makuthawangsa
Wardana mempunyai dua orang putri. Salah satu putrinya menikah dengan
Dharmawangsa. Selanjutnya sang menantu itulah yang kemudian memegang
kekuasaan di Medhang. Salah satu putri Makuthawangsa yang bernama
Mahendradatta menikah dengan Udayana dan mempunyai anak bernama
Airlangga. Dalam memimpin Medhang, Dharmawangsa mempunyai ambisi besar
memperluas wilayah. Kerajaan Medhang saat itu diperkirakan di sekitar
daerah Maospati Magetan.
Pada tahun 1016, kerajaan Medhang diserang Sriwijaya bersama sekutunya
yaitu Wurawari dan Wengker, sehingga raja Dharmawangsa dan seluruh
pembesar kerajaan tewas. Kemudian peristiwa itu dikenal dengan sebutan
“Pralaya” atau kehancuran. Selain itu beserta sekutunya ingin
menghancurkan Medhang. Sementara keterlibatan Wengker adalah pengaruh
ekspansif Medhang yang berusaha memperluas wilayah dengan menaklukkan
kerajaan-kerajaan kecil dan juga persaingan dalam bidang ekonomi.
Satu-satunya keluarga Kerajaan yang berhasil lolos dari serangan
tersebut adalah Airlangga yang pada saat itu sedang melangsungkan
pernikahan dengan putri Dharmawangsa. Pada wakti itu usia airlangga 16
tahun, beserta Narotama ia bersembunyi di hutan sekitar daerah Wonogiri
untuk menyusun kekuatan
Dan pada tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan menjadi raja Kahuripan yang
terletak di bekas reruntuhan kerajaan Medhang. Saat itu bekas kerajaan
Medhang sepeninggal Dharmawangsa merupakan wilayah yang kecil karena
setelah terjadinya Pralaya, wilayah Medhang menjadi terpecah-pecah.
Airlangga merupakan raja yang tersohor dan berpengaruh besar.
Tahun 1028 M, Airlangga memulai usahanya menyatukan kembali wilayah
Medhang termasuk terhadap kerajaan Wengker. Tahun 1031 Wengker bisa
ditaklukkan. Pada tahun 1035 kerajaan Wengker ternyata bangkit dan kuat
lagi. Airlangga kembali menyerang Wengker dengan kekuatan pasukan yang
besar. Pada tahun 1037 M, Kettu Wijaya mengalami kekalahan, terpaksa
meninggalkan harta benda dan permaisurinya. Kettu Wijaya lari ke desa
Topo kemudian pindah ke Kapang diikuti bebrapa prajuritnya. Karena terus
diserang pasukan Airlangga lari ke Sarosa. Dan akhirnya Kettu Wijaya
dapat dikalahkan dan ia dibunuh oleh prajuritnya sendiri. Kettu Wijaya
hilang beserta jiwa raganya (muksa). Dengan demikian berakhir riwayat
kerajaan Wengker dibawah pimpinan Kettu Wijaya. Selanjutnya wilayah
Wengker menjadi daerah kekuasaan Airlangga.
Berselang sekitar 200 tahun muncul kerajaan baru yaitu kerajaan
Bantarangin. Terletak di desa Sumoroto kurang lebih 12km arah barat kota
Ponorogo yang masih bagian wilayah kerajaan Wengker.
Pada tahun 1078 kerajaan Bantarangin Wengker dipimpin oleh Prabu Kelono
Sewandono dan patihnya bernama Kelono Wijaya yang masih saudara kandung.
Prabu Kelono Sewandono memiliki paras yang tampan sampai dijuluki
Tubagus Kelono Sewandono. Sedangkan adiknya berwajah jelek, keningnya
nong nong, mata pendul, bermulut lebar, gigi besar-besar, pundak benjol
dan rambutnya gimbal dr hal tersebut dijuluki Bujang Ganong. Meskipun
berwajah jelek namun dia memiliki kesaktian yang luar, ahli bertapa dan
kaya akan ilmu kanuragan.
Pada suatu malam Kelono Sewandono bermimpi bertemu dengan putri Kediri
yang bernama Dewi Songgolangit. Keesokan harinya beliau mengutus adiknya
yaitu Kelono Wijaya untuk melamar Dewi Songgolangit ke Kediri. Sang
Prabu Kertojoyo raja Kediri mengetahui jika putrinya ketakutan melihat
tamunya yang baru datang, namun akan menolak takut karena raja
Bantarangin itu orangnya sakti mandraguna.
Kemudian dia minta persyaratan untuk proses pernikahan nanti yaitu:
1. 1- Seperangkat gamelan (gong) yang belum ada di bumi ini dan
digunakan untuk mengiringi jalannya temanten dari Wengker sampai Kediri.
2. 2- Berbagai mcam hewan isi hutan yang dihalau ke Kediri untuk mengisi kebun binatang
3. 3- Manusia yang berkepala harimau.
Setelah selesai Kelono Wijoyo pun segera mohon diri dan Sesampainya di
Bantarangin segera disampaikan apa saja yang menjadi permintaan Putri
Kediri. Prabu Kelono Sewandono murka mendengar apa yang dikatakan
adiknya. Permintaan itu tidak wajar, tidak akan terlaksana, maka
kerajaan kediri akan diserang dengan peperangan.
Dengan kesaktian ilmunya seluruh hewan hutan dapat dikumpulkan di
alun-alun lalu merakit alat musik model baru yang terbuat dari bambu dan
kayu seperti seruling (terompet), angklung, ketipung dan gendang.
Ketuk, kenong dan kempul juga dari bambu. Seperangkat alat musik
(gamelan) yang terbuat dari bambu semuanya sudah disiapkan termasuk
penabuhnya (pemainnya). Tinggal manusia berkepala harimau (macan) yang
akan diketemukan nanti.
Sesudah semua persyaratan selesai calon temanten laki-laki yaitu Raja
Bantarangin diiring menuju kerajaan Kediri. Gamelan (musik) dipukul
dengan sorak sorai, gembira, gemuruh laksana batu bata runtuh. Waktu itu
Kelono Wijaya tidak boleh ikut karena nanti akan menakuti Putri Kediri
dan dikatakan kakaknya bila ikut memalukan karena jelek rupanya.
Akhirnya mengalah dan menerima untuk menjaga kerajaan.
Ternyata di Kerajaan Kediri sang Patih Kediri yang bernama Singolodro
yang juga disebut Barongseta juga menghendaki ingin menyunting Dewi
Songgolangit. Patih Singolodro itu juga sakti mandraguna, dan kondang
dapat berubah menjadi harimau putih karena itu disebut Barongseto.
Mendengar ramai-ramai gemuruh sorak-sorai masuk kota secepat kilat
dengan penuh keberanian menerjang barisan pengiring pengantin. Para
pengiring temanten bubar lari kesana kemari. Hewan yang digiringpun lari
tak karuan hanya tinggal Barongseta berhadapan dengan Kelono Sewandono.
Keduanya lalu perang tanding Prabu Kelono Sewandono naik kuda sambil
membawa Tombak Pusaka dan Patih Singolodro membawa tameng dengan sebilah
pedang. Setelah sekian lama adu kesaktian akhirnya Patih Singolodro
terkena tusukan Tombak Prabu Kelono Sewandono seketika berubah menjadi
harimau gembong yang berwarna putih dan menyerang. Prabu Kelono
Sewandono dan cajarnya mengenai leher kuda bagian belakang yang
menyebabkan Sang Prabu terlepas dari kudanya. Bergulung-gulung antara
harimau dengan manusia. Akhirnya Kelono Sewandono jatuh terbanting
dicengkram oleh harimau. Kemudian dicakar, dicengkeram, dikunyah-kunyah,
dibangting-banting seperti kucing makan tikus dibuat permainan oleh
Singolodro.
Kelono Wijaya yang menunggu kerajaan, merasa malu karena kakaknya
menghinanya, malu mengakui saudaranya karena jelek rupa lalu dia pergi
dari kerajaan bertapa di gunung Wilis menggugat para dewa menuntut
keadilan minta wajah yang bagus seperti kakaknya. Kemudian permintaan
itu diterima, turunlah Dewa dari kayangan memberi topeng mas yaitu
topeng manusia yang bagus seperti halnya Kelono Seswandono, satunya
berupa pecut atau cambuk yang diberi nama pecut Samandiman. Setelah
Kelono Wijaya sampai di alun-alun Kediri tahu kakaknya dimakan harimau
gembong, lalu didekatinya. Pecut Samandiman diacungkan diatasnya. Tidak
tahu asal usulnya darimana, seketika Singolodro kehabisan tenaga, lemah
lunglai tanpa daya sambil mengaduh.
Kelono Wijaya menolong kakaknya, dengan mengucap mantra-mantra sambil
memegang seluruh tubuhnya, seketika kekuatan Kelono Sewandono kembali
seperti sediakala, luka-luka sudah hilang, hanya luka bekas cakaran kuku
harimau di mukanya yang tidak bisa pulih. Setelah selesai menolong
kakaknya lalu menolong Singolodro. Diraba seluruh tubuhnya seketika itu
berubah menjadi manusia tetapi kepalanya masih kepala harimau. Ini untuk
mencukupi permintaan Dewi Songgolangit yang ketiga. Dengan kesaktian
Kelono Wijaya, hewan-hewan yang tadinya lepas kesana kemari dengan
petikan jari tangan saja sudah datang sendiri, setelah berkumpul terus
menghadap Raja Kediri. Singolodro yang berubah berkepala harimau berada
di belakang jadi genaplah persembahan 3 macam yang menjadi persyaratan
Dewi Songgolangit telah dapat dipenuhi.
Kemudian diketahui jika putri Songgolangit hilang tidak diketahui kemana
arahnya lalu bersama-sama mencarinya. Sampai disalah satu gunung di
sana terdapat gua yang tertutup batu. Penutup gua itu diketuk dengan
jari oleh Singolodro. Batu hancur lebur, kelihatan Dewi Songgolangit
merebahkan tubuhnya dibatu. Prabu Kelono Sewandono senang hatinya, lalu
dibujuk di ajak pulang, disanjung akan kecantikannya diajak ke kerajaan
Bantarangin.
Karena sepatah katapun Dewi Songgolangit tidak menjawab Prabu Kelono
Sewandono pun marah, karena merasa dihina. Diapun berkata : “Orang
idiajak bicara sepatah katapun kok tidak menjawab hampa diam seperti
batu” terbukti sumpah yang dikatakan Prabu Kelono Sewandono, seketika
Dewi Songgolangit berubah menjadi batu, berwujud arca seorang wanita.
Prabu Kelono Sewandono lalu pasrah, bila Dewi Songgolangit memang bukan
jodohnya, lalu diputuskan untuk pulang. Karena pinangannya gagal,akan
lewat jalan semula merasa malu maka mencari jalan lain. Kelono Wijaya
yang punya Pecut Samandiman pemberian dewa akan dicoba untuk
memperlihatkan kesaktiannya. Lalu diperintahkan untuk lewat jalan bawah
tanah mulai dari gua yang kemudian disebut gua Selomangleng di gunung
Klotok, tanah dicambuk pecut bisa gugur, bisa berlubang seperti
terowongan yang mudah dilewati. Sampai di Kerajaan Bantarangin dapat
melihat keluar dengan cara membelah sungai. Tempat pemunculannya
merupakan gua yang yang dinamakan gua Bedali dari kata mbedhah kali
(Jawa). Karena didalam gua itu terdapat sungai yang airnya mengalir.
Selanjutnya Raja Bantarangin karena merasa kecewa akan menikah yang
gagal, dia tidak akan menikah. Sebagai hiburan yang menjadi gantinya
lalu ia memelihara anak laki-laki muda yang ganteng atau yang biasa
disebut dengan gemblak. Raja Bantarangin juga dikenal sebagai Raja Warok
pertama. Warok berasal dari WARA yang memiliki arti pria agung, pria
yang diagungkan.
Sesudah peristiwa itu Raja Bantarangin, mempunyai peninggalan berupa
seperangkat gamelan (musik) terbuat dari bambu. Itu diwariskan kepada
rakyat lalu diperagakannya. Mencontoh perjalanan Rajanya seperti itu
lalu menjadi sebuah kesenian yang dinamakan REYOG
Wengker Zaman Majapahit
Dimasa pemerintahan Airlangga, wilayah kerajaan wengker tidak pernah
terjadi peprangan maupun persengketaan, sebaliknya menjadi daerah yang
aman tentram. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua yaitu Kediri atau
Daha dan Jenggala atau Panjalu. Sepeninggal airlangga terjadi perang
saudara antara kedua kerajaan tersebut. Situasi yang tidak stabil
digunakan Wengker menyusun kekuatan baru sehingga sampai berdirinya
Majapahit nama Wengker masih terdengar jelas bahkan hubungan kedua
kerajaan terjalin dengan baik.
Dimasa pemerintahan Majapahit, Wengker dipimpin oleh seorang Raja yang
bernama Kudamerta atau Wijayarajasa. Dalam kitab Nagarakartagama
disebutkan “Priya haji sang umunggu Wengker bangun hyang Upandra Nurun
Narpari Wijayarajasanopamana parama-ajnottama”. Bahwa yang membangun
kerajaan Wengker adalah Wijayarajasa sebagai raja pertama. Kemudian
dalam kitab ini juga disebutkan Raden Kudamerta menikah dengan Bhre
Dhaha. Raden Kudamerta berkedudukan di Wengker dengan nama Bhre
Parameswara dari Pamotan yang dikenal dengan nama Sri Wijayarajasa. Yang
dimaksud Bhre Dhaha adalah Dewi Maharajasa adik dari Tribhuwana.
Berarti Wijayarajasa adalah menantu Raden Wijaya.
Selain menjadi Raja Wengker, Wijayarajasa merupakan tokoh yang mempunyai
peran besar di Majapahit antara lain salah satu dari 8 tokoh yang
diundang pada waktu pengangkatan Mahapatih Gajahmada tahun 1364 M,
diangkat menjadi anggota dewan Sapta Prabu, menjadi anggota dewan
pertimbangan agung tahun 1351 M, mengambil tindakan tegas terhadap
kesalahan yang dilakukan Gajahmada atas peristiwa Bubat dan pernah
mendapat penghargaan dari Ratu Tribhuwana Tunggadewi setelah meredakan
pemberontakan.
Putra Wijayarajasa yang bernama Susumma Dewi atau Paduka Sori menikah
dengan Hayam Wuruk pada tahun 1357 M, setelah prabu Hayam Wuruk gagal
menikah dengan putri Pajajaran yang meninggal pada peristiwa Bubad.
Pernikahan itu merupakan pernikahan keluarga karena ibu Susumma Dewi
adalah adik Tribhuwana Tunggadewi yang merupakan ibu Hayam Wuruk. Hayam
Wuruk dan Susumma Dewi merupakan sama-sama cucu Raden Wijaya atau
Kertarajasa Jayawardhana pendiri Majapahit.
Dari pernikahan-pernikahan yang melibatkan dua kerajaan yaitu kerajaan
Majapahit dan kerajaan Wengker. Bahwa untuk pergi ke Bubad disamakan
dengan ke Wengker. Seperti kita ketahui bahwa Perang Bubad terjadi
sebagai akibat strategi politik Mahapatih Gajah Mada sebagai salah satu
cara Majapahit menaklukkan kerajaan disekitarnya. Walaupun wengker
adalah daerah kekuasaan Majapahit tetapi kekuatan Wengker sangat
diperhitungkan Majapahit. Kerajaan Wengker jarang diungkap keadaannya
karena peran Wijayarajasa lebih banyak di Majapahit dibanding memimpin
kerajaannya sendiri.
Pusat pemerintahan Wengker ketika dipimpin Wijayarajasa berada di
sekitar Kecamatan Sambit Ponorogo. Wijayarajasa meninggal pada tahun
1310 Saka dan dimakamkan di Manar dengan nama Wisnubhawano.
Zaman kepimpinan Wengker dimasa Majapahit berikutnya adalah Dyah
Suryawikrama Girishawardana, ia adalah anak Dyah Kertawijaya. Ia
memimpin Wengker sejak ayahnya masih memimpin pemerintahan Majapahit
tahun 1447-1451 M. Setelah kekosongan kekeuasaan selama tiga tahun ia
memimpin Majapahit selama 10 tahun (1456-1466 M). Dalam kitab Pararaton
ia bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Ia meninggal tahun 1466 M dan
dimakamkan di Puri. Sampai masa ini nama Wengker masih disebut dalam
sejarah Majapahit.
Zaman Majapahit terakhir yaitu Brawijaya V sampai runtuhnya kerajaan
Majapahit, Wengker masih ada. Tetapi yang berkuasa di kerajaan Wengker
sudah tidak ada. Pemerintahannya hanya tinggal daerah Kademangan. Berada
di sebelah selatan juga disebut Kademangan Wengker, Demangnya bernama
Kethut Suryangalam. Melihat kata Ketut kiranya perubahan dari kata
Kettu, nama raja Wengker pertama yaitu Kettu Wijaya. Dapat disimpulkan
Ketut Suryangalam masih keturunan Kettu Wijaya.
Demang Suryangalam kondang akan kedigdayaannya, sakti mandraguna, tidak
mempan segala senjata. Sampai zaman Wengker berakhirnya, rakyatnya
beragama Hindu. Memuja kepada Syiwa, Brahma dan Budha yang arca-arcanya
semua ada di Ponorogo.
Zaman Islam Kadipaten Wengker
Diakhir kejayaan Majapahit yang mana wilayah Majapahit terpecah-pecah.
Wilayahnya seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya
memerdekakan diri. Kerajaan Majapahit itu terakhirnya kerajaan Hindu di
Tanah Jawa. Raja yang terakhir Prabu Brawijaya V juga masih ada
Brawijaya VI dan VII tetapi sudah tidak ada kekuasaan sama sekali.
Runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 oleh Raja Kediri atau Daha yang
bernama Ronowijaya Girinda Wardana, lalu dikalahkan oleh Adipati Demak
Bintoro Pangeran Glagah Wangi. Pusaka kerajaan dan Pendopo kerajaan
dipindah ke Demak. Raden Djoko Piturun putra Brawijaya V ikut diboyong
ke Demak. Demak menguasai kota-kota pesisir lain seperti Lasem, Tuban,
Gresik dan Sedayu. Pangeran Glagah Wangi diakui sebagai pemimpin
kota-kota dagang pesisir dan pewaris Sah Majapahit dengan gelar Sultan
Syah Alam Akbar Al Fatah.
Sultan Fatah merupakan putra Prabu Majapahit dengan putri Cina yang pada
waktu itu hamil muda kemudian diberikan kepada Arya Damar, setelah
lahir diberi nama Raden Hasan dan oleh ayahandanya di beri Nama Raden
Djoko Probo dan saat sowan ke Majapahit oleh Prabu Brawijaya terakhir
di beri julukan Pangeran Jimbun. Atas jasanya menumpas pemberontakan di
kasih tanah bumi perdikan di Glagah Wangi dan akhirnya bergelar Pangeran
Glagah Wangi.
Arya Damar Adipati Palembang menyatakan kepada permaisurinya bahwa
putranya tersebut akan menjadi raja Islam yang pertama di Jawa.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kerajaan Islam yang pertama di tanah Jawa
adalah Demak Bintoro.
Bintoro dikembangkan atas dasar Islam. Mendengar hal tersebut raja
Majapahit Prabu Brawijaya mengangkat Pangeran Jimbun menjadi mangkubumi
di Bintoro dengan Gelar Pangeran Notoprojo Glagah Wangi. Berkat
dukungan para wali, Bintoro berkembang menjadi kerajaan Islam pertama
Dengan nama Demak pada tahun 1403 Saka atau tahun 1481 M, dibawah
pimpinan Panembahan Djimbun dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al
Fatah.
Seiring munculnya Demak Majapahit semakin parah dilanda krisis,
Majapahit telah direbut oleh Girishawardana yang sebenarnya tidak berhak
atas tahta Majapahit. Pada waktu Raja Brawijaya terakhir, telah memberi
kekuasaan kepada putra beliau di Demak yang kelak kemudian berkembang
menjadi kerajaan Demak.
Hal yang berbeda dialami putra Brawijaya V lain yang bernama Raden Djoko
Piturun yang belum mempunyai wilayah kekuasaan. Hingga terdengar berita
bahwa sebelah timur Gunung Lawu ada seorang demang dari Kutu yang tidak
mau menghadap ke Majapahit. Maka Raden Djoko Piturun disuruh
menghadapkan demang tersebut ke Majapahit. Kemudian Raden Djoko Piturun
menghadap kakaknya Didemak dan minta pendapat Para Wali. Oleh Sunan
Kalijogo Raden Djoko Piturun Di bekali Pusaka dan di sertai Kyai Muslim
(Kyai Ageng Mirah) Seloaji dan juga 40 Santri senior Kadilangu untuk
menuju Kadipaten Wengker. Tetapi perjalanan mereka tidak boleh
bersamaan.
Demang Kutu tersebut adalah Ki Ageng Suryangalam atau terkenal dengan
sebutan Kutu. Ia merupakan Punggawa Majapahit yang masih termasuk
kerabat keraton maka oleh Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, ia diberi
jabatan Demang. Kademangan Kutu atau Surukubeng wilayahnya adalah bekas
kerajaan Wengker yang mana seiring semakin melemahnya Majapahit. Kyai
Ageng Kutu meneruskan tata cara dan adat kerajaan Wengker dahulu. Para
pembantu dan punggawanya diajarkan beladiri dan berperang serta tapa
brata.
Raden Djoko Piturun datang dari Demak Disertai dengan Seloaji diutus
memeriksa bekas kerajaan Wengker yang ada di sebelah timur Gunung Lawu
dan disebelah barat Gunung Wilis ke selatan sampai laut selatan. Mereka
berangkat berdua, sampai sebelah barat Gunung Wilis bertemu dengan Kyai
Ageng Mirah. Kyai Ageng Mirah itu merupakan putra dari Kyai Ageng Gribig
dan Kyai Gribig putra dari Wasi Begono. Wasi Begono putra dari
Brawijaya V. . Mereka kemudian sepakat berjuang bersama dan saling atur
strategi, Mereka selalu koordinasi terhadap apa yang mereka hadapu
dalam perjuangan ini. Kyai Ageng Mirah senang setelah mendapat informasi
karena masih sama2 keturunan Majapahit. Setelah saling berkenalan dan
saling mengutarakan apa yang menjadi kepentingannya. mereka bertiga
lalu meneruskan perjalanan melakukan pengamatan sampai laut selatan.
Pihak Raden Djoko Piturun berusaha melakukan pendekatan persuasif
terhadap pihak Ki Ageng Kutu, antara lain dilakukan Kyai Ageng Mirah
terhadap Kyai Ageng Kutu secara dialogis agar Kyai Ageng Kutu bersedia
mengahdap ke Majapahit. Tetapi Kyai Ageng Kutu menolak dengan alasan
antara lain kerajaan Majaphit yang memberi pintu bagi penyebaran agama
Islam padahal wilayah Wengker kebanyakan menganut agama sendiri yaitu
Hindu dan Budha. Kyai Ageng Kutu menganggap penyebaran Islam yang
dipimpin Para Wali justru Majapahit mengangkat Pangeran Jimbun menjadi
penguasa Demak Bintoro. Kyai Ageng Mirah menjelaskan bahwa pengangkatan
Raden Patah tidak salah karena masih putra Brawijaya V. Tetepi Kyai
Ageng Kutu tetap menganggap hal yang dilakukan Majapahit merupakan hal
yang menyalahi aturan kerajaan sendiri. Akhirnya upaya dialogis yang
dilakukan Kyai Ageng Mirah gagal.
Peperangan Raden Djoko Piturun dan Ki Ageng Kutu
Upaya persuasif dari pihak Raden Djoko Piturun yang gagal dilaporkan
kepada Prabu Brawijaya V, dan langkah yang dilakukan Brawijaya adalah
mengirim pasukan Majapahit untuk menumpas Kyai Ageng Kutu dan setelah
selesai Raden Djoko Piturun di minta agar Menghadap ke Demak. Dan
diperintahkan untuk segera berangkat. Rombongan pasukan tersebut di
pimpin oleh Raden Djoko Piturun Sendiri. Pada dasarnya Raden Djoko
Piturun tidak mau bermusuhan dengan pihak Wengker mengingat jasa Kyai
Ageng Kutu terhadap Majapahit begitu banyak. Tetapi Seloaji memberi
nasihat bahwa apa yang dianggap Kyai Ageng Kutu benar adalah menurut
Kyai Ageng Kutu sendiri, sedangkan pihak kerajaan menganggap hal yang
menyalahi peraturan dan Raja pun langsung memerintahkan untuk menumpas,
maka ia menasehati Raden Djoko Piturun untuk tidak ragu-ragu dalam
bertindak.
Kemudian terjadilah peperangan antara tentara Majapahit yang dipimpin
Raden Djoko Piturun beserta Kyai Ageng Mirah dan Seloaji serta beberapa
tokoh lain. Jalannya peperangan termasuk didalamnya strategi perang yang
dilakukan. Maka pada tahun 1468 M, Kutu sebagai ibukota Wengker jatuh
ke tangan Raden Djoko Piturun dan bala tentaranya. Saat Ditengah kondisi
yang sama sama kuat, Bathara Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki
Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Bathara Katong berusaha
mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini (Sulastri),
dengan akan dijadikan istri. Niken Gandini dimanfaatkan Bathara Katong
untuk mengambil pusaka Tombak Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari
Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada
hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringinanom Sambit
Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu disebut dengan Gunung
Bacin, terletak di daerah Bungkal. Bathara Katong kemudian, mengatakan
bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari.
Hal ini mungkin dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas
meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Kyai Honggolono sebagai tangan kanan Kyai Ageng Kutu Tewas dalam
pertempuran ini. Raden Djoko Piturun sangat terharu melihat kematian Ki
Honggolono dan musnahnya Kyai Ageng Kutu mengingat mereka berdua adalah
para perwira yang berjasa besar kepada Majapahit terutama ketika
merebut kembali Wengker yang sempat dikuasai Kediri.
Konsolidasi dalam keluarga Kyai Ageng Kutu juga dilakukan antara lain
menikahi putri Kyai Ageng Kutu yaitu Niken Sulastri, putra pertama Kyai
Ageng Kutu yang bernama Surohandoko menggantikan kedudukan ayahnya di
Kademangan Kutu, Suryongalim dijadikan Kepala Desa di Ngampel, Warok
Gunoseco menjadi kepala desa di Siman, Warok Tromejo di Gunung Loreng
Slahung.
Setelah selesai kemudian kembali ke Demak sebagai Penerus Majapahit,
Kyai Ageng Mirah ikut sampai Demak. Setelah beberapa bulan di Demak,
oleh Sultan Demak atas Saran Kanjeng Sunan Kalijogo dan Kanjeng Sunan
Giri Raden Djoko Piturun, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah diutus kembali ke
Wengker dengan diberi pangkat. Raden Djoko Piturun diangkat menjadi
Adipati bergelar Kanjeng Panembahan Batoro Katong. Penamaan gelar
Batara, karena Wengker rakyatnya semua beragama Budha
Terjadinya Nama Ponorogo
Perjalanan Rombongan Dari Demak Pun sampai Di Wengker dan pada suatu
hari, yang kebetulan pada saat malam jumat bulan purnama, Adipati Batoro
Katong, Seloaji, Kyai Ageng Mirah dan Senopati Joyodipo duduk bersama
di oro-oro (tanah gersang dan luas) untuk mengadakan musyawarah.
Kemudian Adipati Batoro Katong memulai pembicaraan, “Kyai Ageng Mirah,
saya minta Kyai Ageng memikirkan pusat kota yang akan kita bangun ini,
dimana dan bagaimanakah sebaiknya sebaiknya tempat untuk pendirian pusat
kota itu diletakkan?”
Kemudian Kyai Ageng Mirah menjawab, “Begini Raden, kalau untuk pusat
kota sebaiknya kita pilih yang berbentuk Bathok Mengkureb (tempurung
tengkurap). Itulah tanah dan tempat yang sebaik-baiknya untuk dihuni”
Kemudian Joyodipo yang lebih mengenal daerah itu menyambung, “Raden,
kalau berkenan dan sudi mendengar pendapat saya, untuk pusat kota Raden
saya silahkan memilih ditengah-tengah tanah yang luas itu. Marilah
sekarang saja kita semua kesana! Saya persilahkan Raden dan semua untuk
melihat!
Empat orang tersebut terheran-heran, semua melihat dengan
sungguh-sungguh arah yang ditunjuk Joyodipo. Seloaji dan Kyai Ageng
Mirah tidak melihat sesuatu apapun yang ada disana, akan tetapi Adipati
Batoro Katong melihat ada sesuatu di tengah-tengah padang rumput yang
luas. Batoro Katong melihat benda berbeda berjumlah tiga buah. Batoro
Katong bertanya kepada Joyodipo, “Kakang Joyodipo, saya melihat ada
tombak, payung yang sedang terbuka dan satunya lagi saya kurang begitu
jelas. Benda apakah itu kakang? Apakah maksud kakang menunjukkan benda
ini kepada kami?”
Raden diminta untuk menyembah tiga kali. Setelah menyembah tiga kali
barulah Seloaji dan Kyai Ageng Mirah dapat menyaksikan keberadaan tiga
benda tersebut. Joyodipo mengatakan bahwa dia dan kakaknya bernama
Joyodrono adalah abdi dari ayahanda Raden yaitu Prabu Brawijaya V.
Adapun pusaka itu ada disini karena kamilah yang membawanya. Dahulu
ayahanda bersabda, jika kelak ada orang yang dapat melihat pusaka ini,
itulah tanda kesetiaan Sang Prabu kepada orang itu maka berikanlah
pusaka itu, selain itu Sang Prabu juga bersabda bahwa dahulu Raden
memang diharapkan untuk menjadi raja menggantikan Sang Prabu. Itulah
titah dari Ayahanda Raden dan sekarang Radenlah yang mewarisinya.
Payung ini bernama Payung Tunggul Wulung, adapun tombak ini bernama
Tombak Tunggul Nogo dan satunya berupa sabuk yang bernama Sabuk Cinde
Puspito.
Batoro Katong menyembah tiga kali lalu mengambil Payung Tunggu Wulung,
Seloaji mengambil tombak Tunggul Nogo, sedangkan Kyai Ageng Mirah
mengambil sabuk (ikat pinggang) Cinde Puspita. Setelah ketiga barang itu
diambil, terdengar suara gemuruh tiga kali.
Bersamaan dengan itu, tanah berhamburan ke atas dan jatuh ke kanan kiri.
Tanah yang berjatuhan tadi akhirnya menjadi gundukan tanah sebanyak
lima puluh buah. Adapun tempat suara gemuruh terjadi, muncullah gua
dengan lobang menganga. Kelak setelah empat puluh hari gua tersebut
tertutup kembali seperti semula. Oleh Joyodipo gua tadi diberi nama Gua
Sigala-gala. Adapun gundukan tanah tadi diberi nama Gunung Lima dan
Gunung Sepikul dari situlah asal muasal Ponorogo
Setelah itu dimulai lah membabat hutan sekitar dipimpin oleh Tiga orang
disertai empat puluh santri yang sudah bisa membaca Qur’an dan mengerti
maknanya. Diperintah babat di hutan Wengker membangun desa sampai
menjadi kota. Semua kebutuhan dicukupi, berupa alat pembabat hutan,
peralatan pertanian dan perkakas rumah tangga. Hanya waktu itu keluarga,
anak dan istri tidak boleh ikut.
Sampai di sebelah barat Gunung Wilis, sebelah timur Gunung Lawu disana
mereka istirahat. Ketepatan ditempat yang banyak glagahnya dan tanahnya
berbau wangi, disitulah mulai dibabat. Orang yang berjumlah 40 dibagi
menjadi empat kelompok yaitu utara 10, timur 10, selatan 10 dan barat 10
orang kemudian Batoro Katong, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah ditengah
sebagai pengawas dan komando
Dan saat itu Musyawarah berlanjut untuk memberikan nama kota yang akan
didirikan tersebut. setelah mufakat dan kemauan terikat mereka
memutuskan kota bernama Pramanaraga. Pramana artinya perana yaitu
menyatunya sumber cahaya dari matahri, bulan dan bumi yang berpengaruh
menyinari kehidupan manusia yang digelar di alam raya. Ketiga unsur
tersebut dinamakan Trimurti, bertempat dan menyatu dengan badan manusia
menjadi mani. Mani laki-laki yang bercampur perempuan mendapat sabda
dari kehendak Yang Maha Kuasa menjelma menjadi manusia. Jadi Pramana dan
raga diumpamakan seperti madu dan manisnya, atau bunga dan sarinya,
umpama api dan nyalanya. Sedangkan pana berarti mengerti akan segala
situasi, mengerti dengan pemahaman yang sesungguhnya.
Setelah dapat tertata, lalu membuat kota dan berdasar putusan musyawarah
nama Kadipaten Barunya PONOROGO. Dari kata Sankrit (sansekerta) Pramana
Raga, disingkat menjadi Ponorogo. Pono artinya sudah mengerti semuanya,
lahir dan batin sedangkan Rogo itu badan maknanya sudah mengerti pada
raganya, bisa menempatkan diri artinya tepo seliro. Jadi Ponorogo
berarti manusia yang telah mengetahui, mengerti kepada dirinya sendiri
yaitu manusia yang sudah mengetahui unggah-ungguh (sopan santun) atau
manusia yang sudah mengerti tentang tata krama.
Kemudian esok harinya, sewaktu fajar menyingsing, terdengar suara riuh
rendah bunyi-bunyian, kentongan, bende, lesung, dan alat bunyi yang lain
dipukul bersamaan sebagai pertanda lahirnya kota baru Pramanaraga.
Pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan
dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah.
Diresmikan sebagai berdirinya kota Ponorogo, menjadi daerah Kabupaten.
Adipatinya disebut Kanjeng Panembahan Batoro Katong, Patihnya Seloaji,
dan Penghulu Agamanya Kyai Ageng Mirah serta Senopati Agung Joyodipo dan
Guru Para Prajurit Kyai Ageng Joyodrono.
Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Kemudian dengan Membawa Pusaka Masing-masing Kanjeng Panembahan dan
semua pejabat berkeliling kota hingga pelosok desa. Disetiap tempat
dipasang pengumuman tentang pendirian kota baru itu. Mulailah
Pramonorogo dikenal masyarakat sebagai kota kadipaten yang baru.
Sekarang kota Pramonorogo terkenal dengan sebutan Ponorogo.
Setelah istana kadipaten didirikan, Batara Katong kemudian memboyong
permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten, sedang adiknya,
Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel.
Berdirinya kota ini diperingati atau ditulis pada batu menggunakan
Candra Sengkolo Memet. Candra Sengkolo Memet itu berupa gambar atau
bangunan berupa gambar 4 jumlahnya, yaitu urut dari arah ke kanan, 1.
Gambar orang semedi (bertapa), 2. Gambar pohon beringin, 3. Gambar
garuda terbang, 4. Gambar Gajah. Pencipta memberi arti orang 1, beringin
(kayu) 4, burung terbang 0, gajah 8 jadi dapat dibaca 1408 dalam
hitungan Saka.
Kemudian jangka sepuluh tahun, membuat prasasti lagi di batu. Tertulis
aksara Jawa, angka aksara Jawa 1418 tahun Saka atau 1496 M itu merupakan
peringatan mulai patihnya Demang Suryongalam putra Ki Ageng Kutu. Dan
Patih Seloaji pun Kembali Bertugas di Demak Sebagai Senopati
Keprajuritan.
Ponorogo sudah tidak ada keributan lagi. Para Warokan dan Warok yang
semula suka mengganggu kepada para santri sudah tidak mengganggu lagi.
Para pemimpin desa, tetua para warok bersama-sama pergi ke Kadipaten
untuk menyerahkan diri dan minta tuntunan hidup bermasyarakat dalam
kaidah Keagamaan.
Para pamong praja, mulai Demang, para mantri, para bupati, prajurit
dipenuhi. Pejabat lainnya dicukupi lebih-lebih permasalahan pertanian.
Batoro Katong sendiri selalu memberi contoh, mempunyai kebun merica di
desa Mrican dan desa Sahang Ngebel (sahang=merica). Juga beternak hewan
seperti sapi, kerbau dan kuda. Selama 10 tahun kota Ponorogo menjadi
aman tentram, tidak ada curi-mencuri, perampokan atau brandal.
Sebelum itu situasi kota tidak aman tenteram, lebih-lebih usaha
perkembangannya agama Islam selalu mendapat rintangan. Nama santri itu
dimana saja terlihat berbeda, sebab busananya serba putih, sarung putih,
baju takwa model cina juga putih. Padahal pakaian penduduk aslinya
serba hitam. Jadi kelihatan mencolok bedanya. Jika ada santri lewat
jalan melewati rumah penduduk asli, untung-untungnya hanya dijuluki,
ujarnya : Santri Buki (santri Busuk”. Celakanya lagi kadang-kadang
diejek agar marah. Jika marah lalu diajak gulat, bila sial ada juga yang
meludahi.
Berdasar kenyataan seperti itu Panembahan Katong dan Kyai Ageng Mirah
lalu mengatur atau menyiasati santri, bila keluar dari rumah akan
mengajar mengaji, tidak boleh sendirian, harus ada temannya paling tidak
3 – 5 orang .
Kesimpulan
Dari peristiwa itu dapat kita ketahui mengenai sejarah perjalanannya
kerajaan Wengker hingga berdirinya Ponorogo. Kerajaan Wengker yang
terkenal selama kurang lebih 500 tahun. Walaupun kerajaan Wengker
kerajaan yang kecil tetapi sangat diperhitungkan kekuatannya oleh
kerajaan-kerajaan besar seperti Kahuripan dan Majapahit serta peletak
dasar-dasar pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari
daerah Ponorogo ini.
Nama Ponorogo bermula dari Pramonorogo kemudian lama kelaman kata
Pramonorogo berubah menjadi Ponorogo. Pono bermakna pandai, mengerti
sedangkan Rogo bermakna badan.
Ponorogo berdiri pada tahun 1486 M. Dengan Adipati bernama Raden Katong,
Patihnya Seloaji dan Penghulu (pemuka) agamanya Kyai Ageng Mirah.
Berdirinya Ponorogo ini tidak terlepas dari perjuanga tiga orang yang
sangat berjasa yaitu Raden Djoko Piturun. Seloaji dan Kyai Ageng Mirah.
Dari usaha mereka agama Islam tersebar luas di daerah Ponorogo meskipun
sebelumnya ada pertentangan-pertentangan dengan adanya Islam. Karena
dulunya semua warga di Wengker ini menganut agama Hindu dan Budha.
Kemudian Ponorogo menjadi kota yang aman tentram, terbebas dari pencuri
dan para brandalan
Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai
dihilangkan dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita
tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog.
Para punggawa dan anak cucu Bathara Katong, inilah yang kemudian
mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.
Adapun turunan bathara katong yang masih ada sampai sekarang yaitu di
Pacitan. Serta di berbagai daerah di Jawa timur.