Di dunia barat terutama dalam ilmu kedokteran.. mereka mengenal Avicena
sebagai Bapak Ilmu Kedokteran. Pihak ilmuwan barat hanya mengedepankan
sains tanpa membahas tentang keunggulan Agama dan Keimanan dari sang
Tokoh.
Sangat disayangkan dengan hal tersebut menjadi kan umat Islam tidak tau
tentang Ilmuwan Islam yang telah membuka tabir Rahasia Ilahiyah. Para
Cendekiawan Muslim dan Para Kyai pun kurang memperhatikan masalah
tersebut. Dikalangan para Kyai dan Santri Kitab kedokteran, industri,
logika. Filsafat serta disiplin ilmu lainnya dianggap sebagai kitab
hikmah dan mistik.
Para Kyai dan Ustadz kadang terlalu cenderung pada masalah Fiqh dll
hingga melupakan kajian ilmu lain yang telah dicetuskan oleh Ilmuwan
(Ulama) Islam di masa lalu.
Di sini al faqir ingin mengulas sedikit tentang Ulama yang keilmuan nya
diakui dunia dan di sebut sebagai Bapak Ilmu kedokteran.
Syeikhur Rais (pemimpin para guru) Sayidina Syaikh Abu Ali Husein bin
Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu
Sina atau Aviciena lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah desa bernama
Khormeisan dekat Bukhara Kazakhstan.
Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab
Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang
disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya
sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu
Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba
ilmu.
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada
aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak
ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang
kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin
Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh
sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani
yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian;
“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak
buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku
sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya
lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal
mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah
berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai
ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani,
juga kedudukannya sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud
Daulah Deilami dan konflik politik yang terjadi akibat perebutan
kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan
Ibnu Sina. Bahkan safari panjangnya ke berbagai penjuru dan
penahanannya selama beberapa bulan di penjara Tajul Muk, penguasa
Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan ratusan jilid karya
ilmiah dan risalah.
Ketika berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan mudah
memperoleh buku yang diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan
menulis kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia
filsafatnya yang dibeni nama kitab Al-Syifa’. Namun ketika harus
bepergian beliau menulis buku-buku kecil yang disebut dengan risalah.
Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan
menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan agamanya dengan
metode yang indah.
Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab
al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal
sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu
filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’
saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq
islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab
al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa
abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas
kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam
penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad
ke-12 masehi,
Kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kini
buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis
dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan
metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan
kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Ibnu juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai bidang
keilmuan. Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan
observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah energi Ibnu Sina
memberikan hasil penelitiannya akan masalah ruangan hampa, cahaya dan
panas kepada khazanah keilmuan dunia.
Dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin
berjudul De Conglutineation Lagibum. Dalam salah bab karya tulis ini,
Ibnu Sina membahas tentang asal nama gunung-gunung. Pembahasan ini
sungguh menarik. Di sana Ibnu Sina mengatakan, “Kemungkinan gunung
tercipta karena dua penyebab. Pertama menggelembungnya kulit luar bumi
dan ini terjadi lantaran goncangan hebat gempa. Kedua karena proses air
yang mencari jalan untuk mengalir. Proses mengakibatkan munculnya
lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan
bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras dan sebagian lagi lunak. Angin
juga berperan dengan meniup sebagian dan meninggalkan sebagian pada
tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya gundukan di kulit luar bumi.”
Ibnu Sina dengan kekuatan logikanya -sehingga dalam banyak hal mengikuti
teori matematika bahkan dalam kedokteran dan proses pengobatan- dikenal
pula sebagai filosof tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui
sebagai ilmuan, jika ia menguasai filsafat secara sempurna. Ibnu Sina
sangat cermat dalam mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles di
bidang filsafat. Ketika menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran
Aristoteles, Ibnu Sina mengaku bahwa beliau membaca kitab Metafisika
karya Aristoteles sebanyak 40 kali. Beliau menguasai maksud dari kitab
itu secara sempurna setelah membaca syarah atau penjelasan ‘metafisika
Aristoteles’ yang ditulis oleh Farabi, filosof muslim sebelumnya.
Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua periode yang
penting. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham
filsafat paripatetik. Pada periode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai
penerjemah pemikiran Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika
Ibnu Sina menarik diri dari faham paripatetik dan seperti yang
dikatakannya sendiri cenderung kepada pemikiran iluminasi.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya
semisal Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat
islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan
Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab
sebelumnya.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan
telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam
tetapi juga merambah Eropa. Albertos Magnus, ilmuan asal Jerman dari
aliran Dominique yang hidup antara tahun 1200-1280 Masehi adalah orang
Eropa pertama yang menulis penjelasan lengkap tentang filsafat
Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis utama pemikiran Aristoteles
Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran
Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani
itu dari buku-buku Ibnu Sina. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah
ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad
setelahnya oleh para pemikir Barat.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam
banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya
unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa
modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem
yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi
karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang
menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan
alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran
rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan
lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Menurut sejarah hidup yang disusun oleh Ibnu Sina, bernama Jurjani, dari
sejak kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan
yang ada di zamannya. Ilmu-ilmu itu adalah Ilmu fisika, matematika,
kedokteran, hukum dan lain-lain. Sewaktu Ibnu Sina masih berusia 17
tahun, ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah
mengobati Pangeran Nuh Ibnu Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya.
Setelah orang tua Ibnu Sina meninggal saat ia brusia 22 tahun, ia pindah
ke Jurjan, suatu kota di dekat Laut Kaspia, dan di sanalah ia mulai
menulis ensiklopedinya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal
dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (The Qanun). Kemudian ia pindah ke Ray,
suatu kota di sebelah Teheran, dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan
anknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di
Hamdan (di bahagian Barat dari Iran) mengangkat Ibnu Sina menjadi
Menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan meninggal di tahun 1037 M,
pada usia 58.
Dalam pendidikannya, Ibnu Sina sangat haus dengan pendidikan, hidupnya
selalu diwarnai dengan belajar, diantara guru yang mendidiknya ialah
’Abu Abdallah Al-Natali dan Isma’il sang Zahid. Karena kecerdasan
otaknya yang luar biasa ia dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan
kepadanya dengan sempurna dari sang guru, bahkan melebihi pengetahuan
sang guru.
Ibnu Sina juga secara tidak langsung berguru kepada al-Farabi, bahkan
dalam otobiografinya disebutkan tentang utang budinya kepada guru kedua
ini. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami Metafisika
Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal
diluar kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil
al-Farabi.
Sirajuddin Zar menambahkan, anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu
Sina adalah seorang pewaris Filsafat Neoplatonisme Islam yang
dikembangkan al-Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut
dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis al-Farabi
dan dibukakan pintunya oleh al-Kindi.
Kehebatan Ibnu sina dalam belajar bukan hanya karena ia memiliki sistem,
tetapi sistem yang is miliki menampakkan sebuah keaslian, menunjukkan
jenis jiwa yang genius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan
yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasionalis murni dan
tradisi Intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam
sistem keagamaan Islam. Dapatlah dikemukan bahwa; keaslian yang
menyebabkan dirinya disebut unik tidak hanya terjadi di dalam Islam,
tetapi juga terjadi di Abad pertengahan, karena itu terjadi pula
perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert Yang
Agung, terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar terpengaruh
oleh Ibnu Sina.
Karya-Karya Ibnu Sina
Ibnu Sina tidak hanya seorang yang mempunyai andil dalam kenegaraan
tetapi ia juga seorang agamawan. Di dalam kehidupannya selama ia
menuntut ilmu, ia juga menyibukkan dirinya untuk menulis beberapa buku.
Jumlah karya tulis Ibnu Sina diperkirakan antara 100 sampai 250 buah
judul.
Adapun hasil karya Ibnu Sina yang terkenal antara lain:
a. As-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan
terbesar, terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan
metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang
tersebar diberbagai perpustakaan Barat dan Timur. Bagian Ketuhanan dan
fisika pernah di cetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956,
Lembaga Keilmuan Cekoslowakia (LKC) di Praha menerbitkan pasal keenam
dari buku ini perihal ilmu jiwa, denga terjemahannya ke dalam bahasa
Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di Kairo
pada tahun 1945, dengan nama Al Burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman
Badawi.
b. An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku yang paling populer,
yakni As-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun
dalam ilmu ketdokteran pada tahun 1593 M, di Roma dan pada tahun 1331
M, di Mesir.
c. Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang
paling baik, bahkan buku ini pernah diterbitkan di Leiden pada tahun
1892 M. Sedangkan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahas Prancis,
kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 M di bawah asuhan Dr.
Sulaiman Dunya.
d. Al-Mantiqi Al-Masyriqiyyah (logika timur), buku ini banyak
dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud dan judul buku, di tambah
lagi naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang
mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut
Carlos Nallino, berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat
Barat.
e. Al-Qanun fitthibb (tentang Lensa) atau Canon of Medicine, menurut
penyebutan orang-orang Barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard untuk Universitas Eropa,
sampai akhir Abad ke 17 H. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma
tahun 1593 M dan India tahun 1323 M.
Selain itu, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan sya’ir. Beberapa
esainya yang terpenting adalah Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-Thair,
Risalah fi Sirr Al-Qadar, Risalah fi Al-’Isyq, dan Tahshil As-Sa’adah.
Sedangkan puisi terpentingnya adalah Al-Urjuzah fi Ath-Thibb,
Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah, dan Al-Qashidah Al-’Ainiyyah. Bahkan masih
banyak karya lain lagi yang ditulis dalam bentuk puisi ke dalam bahasa
Persia.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam
banyak hal unik, sedang di antara para filosof muslim ia tidak hanya
unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa
modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang
telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini
terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem
yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa
yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang
diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi
intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem
keagamaan Islam. Di antara filsafat Ibnu Sina, antara lain sebagai
berikut:
Filsafat Wujud
Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu
Farabi. Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat wajib
wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika
ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan Mumkinul
Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue of the
Necessary Being dan Possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai
tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya
sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan, timbul
akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul
jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya
timbul langit-langit.
Walaupun Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari akal, namun ada
pendapat Ibnu Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang wujud Tuhan
bersifat emanasionistis. Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan Yang
Mesti mengalir Inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang
tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud.
Akan tetapi, sifat inteligensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu,
karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan
kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan.
Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan
di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan, yaitu:
Pertama, Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
Kedua, lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya kemungkinan alamiahnya.
Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita mencapai
inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab demikian
banyak para filsafat Muslim yang disebut ”Malaikat Jibril”. Nama ini
diberikan karena ia memberikan bentuk atau ”memberitahukan” materi dunia
ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Oleh karena itu, ia juga
disebut ”pemberi bentuk”.
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud
Tunggal secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki
kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan
kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud, tetapi satu
unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal. Tentang apakah Tuhan itu dann
hakikat Tuhan adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan
merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain
yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan kata lain, seorang
suku Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, maka ia tergolong salah
seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa gajah
itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan,
sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari
adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung
kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun juga tidak akan ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah,
maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi
cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Sedangkan jagad
raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab (’illat) yang
mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.
Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah, kita tidak
memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa
memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Sebagai
pembuktian dari wacana di atas, al-Qur’an menggambarkannya dalam Surat
Fushshilat ayat 53 yang berbunyi:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ
يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi
mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa
Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
Filsafat Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang
tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul
dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa
lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai
fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih
berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya
hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran
Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di
yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek
doktrinnya itu bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda,
tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan
suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga.
Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung
tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai
argumen, tetapi sebagai pembuka mata. Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa
lain segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal
kesepuluh.
Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
A- Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya;
1. Makan (nutrition),
2. Tumbuh (Growth),
3. Berkembang biak (reproduction)
B- Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;
1. Gerak (locomotion),
2. Menangkap (perception).
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian :
a. Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
b. Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi :
1) Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh pancaindera,
2) Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama,
3) Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi,
4) Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari
materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala,
5) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
C- Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya ;
Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan.
Teoritis (theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.
Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga
macam jiea tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada
dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada
dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa
manusia (an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka
orang itu dekat menyerupai Malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa penjelasan
mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam disiplin
ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa
pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang
mana para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam hal ini. Oleh sebab
itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa maalah jiwa adalah urusan filosof.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik
pada dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun
pada filsafat scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya,
seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas,
Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran
Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.
Filsafat Tentang Ke-Nabian
Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi
adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena
Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras,
sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal
manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal
aktuil, dan akal mustafad.
Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian,
di antaranya, Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau
diklasifikasikan akal-akal tersebut seperti di bawah ini:
A- Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
B- Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
C- Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
D- Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal
yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu
pada daya dan upaya.
Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak
selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang
sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (al’aklu
fa’aala).
Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang
terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (al’aklul hayulan).
Biasanya akal materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang
abstrak, namun ketika manusia mempergunakan akal materil ini, Allah
menganugerahkan kepada manusia agar akal materil dapat bekerja lebih
besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama al-hadas yaitu intuisi.
Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif
dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya
aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus
pada pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi
Allah.
Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal
dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual
dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni.
Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi
yang diperlukan, juga tak diragukan lagi karena dalam kenyataannya
wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi
kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu
mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam
tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke
dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu
imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak
mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud
yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang
pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang
tidak berada dalam meteri dan ada pula yang berada dalam materi. Yang
pertama lebih unggul daripada yang kedua, selanjutnya ada hewan yang
rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak rasional (binatang).
Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua …selanjutnya ada manusia
yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa
latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual
dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi),
maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang
kedua, yakni para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau
keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih
unggul harus memimpin segenap manusia yang diunggulinya.
Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan
sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql
Mustafad (akal yang telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik
dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu internal
dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu ,
yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab itu, Nabi dalam hal
sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara esensial, adalah akal
aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina sependapat
dengan al-Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat berpendapat
bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya,
sebagai pancaran dari Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau
dari hakikat dirinya.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya.
Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka orang itu
dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai
pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan
dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi
(memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan
proses emanasi tersebut memancar segala yang ada.
Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda
dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak
mujstahil).
Pemikiran tentang kenabian menjelaskan bahwa nabi merupakan manusia yang
paling unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang
sempurna tanpa latihan, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha
yang keras.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 hijriyah pada usia 58 tahun. Beliau pergi
setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia
dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah
contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.