Kota Granada menjadi terkenal ketika kaum Arab (disebut bangsa Moor oleh
orang Barat) memilih daerah itu untuk menjadi lokasi perdagangan di
awal abad ke-13. Segera setelah itu, sebuah kompleks benteng, dengan
nama Qalat Al-Hamra (Benteng Merah), dibangun di atas plato tinggi
untuk memberikan pemandangan kota yang indah bagi emir Moor, serta
lokasi yang tepat untuk mempertahankan diri dari para penyerang.
Awalnya, sebagai sebuah tempat perlindungan ketika Granada dikepung,
tembok-tembok tinggi Al-Hamra pada akhirnya menjadi sebuah benteng,
memagari pasar kecil dan beberapa istana indah. Perkembangan
selanjutnya, “istana” ini kemudian dirancang untuk mencerminkan
keindahan surga. Al-Hamra pun akhirnya menjadi kompleks yang terdiri
atas taman-taman, air mancur, sungai kecil, istana, dan sebuah masjid,
semuanya di dalam tembok yang dikelilingi 13 menara raksasa di
titik-titik strategis.
Kiblat Pelajar Dunia
Sejarah mencatat, Granada adalah salah satu pusat ilmu pengetahuan di
masa kejayaan Islam. Granada menjadi tempat paling diburu oleh para
pelajar di seluruh dunia.
Granada terletak di selatan kota Madrid, ibu kota Spanyol sekarang.
Granada memiliki keindahan yang amat mengagumkan. Itu sebabnya, nama
“Granada” diambil dari nama keindahan (granada artinya “kecantikan” dan
“keindahan”).
Kawasan ini terbentang di sekitar Laut Mediterranian dari selatan dan
berada di sekitar Sungai Syanil. Tempat yang enak dipandang mata,
karena berada di ketinggian 669 meter dari atas laut. Konon, inilah
rahasia keindahan dan kecantikan Granada.
Setelah Islam memasuki Spanyol lewat Andalusia, tempat ini menjadi
salah satu pusat ilmu pengetahuan Islam yang agung dan tergolong dalam
kawasan lainnya yang tak kalah menarik dan bersejarah setelah
Andalusia, Cordova, Balansiah, Bahrit, Ichiliah, Tolaitalah, dan yang
lainnya. Granada juga termasyhur sebagai kiblat yang menjadi tumpuan
harapan para pelajar yang datang dari segenap kawasan yang berada di
sekitar Granada, baik kaum muslimin maupun non-muslim. Pusat pengkajian
yang termasyhur di Granada adalah Al-Yusufiah dan An-Nashriyyah.
Di sini juga telah terahir banyak ilmuwan muslim yang terkenal. Di
antaranya Abu Al-Qasim Al-Majrithi, sebagai pencetus kebangkitan
astronomi Andalusia pada tahun 398 Hijriyyah atau sekitar tahun 1008
Masehi. Ia telah memberikan dasar bagi salah satu pusat pengkajian ilmu
matematika.
Selain Abu Al-Qasim, juga masih ada sejumlah ilmuwan dan ulama terkenal,
di antaranya Al-Imam Asy-Syathibi, Lisanuddin Al-Khatib, As-Sarqasti,
Ibnu Zamrak, Muhammad Ibnu Ar-Riqah, Abu Yahya Ibnu Ridwan, Abu Abdullah
Al-Fahham, Ibnu As-Sarah, Yahya Ibnu Al-Huzail At-Tajibi, As-Shaqurmi,
Ibnu Zuhri. Di kalangan wanita, tercatat nama-nama seperti Hafsah binti
Al-Haj, Hamdunah binti Ziad, dan saudaranya, Zainab.
Setelah kekuasaan keturunan Bani Ahmar menetap di Granada dan
sekitarnya di Timur Laut, dekat dengan kedudukan Al-Hamra, pada tempat
yang begitu strategis, mereka membangun salah satu istana yang terkenal
dengan nama “Istana Al-Hamra”.
Al-Hamra juga menjadi nama salah satu kota yang sederhana saat berada
dalam kekuasaan Badis bin Habus, lalu dia menjadikan kota Al-Hamra
sebagai pusat pemerintahannya. Ia membangun sebuah benteng yang besar di
sekitar bukit yang tinggi, yang kemudian terkenal dengan nama “Benteng
Granada”.
Dalam waktu yang cukup lama, Granada menjadi sebuah kota yang tidak
dapat dikalahkan. Karena dimakan umur, bangunan benteng kemudian
berubah warna menjadi merah, dan di kawasan inilah Istana Al-Hamra
dibangun (Al-Hamra artinya “Istana Merah”).
April Mop
Dalam budaya masyarakat Barat, ada satu hari yang dikenal dengan istilah
“April Mop”. Sebenarnya, April Mop terkait dengan tragedi dalam
sejarah Islam di Granada. Hari itu merupakan perayaan hari kemenangan
atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib yang
dilakukan lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah, April Mop “dirayakan”
dengan cara melegalkan penipuan dan kebohongan walau dibungkus dengan
dalih sekadar hiburan atau keisengan.
Biasanya orang akan menjawab bahwa April Mop, yang hanya berlaku pada
tanggal 1 April, adalah hari di mana kita boleh dan sah-sah saja menipu
teman, orangtua, saudara, atau lainnya, dan sang target tidak boleh
marah atau emosi ketika sadar bahwa dirinya telah menjadi sasaran April
Mop. Biasanya sang target, jika sudah sadar kena April Mop, akan
tertawa, atau mengumpat sebal, tentu saja bukan marah sungguhan.
Walaupun belum sepopuler perayaan tahun baru atau Valentine’s Day,
budaya April Mop dalam dua dekade terakhir memperlihatkan
kecenderungan yang makin akrab di masyarakat perkotaan kita. Terutama
di kalangan anak muda. Bukan mustahil pula, ke depan juga akan meluas ke
masyarakat yang tinggal di pedesaan. Ironisnya, masyarakat dengan
mudah meniru kebudayaan Barat ini tanpa mengkritisinya terlebih
dahulu, apakah budaya itu baik atau tidak, bermanfaat atau sebaliknya.
Perayaan April Mop berawal dari suatu tragedi besar yang sangat
menyedihkan dan memilukan? April Mop, atau The April’s Fool Day,
berawal dari satu episode sejarah muslim Spanyol di tahun 1487 M, atau
bertepatan dengan 892 H.
Sejak dibebaskan Islam pada abad ke-8 M oleh Panglima Thariq bin Ziyad,
Spanyol berangsur-angsur tumbuh menjadi satu negeri yang makmur.
Pasukan Islam tidak saja berhenti di Spanyol, namun terus melakukan
pembebasan di negeri-negeri sekitar menuju Prancis. Prancis Selatan
dengan mudah dibebaskan. Kota Carcassone, Nimes, Bordeaux, Lyon,
Poitou, Tours, dan sebagainya jatuh. Walaupun sangat kuat, pasukan Islam
masih memberikan toleransi kepada suku Goth dan Navaro di daerah
sebelah barat yang berupa pegunungan. Islam telah menerangi Spanyol.
Karena sikap para penguasa Islam yang begitu baik dan rendah hati,
banyak orang Spanyol yang kemudian dengan tulus dan ikhlas memeluk
Islam. Muslim Spanyol bukan saja beragama Islam, namun sungguh-sungguh
mempraktekkan kehidupan secara Islami. Tidak saja membaca Al-Qur’an,
namun bertingkah laku berdasarkan Al-Qur’an. Mereka selalu berkata
“tidak” untuk musik, bir, pergaulan bebas, dan segala hal yang
dilarang Islam. Keadaan tenteram seperti itu berlangsung hampir enam
abad lamanya.
Selama itu pula kaum kafir yang masih ada di sekeliling Spanyol terus
berupaya membersihkan Spanyol dari Islam, namun selalu gagal. Maka
dikirimlah sejumlah mata-mata untuk mempelajari kelemahan umat Islam
Spanyol.
Akhirnya mereka menemukan cara untuk menaklukkan Islam, yakni dengan
pertama-tama melemahkan iman mereka melalui jalan serangan pemikiran
dan budaya. Musik diperdengarkan untuk membujuk kaum mudanya agar lebih
suka bernyanyi dan menari daripada membaca Al-Qur’an. Mereka juga
mengirimkan sejumlah ulama palsu untuk meniup-niupkan perpecahan ke
dalam tubuh umat Islam Spanyol. Lama-kelamaan upaya ini membuahkan
hasil.
Akhirnya Spanyol jatuh dan bisa dikuasai pasukan salib. Penyerangan
oleh pasukan salib benar-benar dilakukan dengan kejam tanpa mengenal
perikemanusiaan. Tidak hanya pasukan Islam yang dibantai, tetapi juga
penduduk sipil, wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua. Satu per satu
daerah di Spanyol jatuh.
Granada adalah daerah terakhir yang ditaklukkan. Penduduk-penduduk Islam
di Spanyol (juga disebut orang Moor) terpaksa berlindung di dalam
rumah untuk menyelamatkan diri, namun tentara-tentara salib terus
mengejar mereka. Ketika jalan-jalan sudah sepi, tinggal menyisakan
ribuan mayat yang bergelimpangan bermandikan genangan darah, tentara
salib mengetahui bahwa banyak muslim Granada yang masih bersembunyi di
rumah-rumah. Dengan lantang tentara salib itu meneriakkan pengumuman
bahwa para muslim Granada bisa keluar dari rumah dengan aman dan
diperbolehkan berlayar keluar Spanyol dengan membawa barang-barang
keperluan mereka.
Orang-orang Islam masih curiga dengan tawaran ini. Namun beberapa di
antara orang muslim diperbolehkan melihat sendiri kapal-kapal penumpang
yang sudah dipersiapkan di pelabuhan. Setelah benar-benar melihat ada
kapal yang sudah disediakan, mereka pun segera bersiap untuk
meninggalkan Granada dan berlayar meninggalkan Spanyol.
Keesokan harinya, ribuan penduduk muslim Granada keluar dari
rumah-rumah mereka dengan membawa seluruh barang keperluan, beriringan
berjalan menuju ke pelabuhan. Beberapa orang Islam yang tidak
mempercayai pasukan salib memilih bertahan dan terus bersembunyi di
rumah-rumah mereka.
Setelah ribuan umat Islam Spanyol berkumpul di pelabuhan, dengan cepat
tentara salib menggeledah rumah-rumah yang telah ditinggalkan
penghuninya. Lidah api terlihat menjilat-jilat angkasa ketika mereka
membakari rumah-rumah tersebut bersama dengan orang-orang Islam yang
masih bertahan di dalamnya.
Sedang ribuan umat Islam yang pergi menuju pelabuhan pun tertahan di
sana, karena tentara salib juga membakar kapal-kapal yang dikatakan
akan mengangkut mereka keluar dari Spanyol. Kapal-kapal itu dengan
cepat tenggelam. Ribuan umat Islam itu tidak bisa berbuat apa-apa,
karena sama sekali tidak bersenjata. Mereka juga kebanyakan terdiri
dari para wanita dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sedang para
tentara salib telah mengepung mereka dengan pedang terhunus.
Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara salib segera
membantai umat Islam Spanyol, tanpa rasa belas kasihan. Jerit tangis
dan takbir membahana. Seluruh muslim Spanyol di pelabuhan itu habis
dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana, di darat dan di
lautan. Laut yang biru berubah menjadi merah kehitam-hitaman.
Tragedi ini bertepatan dengan tanggal 1 April. Inilah yang kemudian
diperingati oleh dunia Kristen setiap tanggal 1 April sebagai April
Mop, The April’s Fool Day. Pada tanggal 1 April, orang-orang
diperbolehkan menipu dan berbohong kepada orang lain.
Dalam sejarahnya, bagi umat Kristiani, April Mop merupakan hari
kemenangan atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib
lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah, mereka merayakan April Mop
dengan cara melegalkan penipuan dan kebohongan walau dibungkus dengan
dalih sekadar hiburan atau keisengan belaka. Namun dalam perkembangannya
kini, unsur historis mungkin tidak lagi dominan, yang lebih kuat adalah
hiburan atau keisengan dengan cara penipuan atau kebohongan, tentu
tidak sungguh-sungguh.
Sedang bagi umat Islam, dengan melihat sejarahnya, April Mop tentu
merupakan perayaan akan tragedi yang sangat menyedihkan. Hari ketika
ribuan saudara-saudara kita dibantai oleh tentara salib di Granada,
Spanyol. Sebab itu, sangatlah tidak pantas jika ada orang Islam yang
ikut-ikutan merayakan tradisi ini. Sekali lagi dengan melihat
sejarahnya, siapa pun orang Islam yang turut merayakan April Mop
sesungguhnya tengah merayakan ulang tahun pembunuhan massal ribuan
saudara-saudaranya di Granada, Spanyol, lima abad silam.
Istana Al-Hamra
Al-Hamra adalah warisan yang membanggakan bagi kebudayaan Arab di Spanyol serta keahlian pembangun muslim, Yahudi, dan Kristen.
Nama “Al-Hamra” berasal dari warna merah tanah liat yang digali untuk
membuat tembok-temboknya. Sebuah penjelasan yang lebih puitis datang
dari para cendekiawan muslim yang mengatakan bahwa pembangunan benteng
Al-Hamra dilakukan dengan cahaya obor, yang kemudian memberikan warna
merah pada tembok-tembok itu.
Dimulai pada tahun 1238 oleh penguasa muslim, Muhammad Al-Ahmar,
pembangunan kompleks Al-Hamra diselesaikan oleh anak laki-lakinya,
Muhammad II. Generasi penerus para pemimpin muslim terus memperluas
bangunan yang telah ada dan menambahkan beberapa bangunan baru.
Selesai dibangun menjelang akhir kekuasaan muslim oleh Yusuf I
(1333-1353) dan Muhammad Sultan (1353-1391), beberapa bangunan terakhir
yang dibangun di Al-Hamra mencerminkan kebudayaan Emirat Nasrid.
Lingkungan itu juga menjadi tempat mengungsi para seniman dan
intelektual ketika Kristen Spanyol bergerak masuk ke kawasan tersebut.
Pada tahun 1527, ketika Andalusia jatuh ke tangan penjajah, kaum muslim
akhirnya terpaksa meninggalkan lahan seluas 142.000 meter persegi itu.
Setelah invasi kaum Kristen, Al-Hamra mengalami penelantaran dan hampir
menjadi puing-puing tak berbekas jika tak dikunjungi oleh seorang
penulis terkenal Amerika.
Pada tahun 1829, saat mengelilingi Eropa, novelis Washington Irving –
paling dikenal dengan horor klasiknya, The Legend of Sleepy Hollow –
mengunjungi Al-Hamra dan terinspirasi untuk menulis satu koleksi kisah
petualangan romantis yang berjudul Tales of the Al-Hamra. Dalam suratnya
yang dikirim ke seorang teman, Irving menuliskan bahwa Al-Hamra adalah
kota yang paling indah, berlokasi di lanskap yang paling cantik yang
pernah ia lihat.
Pujian Irving terhadap Al-Hamra dan sukses besar bukunya mengubah
Granada dan sekitarnya menjadi kota yang paling sering dikunjungi di
Eropa. Aliran uang dari wisatawan juga memfasilitasi perbaikan
bangunan-bangunan, menara, lapangan, kolam ikan, dan taman-taman
Al-Hamra.
Sekarang, Al-Hamra menjadi pameran arsitektur, desain lanskap, dan
desain interior Islam, dan merupakan salah satu daya tarik wisatawan
yang terkenal.
Tokoh Ulama Andalusia
Selama ini kita mengenal Eropa sebagai kawasan minoritas Islam dan
mayoritas Nasrani. Akan tetapi kita wajib mengetahui bahwa pada masa
dinasti Umayah Andalusia (Spanyol) banyak tokoh ilmuwan Islam yang
uraian keilmuan beliau-beliau masih dipergunakan hingga saat ini dalam
berbagai disiplin ilmu di berbagai Negara.
Berikut kami paparkan sebagian para ilmuwan (Ulama) Andalusia (Spanyol) yang masyhur dan ilmu beliau di gunakan hingga saat ini.
AL-ZAHRAWI
Peletak dasar-dasar ilmu bedah modern itu bernama Al-Zahrawi (936 M-1013
M). Orang barat mengenalnya sebagai Abulcasis. Al-Zahrawi adalah
seorang dokter bedah yang amat fenomenal. Karya dan hasil pemikirannya
banyak diadopsi para dokter di dunia barat. “Prinsip-prinsip ilmu
kedokteran yang diajarkan Al-Zahrawi menjadi kurikulum pendidikan
kedokteran di Eropa sampai saat ini.
Ahli bedah yang termasyhur hingga ke abad 21 itu bernama lengkap
Sayidina Syaikh Abu al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas Al-Zahrawi Al Anshori
Beliau terlahir pada tahun 936 M di kota Al-Zahra, sebuah kota berjarak
9,6 km dari Cordoba, Spanyol. Al-Zahrawi merupakan keturunan Arab Ansar
yang menetap di Spanyol. Di kota Cordoba inilah dia menimba ilmu,
mengajarkan ilmu kedokteran, mengobati masyarakat, serta mengembangkan
ilmu bedah bahkan hingga wafat.
Kisah masa kecilnya tak banyak terungkap. Sebab, tanah kelahirannya
Al-Zahra dijarah dan dihancurkan. Sosok dan kiprah Al-Zahrawi baru
terungkap ke permukaan, setelah ilmuwan Andalusia Abu Muhammad bin Hazm
(993M-1064M) menempatkannya sebagai salah seorang dokter bedah terkemuka
di Spanyol. Sejarah hidup alias biografinya baru muncul dalam
Al-Humaydi’s Jadhwat al Muqtabis yang baru rampung setelah enam dasa
warsa kematiannya.
Al-Zahrawi mendedikasikan separuh abad masa hidupnya untuk praktik dan
mengajarkan ilmu kedokteran. Sebagai seorang dokter termasyhur,
Al-Zahrawi pun diangkat menjadi dokter istana pada era kekhalifahan
Al-Hakam II di Andalusia. Berbeda dengan ilmuwan muslim kebanyakan,
Al-Zahrawi tak terlalu banyak melakukan perjalanan. Ia lebih banyak
mendedikasikan hidupnya untuk merawat korban kecelakaan serta korban
perang.
Para dokter di zamannya mengakui bahwa Al-Zahrawi adalah seorang dokter
yang jenius terutama di bidang bedah. Jasanya dalam mengembangkan ilmu
kedokteran sungguh sangat besar. Al-Zahrawi meninggalkan sebuah ‘harta
karun’ yang tak ternilai harganya bagi ilmu kedokteran yakni berupa
kitab Al-Tasrif li man ajaz an-il-talil—sebuah ensiklopedia kedokteran.
Kitab yang dijadikan materi sekolah kedokteran di Eropa itu terdiri dari
30 volume.
Dalam kitab yang diwariskannya bagi peradaban dunia itu, Al-Zahrawi
secara rinci dan lugas mengupas tentang ilmu bedah, orthopedic,
opththalmologi, farmakologi, serta ilmu kedokteran secara umum. Ia juga
mengupas tentang kosmetika. Al-Zahrawi pun ternyata begitu berjasa dalam
bidang kosmetika. Sederet produk kosmetika seperti deodorant, hand
lotion, pewarna rambut yang berkembang hingga kini merupakan hasil
pengembangan dari karya Al-Zahrawi.
Popularitas Al-Zahrawi sebagai dokter bedah yang andal menyebar hingga
ke seantero Eropa. Tak heran, bila kemudian pasien dan anak muda yang
ingin belajar ilmu kedokteran dari Abulcasis berdatangan dari berbagai
penjuru Eropa. Menurut Will Durant, pada masa itu Cordoba menjadi tempat
favorit bagi orang-orang Eropa yang ingin menjalani operasi bedah. Di
puncak kejayaannya, Cordoba memiliki tak kurang dari 50 rumah sakit yang
memberikan pelayanan prima.
Sebagai seorang guru ilmu kedokteran, Al-Zahrawi begitu mencintai
murid-muridnya. Dalam Al-Tasrif, dia mengungkapkan kepedulian terhadap
kesejahteraan siswanya. Al-Zahrawi pun mengingatkan kepada para muridnya
tentang pentingnya membangun hubungan yang baik dengan pasien. Menurut
Al-Zahrawi, seorang dokter yang baik haruslah melayani pasiennya sebaik
mungkin tanpa membedakan status sosialnya.
Dalam menjalankan praktik kedokterannya, Al-Zahrawi menanamkan
pentingnya observasi tertutup dalam kasus-kasus individual. Hal itu
dilakukan untuk tercapainya diagnosis yang akurat serta kemungkinan
pelayanan yang terbaik. Al-Zahrawi pun selalu mengingatkan agar para
dokter berpegang pada norma dan kode etik kedokteran, yakni tak
menggunakan profesi dokter hanya untuk meraup keuntungan materi.
Menurut Al-Zahrawi profesi dokter bedah tak bisa dilakukan sembarang
orang. Pada masa itu, dia kerap mengingatkan agar masyarakat tak
melakukan operasi bedah kepada dokter atau dukun yang mengaku-ngaku
memiliki keahlian operasi bedah. Hanya dokter yang memiliki keahlian dan
bersertifikat saja yang boleh melakukan operasi bedah. Mungkin karena
itulah di era modern ini muncul istilah dokter spesialis bedah
(surgeon).
Kehebatan dan profesionalitas Al-Zahrawi sebagai seorang ahli bedah
diakui para dokter di Eropa. “Tak diragukan lagi, Al-Zahrawi adalah
kepala dari seluruh ahli bedah.”
Kitab Al-Tasrif yang ditulisnya lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
oleh Gerard of Cremona pada abad ke-12 M. Kitab itu juga dilengkapi
dengan ilustrasi. Kitab itu menjadi rujukan dan buku resmi sekolah
kedokteran dan para dokter serta ahli bedah Eropa selama lima abad
lamanya pada periode abad pertengahan.
Sosok dan pemikiran Al-Zahrawi begitu dikagumi para dokter serta
mahasiswa kedokteran di Eropa. Pada abad ke-14, seorang ahli bedah
Perancis bernama Guy de Chauliac mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari
200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter di Eropa
hingga terciptanya era Renaissance. Hingga abad ke-16, ahli bedah
berkebangsaan Prancis, Jaques Delechamps (1513M-1588M) masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.
Al-Zahrawi tutup usia di kota Cordoba pada tahun 1013M—dua tahun setelah
tanah kelahirannya dijarah dan dihancurkan. Meski Cordoba kini bukan
lagi menjadi kota bagi umat Islam, namun namanya masih diabadikan
menjadi nama jalan kehormatan yakni ‘Calle Albucasis’. Di jalan itu
terdapat rumah nomor 6 –yakni rumah tempat Al-Zahrawi pernah tinggal .
Kini rumah itu menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan
Spanyol.
Sang penemu puluhan alat bedah modern
Selama separuh abad mendedikasikan dirinya untuk pengembangan ilmu
kedokteran khususnya bedah, Al-Zahrawi telah menemukan puluhan alat
bedah modern. Dalam kitab Al-Tasrif, ‘bapak ilmu bedah’ itu
memperkenalkan lebih dari 200 alat bedah yang dimilikinya. Di antara
ratusan koleksi alat bedah yang dipunyainya, ternyata banyak peralatan
yang tak pernah digunakan ahli bedah sebelumnya.
Menurut catatan, selama karirnya Al-Zahrawi telah menemukan 26 peralatan
bedah. Salah satu alat bedah yang ditemukan dan digunakan Al-Zahrawi
adalah catgut. Alat yang digunakan untuk menjahit bagian dalam itu
hingga kini masih digunakan ilmu bedah modern. Selain itu, juga
menemukan forceps untuk mengangkat janin yang meninggal. Alat itu
digambarkan dalam kitab Al-tasrif.
Dalam Al-Tasrif, Al-Zahrawi juga memperkenalkan penggunaan ligature
(benang pengikat luka) untuk mengontrol pendarahan arteri. Jarum bedah
ternyata juga ditemukan dan dipaparkan secara jelas dalam Al-Tasrif.
Selain itu, Al-Zahrawi juga memperkenalkan sederet alat bedah lain hasil
penemuannya.
Peralatan penting untuk bedah yang ditemukannya itu antara lain, pisau
bedah (scalpel), curette, retractor, sendok bedah (surgical spoon),
sound, pengait bedah (surgical hook), surgical rod, dan specula. Tak
cuma itu, Al-Zahrawi juga menemukan peralatan bedah yang digunakan untuk
memeriksa dalam uretra, alat untuk memindahkan benda asing dari
tenggorokan serta alat untuk memeriksa telinga. Kontribusi Al-Zahrawi
bagi dunia kedokteran khususnya bedah hingga kini tetap dikenang dunia
dan di jadikan rujukan dalam ilmu kedokteran. Di berbagai Negara.
Termasuk Indonesia
Syaikh Ibnu Hazm
Nama lengkapnya adalah sayidina Syaikh Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin
Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Sholeh bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan
bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayah bin Abd Syams al-Umawiyah.
atau lebih dikenal dengan nama Ibn Hazm diakui sebagai seorang ulama
yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia Islam. Ia dikenal
sebagai ahli fikih dan hadits sekaligus teolog, sejarawan, penyair,
negarawan, akademisi dan politisi yang handal. Tak kurang dari 400 judul
kitab telah ditulisnya.
Ibn Hazm lahir di kota Cordoba, Spanyol pada akhir Ramadhan 384 H atau
bertepatan dengan 7 November 994 M. Ia tumbuh dan besar di kalangan para
pembesar dan pejabat. Ayahnya, Sayidina Ahmad, adalah seorang menteri
pada masa pemerintahan Khalifah al-Mansur dan putranya, al-Muzaffar.
Kendati demikian, kemewahan hidup yang dijalaninya itu tidak
menjadikannya lupa diri dan sombong. Sebaliknya, ia dikenal sebagai
seorang yang baik budi pekertinya, pemaaf dan penuh kasih sayang.
Sebagai seorang anak pembesar, Ibn Hazm mendapat pendidikan dan
pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan diasuh oleh
guru-guru yang mengajarkan Alquran, syair, dan tulisan indah Arab
(khatt). Ketika meningkat remaja, ia mulai mempelajari fikih dan hadits
dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi dan Ahmad bin
Muhammad bin Jasur. Ketika dewasa, ia mempelajari bidang ilmu lainnya,
seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantik, dan ilmu jiwa
disamping memperdalam lagi ilmu fikih dan hadits.
Penguasaan terhadap berbagai disiplin ilmu tersebut pada akhirnya
menjadikan Ibn Hazm seorang yang pakar dalam bidang agama. Kepakarannya
ini bukan hanya diakui oleh kaum muslimin, namun juga diakui oleh
kalangan sarjana Barat. Ada sebuah nasehat yang terkenal dari Ibn Hazm
yang ditujukan kepada para pencari ilmu yaitu, "Jika Anda menghadiri
majelis ilmu, maka janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk
menambah ilmu dan memperoleh pahala, dan bukannya kehadiranmu itu dengan
merasa cukup akan ilmu yang ada padamu, mencari-cari kesalahan dari
pengajar untuk menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang
yang tercela, yang mana orang-orang tersebut tidak akan mendapatkan
kesuksesan dalam ilmu selamanya.''
Terjun ke politik
Sebagai anak seorang menteri dan hidup di lingkungan istana, Ibn Hazm
mulai berkenalan dengan dunia politik ketika berusia lima tahun. Pada
waktu itu terjadi kerusuhan politik dalam masa pemerintahan Khalifah
Hisyam II al-Mu'ayyad (1010-1013 M) yang mengakibatkan Hisyam beserta
ayah Ibn Hazm diusir dari lingkungan istana.
Keterlibatan Ibn Hazm di bidang politik secara langsung terjadi pada
masa pemerintahan Khalifah Abdurrahman V al-Mustahdir (1023 M) dan
Khalifah Hisyam III al-Mu'tamid (1027-1031 M). Pada masa kedua khalifah
ini Ibn Hazm menduduki jabatan menteri.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman V al-Mustahdir, Ibn Hazm bersama-sama
dengan khalifah berusaha memadamkan berbagai kerusuhan dan mencoba
merebut wilayah Granada dari tangan musuh. Akan tetapi dalam usaha
merebut wilayah itu khalifah terbunuh dan Ibn Hazm tertangkap. Ia
kemudian dipenjarakan.
Hal serupa juga dialaminya pada masa pemerintahan Hisyam III
al-Mu'tamid. Ibn Hazm pernah dipenjarakan setelah sebelumnya ia ikut
mengatasi berbagai keributan di istana. Selepas keluar dari tahanan, ia
memutuskan untuk meninggalkan dunia politik dan keluar dari istana.
Sejak keluar dari istana, Ibn Hazm tidak menetap di satu tempat
tertentu, tetapi berpindah-pindah. Selain mencari ilmu, motivasinya
hidup berpindah-pindah tempat karena ingin mencari ketenangan dan
keamanan hidupnya. Sejak saat itu ia juga mencurahkan perhatiannya
kepada penulisan kitab-kitabnya.
Kitab-kitab karangan Ibn Hazm seperti yang dikatakan oleh anaknya, Abu
Rafi'i al-Fadl, berjumlah 400 buah. Tetapi karyanya yang paling
monumental adalah kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ilmu Ushul Fikih;
terdiri dari delapan jilid) dan kitab al-Muhalla (Ilmu Fikih; terdiri
dari tiga belas jilid). Kedua kitab ini menjadi rujukan utama para pakar
fikih kontemporer.
Karya-karyanya yang lain di antaranya adalah:
Risalah fi Fada'il Ahl al-Andalus (Risalah tentang Keistimewaan Orang Andalus),
al-Isal Ila Fahm al-Khisal al-Jami'ah li Jumal Syarai'
al-Islam(Pengantar untuk Memahami Alternatif yang mencakup Keseluruhan
Syariat Islam),
al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal (Garis Pemisah antara Agama, Paham dan Mazhab),
al-Ijma' (Ijmak),Maratib al-'Ulum wa Kaifiyah Talabuha (Tingkatan-Tingkatan Ilmu dan Cara Menuntutnya),
Izhar Tabdil al-Yahud wa an-Nasara (Penjelasan tentang Perbedaan Yahudi dan Nasrani), dan
at-Taqrib lihadd al-Mantiq (Ilmu Logika).
Selain menulis kitab mengenai ilmu-ilmu agama, Ibn Hazm juga menulis
kitab sastra. Salah satu karyanya dalam bidang sastra yang sangat
terkenal adalah yang berjudul Tauq al-Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta).
Kitab ini menjadi karya sastra terlaris sepanjang abad pertengahan.
Kitab yang berisikan kumpulan anekdot, observasi, dan puisi tentang
cinta ini tidak hanya dibaca oleh kalangan umat Islam, tetapi juga kaum
Nasrani di Eropa.
Ibn Hazm wafat di Manta Lisham pada 28 Sya'ban 456 H bertepatan pada
tanggal 15 Agustus 1064 M. Wafatnya Ibn Hazm cukup membuat masyarakat
kala itu merasa kehilangan dan terharu. Bahkan, Khalifah Mansur
al-Muwahidi, khalifah ketiga dari Bani Muwahid termenung menatap
kepergian Ibn Hazm, seraya berucap: "Setiap manusia adalah keluarga Ibn
Hazm”.
Imam Al Qurthubi
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh
al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, seorang ahli tafsir dari
Cordova (sekarang bernama Spanyol). Ia berkelana ke negeri timur dan
menetap di kediaman Abu Khusaib (di selatan Asyut, Mesir). Dia salah
seorang hamba Allah yang soleh dan ulama yang arif, wara’ dan zuhud di
dunia, yang sibuk dirinya dengan urusan akhirat. Waktunya dihabiskan
untuk memberikan bimbingan, beribadah dan menulis.
Karya-Karya Beliau
Dia menulis mengenai tafsir al-Qur’an, sebuah kitab besar yang terdiri
dari 20 jilid, yang diberinya judul: “Al-Jami’ liahkam al-Qur’an wa
al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqan”. Kitab ini
merupakan salah satu tafsir terbesar dan terbanyak manfaatnya. Penulis
tidak mencantumkan kisah-kisah atau sejarah, dan sebagai gantinya,
penulis menetapkan hukum-hukum al-Qur’an, melakukan istimbath atas
dalil-dalil, menyebutkan berbagai macam qira’at, I’rab, nasikh, dan
mansukh.
- Al-Asna fi Syarh Asma’illaj al-Husna
- At-Tidzkar fi Afdhal al-Adzkar
- Syar at-Taqashshi
- Qam’ al-Hirsh bi az-Zuhd wa al-Qana’ah
- At-Taqrib likitab at-Tamhid
- Al-I’lam biima fi Din an-Nashara min al-Mafasid wa al-Auham wa Izhharm Mahasin Din al-Islam
- At-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa umur al-Akhirah (edisi Indonesia: Buku Pintar Alam Akhirat)
Guru-Guru Beliau
Beliau mendengar pelajaran dari Syeikh Abu al-Abbas Ahmad bin Umar
al-Qurthubi dan meriwayatkan dari al-Hafizh Abu Ali al-Hasan bin
Muhammad bin Hafsh dan sebagainya.
Beliau tinggal di kediaman Abu al-Hushaib.
Wafat Beliau
Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi meninggal dunia dan dimakamkan di Mesir
iaitu dikediaman Abu al-Hushaib, pada malam isnin, tanggal 09 Syawal
tahun 671 H. semoga Allah merahmati dan meredhai beliau.amiin
Ibnu Rusyd
Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd yang lebih di kenal dengan
panggilan Ibnu Rusyd al-hafidh di lahirkan di kota cordoba pada tahun
520 H. Pada saat itu kota Cordoba adalah salah satu dari pusat budaya,
seni dan sastra. Ayah Ibnu Rusyd adalah seorang hakim, dan kakeknya
adalah ketua hakim di Andalus (Spanyol) Dia berkeinginan agar
keluarganya menjadi orang-orang yang berilmu dan menjadi para hakim.
Kehidupan beliau rahimahullah
Ibnu Rusyd tumbuh besar di cordoba, di sana dia belajar fiqih,
matematika, dan kedokteran kepada ulama-ulama yang terkenal pada
zamannya. Diapun menjabat sebagai hakim dikota Cordoba. Namun propesinya
sebagai hakim tersebut tidak melalaikannya dari membaca, sampai di
ceritakan tentangnya bahwa ia tidak pernah meninggalkan satu malampun
dari kehidupannya tanpa belajar dan menulis kitab, kecuali pada saat
malam pernikahanya dan ketika wafat ayahandanya.
Adapun kebahagiaan Ibnu Rusyd yang hakiki adalah ketika ia di dampingi
oleh kitab-kitabnya, dan dia juga menyukai buku-buku filsafat yang mana
sebagian orang pada zamannya menganggapnya sebagai kekufuran dan
kesesatan!! Akan tetapi dia tidak menghiraukan ucapan tersebut, karena
dia yakin dengan aqidah dan agamanya. Maka ia pun mulai mambaca kisah
pejalanan para filosof yang terkenal semisal Aristoteles dan selainnya,
sehingga iapun menjadi pandai dalam ilmu filsafat, ilmu fiqih, dan semua
bidang ilmu yang ada pada zamannya.
Melihat keilmuan yang di miliki Ibnu Rusyd rahimahullah maka al-Mansyur
Abu Ya’qub penguasa negara muwahidin mengundangnya untuk datang ke
kediamannya di (Marrakech). Maka al-Mansyur pun menjamunya dan
memuliakannya, namun Ibnu Rusyd tidak menghadiri pertunjukan musiknya,
bahkan dia menjaga diri dari menghadiri acara seperti itu. Dari
kesungguhan Ibnu Rusyd dalam menjaga dirinya dari yang di haramkan, ia
menjauhi rayuan-rayuan semu pada masa mudanya.
Ibnu Rusyd juga seorang dokter, dia berkata: “ Barangsiapa yang
memperdalam ilmu pembedahan, maka hal tersebut akan menambah
keyakinannya kepada Allah Ta’ala. ” Dia berpendapat bahwa orang yang
beprofesi sebagai dokter akan menyaksikan kekuasaan Allah Ta’ala pada
ciptaanNya. Itu semua dikarenakan ia menyaksikan anggota-anggota tubuh
bekerja sesuai dengan kerjanya yang sempurna. Oleh karena, hal tersebut
menjadikan keimanannya menjadi kuat dan kokoh.
Ibnu Rusyd mempunyai banyak karya tulis dalam bidang kedokteran, di
antara kitabnya yang paling penting adalah kitab ‘ilal (nama-nama
penyakit) yang mana kitab ini memaparkan tentang pengobatan penyakit
tersebut.
Ibnu Rusyd adalah seorang ahli fiqih dan berilmu, Ibnul anbar berkata
tentangnya: Bahwsanya dia di minta untuk memberikan fatwa dalam bidang
kedokteran seperti dia di minta berfatwa di dalam bidang fiqih. Dia
mempunyai kitab fiqih yang dia beri nama Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul
Muqtashid, dan juga kitab-kitabnya yang lain, yang mana jumlahnya
mencapai puluhan.
Wafatnya rahimahullah
Setelah perjalanan ilmiah yang di berkahi, Ibnu Rusyd sakit parah dan
meninggal pada malam Kamis, 9 Safar 595 H. Jenazahnya di pindahkan dari
Marrakech ke Cordoba, sesuai dengan wasiatnya, karena Cordoba adalah
tempat asalnya dan tempat nenek moyangnya.
Imam Assathibi
IMAM al-Syatibi adalah seorang ulama besar dari Spanyol yang menguasai
berbagai cabang ilmu keislaman. Dilahirkan di Granada, Spanyol pada
tahun 720 H dan wafat pada tahun 790 H, semasa hidupnya dikenal sebagai
seorang ulama yang ahli dalam bidang hukum Islam , sehingga ia
berpropesi sebagai mufti, imam, guru dan penulis produktif. Selain itu
beliau juga seoarang yang ahli dalam bahasa Arab dan pejuang akidah.
Al-Imam al-Hafizh bin Marzuq menjuluki beliau sebagai, “Seorang Syeikh,
Profesor, ahli Ilmu Fikih, Imam, Muhaqqiq, dan ulama besar yang shalih
Karena keluasan ilmu dalam berbagai disiplin, maka beliau menjadi tempat
rujukan masyarakat dan penguasa dalam menyelesaikan berbagai problem
keagamaan di Spanyol kala itu.
Berdasarkan data dari berbagai sumber, Imam al-Syatibi bukanlah produk
pendidikan formal, melainkan belajar secara otodidak dan mengembara dari
satu guru ke guru yang lain. Berawal dari pendidikan rumah yakni
dibawah asuhan orang tua tuanya sendiri, maka kemudian beliau
melanjutkan pengembaraan mencari melalui halaqah-halaqah yang tersebar
di berbagai masjid di Spanyol.
Dalam bidang pemikiran hukum Islam, beliau telah melahirkan karya agung,
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariʿah. Kitab ini terdiri dari empat bab dan
memuat tentang metodologi dan teori hukum Islam yang bercorak
filosofis.
Karya ini mendapat pujian dari berbagai tokoh, baik masa setelah beliau
maupun zaman kontempoer. Imam aI-Hafiz bin Marzuq menyebut al-Muwafaqat
ini sebagai kitab yang paling hebat dalam pemikiran Hukum Islam:
“Sesungguhnya kitab al-Muwafaqat termasuk kitab yang paling hebat.”
Rasyid Ridha mengatakan, “Akan tetapi penulis kitab ini (maksudnya kitab
al-Iʿtisham karya al-Syatibi) – yang juga penulis kitab al-Muwafaqat –
termasuk dalam pembaharu-pembaharu yang luar biasa dalam Islam. Tidak
ada yang menandingi kecermatannya dalam menuangkan buah pikiran. Ia
seperti si bijak dalam ilmu sosial kemasyarakatan, yakni Abdurrahman
Ibnu Khaldun. Keduanya membawa karya yang tidak dapat diungguli oleh
seorang pun sebelumnya. Namun sayang sekali, umat tidak banyak
memanfaatkan ilmu mereka sebagaimana mestinya.”
Sementara Fazlur Rahman di dalam Islamic Methodology in History – ia
menyebut Imam al-Syatibi sebagai the Brilliant Jurist – meskipun Rahman
sendiri tampak seperti dualisme terhadap Imam al-Syatibi. Satu sisi ia
memuji al-Syatibi dan menjadikan konsep al-Istiqraʿ al-Maʿnawi dan Ushul
al-Kulliyah yang dirumuskan al-Syatibi sebagai dasar analisis pada
tema-tema pemikiran hukum yang dikembangkannya. Namun pada tempat lain,
ia menolak unsur-unsur sunnah yang justeru ditekankan oleh al-Syatibi
tersebut Dan sikap dualisme semacam ini – baik dalam bentuk yang sama
dengan Rahman maupun berbeda – juga menular kepada beberapa tokoh yang
berada dalam gerakan pemikiran Islam Liberal Indonesia.
Selain itu, seruan yang mengajak kepada para peneliti hukum Islam untuk
mengkaji secara serius pemikiran hukum Imam al-Syatibi yang terdapat di
dalam al-Muwafaqat juga pernah di serukan oleh Muhammad Abduh, kemudian
disusul oleh Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal dan Abdul Aʿla al-Maududi yang
mengingatkan betapa arti penting untuk menelaah kitab ini.
Dalam bidang fikih, Imam al-Syatibi merupakan penganut Mazhab Maliki.
Dan sumbangannya beliau dalam fikih dapat kita jumpai di dalam karyanya
Fatwa al-Imam al-Syaṭibi yang menjadi bukti bahwa beliau itu ahli dalam
berfatwa (mufti). Kitab ini diedit oleh Muhammad Abu al-Ajfan dan
diterbitkan di Tunisia pada tahun 1985. Selain itu dalam bidang yang
sama juga dijumpai karya beliau yang berjudul Kitab al-Majalis yang
merupakan syarahan beliau atas Shahih Bukhari-Muslim tentang jual beli.
Selain itu beliau juga seorang pejuang akidah dan Sunnah, yang
dibuktikan melalui karyanya, al-Iʿtisham. Kitab ini diedit dan diberi
kata pengantar langsung oleh Rasyid Ridha. Pada dasarnya karya beliau
yang satu ini lebih kepada membahas tentang bidʿah dan sunnah, yang
tentu ia tidaklah lahir begitu saja dalam ruang kosong, melainkan atas
dasar keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam pada waktu itu yang
mempraktekkan berbagai bidʿah serta menganggapnya sebagai sunnah. Hal
ini terekam dari ungkapan beliau dalam pengantar kitabnya ini, “Aku
berharap, dengan meneliti tema ini, akan kita ketahui orang-orang yang
menghidupkan Sunnah dan orang-orang yang mematikan Sunnah. Dalam kurun
waktu yang cukup lama dan dalam penelitian panjang, aku telah
menyimpulkan dasar-dasar bidʿah dan Sunnah sesuai dengan ketentuan hukum
syariat, cabang-cabangnya atau pecahan pembahasannya yang panjang…..
Oleh karena itu, ada baiknya jika hal tersebut diungkap secara tertib
dengan berbentuk tulisan, guna memenuhi tuntutan serta mengangkat dan
menghilangkan hal-hal samar yang sering muncul, sehingga tidak sulit
membedakan antara yang Sunnah dengan yang bid’ah.”
Adapun karya beliau dalam bidang bahasa Arab dapat dijumpai dalam
al-Maqashid al-Syafiyah fī Syarh al-Khulashah al-Kafiyah. Diedit oleh
ʿAbd al-Rahman ibn Sulaiman al-ʿUs Yamin dan Diterbitkan oleh
Universitas Umm al-Qura, Saudi ʿArabiya pada tahun 2007 yang terdiri
dari 10 jilid. Selain itu ada juga karya beliau dalam bidang yang sama
yakni Syarh Rajaz ibn Malik fi al-Nahwi (al-fiyah). Berdasarkan karya
beliau ini, maka nyatalah beliau itu seorang yang pakar dalam Bahasa
Arab.
Pengetahuan dan keilmuan Imam al-Syatibi yang multi disiplin tersebut
bukanlah barang asing dalam sejarah khazanah keilmuan kita. Sebut saja
Imam Fakhruddin al-Razi, Imam al-Ghazali, Ibn Sina, al-Farabi atau juga
sekelompok ilmuan yang berada dibawah payung Ihkwan al-Shafa dan sederet
tokoh-tokoh lainnya yang menguasai berbagai bidang ilmu, baik itu –
meminjam istilah Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ʿUlum al-Din – ilmu fardu
ʿain maupun ilmu fardu kifayah.
Apa yang terjadi pada Imam al-Syatibi tentulah tidak terlepas dari
kehausan dan kecintaan beliau kepada ilmu serta sikap beliau yang tidak
mendikotomikan dan mendualismekan ilmu. Hal ini terekam dalam ungkapan
beliau sendiri di dalam pengantar al-Iʿtisham, “… Sejak otakku terbuka
dalam pemahaman dan jiwaku selalu terarah untuk menelaah semua ilmu,
baik logika, syariah, ushul (pokok-pokok dalam agama) maupun furuʿ
(cabang-cabang dalam agama).
Aku tidak pernah membatasi suatu ilmu tanpa ilmu yang lain dan tidak
mengasingkan satu jenis ilmu dari jenis yang lain, sesuai dengan
kebutuhan zaman dan kemampuan. Aku kerahkan segala kekuatan yang ada
pada diriku, bahkan aku menenggelamkan diri dalam lautannya, sebagaimana
menyelamnya orang yang pandai berenang. Aku maju ke medan peperangan
sebagaimana seorang ksatria maju untuk berperang, hingga hampir saja aku
binasa di tengah-tengah kedalaman ilmu, atau aku patah dalam
kelembutanku, sebab hal itu terlalu besar bagi orang sepertiku.”
Ibnu Malik,
Nama lengkapnya adalah Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu
Abdillah ibnu Malik al-Thay, lahir di Jayyan. Daerah ini sebuah kota
kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk
negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh
pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah.
Pada masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar
pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H).
Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah
haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu
dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari
sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy
al-Halaby (w. 643 H).
Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh
para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak
menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab
Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu.
Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti
imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan
Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar
kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks
Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau
tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan
Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini
dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair
puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini
lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan
itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam
kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom
al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan
semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan
komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait,
yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini bisa
disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari
Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya
terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80)
bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.
Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab
yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait.
Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rojaz ini disusun
dengan maksud
(1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting.
(2) menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi
sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh
yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah
itu.
(3) membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya.
Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab
Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai
Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam
Islam, semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia
lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas.
Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia
ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat
kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan
pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang
mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika
menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan
mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu
setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan
merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar
pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di
Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati
oleh masyarakat.
Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah
gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi kaum
santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari
karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai lebar. Maksud
penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan dapat
diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn
Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab
nahwu banyak menampilkan metoda baru dan banyak menyajikan trobosan
baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap menampilkan
khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih
dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas
yang baru, seolah-olah hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam
Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan Shorof,.). Atas dasar itu,
Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama
lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir)
terhadap syarah itu.
Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah
lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang
lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama
yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa
kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir
(hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah. Syarah Alfiyah yang ditulis
pertama adalah buah pena putera Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin
(w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang
diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq,
tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini
yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu,
Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari
ayat al-Qur’an.
Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak
semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang
sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada masa mudanya
bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya
saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz Karena itu,
penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn
Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra
Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik,
sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti
karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy
(w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan
Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).
Di antara penulis-penulis Syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan
dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibnu Hisyam, Ibnu Aqil, dan
Al-Asymuni.
Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil
al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah
ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak
dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang
sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya
Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika
menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak
mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.
Ibnu Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya
banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah
Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan
Audlah . Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah
yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang
tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama
lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia
tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab
Kufa, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak
ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi,
Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah
Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan
yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih
yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).
Ibnu Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat
sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang
terkenal adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah
dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik
. Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga
terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis
berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak
beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri
di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis
hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah
al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.
Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni
(w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya
sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang
paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan
argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis
Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain
mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan
Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang
dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam
Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat
dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri
suatu pendapat dari sumber aslinya.
Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan
ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah
al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang
disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya
didasarkan atas tiga unsur, yaitu
(a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang
mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni.
(b) Karangannya akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah faham bagi pembaca.
(c) Menyajikan komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis
hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai
pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu
nahwu.
Itu sebagian Ulama Spanyol di masa lalu yang keilmuan Beliau2 masih di gunakan di lapisan masyarakat islam dan non Islam
Semoga ada manfaatnya