Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國)
merupakan sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti
dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina,
keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat di diketahui
dimulai pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga, pada abad ke-13 yang
berpusat di Dharmasraya dan diawal abad ke 15 berpusat di Suruaso
atauPagaruyung
Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi / andalas yang
oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang
emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan
di Selat Melaka sebelum akhirnya terintegrasi dengan Kerajaan Sriwijaya
pada tahun 682.
Penggunaan kata Melayu, telah dikenal sekitar tahun 100-150 seperti yang
tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan
maleu-kolon. Dan kemudian dalam kitab Hindu Puranapada zaman Gautama
Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang
dikelilingi air.
Berita tentang kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku
karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyinYì Jìng) (634-713), yang
termasyhur yaituNan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha
yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa
Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India
zaman Dinasti Tang) dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671,
singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya,
dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa
Tionghoa.
Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut
Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton
menuju selatan .... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami
sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk
belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Beliau
menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama
dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah ....
Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di
Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) .... Dari sini berlayar ke arah
barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai
timur India)”
Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut
Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina.
Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di
Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba
adalah bulan pertama atau kedua .... Kami tinggal di Kedah sampai musim
dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami
sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya.
Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal
itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu
mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”
Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran
Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang
dianut oleh kerajaan Melayu.
Berita lain mengenai kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang
disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan
ke Cina pada tahun 645 untuk pertama kalinya, namun setelah munculnya
Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan
ke Cina.
Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di
tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di
selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa
negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca
Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh
1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja
Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu
istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta
bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu
kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak
di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya,
pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya
terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi. Dan menurut prasasti
Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030,
menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu dilindungi oleh
benteng-benteng, dan terletak di atas bukit.
Dari keterangan Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi
Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis
catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia)
yang menyatakan bahwa ia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada
garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni
pulau Sumatera.
Kekalahan kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja
Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas
pulauSumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu
kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa
Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama WangsaMauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah
Prasasti Grahitahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi
perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada
adipati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca
Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang
mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti
Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja
bernama MaharajaSrimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat
kiriman arca Amoghapasadari Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa.
Arca tersebut kemudian diletakkan diDharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian,
Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja
sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh
karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu,
meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun
1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya
sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu
bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya
kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina.
disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi)
sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan
dari Pa-lin-fong(Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga
Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja,
Tribhuwanaraja dan Adityawarman berasal dari bahasa Tamil yang bermakna
”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu
dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah
pemimpin kebangkitan tersebut adalah Trailokyaraja, ataukah raja
sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa
Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
Daerah Kekuasaan Dharmasraya
Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225
disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu
Che-lan(Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atauChaiya selatan Thailand
sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand),Ling-ya-si-kia
(Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), ,
Ji-lo-t'ing(Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong
(Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu
sekarang), Tsien-mai(Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a
(Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong(Pahang),
Lan-mu-li (Lamuri, daerah Acehsekarang), Kien-pi (Jambi),
Pa-lin-fong(Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah
kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya,
Sumatera sampai Sunda.
San-fo-tsi
Dalam naskah-naskah kronik Cina, istilahSan-fo-tsi digunakan untuk
menyebutPulau Sumatra secara umum. Pada zamanDinasti Song sekitar tahun
990–an, istilah ini identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya
mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap
dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina. Kronik Cina mencatat bahwa pada
periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan utusan
masing-masing dariKien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong(Palembang). Dalam
berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan
San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina yang saat itu di bawah
pemerintahan Kaisar Yuan Fong.
Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan
San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara
San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13
potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya
tahun 1088.
Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada
menyebutkanMa-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.
Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik
dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15
negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan
kerajaanDharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah
berakhir.
Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan
dalam berita Cina untuk menyebut Pulau Sumatera secara umum, meskipun
kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa
terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Dinasti Ming danMajapahit. Catatan
sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah
saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit
berjudul Nagarakretagama tahun 1365sama sekali tidak pernah menyebut
adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.
Ekspedisi Pamalayu
Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun
1275, Kertanagara mengirimkan utusanSinghasari dari Jawa ke Sumatera
yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayuyang dipimpin oleh Kebo
Anabrang.
Prasasti Padang Roco tahun 1286menyebutkan tentang pengiriman arca
Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan
Dharmasraya.
Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri
Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan
antara Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan
Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan
Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit.
Sementara itu, Dara Jingga dinikahi oleh seorang “dewa”. Ia kemudian
melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar
Mantrolot Warmadewa.
Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga
sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu
telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan
Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan
kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.
Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan
Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini
mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa
dalam prasasti Padangroco tahun 1286.
Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam
pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi.
Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini.
Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan
Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.
Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini
untuk menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.
Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada
tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan pada tahun 1347
memproklamirkan dirinya sebagai pelanjutDinasti Mauli penguasa Kerajaan
Melayu di Dharmasraya dan selanjutnya memindahkan pusat pemerintahannya
keSuruaso, (daerah Minangkabau) dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri
Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia
menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk
garis keturunannya kepada Wangsa Maulipenguasa Dharmasraya dan gelar
Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta
menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari
Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh
keluarga penguasa di Swarnnabhumi.
Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi
(Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan
(alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan
Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada masa Dinasti
Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara
sebanyak dua kali sebagai duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332,
dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih dirujuk
kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6
kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377.
Dan kemudian dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab
Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman
Adityawarman, dimana pada naskah tersebut ada menyebutkan tentang
Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada
bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar
Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang.