Kaliwiro adalah salah satu kecamatan di bagian selatan dari kabupaten
Wonosobo. Kaliwiro memiliki luas 100,08 km2. Di mana secara geografis
Kaliwiro terletak ditengah sebuah lembah pada ketinggian 250 meter –
300 meter dpl. Diapit gunung Lawang di selatan dan bukit Dempes di
sebelah utara. Dengan titik koordinat S7°27.510′ lintang selatan dan
E109°51.380′ bujur timur.
Hanya mencoba untuk mengungkap tabir gelap yang menyelimuti cikal bakal
dan sejarah tentang Kaliwiro. Di mana selama ini, dikalangan masyarakat
Kaliwiro pada khususnya, belum pernah terungkap atau mengetahui secara
pasti siapa pendiri maupun jejak sejarah Kaliwiro di masa lampau.
Adapun tujuan penulisan ini dimaksudkan agar generasi yang akan datang
tidak kehilangan jejak mengenai sejarah Kaliwiro. Karena Kaliwiro
memiliki sejarah panjang yang secara langsung maupun tidak langsung
berkaitan dengan sejarah perjuangan dan perlawanan terhadap penjajah
Belanda..
Disamping itu, penulisan ini dimaksudkan agar jejak sejarah mengenai
Kaliwiro tidak berlandaskan pada mitos dan legenda seperti yang selama
ini diyakini sebagian besar masyarakat Kaliwiro. Karena mitos maupun
legenda tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan kebenarannya tidak bisa
dipertanggung jawabkan.
Penulisan ini mencoba mencari fakta dengan merunut jejak sejarah,
manuskrip maupun arsip-arsip kuno yang bersinggungan dengan keberadaan
Kaliwiro..
MITOS DAN LEGENDA TENTANG KALIWIRO
Bahwasanya seperti yang sudah diketahui secara umum. Kebanyakan
masyarakat Kaliwiro meyakini bahwa nama Kaliwiro berasal dari dua suku
kata “Kali dan Wiro” yang merupakan nama dua sesepuh atau tokoh yang
pertama kali mendiami suatu lembah yang sekarang bernama kecamatan
Kaliwiro. Yaitu “Kyai Kali dan Nyai Wiro.”
Tapi keyakinan tersebut tidak memiliki fakta dan argumen yang kuat.
Karena keyakinan tersebut hanya berdasar pada dongeng dari mulut ke
mulut tanpa disertai penjelasan mengenai latar belakang dan asal muasal
kedua tokoh yang dimaksud. Satu-satunya keyakinan yang dipercayai
masyarakat Kaliwiro mengenai kedua tokoh cikal bakal Kaliwiro, adalah
keberadaan dua nisan tanpa nama yang berada di TPU Manisjangan. Hanya
bukti dua nisan tanpa nama tentu tidak bisa menjelaskan secara pasti
mengenai sejarah awal Kaliwiro.
Jika kita mengamati dan mempelajari sastra Jawa maupun Arab, maka kita
tidak akan menemukan kelaziman nama-nama orang maupun tokoh zaman dahulu
yang menggunakan nama “kali” untuk nama seorang laki-laki. Dan juga
tidak pernah dijumpai nama “wiro” dipakai untuk nama seorang wanita.
Biasanya nama seorang tokoh masyarakat zaman dahulu bila laki-laki maka
akan lazim disebut “Kyai Ageng” dan “Nyai Ageng” untuk seorang wanita.
Jadi keyakinan mengenai kedua tokoh tersebut perlu direvisi
kebenarannya. Agar tidak terjadi kerancuan sejarah pada generasi
mendatang. Namun bila pembaca mempunyai bukti ataupun manuskrip yang
mendukung tentang keberadaan kedua tokoh tersebut ( Kyai Kali & Nyai
Wiro ).
Silahkan saudara membuat penulisan sejarah mengenai biografi kedua tokoh
tersebut. Agar penulisan sejarah Kaliwiro mempunyai kajian yuridis
kebenarannya. Karena semua ini bertujuan meluruskan dan membekali
generasi yang akan datang dengan materi sejarah yang bisa dilacak
kebenarannya. Karena semakin jauh generasi yang lahir maka akan semakin
gelap pula sejarah, bila tidak segera diotentifikasi. Namun keberadaan
mitos maupun legenda tentu akan semakin memperkaya nilai histories suatu
daerah bila berjalan beriringan dengan fakta sejarah. Contoh : legenda
Nyai Roro Kidul selalu beriringan dengan fakta sejarah berdirinya
kerajaan Mataram olehPanembahan Senopati. Biarlah mitos menjadi khasanah
budaya yang memperkaya budaya suatu daerah asalkan tidak melupakan
fakta sejarah mengenai cikal bakal sebuah tempat bersejarah.
KETERKAITAN KADIPATEN SELOMANIK DENGAN KALIWIRO
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya zaman dahulu pernah ada sebuah
kadipaten di suatu wilayah ( sekarang Selomanik ) yang merupakan bagian
dari pemerintahan kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono V.
Kadipaten Selomanik (sebelum dipindahkan ke Wonosobo) tidak bisa
dilepaskan dari sejarah perang Jawa atau yang lebih dikenal sebagai
perang Diponegoro. Karena wilayah Selomanik adalah salah satu basis
perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap penjajahan Belanda melalui
perang gerilya. Mengingat tekstur geografis/topografis Selomanik dan
sekitarnya yang merupakan kawasan hutan lebat berbukit-bukit, maka
sangat cocok untuk tempat persembunyian menghindari kejaran tentara
Belanda. Untuk lebih jelas, maka di bawah ini akan kita bahas sejarah
yang melatar belakangi berdirinya kadipaten Selomanik dan Kaliwiro.
A. SEJARAH KADIPATEN SELOMANIK
Selomanik berasal dari dua suku kata, ‘Selo & Manik’. Selo berati
batu dan Manik berarti permata. Dinamakan demikian karena di wilayah
Selomanik terdapat dua buah batu besar yang konon menjadi pertapaan
seorang tokoh Selomanik yang akan kita bahas di bawah ini. Dalam sejarah
berdirinya Kadipaten Wonosobo tertulis bahwa cikal bakal Wonosobo
bermula dari suatu kadipaten di wilayah Selomanik.
Dimana bahwa pimpinan daerah Selomanik adalah Kanjeng Raden Tumenggung (
KRT ) Selomanik ke 3 yang masih tlah KRT Kertowaseso adalah seorang
pengikut Pangeran Diponegoro yang setia ikut dalam perang gerilya.
Untuk lebih jelas mengetahui sejarah siapa KRT Selomanik mari kita
menelusuri latar belakang beliau. KRT Selomanik adalah seorang
Tumenggung di dalam struktur pemerintahan keraton Mataram Ngayogyakarta
Hadiningrat. Pada saat dalam intern keraton terjadi kemelut, akibat
kebijakan Patih Danurejo yang lebih condong berpihak pada VOC. KRT
Selomanik menempatkan dirinya pada kubu Pangeran Diponegoro. Kemelut
semakin meruncing dengan kesewenang-wenangan VOC/Belanda mencampuri
urusan internal keraton, menghentikan aturan sewa tanah para bangsawan
kepada pengusaha-pengusaha Belanda, mengenakan pajak tinggi terhadap
rakyat. Dan yang terakhir, pembuatan jalan tembus Magelang – Jogja yang
melewati dengan membuat patok-patok di atas tanah makam leluhur tanpa
seizin pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pengikutnya yang marah kemudian
membongkar patok-patok yang melewati makam leluhur Diponegoro. Akibat
tindakan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya maka pada tanggal 20 Juli
1825 pada sore hari, VOC dan bala tentaranya menyerbu puri kediaman
pangeran Diponegoro. Maka terjadilah peperangan di komplek sekitar puri,
sang pangeran beserta prajurit-prajuritnya yang setia berhasil
meloloskan diri dari blokade tentara Belanda.
Selanjutnya Diponegoro menyingkir ke arah selatan, dan menyusun kekuatan
di sebuah goa, yang kemudian terkenal dengan goa Selarong. Sejak saat
itu Pangeran Diponegoro menyerukan perang sabil atau perang suci melawan
kaum kafir Belanda. Ternyata seruan Diponegoro mendapat simpati dari
banyak pangeran, bangsawan maupun rakyat Mataram yang selama ini sudah
muak dengan kesewenang-wenangan Belanda yang membuat rakyat menderita.
Seruan pangeran Diponegoro ternyata juga mendapat sambutan hangat dari
kalangan ulama dan santri. Hal ini bisa mengerti, mengingat pangeran
Diponegoro adalah seorang pangeran yang sejak kecil lebih menyukai
kehidupan religius di pesantren, daripada hidup mewah didalam keraton.
Beranjak dewasa sang pangeran banyak mempunyai sahabat dan menjalin
hubungan akrab dengan kalangan ulama-ulama yang tersebar di penjuru
Jawa. Jadi wajar jika seruan perang Diponegoro banyak mendapat sambutan
hangat dan melibatkan laskar-laskar santri di seluruh wilayah Jawa.
Kembali kepada sejarah KRT Selomanik …. Setelah menyusun kekuatan dari
goa Selarong, Pangeran Diponegoro segera memerintahkan para pengikutnya.
Terutama para pangeran yang mahir dan mengetahui ilmu berperang untuk
menyebar ke seluruh pedalaman Jawa. Tujuannya untuk menghimpun kekuatan
dan menggalang dukungan dari para ulama/kyai di seluruh Jawa agar
bangkit melawan kezaliman Belanda.
Termasuk diantaranya kepada KRT Selomanik Pangeran Diponegoro
memerintahkan kepada beliau untuk menghubungi Kyai Alwi atau Ali
sahabatnya ( pada waktu itu orang Jawa biasa memanggil dan menyebut
dengan “Kyai Ngalwi” ) di sebuah pesantren di lembah yang sekarang di
namakan Kaliwiro.
Kyai Alwi adalah seorang ulama yang diperkirakan berasal dari daerah
Jawa Timur. Beliau datang untuk berdakwah mengajarkan dan menyebarkan
agama Islam di daerah ini. Mengenai latar belakang beliau, tidak bisa
diketahui secara pasti. Karena memang sangat sedikit, bahkan bisa di
katakan tidak ada sejarah dan literatur yang mengetahui latar belakang
sejarah Kyai Alwi. Jejak sejarah Kyai Alwi hanya tertulis sejak beliau
berhubungan dengan KRT Selomanik
Dengan segera KRT Selomanik berangkat menghubungi Kyai Alwi untuk
memberitahukan seruan Diponegoro. Sampai di pesantren Kyai Alwi,beliau
mendapat dukungan untuk menghimpun dan membentuk laskar perang yang
terdiri dari santri-santri Kyai Alwi. Laskar-laskar ini sangat penting
dan strategis untuk menunjang perang semesta rakyat Jawa. Disamping itu
KRT Selomanik juga menempatkan daerah ini sebagai basis perlawanan dan
rute gerilya Diponegoro. Mengingat kondisi alam daerah ini yang berupa
hutan lebat berbukit-bukit penuh lembah lembah curam sangat menunjang
untuk medan gerilya.
Sehingga akhirnya pangeran Diponegoro pun juga bergerilya dan membuat
basis perlawanan di daerah ini. Kemudian untuk menjaga eksistensi
pesantren dari serbuan tentara Belanda, maka Beliau membuat markas
prajurit di sebuah desa di lereng gunung Lawang.
Mengingat betapa pentingnya peran pesantren dalam pendidikan agama
maupun untuk kaderisasi laskar. Maka perlu dihindarkan keterlibatan
pesantren dalam konflik secara langsung, di dalam perang melawan
Belanda. Penempatan markas laskar di desa lereng gunung Lawang ini
kemudian menjadikan Beliau terkenal dengan sebutan Ki Ageng Selomanik.
Sehingga daerah ini kemudian hari terkenal dan di namakan Selomanik.
Hingga pada akhirnya atas perintah Diponegoro, KRT Selomanik membentuk
sebuah kadipaten untuk mempermudah menghimpun laskar rakyat.
Dalam perjalanan sejarahnya, kadipaten Selomanik kemudian menjadi cikal
bakal berdirinya kadipaten Wonosobo. Sampai pada akhir hayatnya KRT
Selomanik atau Ki Ageng Selomanik tetap menetap di daerah tersebut dan
di makamkan di desa tersebut. Tidak diketahui secara pasti sebab musabab
meninggalnya Ki Ageng Selomanik. Meninggal karena sakit atau terbunuh
dalam perang..? Tidak ada sejarah yang menuliskan peristiwa itu. Makam
beliau hingga sekarang masih terawat dengan baik dan menjadi salah satu
agenda ziarah di setiap hari ulang tahun Wonosobo.
Makam Tumenggung Selomanik berada di desa Selomanik Kecamatan Kaliwiro
Kabupaten Wonosobo. Jarak dari ibukota Kecamatan + 6 km. Makam ini
pertama kali dibangun oleh Jendral Poniman pada tahun 1970, kemudian
direhabilitasi oleh Bupati Wonosobo Drs. Sukamto pada tahun 1982. Pada
Tahun 2007, makam ini dipugar oleh Menteri Peranan Wanita Republik
Indonesia Min Sugandi dengan menelan biaya tak kurang dari Rp
500.000.000,00.
Luas area makam sekitar 500 m2, sementara luas bangunan makam itu
sendiri berkisar 120 m2 (lebar 10 m, panjang 12 m). Tokoh-tokoh yang
berada dalam makam itu antara lain
* Ki Ageng Tumenggung Selomanik
* Ki Ageng Tumenggung Branjang Kawat
* Ki Ageng Tumenggung Udan Mimis
* Ki Ageng Tumenggung Udan Toko
Menurut juru kunci makam Tumenggung Selomanik (Khaerudin) para pejabat
Negara yang pernah berkunjung ke makam Tumenggung Selomanik adalah:
* Jendral Poniman
* Harmoko (Menteri Penerangan era Pemerintahan Presiden Soeharto)
* Suparjo Rustam (Mantan Gubernur Jawa Tengah)
* Bupati Wonosobo (setiap hari jadi Wonosobo/24 Juli)
Kendati makam ini tersohor bagi para pejabat Negara, namun masyarakat
umum belum banyak yang berkunjung kesana. Padahal akses jalan menuju
lokasi makam cukup baik karena makam tersebut berada pada ruas jalan
yang menghubungkan dua kecamatan, yakni Kecamatan Kaliwiro dan Kecamatan
Kalibawang Kabupaten Wonosobo.
B. SEJARAH ASAL NAMA KALIWIRO
Dalam kurun waktu lima tahun sejak 1825 hingga 1830. Pasukan Selomanik
beserta santri-santri Kyai Alwi banyak memperoleh kemenangan dalam
perang gerilya. Sehingga laskar-laskar Kyai Alwi ini begitu disegani dan
ditakuti tentara Belanda.
Karena begitu terkenal kehebatan dan keberanian semangat juang laskar
santri rakyat di daerah ini dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda,
maka daerah ini kemudian terkenal dengan para perwira-perwira angkatan
perangnya. Sehingga lambat laun daerah ini banyak disebut orang dengan
sebutan daerah yang ditempati Kyai Alwi dan para santri-santrinya yang
sangat Perwira.
Asal kata Kaliwiro sendiri tersusun dari kata, “Kali dan Wiro.” Kali
berasal dari kalimat nama Kyai Alwi atau Ali atau Ngalwi. Sedangkan Wiro
berasal dari suku kata bahasa Jawa “Prawiro”. Yang berarti Perwiro atau
Perwira. Sehingga bila digabungkan menjadi kalimat “Ngaliwiro. Karena
kebiasaan orang Jawa yang sering menamakan suatu tempat dengan sebutan
“kali” ( contoh : Kalibenda, Kalimantan, Kalibawang, Kalikajar,
Kaliputih dll ). Maka orang Jawa pun lambat laun terbiasa menyebut
Ngaliwiro berubah menjadi Kaliwiro.
Mengenai kisah perjuangan kyai Alwi atau Ali atau Ngalwi tidak ada
literature yang mengisahkan atau meriwayatkan kehidupan beliau secara
jelas. Itu semua mungkin karena beliau hanyalah seorang pendukung dan
penasihat spritual Ki Ageng Selomanik yang berperan dari balik layar
dalam memimpin laskar santri melawan penjajah Belanda. Nama dan peran
beliau tenggelam dalam nama besar Ki Ageng Selomanik.
Sampai akhir hayat Kyai Ngalwi, tidak pernah ada sejarah yang menulis
kehidupan beliau dan kapan beliau wafat. Satu-satunya jejak beliau hanya
ada keterangan turun-temurun yang menerangkan bahwa beliau wafat dan di
makamkan di Kaliwiro. Makam beliau yang bersebelahan dengan istri
beliau berada di sebelah selatan ruas jalan yang menghubungkan kecamatan
Kaliwiro dan kecamatan Kalibawang di sebuah bukit kecil yang sudah di
bongkar dan di ratakan pada sekitar tahun 1966 untuk dijadikan komplek
perkantoran
( sekarang BRI Unit Kaliwiro ). Selanjutnya makam beliau dipindahkan ke
komplek TPU Manisjangan di selatan SDN 1 Kaliwiro sampai sekarang.
KESIMPULAN AKHIR
Setelah merunut dan membaca penulisan ini, Insya Allah semua menjadi
terang. Bahwa sesungguhnya mitos legenda Kyai Kali dan Nyai Wiro sudah
sedemikian jauh menyimpang dari kenyataan sejarah. Dengan mencermati
nama Kyai Kali dan Nyai Wiro saja sudah terlalu janggal untuk diyakini
kebenarannya.
Pertama, tidak lazim penamaan nama seseorang dalam budaya Jawa maupun
Arab menggunakan kata “Kali”. Apalagi beliau adalah seorang ulama, yang
pada umumnya menggunakan nama bernafaskan Islam/Arab.
Kedua, tidak lazim dalam budaya Jawa seorang perempuan bernama “Wiro”.
Kecuali si perempuan tersebut bersuamikan seorang bernama Wiro. Maka
bisa di panggil ‘bu Wiro”.
Demikianlah sekelumit sejarah yang saya paparkan dengan cara meneliti
melalui literatur-literatur dan menuskrip sejarah yang saya baca. Dengan
cara mengkait-kaitkan keberadaan sejarah perang Diponegoro dan Ki Ageng
Selomanik yang sudah tertulis dan diakui kebenaranya oleh para pakar
sejarah.
Semoga apa yang saya paparkan di atas dapat bermanfaat untuk
pengetahuan generasi yang akan datang. Sehingga generasi Kaliwiro pada
khususnya tidak kehilangan jati diri sejarah Kaliwiro. Dan generasi muda
Kaliwiro bisa berbangga diri dan meneladani sejarah leluhur mereka yang
telah berjihad dengan darah dan air mata melawan penjajahan Belanda.
Apabila penulisan yang saya paparkan di atas ini telah keliru atau
kurang lengkap, maka sudi kiranya anda mengirim atau menjelaskan
koreksinya.
Ini semua bertujuan untuk meluruskan pengetahuan sejarah anak cucu
kita. Agar penulisan sejarah bisa lurus sesuai fakta dan tidak terjadi
penyimpangan sejarah. Apalagi sampai kehilangan jejak sejarah penting
suatu daerah… Jangan sampai hal itu terjadi pada anak cucu kita. Sebab
bangsa besar adalah bangsa yang tidak melupakan dan menghargai jerih
payah pahlawan bangsanya…. Wallahualam bishowab…. Kebenaran hanya milik
Allah SWT.
Asal usul Wonosobo
Wonosobo berasal dari bahasa sansekerta “ WAUNA” dan “SEBA”. WAUNA yang
artinya sebuah tempat /Dusun/Desa yang derajadnya lebih tinggi daripada
SIMA, dan sima sendiri merupakan dataran tertinggi daripada Desa, boleh
dikata kalau sekarang sebuah Kabupaten. Seba adalah tempat bertemunya
para pandita.
Pendapat lain mengatakan Wono (hutan) sobo (jamah) secara harfiah
bermakna hutan yang di jamah manusia untuk di jadikan pemukiman.
Pada zaman dulu Dieng merupakan tempat bertemunya para pandita dari
berbagai penjuru Dunia melalui pantai utara Pulau Jawa, kapal yang
ditumpangi oleh para pandita merapat melalui dermaga di wilayah
Kabupeten Batang, lalu menuju ke Dieng hal tersebut dibuktikan dengan
adanya peninggalan purbakala antara lain: Anda Budha, Candi-candi,
tingkat bawanda dan barang-barang perhiasan dari emas juga yang
menuturkan bahwa Dieng merupakan pusat kebudayaan, Hindhu tertua yang
bersejarah perlu sekali dilestarikan dan menurut beliau juga,
kepustakaan tentang Dieng ada Leiden Belanda.
Permulaan sejarah Wonosobo ditengarai dengan datangnya 3 tokoh pada awal
abad ke 17 atas dawuh Panembahan Senopati, yaitu Kyai Kolodete, Kyai
Walik, Kyai Karim. Ketiganya datang ke Wonosobo dengan sanak
keluarganya. Sesaat itu kondisi Wonosobo masih merupakan hamparan hutan
belantara yang amat menakutkan, 2 gunung pengayom mengawasi dari timur,
gunung sumbing dan Gunung sindoro, singkat kata jarang orang berani
mengarungi hutan kawasan Wonosobo, bebasan “ SATO MARA KEPLAYU, JANMA
MARA JATI”.
Tiga tokoh di atas diyakini keberaniannya telah berhasil mendirikan kota
Wonosobo dengan peran masing-masing ialah: Kyai Walik (putra Tumenggung
Kertowaseso/ Reden Burhanuddin Senepan) sebagai tokoh perancang kota,
Kyai Karim (Panembahan Kasih Kramat) sebagai tokoh yang mampu meletakkan
sendi-sendi dasar pemerintahan, sementara itu Kyai Kolodete ahli dalam
ilmu kedigdayaan dan urusan lelembut. Namun Kyai Kolodete dikenal
sebagai pennguasa di daerah Dataran Tinggi dieng.
Tonggak sejarah Kabupaten Wonosobo dimulai dengan pemerintahan yang
dipimpin oleh Raden Muh. Ngarpah (محمد عرفة) sebagai Bupati pertama
dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung(KRT) Setjonegoro.
Wonosobo merupakan Kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Purworejo,
Kabupaten Batang, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Kebumen.
PENETAPAN HARI JADI WONSOBO
A. Memepertimbangkan bahwa :Hari Jadi” pada hakekatnya merupakan awal
daripada sejarah suatu bangsa/Negara dan sejarah itu sendiri merupakan
guru abadi bagi suatu Bangsa/Negara/Daerah yang sedang membangun.
Disamping itu dengan ditetapkannya Hari Jadi Kabupaten Wonosobo maka
diharapkan semangat membangun darahnya dalam rangkaian satu kesatuan
dengan pembangunan Negara Republik Indonesia.
B. Tanggal 24 Juli tahun 1825 merupakan hari jadi Wonosobo., berdasarkan
hasil penelitian dari fakultas Sastra Indonesia UGM Yogyakarta yang
dipimpin oleh Dr. Joko Surya serta hasil seminar tahun 1994 yang diikuti
oleh para ahli yang terkait dan para tokoh masyarakat Wonosobo.
TITI MANGSA
Hari jadi Kabupaten wonosobo ditandai dengan Surya Sengkala “PANDHAWA MULAT HASTA NYAWIJI: yang bermakna sebagai berikut:
PANDHAWA bermakna 5
MULAT bermakna 2
HSTA bermakna 8
NYAWIJI bermakna 1
Jadi Pandawa Mulat Hasta Nyawiji (1825) bermakna menyatunya pemimpin
daerah kabupaten Wonosobo disimbulkan dengan Muspika Plus ( Bupati,
Kodim, Polres, Kejaksaan dan Ketua Pengadilan) merupakan satu kesatuan
yang tidak bias dipisahkan dalam membangun Wonosobo.
BUPATI DARI MASA KEMASA
1. KRT SETJONEGORO PERIODE 1825 – 1832
2. Tumenggung R. MANGOENKOESOEMO PERIODE 1832 – 1857
3. Tumenggung R. KERTONEGORO PERIODE 1857 – 1863
4. Tumenggung TJOKROHADISOERDJO PEERODE 1863 – 1869
5. Tumenggung SOERJOHADIKOESOEMO PERIODE 1869 – 1898
6. R. Tumenggung SOERJOHADINEGORO PERIODE 1898 – 1919
7. Adipati R.A SOSROHADIPRODJO PERIODE 1920 – 1944
8. Bupati R. SINGGIH HADIPOERO PERIODE 1944 – 1946
9. Bupati R. SOEMINDRO PERIODE 1946 – 1950
10. Bupati R. KADRI PERIODE 1950 – 1954
11. Bupati R. OENAR SOERJOKOESOEMO PERIODE 1055 –
12. Bupati R. SANGIDI HADISOETIRTO PERIODE 1955 – 1957
13. Kepala Daerah RAPINGOEN WIMBIHADI S PERIODE 1957 – 1959
14. Bupati R. WIBOWO HELLY PERIODE 1960 – 1967
15. Bupati Kepala Daerah Drs. DARIDJAT A.N.S PERIODE 1967 – 1974
16. Pj. Bupati Kepala Daerah R. MARJABAN PERIODE 1974 – 1975
17. Bupati Kepala Daerah Drs. SOEKANTO PERIODE 1975 – 1985
18. Bupati Kepala Daerah Drs. POEDJIHARDJO PERIODE 1985 – 1990
19. Bupati Kepala Daerah H. SOEMADI PERIODE 1990 – 1995
20. Bupati Kepala Daerah Drs. H. MARGONO PERIODE 1995 – 2000
21. Bupati Drs. TRIMAWAN NUGROHADI PERIODE 2000 – 2005
22. Bupat Drs. KHOLIQ ARIF PERIODE 2005- sekarang