Ini adalah keterangan Serat tentang Pangracutan yang telah disusun
Baginda Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma Panatagama di Mataram atas
perkenan beliau membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat
rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dengan
para ahli ilmu kasampurnaan.
Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma Panatagama adalah:
1. Panembahan Purbaya
2. Panembahan Juminah
3. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
4. Panembahan Juru Kithing
5. Pangeran Kadilangu
6. Pangeran Kudus
7. Pangeran Tembayat
8. Pangeran Kajuran
9. Pangeran Wangga
10. Kyai Pengulu Ahmad Kategan
1. Berbagai Kejadian Pada Jenazah
Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang telah
terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami
bermacam-macam kejadian pada jenazahnya.
1) Ada yang langsung membusuk
2) Ada pula yang jenazahnya utuh
3) Ada yang tidak berbentuk lagi, hilang bentuk jenazah
4) Ada pula yang meleleh menjadi cair
5) Ada yang menjadi mustika (permata)
6) Istimewanya ada yang menjadi hantu
7) Bahkan ada yang menjelma menjadi hewan
Masih banyak pula kejadiannya. Lalu bagaimana hal itu dapat terjadi dan
apa yang menjadi penyebabnya? Adapun menurut para pakar setelah mereka
bersepakat disimpulkan suatu pendapat sebagai berikut : Sepakat dengan
pendapat Sultan Agung bahwa manusia itu setelah meninggal keadaan
jenazahnya berbeda-beda itu adalah merupakan suatu tanda karena ada
kelainan atau salah kejadian (ketidak-wajaran). Pada waktu masih hidup
berbuat dosa, setelah menjadi mayat pun akan mengalami sesuatu masuk ke
dalam alam penasaran. Karena pada waktu pada saat memasuki proses
sakaratul maut, hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak
dapat memusatkan pikiran untuk menghadapi maut. Maka ada berbagai bab
dalam mempelajari ilmu ma’rifat, seperti berikut ini:
1. Pada waktu masih hidupnya, siapapun yang senang tenggelam dalam hal
kekayaan dan kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai
akhir hayatnya jenazahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah
liat. Sukmanya melayang gentayangan dan dapat diumpamakan bagaikan
rama-rama tanpa mata sebaliknya. Namun bila pada saat hidupnya gemar
mensucikan diri lahir maupun batin, hal tersebut tidak akan terjadi.
2. Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat pusaka (gemar
mengkoleksi pusaka) tanpa mengenal batas waktunya, bila tiba saat
kematiannya maka mayatnya akan teronggok menjadi batu dan membuat tanah
perkuburannya itu menjadi sanggar. Adapun rohnya akan menjadi danyang
semoro bumi. Walaupun begitu, bila semasa hidupnya mempunyai sifat nrima
atau sabar artinya makan tidur tidak bermewah-mewah cukup seadanya
dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinan tidaklah mengalami
kejadian seperti di atas.
3. Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah (lelaku) tidak
tidur tanpa ada batas waktu tertentu (begadang), pada umumnya disaat
kematiannya kelak maka jenazahnya akan keluar dari liang lahatnya karena
terkena pengaruh dari berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya
menitis pada hewan. Namun bila pada masa hidupnya disertai sifat rela,
bila meninggal tidak akan keliru jalannya.
4. Siapapun yang tidak bisa mencegah nafsu syahwat atau hubungan seks
tanpa mengenal waktu, pada saat kematiannya kelak jenazahnya akan lenyap
melayang masuk ke dalam alamnya jin, setan, dan roh halus lainnya.
Sukmanya sering menjelma menjadi semacam benalu atau menempel pada orang
seperti menjadi gondoruwo dan sebagainya yang masih senang mengganggu
wanita. walaupun begitu bila mada masa hidupnya disertakan sifat jujur
tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang
bukan haknya, semuanya itu tidak akan terjadi.
5. Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal dapat menahan hawa
nafsu berani dalam lampah (lelaku) dan menjalani mati dalamnya hidup
(sering bertafakur/semedi), misalnya mengharapkan janganlah sampai
berbudi rendah, dengan tutur kata sopan, sabar dan sederhana, semuanya
tidak belebihan dan haruslah tahu tempat situasi dan kondisinya, yang
demikian itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka keadaan
jenazahnya akan mendapatkan kemuliaan sempurna dalam keadaannya yang
hakiki. Kembali menyatu dengan zat yang Maha Agung, yang dapat menghukum
dapat menciptakan apa saja ada bila menghendaki datang menurut
kemauannya. Apalagi bila disertakan sifat welas asih, akan abadilah
menyatunya Kawulo Gusti. Oleh karenanya bagi orang yang ingin
mempelajari ilmu ma’arifat haruslah dapat menjalani: Iman, Tauhid dan
Ma’rifat.
2. Berbagai Jenis Kematian
Ketika itu Baginda Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma merasa senang atas
segala pembicaraan dan pendapat yang telah disampaikan tadi. Kemudian
beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang berbagai jenis kematian
yakni
- Mati Kisas
- Mati kias
- Mati sahid
- Mati salih
- Mati tewas
- Mati apes
- Mati Kisas, adalah jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan
orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan
pengadilan atas wewenang raja atau pemerintah.
- Mati Kias, adalah jenis kematian yang diakibatkan suatu perbuatan misalnya:
nafas atau mati melahirkan.
- Mati Syahid, adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak,
dirampok, disamun.
- Mati Salih, adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri karena
mendapat aib atau sangat bersedih.
- Mati Tiwas, adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar petir, tertimpa
pohon, jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.
- Mati Apes, adalah suatu kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena santet atau
tenung dari orang lain. Yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada
kematian yang sempurna atau kesedan jatibahkan dekat sekali pada
alam penasaran.
Bertanya Sultan Agung: “Sebab-sebab kematian yang mengakibatkan
kejadiannya itu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan
yang bodoh? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seorang pakar
ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga?”
Dijawab oleh yang menghadap : “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena
terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi
dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah
penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan
ilmunya, mungkin akan kacau dalam melaksanakannya tetapi kalau selalu
ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat
mencabut seketika itu juga.
Setelah mendengar jawaban itu Sultan Agung merasa masih kurang puas dan
bertanya, sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu
firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu
saja beliau kurang sependapat oleh karenanya beliau mengharapkan untuk
dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih
masuk akal.
Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar,
karena sebenarnya semua itu masih belum tentu, hanyalah Kangjeng
Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut jasad
seketika, tidak ada yang dapat menyamainya."
3. Wedaran Angracut Jasad
Adapun Pangracutan Jasad yang dipergunakan Kangjeng Susuhunan Kalijogo,
penjelasannya telah diwasiatkan pada anak cucu seperti ini caranya:
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata, tidak
diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya, di
dunia aku hidup, sampai di alam nyata (akherat) aku juga hidup, dari
kodrat iradatku, jadi apa yang kuciptakan, yang kuinginkan ada, dan
datang yang kukehendaki”.
4. Wedaran Menghancurkan Jasad
Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut :
“Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau
terjadinya mukjizat seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para
Wali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khas, dengan cara
menjalani tapa brata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel
Denta adalah
- Menahan Hawa Nafsu, selama seribu hari siang dan malamnya sekalian.
- Menahan syahwat (seks), selama seratus hari siang dan malam
- Tidak berbicara, artinya membisu, dalam empat puluh hari siang dan malam
- Puasa padam api (patigeni), tujuh hari tujuh malam
- Jaga, (tidak tidur) lamanya tiga hari tiga malam
- Mati raga, tidak bergerak lamanya sehari semalam.
Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam caranya :
1. Manahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari lalu teruskan dengan
2. Menahan syahwat, bila telah mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga dengan
3. Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari, lalu lanjutkan dengan
4. Puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu dilanjutkan dengan
5. Jaga, selama tiga hari tiga malam, lanjutkan dengan
6. Pati raga selama sehari semalam.
Adapun caranya Pati Raga tangan bersidakep kaki membujur dan menutup
sembilan lobang tubuh (babagan howo songo), tidak bergerak-gerak,
menahan tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing
selama sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya mata,
tarikan nafas, anapas, tanapas, nupus, artinya tinggal keluar masuknya
nafas, yang tenang jangan sampai bersengal-sengal campur baur.
Perlunya Pati Raga
Baginda Sultan Agung bertanya : “Apakah manfaatnya Pati Raga itu ?”
Kyai Penghulu Ahmad Kategan menjawab : “Adapun perlunya pati raga itu,
sebagai sarana melatih kenyataan, supaya dapat mengetahui pisah dan
kumpulnya Kawula Gusti, bagi para pakar ilmu kebatinan pada jaman kuno
dulu dinamakan Meraga Sukma, artinya berbadan sukma, oleh karenanya
dapat mendakatkan yang jauh, apa yang dicipta jadi, mengadakan apapun
yang dikehendaki, mendatangkan sekehendaknya, semuanya itu dapat
dijadikan suatu sarana pada awal akhir. Bila dipergunakan ketika masih
hidup di Dunia ada manfaatnya, begitu juga dipergunakan kelak bila telah
sampai pada sakaratul maut."
Urutan dalam Kematian dan Apa yang harus Dilakukan
Walaupun hanya panuwunan, yang dilewati juga alam kematian, kalau sampai
lengah juga berakhir mati atau mati benar-benar. Adapun tata caranya
begini:
Sedakep dengan kaki lurus berdempet, menutup kesemua lubang, jari-jari
kedua belah tangan saling bersilang, ibu jari bertemu keduanya, lalu
ditumpangkan di dada. Dalam sikap tidur itu kedua belah kaki diluruskan,
ibu jari kaki saling bertemu, kontol ditarik keatas dan zakarnya
sekalian, jangan sampai terhimpit paha. Pandangan memandang lurus dari
ujung hidung lurus ke dada hingga tampak lurus melalui pusar hingga
memandang ujung jari. Setelah semuanya dapat terlihat lurus maka memulai
menarik nafas tadi. Dari kiri tariklah kekanan dan dari arah kanan
tariklah kekiri. Kumpulnya menjadi satu berada di pusar beberapa saat
lamanya, maka tariklah keatas pelan-pelan jangan tergesa-gesa. Kumpulkan
nafas, tanafas, anafas, nufus diciptakan menjadi perkara gaib. Lalu
memejamkan mata dengan perlahan-lahan, mengatubkan bibir dengan rapat,
gigi dengan gigi bertemu. Pada saat itulah mengheningkan cipta, menyerah
dengan segenap perasaan yang telah menyatu, pasrah kepada Pangeran kita
pribadi. Setelah itu, lalu memantrapkan adanya Dzat, seperti dibawah
ini:
Anjumenengkan Dzat :
“Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawulaningsun, tunggal dadi sakahanan, sampurna saka ing kudratingsun”.
“Aku mengumpulkan Kawula Gusti yang bersifat Esa, meliputi dalam kawulaku, satu dalam satu keadaan dari kodrat-Ku”.
Mensucikan Dzat:
“Ingsun Dzat Kang Amaha Suci Kang Sifat Langgeng, kang amurba amisesa
kang kawasa, kang sampurna nilmala waluya ing jatiningsun kalawan
kudratingsun.”
“Aku sebenarnya Dzat Yang Maha Suci, bersifat kekal, menguasai segala
sesuatu, sempurna tanpa cacat, kembali pada hakekat-Ku, karena
kodrat-Ku.”
Mengatur Istana :
“Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu Agung, kang amurba
amisesa kang kawasa, andadekake ing karatoningsun kanga gung kang amaha
mulya. Ingsun wengku sampurna sakapraboningsun, sangkep, saisen-isening
karatoningsun, pepak sabalaningsun, kabeh ora ana kang kekurangan, byar
gumelar dadi saciptaningsun kabeh saka ing kudratingsun.”
“Aku Dzat yang Maha Luhur, yang menjadi Raja Agung. Yang menguasai
segala sesuatu, yang kuasa menjadikan istana-Ku, yang Agung Maha Mulia,
Ku Kuasai dengan sempurna dari kebesaran-Ku, lengkap dengan segala
isinya Keraton-Ku, lengkap dengan bala tentara-Ku, tidak ada kekurangan,
terbentang jadilah semua ciptaanKu, ada segala yang Ku-inginkan, karena
kodrat-Ku.”
Meracut Jisim :
“Jisimingsun kang kari ana ing alam dunya, yen wis ana jaman karamat
kang amaha mulya, wulu kulit daging getih balung sungsum sapanunggalane
kabeh, asale saka ing cahya muliha maring cahya, sampurna bali Ingsun
maneh, saka ing kodratingsun.”
“Aku meracut jisim-Ku yang masih tertinggal di alam dunia, bila telah
tiba di zaman keramatullah yang Maha Mulia, bulu, kulit, kuku, darah,
daging, tulang, sungsum keseluruhannya, yang berasal dari cahaya, yang
berasal dari bumi, api, angin, bayu kalau sudah kembali kepada anasir-Ku
sendiri-sendiri, lalu aku racut menjadi satu dengan sempurna kembali
kepada-Ku, karena kodrat-Ku.”
Menarik Anak :
“Aku menarik anak-Ku yang sudah pulang kerahmatullah, kaki, nini, ayah,
ibu, anak dan isteri, semua darah-Ku yang memang salah tempatnya,
semuanya Aku tarik menjadi satu dengan keadaan-Ku, mulia sempurna karena
kodrat-Ku.”
Mengukut keadaan Dunia:
“Aku mengukut keadaan dunia, Aku jadikan satu dengan keadaanKu, karena kodrat-Ku.”
Mendo’akan Keturunan:
“Keturunanku yang masih tertinggal di alam dunia, semuanya semoga
mendapatkan kebahagiaan, kaya dan terhormat, jangan sampai ada yang
kekurangan, dari kodrat-Ku.”
Mengamalkan Aji Pengasihan:
“Aku mengamalkan Aji pengasih, kepada semua mahkluk-Ku, besar, kecil,
tua, muda, laki-laki, perempuan, yang mendengar dan melihat semoga welas
asih padaKu, karena kodrat-Ku.”
Menerapkan Daya Kesaktian:
“Aku menerapkan Daya Kesaktian, kepada semua mahkluk-Ku, barang siapa
yang tidak mengindahkan Aku, akan terkena akibat dari kesaktian-Ku,
karena kodrat-Ku.”
Setelah begitu, maras menutup di hati, menimbulkan rasa sesak nafas,
oleh karenanya harus selalu ingat dan sentosa, jangan sampai kacau balau
pernapasannya, tanafas, anpas, nuppus tadi, karena nafas itu ikatan
jisim, berada di hati suweddha, artinya menjembatani fikiran yang suci,
keadaanya jadilah angin yang keluar saja.
Tannapas itu talinya hati siri, letaknya di pusar, keadaannya menjadi hawa yang berada dalam tubuh saja.
Anpas itu adalah talinya Roh, berada di dalam jantung, keadaannya hanyalah menjadi angin di dalam saja.
Nupus itu tali Rahsa, artinya berkaitan dengan Atma, berada di dalam
hati pusat yang putih, berada di pembuluh jantung, keadaannya menjadi
angin yang kekiri kekanan, dari ulah perbuatannya itu dapat meliputi
segenap organ tubuh dan rokhani.
Bila sudah begitu roh larut lalu terasalah kram seluruh organ tubuh,
mengakibatkan mata menjadi kabur, telinga menjadi lemas, hidungpun lemah
lubang hidung menciut, lidah mengerut, akhirnya cahaya suram, suara
hilang, yang tinggal hanyalah hidupnya fikir saja, karena sudah
dikumpulkan urutan syare’at, hakekat, tarekat, dan makrifat.
Syare’at itu lampahnya badan, berada di mulut
Hakekat itu lampahnya nyawa, berada di telinga
Tarekat itu lampahnya hari, berda di hidung
Makrifat itu lampahnya rahsa, berada di mata
Adapun yang ditarik terlebih dahulu adalah penglihatannya mata,
diumpamakan kaburnya kaca Wirangi, atau asalnya air Zam-zam Lalu rasanya
mulut, diumpamakan rusaknya jembatan Siratalmustakim, atau Ka’batullah.
Lalu penciumannya hidung, yang diumpamakan gugurnya gunung Tursina atau
robohnya gunung Ikrap Lalu pendengarannya telinga, diumpamakan hancurnya
sajaratulmuntaha, atau melorotnya Hajaratu’l Aswad. Kemudian tinggallah
merasakan nikmat pada seluruh bagian tubuh, melebihi kenikmatan ketika
sedang bersenggama pada saat sedang mengeluarkan rahsa, pada saat itulah
batinlah suatu tekad yang kuat, seperti diibaratkan huruf Alif yang
berjabar (berfathah), diejer (kasroh ), da diepes ( berdlomah ) bunyinya
menjadi: A. I. U
A artinya : Aku
I artinya : Ini
U artinya : Hidup ( urip )
Setelah itu menciptakan kerinduan kepada Dzat, bagaikan merindukan
kepada Dyah Ayu, supaya jangan sampai ingat kepada anak cucu yang
ditinggalkan. Karena akan keliru ciptanya yang akhirnya mengakibatkan
melesetnya dari tujuan yang sebenarnya. Semua itu tinggal menimbang
pertimbangannya ciptanya pribadi, didalam tiga pangkat :
a. Yang pertama, bila benar-benar sentausa, akan mendapatkan anugerah
dari Pangeran, dapat hidup diawal akhir, langgeng tidak mengalami
perubahan.
b. Yang kedua, berhubung dicapai waluya sejati, padahal tidak mengalami
menderita sakit, atau tidak mempuyai dosa, maka dapat melakukan berbadan
sukma.
c. Yang ketiga, bila didalam ciptanya masih ada rasa ragu-ragu, bimbang,
pada akhirnya hayatnya pasti akan menemukan tiwas ke tempat yang salah.
Perbedaan Waktu di Akhirat dan di alam Dunia.
Di dunia sehari, diakhirat sebualan, di dunia sebulan di akhirat satu
tahun, sedangkan di Dunia satu tahun di Akhirat Sewindu, saksinya
seperti orang waktu mimpi.
Alam setelah Kematian
a. Kepala, adalah keadaan Baitulmakmur.
b. Otak, keadaannya Kanto, menyebabkan adanya Cahaya, menjadi terbuka wajahnya.
c. Manik, keadaannya Pramana, menyebabkan adanya Warna, menjadi terbukanya penglihatan.
d. Budi, keadaannya Pranawa, menyebabkan adanya Karsa, menjadi terbukanya bicara.
e. Nafsu, keadaanya Hawa, menyebabkan adanya Suara, menjadi terbukanya pendengaran.
f. Sukma, keadaannya Nyawa, menyebabkan adanya Cipta, menjadi terbukanya penciuman.
g. Rahsa, keadaannya Atma, menyebabkan adanya Wisesa, menjadi terbukanya perasa.
Inilah yang menjadi 3 larangan perbuatan yang menyimpan 3 keadaan;
(1) jangan mengumpat, jangan mengucapkan kata-kata cabul dan terhanyut pada pemikiran yang tidak baik.
(2) Jangan menimbulkan Budi yang bukan-bukan.
(3) Jangan melakukan perzinahan dengan bukan haknya atau akan
menimbulkan gangguan dalam kehidupannya membuat gelap alam sampai akhir
hayatnya.
Karena keadaan Akherat yang akan dilalui 7 perkara, maka jangan dianggap remeh :
“ Sesungguhnya Aku Dzat ysang Maha Pencipta dan Maha Kuasa, yang
Berkuasa menciptakan segala sesuatu, terjadi dalam seketika, sempurna
karena kodratKu, disitu sudah terbukti atas perbuatanKu, sebagai
kenyataan kehendakKu, terlebih dahulu Ku- ciptakan Hayyu bernama
Sajaratul Yakin yang tumbuh dalam alam Adam-makdum yang azali abadi.
Setelah itu cahaya bernama Nur Muhammad, lalu kaca bernama Mir’atul
haya’i, kemudian nyawa bernama roh idlafi, lalu lampu kandi, lalu
permata bernama Darrah, akhirnya dinding-jalal bernama Hijab, itulah
yang menjadi penutup keberadaanKu”.
Penjelasannya satu-persatu begini :
1. Sajaratul Yakin, yang tumbuh dalam alam Adam-makdum yang azali abadi,
artinya pohon kehidupan yang berada dalam jagad yang sunyi senyap
segalanya, dan belum ada sesuatu apapun. Merupakan hakekat Dzat mutlak
yang kadim. Artinya; hakekat Dzat yang lebih dulu, yaitu Dzat Atma, yang
menjadi wahana alam Ahadiyat.
2. Nur Muhammad, artinya cahaya yang terpuji. Diceritakan dalam hadits
seperti burung Merak, berada dalam permata putih, berada pada arah
sajaratul yakin, itulah hakekatnya cahaya, yang diakui sebagai tajalinya
Dzat di dalam nukat gaib, sebagai sifatnya Atma, menyebabkan adanya
alam Wahdat
3. Mir’atul haya’I, artinya kaca wirangi, tersebut dalam hadits berada
di depan Nur Muhammad, itulah hakekatnya pramana, diakui sebagai rahsa
Dzat, sebagai nama Atma, menyebabkan adanya alam Wahadiyat.
4. Roh Idlafi, artinya nyawa yang jernih, berasal dari Nur Muhammad,
itulah hakekat Sukma yang diakui sebagai keadaan Dzat sebagai tabirnya
Atma, menyebabkan adanya alam Arwah.
5. Kandil, artinya lampu tanpa api, berupa permata yang berkilauan
tergantung tanpa pengait disitulah keadaan nur muhammaddan tempat
berkumpulnya darah seluruhnya adalah hakekat angan-angan yang diakui
sebagai bayangan Dzat, sebagai ikatannya Atma, menyebabkan adanya alam
Mitsal.
6. Darah, artinya permata, mempunyai sinar lima warna, satu tempat
dengan malaikat adalah hakekat Budi, diakui sebagai hiasannya Dzat,
sebagai pintunya Atma, menyebabkan adanya alam Ajsam.
7. Kijab, disebut dinding jalal, artinya tabir yang agung, keluar dari
permata yang lima warna pada waktu bergerak menimbulkan buih, asap, air,
itulah hakekat Jasad, yang diakui sebagai Wahana Dzat, sebagai tempat
Atma, menyebabkan adanya alam Insan Kamil.
Inilah Jumenengnya Maghligainya Dzat, ditata dalam Baiutllah menjadi 3
keadaan yang disebut dengan; Wedaran Triloka, Wejangan Tribawana, Isinya
3 Dunia.
H. Wedaran Tribawana.
a) Ayat pertama, dinamakan terbukanya tata mahgligai Baitumakmur,
sebagai berikut; “Sebenarnya Aku mengatur singgasana didalam
Baitulmakmur, disitulah tempat kesenangan-Ku, berada didalam kepala
Adam, yang di dalam kepala itu yaitu dimak yaitu otak, yang berada dalam
dimak itu manik, di dalam manik itu pramana, adalah pranawa, di dalam
pranawa itu sukma, didalam sukma ada rahsa, didalam rahsa itu ada Aku,
tidak ada Pangeran hanya Aku Dzat yang meliputi di semua keadaan”.
b) Ayat kedua, dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam
Baitulmuharram, sebagai berikut; ” Sebenarnya Aku menata singgasana
dalam Baitulmukharram, itulah tempat larangan-laranganKu, yang berada
didada Adam. Yang berada di dada Adam itu hati, yang berada diantara
hati itu jantung, di dalam jantung itu budi, didalam budi itu jinem, di
dalam jinem itu sukma, di dalam sukma itu rahsa, dan di dalam rahsa itu
Aku, tidak ada Tuhan kecuali Aku, Dzat yang meliputi keadaan”.
c) Ayat ketiga, dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam
Baitulmuqadas, sebagai berikut; “Sebenarnya Aku menata singgasana dalam
Bitulmuqadas, rumah tempat yang Aku sucikan, berada di dalam kontolnya
Adam, yang berada dalam kontol itu pelir, yang berada dalam pelir itu
mutfah yakni mani, yang berada dalam mutfah adalah madi, dalam madi itu
manikem, dalam manikem itu rahsa, dalam rahsa itu Aku, tidak ada Tuhan
kecuali Aku, Dzat yang meliputi semua keadaan”.
I. Surga dan Neraka.
Surga atau sarwa arga, semua yang diperbuat selalu kebaikan semua orang
memujinya, sampai akhir hidup selalu dibicarakan orang dan kematiannya
akan disesali, disayangkan dan orang akan selalu membicarakan tentang
kebaikan-kebaikannya.
Neraka adalah perwujudan dari watak seseorang yang berkelakuan jelek
maka hidunya akan cacad di dunia bahkan sampai akhir hidupnya.
Maka dalam kitab Hidayatul hak kaik menyebutkan bahwa di zaman
Kelanggengan suatu sarana agar dapat naik ke surga haruslah naik Buraq
atau burung merak. Demikian tadi hanyalah merupakan perumpamaan saja.
Buraq artinya orang dapat masuk hati orang lain, membuat hati orang lain
senang itulah merak ati.
J. Tempatnya Iman, Tauhid dan Ma’rifat.
“Adapun letak Iman di dalam Eneng, letak Tauhid dalam Ening, letak ma’rifat dalam enget”
K. Arti Jalal, Jamal, Kahar dan Kamal.
Adalah sebutah Tuhan dalam 4 bab, yaitu :
1. Tuhan Yang Maha Suci itu bersfat Jalal, artinya Besar, yang besar itu Dzat-Nya, karena dapat meliputi seluruh alam.
2. Tuhan Yang Maha Suci itu bersifat jamal, artinya bagus, yang bagus
itu sifatNya, bukan pria, bukan wanita, juga bukan banci. Tidak ada
asal, tidak ada tempat, juga tidak hidup dan tidak mati, mustahil tidak
ada pasti adanya-Nya.
3. Tuhan Yang Maha Suci bersifat Kahar, artinya Maha Kuasa, itu
namaNya, tidak menggunakan nama siapa-siapa hanya gaibnya Dzat Allah.
4. Tuhan Yang Maha Suci itu bersifat Kamal, artinya Sempurna, yang
sempurna itu af’alNya, dapat menggelar dan menciptakan seketika dari
kuasanya tanpa mengalami kesulitan, maka diibaratkan Dzat Allah itu
karena besarnya hingga meliputi yang menyaksikannya.
L. Pria dan Wanita Yang Sejati.
Yang bernama roh idlafi itu adalah roh Wanita tetapi berada pada Pria.
Wanita itu Rohnya adalah Roh Kudus yang sebenarnya adalah roh pria yang
berada dalam wanita, yang disucikan dalam jinem, bertempat dalam junup,
maka dapat membangkitkan keinginan sendiri-sendiri,
Karena rohnya wanita dipakai pria, sebaliknya rohnya pria dipakai
wanita, karena rasa kangen akan menarik rohnya masing-masing, tetapi
akhirnya timbullah persenggamaan yang dinamakan lambangsari yang
akibatnya dapat mewujudkan suatu wujud. Maka dinamakan sanggama artinya
hanya satu yang benar, atau saresmi artinya bercampurnya ari menjadi
satu hingga masing-masing mendapatkan kepuasan. Karena dikabulkan oleh
Tuhan akan menjadi Bapak/Ibu, maka bagi mereka yang dapat menandai
terjadinya suatu sebelum sanggama, dapat pula mengetahui macam apakah
anak yang akan terlahir nanti.
Misal, dalam 35 hari sepasang suami istri tadi yang mempunyai keinginan
seks terlebih dahulu siapa, ada rasa kangen terlebih dahulu, bila
menjelma biji maka akan terlahir laki- laki apabila sang suami yang
terlebih dahulu. Tetapi keadaan ini harus berimbang dalam batin sama
merasakan puas karena kalau tidak menyatu dalam rasa dan fikiran maka
akan lain jadinya, adapun cacad, wujud lainnya.
Cacad karena ketidakseimbangan kemauan suami istri dalam senggama adalah sebagai berikut :
1) Bila merasa kecewa dalam hati, tidak senang dalam bersenggama,
dikemudian hari akan timbul watak pada si anak; sering kecewa, bahkan
dapat pula mendatangkan selalu susah seumur hidupnya.
2) Bila punya perasaan tidak senang atau marah tetapi hanya di batin
saja, akan terlahir anak yang pemarah, senang berkelahi, bahkan dalam
hidupnya akan mengalami kerugian.
3) Bila dalam bersenggama ada salah satu yang kurang jujur maka begitu
lahir apabila suami yang tidak jujur maka anak perempuan senang
berbohong atau tidak jujur dan sebaliknya.
Adapun suami istri harus saling mengisi, menghormati, membutuhkan, istri
tidak boleh memperlihatkan nafsunya dan suami memperhatikan gelagat
istrinya, sekiranya sehari itu tidak terjadi apa-apa tidak pula ada
perasaan susah dari keduanya, suatu tanda bahwa pada saat itulah Tuhan
akan menurunkan Wiji Wijanging Sasami, artinya adalah manusia pilihan,
Trimurti.
M. Mengenai Keadaan Kematian.
Keadaan kematian bagi mereka yang sering berbuat dosa atau kesalahan
dengan yang diterima atau tanpa dosa dalam kematian. Membagi-bagi
keadaannya dalam alam kematian;
Setiap orang pasti akan berbeda dalam menghadapi kematian, karena salah
dalam fikirnya ketika mengalami sakaratul maut, hidup ini berbeda-beda
ciptanya ada yang membantah dan menantang adanya kematian dengan
mengandalkan ilmunya, adapula yang malah menyingkirkan ilmunya hanya
menyerah kepada Tuhan. Orang yang bodoh dapat diterima juga ada karena
hanya mengandalkan pada sifat lugu dan jujur saja, ada juga bodoh yang
terjerumus, bahkan banyak juga orang bodoh malah memberi contoh karena
enggang disebiut bodoh, Maka dalam kematian ada sebutannya;
1. Dinamakan Kasunyataning pati, hanyalah menetapi sebutan saja, hidup
pasti mengalami mati, artinya hanyalah nama tempatnya ‘ajal ulihan’ atau
mati kembali.
2. Dinamakan Padhanging pati, artinya mengetahui tanda-tandanya dari
Dzat Tuhan, maka dapat sampai pada kenyataannya, jadi dapat mengatur
keadaannya.
3. Pepetenging pati, artinya hilang tanpa mengetahui berakhirnya hidup berarti tidak mengetahui keadaannya sendiri.
4. Pagaweaning pati, artinya hanya mati biasa, jadi tidak mengetahui dalam keadaan gerak dan keadaannya Kawula Gusti.
5. Rowanging pati, artinya kematian yang hanya menerima Kasih sayangNya, jadi hanya menerima nikmatnya Dzatullah saja.
6. Rasaning pati, adalah mereka yang sudah percaya dengan keterangan dari sang guru, tempatnya sudahlah pasti.
7. Purbaning pati, yang sudah diaku sebagai rahsanya Dzat, berada dalam
hidayatullahu, tetap langgeng tidak ada perubahan di kemudian.
8. Pastining pati, artinya bagi mereka yang sudah memenuhi suratan dalam lokhil makful, jadi sudah sesuai garis patinya.
9. Jalaraning pati, artinya yang lugu karena kehendak Tuhan, jadi dapat menyatu dengan Dzatullah dialam akhirat.
10. Anganggo sihing pati, artinya yang dirasakannya hanyalah pada
musnahnya badan, hanya Dzatullah yang mengadakankarena tidak berdosa.
11. Marganing pati, artinya yang sudah mengetahui jalannya, maka dapat
langsung masuk ke dalam hidayatullah yang akan menemui kelanggengan di
akhirat.
12. Pilungguhing pati, artinya menjalani petunjuk Allah, akan mencapai keselamatan di akhirat dan mencapai kesempurnaan.
13. Pinangihing pati, artinya bertawakal, berpasarah diri kepada Tuhan,
dapat dekat dan masuk ke dalam hidayatullah karena yang begini tidak
berharap, hanya mengutamakan jalannya takdir.
14. Enggoning pati, artinya menunjukkan perbuatan Dzat yang sempurna,
sempurnanya sifat langgeng, hanya terdapat pada kebenaran ilmu, ini
sempurna menjadi pesertanya nafi Jinis.
15. Sesandhaning pati, artinya adalah yang sudah melaksanakansemua
petunjuk guru, menjalanka laku jujur dalam hidup, dan dalam kematian
sudah tidak punya rasa takut, bahkan sudah dapat membedakan buruk dan
baik, juga mengetahui awal dan akhir Sebanyak ini keadaan kematian
diakibatkan terjadinya karena adanya dosa, dari cara kita memusatkan
fikiran walaupun sudah diberi petunjuk, namun pada saatnya akan banyak
gangguannya, yang sebenarnya hanyalah terletak pada Dzat saja.
Padahal yang dinamakan ilmu itu adalah pengetahuan, yang maksudnya
ketahuilah dalam kehidupan hingga kematian. Awal penyebab kematian,
karena kurang teliti dalam suatu perbuatan dan meneliti suatu kejadian.
Datangnya susah disebabkan adanya kegembiraan, asalnya lupa karena tidak
mengetahui tujuan hidupnya, padahal manusia sebenarnya dapat langgeng
tanpa mengalami perubahan, hanya selamat tanpa menderita, hidup terus
tanpa mati, dengan suatu bukti bahwa manusia itu dengan umat lainnya
berbeda sendiri, maka dinamakan manusia, itu artinya insan (unusan) atau
pilihan.
Saksinya kalau khalifah yang diakui sebagai Rahsanya Dzat Allah artinya
hanya satu belaka. Tuhan itu dalam sifat hidupNya adalah manusia, suatu
bukti kalau Manunggaling Kawula Gusti, yang dapat menguasai memerintah
dan menghukum di dalam alam raya seluruhnya. Oleh karenanya menjadi
suatu kenyataan bahwa Tuhan tidak dapat melihat, tetapi tidak buta,
tetapi melihat dari mata kita, Tuhan tidak mendengar tetapi tidak tuli,
karena mendengar lewat telinga kita. Tuhan tidak dapat berbuat apa-apa,
tetapi tidak bodoh, segala yang diperbuatnya menggunakan af’al kita.
Maka dapat menciptakan seluruh dunia seisinya dalam waktu seketika.
N. Manusia terdiri dari 4 anasir.
Dalam kitab Ma’lumatu’lhuhiyah dan kitab Hidayatul Khakaik menjelaskan bahwa manusia berasal dari 4 unsur :
1. Berasal dari sarinya Tanah, tetapi bukan tanah yang kita pijak ini.
2. Berasal ari Api, tetapi bukan api yang dipergunakan untuk membakar.
3. Berasal dari Angin, tetapi bukan angin yang mendesau itu.
4. Berasal dari Air, tetapi bukan air yang meluap mengalir.
Semua ini merupakan lambang saja, maka setelah mempunyai perwujudan, lalu mempunyai tujuh perkara :
1. Hayyu, artinya hidup.
2. Masuklah Nur, artinya Cahaya.
3. Kemasukan sir artinya Cipta.
4. Kemasukan pula roh, artinya Nyawa.
5. Kemasukan nafsu, artinya Angkara Murka
6. Kemasukan akal, artinya Budhi.
7. Kemasukan kehendak, artinya Angen-angen.
Itulah wujud yang Dzat Yang Maha Agung, sebenarnya nafi yang baik, maka
diibaratkan bahwa nafi walaupun dekat tetapi tidak bersinggungan, jauh
tak terduga jauhnya, dan nafi itu pasti ada tidak mungkin tidak ada.
Adanya hanya karena terlihat saja. Jadi kumpulnya Kawula Gusti merupakan
dua jadi satu dan satu satu belaka.
O. Berbagai macam Wahyu.
Pancaran tiga warna pertanda wahyu, biasanya pada pukul 3 dini hari :
1. Wahyu Nurbuwah, artinya wahyunya Kraton Bintoro, dapat menjadi Raja
Paranpara (utama) yang mempunyai jiwa terbuka dan wujudnya wahyu, cahaya
kemilau bagaikan permata indah.
2. Wahyu Kukumah, warnanya bagaikan berlian yang telah digosok, sebuah
pertanda telah terbukanya tirai Tuhan dan diperbolehkan menjadi Ratu
Adil yang menguasai jawa dan dibenarkan untuk menguasai ilmu untuk
kearah kebaikan.
3. Wahyu Wilayah, warnanya bagaikan jamrud, bercampur berlian biru yang
sangat indah warnanya, sebagai tanda kalau sudah diteima sebagai
Waliullah.
Nuwun, Rahayu!
Aku Iki Urip
Panengeraning Dina Kiyamat . Bebukane amratelakake kang dadi
Panengeraning dina Kiyamat, tegesing Kiyamat, jumeneng, kasebut ing
gisor iki.
1. Panengeran Kang Dingin.
Kang dingin, yen wis asring uninga kang ora katonton, tanda kurang
satuan, ing kono panggonane anyaketi tapa brata anyenyuda pakareman,
anetepana panggalih : trima, rila,, temen, utama, mungguh utama iku
dumunung ana ing sabar darana.
2. Panengeran Kang Kapindo
Kang kapindo, yen wis asring mireng kang kapiyarsa, kaya ta, mireng
rerasaning jin setan, sato kewan, tanda kurang setengah taun, ing kono
panggonaning kurmat sapanunggalane anglakoni panggaweyan becik,
kinantenan angati-ati marang uripe dewe.
3. Panengeran Kang Kaping Telu.
Kang kaping telu, yen wis salin ing paningale, kaya ta, ing sasi
Muharram, Shafar, andulu langit katon abang; Mulud, Rabiul Akhir,
srengenge katon ireng; Jumadilawal, Jumadilakhir, rembulan katon ireng;
Rejeb, Ruwah, banyu katon abang; Pasa Syawal, wewayangane dewe katon
loro; Zulkaedah, Besar, geni katon ireng; kabeh iku tanda kurang rong
sasi, ing kono panggonaning wasiyat karo riwayat, tegese amemeling karo
wewarah, kinantenan taberi asesuci.
4. Panengeran Kang Kaping Pat.
Kang kaping pat, yen dariji panungguling asta dibekuk, kapetelake dalah
epek-epeke, dariji manis kaangkat, yen wis kaangkat anjunjung dariji
manise mau, tanda kurang patang puluh dina, ing kono panggonaning
afiyat, tegese pangapura. Iya iku anenuwun pangapura marang Pangerane,
saha banjur angapura marang kang pada kaluputan, utawa aminta pangapura
marang kang pada rumasa kalarakake atine.
5. Panengeran Kang Kaping Lima.
Kang kaping lima, yen asta kawawas ing netra loro darijine wis katon
kalong, ugel-ugele wis katon pedot, tanda kurang sasasi, ing kono
panggonaning amatrapake pikukuhing ngelmu kasampurnan kaya kang kasebut
ing ngisor iki :
a. Iman, tegese angandel, kang diandel kudrate, tegesing kudrat : kuwasa.
b. Tauhid, tegese muhung sawiji, tegese pasrah marang iradate, tegesing iradat : karsa.
c. Makrifat, tegese waskita, kang diwaskitani ngelmune iya iku
anguningani dununging Dzat, sifat, asma, afngal, tegesing Dzat : kanta,
sifat : rupa, asma : aran, afngal : pakreti.
d. Islam, tegese slamet, kang slamet iku chayate, tegesing khayat :
urip, dumunung ana ing sifat jalal, jamal, kahar, kamal, tegesing jalal :
agung, kang agung iku Dzate, dening anglimputi ing alam kabeh, tegesing
jamal : elok, kang elok iku sifate, dening dudu lanang dudu wadon, dudu
wandu, sarta ora arah ora enggon, tanpa warna tanpa rupa, tegesing
kahar : wisesa, kang wisesa iku asmane, dening ora nama sapa-sapa,
tesegesing kamal : sampurna, kang sampurna iku afngale, dening bisa
gumelar pada sanalika pakretine, saka kawasa tanpa sangsaya.
Mungguh dununge mangkene, iman dumunung ana ing eneng, tauhid, dumunung
ana ing ening, makrifat dumunung ana ing awas, islam dumunung ana ing
eling.
6. Panengeran kang Kaping Nem.
Kang kaping nem, yen wis asring katonton warnane dewe, tanda kurang
satengah sasi, ing kono panggonaning Pamuja, aneges karsane Kang Kawasa,
patrape ing saben apangkat arep sare, Pamujane kasebut ing ngisor iki :
“Ana pujaningsun sawiji, Dzat iya Dzatingsun, sifate iya sifatingsun,
asmane iya asmaningsun, afngale iya afngalingsun, Ingsun puja ing
patemon tunggal sakahananingsun, samprna kalawan kudratingsun”.
Ing nalika iku ciniptaa kang pinuja tunggal, kaya ta Bapa, Biyung, Kaki,
Nini, Garwa, Putra, Wayah, sapadane kang dadi pelenging cipta bisaan
anunggal ing jaman kalanggengan.
7. Panengeran Kang Kaping Pitu.
Kang kaping pitu, yen wis rumasa larakasandang, tegese ora arep apa-apa,
tanda kurang pendak dina, ing kono panggonaning tobat, patrape manawa
lagi wungu sare, kasebut ing ngisor iki :
“Ingsun analangsa maring Dzatingsun dewe, regeting jisimingsun, gorohing
atiningsun, serenge ing napsuningsun, laline ing uripingsun
salawas-lawase, ing mangko Ingsun ruwat sampurna ing sadosaningsun kabeh
kalawan kudratingsun”.
8. Panengeran Kang Kaping wolu.
Kang kaping wolu, yen wis karasa gerah uyang saranduning sarira ing jaba
jero kabeh, terkadang asring andadekana wetuning sesuker tinja taun,
kara tinja kalong, utawa cacing kalung karo cacing tembaga, ing wekasan
pucuking parji karasa anyep, andadekake teranging nutfah, iku tanda wis
parek ing dina Kiyamat, amung kurang ing saantara dina, ing kono
waktuning Dajal laknat katon arep agawe arubiru, marang kahanan kita,
iya iku pangonaning katekan rancana saka sadulur papat, kalima pancer
dumunung ana ing badan kita dewe, panangkise anapekena rahsaning jati
wisesa, tegese angenirake angen-angen, banjur karuwata kaya ing ngisor
iki :
“Ingsun angruwat kadangingsun papat kalima pancer kang dumunung ana ing
badaningsun dewe. Mar marti Kakang Kawah Adi Ari-ari Getih Puser,
sakehing kadangingsun kang ora katon, lan kang ora karawatan, utawa
kadangingsun kang metu saka marga hina lan ora metu saka ing marga hina,
sarta kadangingsun kang metu bareng sadina kabeh pada sampurna nirmala
waluya ing kahanan jati, dening kudratingsun”.
Nuli asaksiya kalayan Dzat kita dewe, kaya asahid marang wahananing
sanak kita, iya iku kahananing dumadi kang gumelar ing alam dunya, wis
kasebut ing ngarep ana wekasaning wewejangan.
9. Panengeran Kang Kaping Sanga Utawa kang Wekasan.
Kang kaping sanga, yen ketek ana ugel-uegeling asta wis ora ana,
andadekake oncate pramananing kanaka, sarta pramananing tingal wis
sepen, andadekake rupeking pandulu rengating alis, utawa garebeging
talingan wis meneng, andadekake pengeng sanalika, ing wekasan
garing-gingen kang sarira banjur kambu gandaning sawa, iku tanda wis
muncad ing dina Kiyamat, jumeneng kalayan pribadine, ing kono
panggonaning anucekake sakehing anasir, tegesing anasir : bangsa, iya
iku bangsaning khak kang dumunung ana ing Dzat, sifat, asma, afngal,
kaya ta : anasir badan asal saka ing bumi , geni, angin, banyu, iku
kaciptaa suci mulya mulih marang asale, saampurnaa anunggal kalayan
anasiring roh, kang sumende ana kahananing wujud, ngelmu, nur, suhud;
a. Tegese wujud : wahana, iya iku getih, amarga getih iku dadi kanyatahaning roh
b. Tegese ngelmu : paningal, iya iku paningaling netra balaka, amarga paningal iku dadi pamawasing roh
c. Tegese nur : cahya, iya iku cahya kang anglimputi ing sarira, amarga cahya iku dadi pratandaning roh
d. Tegese suhud : saksi, iya iku napas, amarga napas iku dadi saksining roh.
Dene enggone anucekake kasebut ing sajroning cipta mengkene :
“Ingsun anucekake sakalaliring anairingsun kang abangsa jasmani, suci
mulya sampurna anunggal kalawan sakaliring anasiringsun kang abangsa
rochani, nirmala waluya ing kahanan jati dening kudratingsun”.
Yen wis mangkono, nuli Nur Muhammad tumimbul, gumilang-gilang ana ing
ana ing wadana, tanda bakal binuka kijabing Pangeran, meh katone
sakehing cahya, ing kono panggonaning ngawinake badan karo nyawa,
kasebut ing sajroning cipta mangkene :
“Allah kang kinawin, winalenan dening Rasul, pangulune Muhammad, saksine
malaekat papat, iya iku Ingsun kang angawin badaningsun, winalenan
dening Rahsaningsun, kaunggahake dening cahyaningsun, sinaksenan dening
malaekatingsun papat, Jabrail, iya iku pangucapingsun, Mikali,
pangambuningsun, Israfil, paningalingsun, Ijraril, pamiyarsaningsun,
srikawine sampurna saka ing kudratingsun”.
Nuli anyiptaa sangkan paraning Tanazultarki, kasebut ing ngisor iki :
“Ingsun mancad saka alam Insan Kamil, tumeka maring alam Ajsam, nuli
tumeka maring alam Misal, nuli tumeka maring alam Arwah, nuli tumeka
maring alam Wachidiyat, nuli tumeka maring alam Wahdat, nuli tumeka
maring alam Achadiyat, nuli tumeka maring alam Insan Kamil maneh,
sampurna padang terawangan saka ing kudratingsun”.
Nuli anyiptaa ing pambirat asaling cahya sawiji-wiji kasampurnakake saka
kudrat kita, supaya aja nganti kalimputan dening cahya kang andadekake
durgamaning sangkan paran, mangkana pambirate ing sajroning cipta :
“Cahya ireng kadadeyaning napsu Luwamah sumurup maring cahya abang,
cahya abang kadadeyaning napsu Amarah sumurup maring cahya kang kuning,
cahya kuning kadadeyaning napsu Sufiyah sumurup maring cahya kang putih,
cahya putih kadadeyaning napsu Mutmainah sumurup maring cahya kang
amancawarna, cahya kang amancawarnakadadeyaning pramana sumurup maring
Dzating cahyaningsun awening mancur mancarong gumilang tanpa
wewanyangan, byar sampurna padang terawangan, ora ana katon apa-apa,
kabeh-kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun saka ing kudratingsun”.
Ing nalika iku upama ana karasa apa-apa ing badane, angusapa puser
kaping telu (3), upama angrasa liwung kaya mendem, angusapa dada kaping
telu (3), upama angrasa arip arep sare, angusapa batuk kaping telu (3),
upama angrasa arep lali, angusapa embun-embun kaping telu (3), banjur
tata-tata dandan kaya ing ngisor iki ptrape :
1. Wiwit asidakep suku tunggal anutupi babahan nawa sanga, dirijining
asta pada antuk ing selaning dariji kaya angapu-rancang, jempol diadu
pada jempol, banjur tumumpang ing dada, dibener sesipatane lawan
tengahing dada, salonjoring sikil awit jempol sikil katemokake pada
jempol sikil dipapak, polok ketemokake pada polok digatuk, dengkul
katemokake pada dengkul dirapet, palanangan sapalandungane sinipat karo
jempol sikil aja nganti katindihan.
2. Nuli amawas pucuking grana, disipat ing dada tumeka ing puser, ing palanangan, ing jempol sikil, banjur angeningake cipta.
3. Nuli angeremake netra kang alon, angingkemake lambe kang adamis, untu
gatuka pada untu kang rata, ilat katekuk manduwur kapadalake ing cetak,
banjur pasrah analangsa ing Dzate dewe.
4. Nuli amegeng napas ing sanalika banjur anyipta matrapake panjenenganing Dzat, wiwit angumpulake kawula gusti mangkene :
“Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawulaningsun
tunggal dadi sakahanan, sampurna saka ing kudratingsun”. Ing kono
pamegenging napas tinurunake metu ing grana kang alon aja nganti kasusu.
Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta maha sucekake ing Dzat kita kaya mangkene :
“Ingsun Dzat Kang Maha Suci Kang Asifat Langgeng, kang amurba amisesa
kang kawasa, kang sampurna nirmala waluya ing jisimingsun kalawan
kudratingsu”. Ing kono pamegengeng napas katurunake metu ing grana
maneh, kang alon aja nganti kasusu.
Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angrakit karatoning Dzat kita kang amaha mulya kaya mangkene :
“Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu Agung, kang amurba
amisesa kang kawasa andadekake ing karatoningsun kang agung kang maha
mulya, Ingsun wengku sampurna sakapraboningsun, jangkep saisen-isening
karatoningsun, pepak sabalaningsun kabeh ora ana kang kekurangan, byar
gumelar dadi saciptaningsun, ana sasedyaningsun, teka
sakarsa-karsaningsun kabeh, saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng
napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.
Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angracut ing jisim kita kaya mangkene :
“Jisimingsun kang kari ana ing alam dunya, yen wis ana jaman karamat
kang amaha mulya, wulu kulit daging getih balung sungsum sapanunggalane
kabeh, asale saka ing cahya muliha maring cahya, sampurna bali Ingsun
maneh, saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu
ing grana maneh, kang alon aja kasusu.
Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta anarik
marang para akrab sapanduwur sapangisor kang wis pada ngajal,
kasampurnakake kaya mangkene :
“Jaganingsun sapanduwur sapangisor kabeh, kang pada mulih ing jaman
karamating alame dewe-dewe pada suci mulya samprnaa kaya Ingsun saka ing
kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh,
kang alon aja kasusu.
Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angukud
gumelaring alam dunya kasampurnakake kabeh kaya mangkene :
“Ingsun andadekake alam dunya saisen-isene kabeh iki, yen wis tutug ing
wewangene, Ingsun kukud mulih mulya samprna dadi sawiji kalawan
kahananingsun maneh saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas
tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.
Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta ambabar marang tedak turune kang pada kari kaya mangkene :
“Tusasingsun kang maksih pada kari ana ing alam dunya kabeh, pada nemuwa
suka bungah sugih singgih aja ana kang kekurangan, rahayu salameta
sapanduwure sapangisore saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas
tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.
Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta amasang pangasihan marang para tumitah kabeh kaya mangkene :
“Sakehing titahingsun kabeh, kang pada andulu kang pada karungu pada
asih welasa marang Ingsun saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng
napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.
Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta amasang
kamayan marang para mahkluk kang pada angarubiru, utawa ora angendahake
marang jisim kita kaya mangkene :
“Sakehing mahklukingsun kabeh, kang ora angendahake maringsun, pada
kaprabawa ing kamayan dening kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas
tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.
Dene enggone amatrapake panjenenganing Dzat kabeh mau yen karingkes dadi
sawiji ana pratingkahe, wiwit pamegenging napas amung sapisan bae, ing
sanalika amatrapake kaya mangkene :
“Sakaliring cahya kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun, iya Ingsun
Dzating Gusti Kang Asifat Esa, iya Ingsun Dzat Kang Maha Suci asifat
Langgeng, iya Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu agung, kang
amurba amisesa kang kawasa angracud jisimingsun, anarik jaganingsun,
angukud jagadingsun, amababar turasingsun, amasang pangasihan marang
titahingsun, amasang kamayan marang mahklukingsun kabeh sampurna saka
ing kudratingsun”. Banjur kaciptaa ing sasurasane, sarta pamegenging
napas tinurunake metu ing grana kang alon aja nganti kasusu.
Mungguh cancude ing sajroning amegeng napas mau uger enget ing cipta
bae, patrape kabeh iku iya wis kacakup, sabab yen sajroning jaman
karamatullah ing tembe waktuning makam ijabah, tegese panggonan
katarima, apa saciptane dadi, amarga sirnaning mudah kari wajah, mudah
iku Dzating kawula, wajah iku Dzating Gusti Kang Asifat Langgeng.
Yen wis mankono, maras kita tumangkep ing ati, andadekake seseke ing
napas, ing kono banjur anarika napas saka kiwa mubeng anengen, saka
tengen mubeng ngiwa, kakumpulake dadi sawiji ana ing lintang johar
akhir, iya iku puser, katarik manduwur bener kang sareh, leren tinata
ana ing maligening Bait al Muharram, iya iku dada, banjur anyipta
cancuding amatrapake panjenenganing, dienget aja nganti tumpang suh
kumpuling napas, tanapas, anpas, nupus, napas iku tetalining jisim,
dumunung ana ing ati suweda, tegese woting ati, wahanane dadi angin kang
metu saka badan wae, tanapas, iku tetalining ati, dumunung ana ing
puser, wahanane dadi angin kang manjing marang badan bae, anpas iku
tetalining roh, dumunung ana ing jejantung, wahanane angin kang tetep
ana ing jero bae, nupus iku tetalining rahsa, dumunung ana ing puat kang
aputih, iya iku ana ing woding jejantung, wahanane dadi angin kang metu
angiwa anengen saka badan, pakartine anglimputi sakaliring jasmani
rochani.
Yen wus kumpul dadi sawiji, napas, tanapas, anpas, nupus, mau banjur
katarik manduwur kang alon, leren tinata ana ing maligening Bait al
Makmur iya iku ing sirah, ing kaciptaa licin dadi nukat gaib, tegese
saliring jasmani kaciptaa luluh dadi banyu, nuli kaciptaa luyut dadi
nyawa, nuli kaciptaa lenyep dadi rahsa, nuli kaciptaa layat dadi cahya
gumilang tanpa wewayangan ing kahanan kita kang sajati.
Yen wis mangkono, erah kita parad banjur karasa walikaten salir
anggaotaning sarira kabeh andadekake : netra bawur, talingan pengleh,
grana mingkup, lidah mangkeret, ing wekasan cahya surem, swara sirna,
ora bisa aingali, miyarsa, angganda, amirasa, amung kari cipta bae,
amarga wis kinukud tataning sarengat, tarekat, hakekat, makrifat :
* Sarengat iku lakuning badan, dununge ing lesan
* Tarekat lakuning ati, dununge ing grana
* Hakekat lakuning nyawa, dununge ing talingan
* Makrifat lakuning rahsa, dununge ing netra, mula sejatining sarengat
iku lesan, tarekat : grana, hakekat : talingan, makrifat netra,
kaupamakake bawure kaca wirangi, utawa esating banyu zamzam, nuli
pamiyarsaning talingan, kaupamakake rentahing godong sajaratilmuntaha,
utawa kangsrahing hajar al aswad, nuli panggandaning grana, kaupamakake
guguring wukir ikrap, utawa rubuhing ardi tursina, nuli pamirasaning
lesan, kaupamakake bubrahing wot siratalmustakim, utawa rusaking
ka’batullah, ing kono banjur karasa nikmat saliring anggaotaning sarira
kabeh, angluwihi nikmating sanggama ing nalika metokake rahsa, amarga
awit binuka kijabing Pangeran, waktuning sirnaning warana banjur
katoning jaman karamatullah, tegese jaman kamulyaning Allah, pangrasane
ing dalem adam kukumi tekane sakehing cahya kang pada anglimputi ing
Dzating karaton, ing nalika iku amung amustiya pepuntoning tekad kang
santosa, kaya ngibarating aksara Alif kang ajabar jer apes, unine : A,
I, U, tegese : Aku Iki Urip, banjuranyipta brangta ing Dzat, supaya aja
kengetan marang kang keri kabeh.