Salah satu teori Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari
Gujarat, India, di abad ke14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara
dari Gujarat ini disebutjuga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut
buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi
para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas,
bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang
orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk
menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi
mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat,
mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah,
anak seorang tokoh di zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi
Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para
pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah
ramai saat itu. Yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya
Islam di Nusantara.
Dan ini teori yang saya ambil setelah melakukan banyak penelitian
arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara dan sengaja untuk menepis
sejarah islam Nusantara yang di tulis oleh kaum orientalis.
Bukti-bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi,
yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan
utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina.
Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman
Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa
Timur membuktikan hal ini “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa
bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara.
Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya
mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam
koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari
kuburan di Lumajang, Jawa Timur,yang sudah sering dijarah…”
Sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan
hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina. Perdagangan pada zaman
itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya
kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja
dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang
berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi .
Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di
beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak
dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya.
Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan
huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa
antara 0 sampai 100 Masehi.
Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan
Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya.Tarumanegara di Jawa Barat baru
berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada
tahun 425 Masehi dan mencapaikejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan
Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan
Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang
terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari
wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam.
Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab
dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan
Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab
yang berlayar k enegeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets.
Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang
seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun
setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun
setelah Rosululloh berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di
sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab
Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha
Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah
melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikah
perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di
sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat
pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal
madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah
(masjid).
Ada seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M
telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan
berdiam di pesisir Barat Sumatera. Dan penemuan tersebut telah mengubah
pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air.
Temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia
Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir
Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur.
Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara
kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman
Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya.
Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan
Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh. Amat mungkin Barus
merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di
Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal
Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria,
Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang
Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad
ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera
terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal
menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan dikisahkan pula bahwa
kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke
Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan
Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi. Barus
juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara
sekitar abad ke-7 Masehi.
Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu
nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini
memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era
itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari EcoleFrancaise D’extreme-Orient
(EFEO) Perancis yang bekerjasama denganpeneliti dari Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada
sekitar abad 9-12 Masehi, Baru stelah menjadi sebuah perkampungan
multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China,
Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim
tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya
sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus
itu sangatlah makmur. Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam
yang terdiri dari orangArab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan
berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di
dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya).
Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka
banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau
pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi
penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak
pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja,
adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya
dengan jalan damai.
Agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab
ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai
berkembang di kawasanini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok
bahwa pada tahun 977M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali)
diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di
Nusantara.
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan
kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun
1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah
merambah Jawa Timur di abad ke-11 M.
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rosululloh masih hidup.
Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rosululloh menerima
wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu
kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah
secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal
pertamatahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka
dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur kuno Tiongkok,sekitar tahun 625 M telah ada sebuah
perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Disana juga
terdapat makam salah satu Sahabat Rosululloh SAW.
Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam
secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan
Islam. Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki
mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada
zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30H atau 651 M.
Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh
Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang
dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3)San’a di Yaman, (4)
Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri
oleh Khalif Utsman.
Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar
bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua
dari zaman KhalifahUtsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan
tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada
Museum di Tashkent,Asia Tengah. Mengingat bekas-bekas darah pada
lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan
memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah
dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu
gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty),
Yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir
Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan
mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang
berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang
ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia
Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut
dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah
dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb) Sebab itu,
cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan
ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para Huffadz atau
penghapal al-Qur’an. Menengok catatan sejarah,pada seperempat abad ke-7
M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera.
Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbedadari agama resmi
kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun
sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik
dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan
maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama
yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan
menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua
syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa
mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah
kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya. Perjalanan dari Sumatera sampai ke
Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu
di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai
hampir tiga tahun.
Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalahtahun 622 Masehi lebih enam bulan.
Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam
seperti yang telah disinggung diatas, setidaknya memerlukan waktu selama
5 hingga 10 tahun. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para
pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah
orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah,
segenerasi dengan Ali bin Abi Thalibr. A.. Kenyataan inilah yang membuat
saya sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah
masih hidup di Makkah dan Madinah.
Sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah
dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda
Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah
hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para
pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk
berniaga. “ Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan
mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal
beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah
beliau itu,”
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut
sebagai iorang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan
mi moni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah
hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan
menceritakanbahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah
tiga kali berganti kepemimpinan.
Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan
Islam di pesisir pantai Sumatera pada saatkepemimpinan Khalifah Utsman
bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah
SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari
Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak
menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di
Malaka yangmenjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas,Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang
oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di
Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India
(Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari
Snouck Hurgronje ,karena para pedagang yang datang dari India, mereka
ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari
lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka
singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar
(Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris
tepat berada ditengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera. Bukalah atlas
Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari
Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat
strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang
meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India
beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus,
terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan
terus ke berbagai pusat-pusatperdagangan di daerah ini hingga pusat
Kerajaan Budha Sriwijaya diselatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu
mereka ada pula yangmelanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa. Disebabkan
letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah
dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan
India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan
Banda Aceh ,baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan
demikian,bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali
disinar cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu,
Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.