Syekh Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang
paling menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Tahun kelahiran Imam
Junaid tidak dapat dipastikan. Tidak banyak dapat ditemui tahun
kelahiran beliau pada biografi lainnya. Beliau adalah orang yang terawal
menyusun dan membahas tentang ilmu tasawuf dengan ijtihadnya. Banyak
kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu tasawuf berdasarkan kepada
ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi
Imam Junaid adalah seorang ahli niaga yg kaya raya. Beliau memiliki
sebuah gedung tempat beliau berdagang di kota Baghdad yang ramai
pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan
dengan mengurusi dagangannya sebagaimana para pedagang lain yang kaya
raya di Baghdad.
Waktu berdagangnya sering cuma sebentar saja karena lebih mengutamakan pengajian murid-muridnya yang haus akan ilmu pengetahuan.
Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan
kuliahnya. Banyak penduduk Baghdad datang ke masjid untuk mendengar
kuliahnya sehingga penuh sesak.
Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau ridha dan bersyukur kepada
Allah SWT dengan segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Beliau
tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber
pekerjaannya sebagai pedagang.
Beliau selalu membagi-bagikan hasil dagangannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah.
Bertasawuf Ikut Sunnah Rasulullah saw, begitulah fatwa beliau.
Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada al-Quran dan as-Sunnah.
Beliau sentiasa merujuk kepada al-Quran dan sunnah Rasulullah saw dalam
setiap pengajiannya.
Beliau pernah berkata:
“Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang sentiasa mengikuti
perjalanan Rasulullah saw. Siapa yang tidak menghafal al-Quran, tidak
menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan guru dalam bidang tasawuf
ini.”
Kelebihan dan Karamah
Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah. Di antaranya ialah
pengaruhnya yg kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran
murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri dari orang-orang biasa
malah semua golongan menyukainya.
Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli
Fiqih, ahli politik dan sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah
angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.
Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik
Setiap insan yang ingin mencapai keridhaan Allah pastinya akan menerima
ujian dan cobaan. Imam Junaid menerima ujian dari beberapa orang
musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk
menjatuhkan citra Imam Junaid.
Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar
membenci Imam Junaid. Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran
Imam Junaid tidak berhasil.
Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu yang bisa memalukan Imam Junaid.
Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk memikat
Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun
beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk.
Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan oleh Imam Junaid yang
sedikitpun tidak mengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan
dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau tidak suka
ibadahnya diganggu oleh siapapun. Beliau melepaskan satu hembusan
nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah.
Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati.
Khalifah yang mendapat berita kematian wanita itu akhirnya marah kepada
Imam Junaid karena menganggapnya sebagai suatu perbuatan yang melanggar
hukum.
Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk memberikan penjelasan di atas
perbuatannya. “Mengapa engkau telah membunuh wanita ini?” tanya
khalifah.
Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang
diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha
untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40 tahun,”
jawab Imam Junaid.
Wafatnya
Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297
Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi As-Syibli, salah satu dari
muridnya.
Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam
Junaid membuka matanya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah
melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata.”
PEMIKIRAN TASAWUF AL-JUNAYD AL-BAGHDADI
Pendahuluan
Tasawuf merupakan ungkapan pengalaman keagamaan yang bersifat subjektif
dari seseorang dalam menanggapi mendekatkan diri kepada Allah dengan
menitikberatkan pada aspek pemikiran dan perasaan. Bahkan tasawuf banyak
juga menyinggung akan penyatuan diri dengan Tuhan serta menjalankan
konsep zuhud di dunia. Akan tetapi Secara umum dapat dikatakan bahwa
tasawuf itu merupakan usaha akal manusia untuk memahami realitas dan
akan merasa senang manakala dapat sampai kepada Allah SWT.
Artinya, orang yang melakukan tasawuf akan mengalami ketenangan pada
dirinya. Karena hal itu telah dijamin oleh Allah didalam al-Qur’an
bahwasanya ketika mengingat Allah. Maka ia akan mengalami ketenangan
dalam hatinya. Apalagi didalam Tasawuf terdapat ajaran-ajaran yang
menuntut agar ia selalu ingat kepada Allah, agar ia bisa menyatu
denganNya.
Dalam aliran taswuf, Banyak aliran-aliran tasawuf didalam Islam yang
antara satu dan lainnya tidak sama dalam titik tekannya, yang kadangkala
membuat para pengikutnya saling mengklim bahwa ajarannyalah yang benar.
Sehingga dengan demikian, dalam makalah ini akan membahas mengenai
tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi. Yang corak pemikiran tasawufnya tidak
terlepas dari al-Qur’an dan Hadis serta adanya hubungan antara ma’rifat
dan syariat, dalam artian keseimbangan keduannya sangatlah penting dalam
ranah tasawuf itu sendiri agar sampai pada bagaimana bisa bersama Allah
SWT.
Biografi Al-Junayd al-Baghdadi
Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri,
lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga
Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq.
Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati
dan Haris al-Muhasibi.
Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara
ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah
yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad.
Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas
ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran
agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia
meninggal tahun 297 H / 298 M. dan dianggap sebagai perintis dari
tasawuf yang bercorak ortodoks.
Pengertian tasawuf meneurut Junayd al-Baghdadi dan tokoh lainnya
Mengenai penegertian tasawuf, Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan
bahwasanya tasawuf ialah bahwa engkau bersama Allah tanpa penghubung.
Sementara menurut Basyuni mendefinisikan tasawuf ialah kesadaran murni
yang mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan yang sungguh-sungguh,
menjauhkan diri dari kehidupan dunia dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.
Akan tetapi Al-Junayd al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia membagi definisi tasawuf ke dalam empat bagian, yaitu:
1. Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.
2. Tasawuf adalah Melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk.
3. Tasawuf adalah Melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah.
4. Tasawuf adalah Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.
Sehingga dari definisi-definisi taswuf diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya tasawuf ialah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
dengan jalan menyucikan diri dari segala sesutu yang dapat mencegah
untuk dekat kepadaNya. Baik yang berupa perintah maupun yang dilarang
oleh Allah SWT.
Pemikiran dan Ciri Tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi
Sebelum ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi, terdapat
Pandangan-pandangan para sufi cukup radikal, memancing para yuris
(fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul
pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih
memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam
tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku
tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at.
Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai
orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak
penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya
dilarang.
Dari adanya hal itu, Al-Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih
lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Junayd, tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh
kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari
segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.
Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Al-Junayd
al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at
dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan
tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syari’at yang
tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang
tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak. Syari’at datang
dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan
kepada yang Haq (Allah).
Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang
telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian
dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat.
Al-Junayd dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap
radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada
ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.
Hal itu dapat dilihat pada pemikirannya yang disesuaikan dengan firman Allah:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau
berbuat kerusakan di bumk Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.” (Surah AI-Qashash : 77).
Dimana, pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi
yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk
mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli
dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan
urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun
terkadang ia tidak terlalu peduli.
Karena diakuiatau tidak bahwasanya Tasawuf sebenarnya telah ada sejak
Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya
dengan tasawuf secara gamlang. Hal itu dapat terlihat dari pola hidup
serta tata cara beliau dalam segala bentuk hidupnya yang menampilkan
dengan penuh kesederhanaan. Namun pada perkembangan selanjutnya tasawwuf
mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh tasawuf
dengan model masing-masing.
Begituhalnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya
dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan hadis. Artinya
tasawuf Junaid al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat
demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan
ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri
atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara
orientasi ukrawi dan moralitas.
Dari ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya,
orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai
kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan
sampai kepada Allah SWT.
Pandngan Al-Junayd al-Baghdadi terhadap zuhud
Pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang
meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar
kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan
urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan
duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia
tidak terlalu peduli.
Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak
mengartikan zuhud seperti itu. Menurut Al-Junayd al-Baghdadi (210-298
H), misalnya, justru sangat tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut
dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang, termasuk sufi, pada
kondisi yang tidak menggembirakan. Padahal konsep Zuhud adalah dimana
kita tetap memiliki harta, namun tidak terlalu mencintainya. Hal ini
seperti yang dikatakan Husyain Assabuni bahwa tidak ada zuhud itu
meninggalkan harta, akan tetapi bagaimana menggantinya dengan jalan rasa
takut didalam hati dan tidak thama’.
Aplikasi zuhud, menurut Al-Junayd al-Baghdadi, bukanlah meninggalkan
kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan
kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi,
tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk
diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki
yang lebih dari cukup. ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang
lebih memerlukannya.
Berdasarkan pemahaman dan penghayatan Junayd al-Baghdadi tentang zuhud
ini, maka tidak berlebihan kalau kemudian ia disebut sebagai “Sufi yang
moderat”. Kemoderatan Junayd al-Baghdadi dalam bertasawuf jelas terlihat
ketika ia bicara soal zuliud misalnya. Karena. zuhud merupakan pangkal
atau dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang
diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus
terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid. Untuk menjadi zahid,
seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda yang selama
ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kepada
duniawi diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang
paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tidak dapat mendekati
dan bersatu dengan Tuhan.
Menurut Junayd al-Baghdadi, setiap Muslim, termasuk juga para sufi,
seharusnya mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini
seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas. tapi
juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis.
Kata Al-Junyad, “Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di
masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk
menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada
pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena
sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang
kehidupannya sehari-hari. Dimana jika sudah mendapat nafkah, diharapkan
mau membelanjakannya di jalan Allah SWT.”
Konsep taswuf Al-Junyad sperti itu dapat diterapkan pada keadaan zaman
sekarang ini, karena pada kehidupan modern kali ini tidak mungkin
seseorang melakukan zuhud yang meninggalkan kehidupan dunia secra total
karena masih banyaknya tanggung jawab yang harus di pikilnya serta
diperlukan adanya interaksi dengan banyak orang serta urusan dunia yang
lain. Maka dengan demikian konsep zuhud yang ditawarkan Al-Junyad yang
sangat cocok dengan tantangan zaman kali ini.
Selain itu, meski Al-Junayd seorang sufi, ia tidak melulu membicarakan
soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan
dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat Al-Junayd agak
berbeda dengan para sufi pada umumnya.
Misalnya. Al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul
di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan
orang yang sakit jiwa ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran
jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih
mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika
dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah
menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan jika jiwa seorang sudah
rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang
menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke
dalam neraka.
Al-Baghdadi dalam hal Ittihad dan Hulul
Berbicara Ittihad yang dikembangkan oleh al-Busthami dan Hulul yang
dipopulerkan oleh al-Hallaj atau konsep cinta dan menyatu dengan Allah
sangatlah menarik dalam taswwuf. Sehingga, Radikalisme dan liberalisme
tasawuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad dan hulul tersebut, yang
keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.
Keliaran pemikiran semacam itu dalam pandangan Junayd al-Baghdadi,
tidaklah benar. Baginya, dunia tasawuf harus tetap berpijak pada
realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf
hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan demikian eksistensi
konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah).
Menurut Al Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan
ma’rifah.
Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa
mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk
mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua
sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya. Walau begitu, kata
Al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya
terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat
Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.
Di sinilah Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri
manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat
tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada
persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini
seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki
hubungan dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat
Tuhan dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis
sedang berada dengan Tuhan.
Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak
antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya
semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehendak pribadi
manusia lenyap, digantikan dengan kehendakNya.
Ketika Al-Junayd al-Baghdadi ditanya mengenai al-Haaq yang dilontarkan
pada diri al-Hallaj. Ia tidak mengartikan hal itu langsung kepada arti
Allah SWT, Tetapi ia mengartikan al-Haqq itu merupakan lawan dari
al-Bathil. Al-Hallaj dibunuh dijalan yang benar.
Artinya, kata al-Haqq yang dikatakan oleh al-Hallaj tersebut menandakan
bahwa ia adalah sesuatu yang benar bukanlah Allah SWT. Terlepas dari
itu, dapat kita lacak apakah pernyataan al-Hallaj itu ada latar belakang
dari apa yang dikatakan. Karna pada saat itu terdapat suatu kekuasan
yang besar yang mungkin kebijakannya lepas dari ajaran agama, yang
mendorong dirinya berkata demikian.
Al-Junayd al-Baghdadi bahkan berkata, bahwa yang mengetahui Allah
hanyalah Allah sendiri. Demikian pula dengan orang yang dicintai Allah
(Nabi Muhammad) yang telah dibukakan tabir 70.000 tabir hijab, hanya
tinggal satu hijab antara ia dengan-Nya.
Hal itu dapat kita pahami dalam perjalanan Rasulullah saat kejadian
Mi’raj. Begitu halnya dengan Nabi-Nabi lain disaat ia berhadapan dengan
Allah, beliau tidak mampu melihat secara langsung. Apalagi manusia biasa
yang derajatnya jauh dari Derajat kenabian itu sendiri.
Bahakan Al-Junayd al-Baghdadi memperlihatkan sikap cukup keras terhadap
orang yang mengabaikan syari’at. Ketika diceritakan kepadnya tentang
orang yang telah mencapai ma’rifat, kemudian ia dibebaskan oleh Allah
dari amal ibadah. Ia justru berkata bahwa orang tersebut sebenarnya
berada dalam lumuran dosa dan mereka lebih berbahya dari pada pencuri
serta pembuat keonaran.
Dalam hal ini, Al-Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwasanya
walaupun orang telah menyatu dengan Allah SWT. Baginya tetap dikenakan
kewajiban melaksankan aturan-aturan syari’at, yang menandakan bahwa
Manusia tetaplah manusia yang tidak akan berupah posisinya menjadi Allah
SWT. walaupun ia sedang merasa dalam keadaan Ittihat ataupun Hulul itu
sendiri.
Maka dengan demikian, untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut
Al-Junayd al-Baghdadi. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan
nafsu, dan rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan.
Setelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali
tersadar. Dan selanjutnya harus mengajak umat dan membimbingnya ke jalan
yang diyakininya. Maksud dari apa yang ditawarkan Al-Junyad ini,
diharapkan agar oaring yang bertaswuf harus seimbang antara urusan dunia
dan ahirat serta bagaimana didalam perakteknya adanya keterkaitan
antara syariat dan hakekat itu sendiri.
Rasa cinta di dalam diri adalah sebuah anugerah yang di berikan sang
kholiq kepada hambanya. Cinta kepada anak,istri,harta benda dan pangkat
adalah sebuah keindahan yang ada di dunia ini, apabila manusia bisa
meletakkan perhiasan-perhiasan [dunia seisinya] tepat pada porsinya maka
semua perhiasan itu akan memberi cahaya bagi kehidupan.
Sebaliknya bila penempatannya bukan pada porsinya, maka semua perhiasan itu sewaktu-waktu membawa bencana dan kehancuran.
Fiman-NYA : “ Dijadikan indah pada [pandangan] manusia KECINTAAN kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas,perak,kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah semua PERHIASAN DUNIA, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali terbaik.” [ QS.Ali imran [3] : 14 ].
Dalam meletakkan cinta diperlukan kecerdasan ruhani, mereka yang
memiliki kecerdasan ruhani memiliki prinsip yang menampilkan sosok
dirinya sebagai insan yang berakhlaq, mereka tahu bagaimana meletakkan
cinta. Para ahli TASAWUF yaitu ahli sufi [Arif-Billah] berlandaskan
Al-Qur’an dan Sunnah dengan lugas mengatakan, “ Mencintai pemilik dan
pemberi hiasan jauh lebih mulia dan jauh lebih berharga dibanding
mencintai sekedar hiasan saja “. Ungkapan tersebut berlandaskan Firman
Allah Swt :
قل متا ع الد نيا قليل والا خرة خير لمن اتقى ولا تظممو ن فتيلا انساء
“ Katakanlah olehmu [Hai Muhammad] : Hiasan dunia ini hanya sebentar
[terlalu sedikit] dan [perhiasan Akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertaqwa “. [qs.An-Nisa’ [4] : 77 ]
Alkisah,seorang sufi dari PERSIA yang bernama Abu bakar bin Dulaf ibnu
juhdar Asy-Syibly. Nama asy-syibli di nisbatkan kepadanya karena ia
dibesarkan di kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Beliau di
lahirkan pada Tahun 247 H. Di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang
cukup terhormat. karena kepandaian dan kedalaman ilmunya membuat
karirnya menanjak pesat, ia menduduki beberapa jabatan
Penting selama bertahun – tahun. Antara lain : menjabat sebagai Gubernur
di Provinsi Dermaven. Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu bakar
Asy-Syibly di lantik oleh Kholifah dan secara resmi dikenakan
seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, ditengah jalan pejabat
baru itu bersin dan batuk –batuk seraya mengusapkan jubah baru itu
kehidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada
Kholifah. Dan Kholifahpun memecat langsung dan menghukumnya. Asy-Syibly
pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa di
berhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini
membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Kholifah
dan berkata :
“ Wahai Kholifah, Engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan
di perlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi
nilai jubah itu.
Sang MahaRaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di
samping CINTA dan PENGETAHUAN. Bagaimana DIA akan suka kepadaku jika aku
menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia ?
“.
Sejak saat itu Abu bakar asy syibly meninggalkan karir dan jabatannya,
dan ia ingin bertaubat. Dalam perjalan membersihkan hatinya ia bertemu
dengan seorang ulama sufi yang bernama Junaid Al Baghdadi,
asy syibly berkata : “ ENGKAU DIKATAKAN SEBAGAI PENJUAL MUTIARA, MAKA BERILAH AKU SATU ATAU JUALLAH KEPADAKU SEBUTIR “.
Maka Junaid Al Baghdadi pu menjawab, “ JIKA KUJUAL KEPADAMU, ENGKAU
TIDAK SANGGUP MEMBELINYA. JIKA KUBERIKAN KEPADAMU SECARA CUMA-CUMA,
KARENA BEGITU MUDAH MENDAPATKANNYA ENGKAU TIDAK MENYADARI BETAPA TINGGI
NILAINYA. LAKUKANLAH APA YANG AKU LAKUKAN, BENAMKANLAH DULU KEPALAMU DI
LAUTAN, APABILA ENGKAU DAPAT MENUNGGU DENGAN SABAR, NISCAYA KAMU AKAN
MENDAPAT MUTIARAMU SENDIRI. “
Lalu Asy-syibli berkata, “ lalu apa yang harus kulakukan sekarang ? ” ,
Imam Junaid Berkata : hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun
[ untuk mengetahui nilai diri ] dan Mengemislah lalu sedekahkan uangnya
selama setahun [ untuk membersihkan keangkuhan diri ] .“
Beberapa tahun telah berlalu dalam menjalani perintah sang Guru meskipun
penuh dengan beribu-ribu kesulitan tapi ia jalani dengan penuh cinta
[ikhlash] . akhirnya abu bakar asy-syibli menemukan mutiara di dalam
dirinya. sehingga ia mengalami RASA CINTA yang teramat dalam di lubuk
hatinya [ rindu kepada Allah ].
Suatu ketika disaksikan banyak orang, beliau berlari sambil membawa
obor. Hendak kemana engkau wahai asy-syibli? , aku hendak membakar
ka’bah, sehingga orang-orang dapat mengabdi kepada yang memiliki ka’bah
dan akan aku BAKAR SURGA DAN NERAKA,sehingga manusia benar-benar ibadah
hanya kepada Allah Swt [bukan yang lain-NYA]. Dalam keadaan MABUK CINTA
yang dalam kepada Allah, ia selalu menyebut asma Alaah dan disetiap
tempat yang ia temui, ia menuliskan lafadz Allah. Tiba-tiba sebuah suara
berkata kepadanya,” Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama
itu? Jika engkau merupakan pencari sejati, carilah pemiliknya! “
Kata-kata itu begitu menyentak Asy-sybly, sehingga tak ada lagi
ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya RASA CINTA yang
menguasainya hingga ia menceburkan dirinya ke sungai Tigris dan
akhirnya gelombang sungai membawanya kembali ketepi. Kemudian ia
menghempaskan tubuhnya kedalam api, namun api tersebut kehilangan daya
untuk membakar. Sehingga tubuhnya utuh tak terbakar sedikitpun. Lalu ia
mencari tempat dimana sekelompok singa berkumpul lalu ia berdiam diri
supaya dimangsa oleh singa tersebut, tapi singa-singa itu malah berlari
tunggang langgang menjahui dirinya. Kemudian tanpa ada rasa takut
sedikitpun ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkeram
dan menurunkannya ketanah dengan selamat.
Kegelisahannya semakain memuncak beribu-ribu kali lipat, sehingga ia
berteriak,” terkutuklahia, yang tidak di terima oleh air maupun api,
yang ditolak oleh binatang buas dan pegunungan! “ lalu terdengar sebuah
suara. “ Ia yang diterima oleh Allah, tidak di terima oleh yang lain
[makhluk-NYA].
Syeikh Al-ghozali menuliskan dalam kitabnya “ Raudhah al-Tholibin wa
Umdah al-Salikin “ bahwa Al – Wushul adalh tersibaknya keindahan Al Haq
kepada hamba,sehingga membuatnya luruh di dalamNYA. Jika dia melihat
pengetahuan yang di milikinya, yang tampak hanyalah Allah swt, dan dia
melihat ‘Himmah’ [keinginan kuat]nya,tidak ada Himmah selainNYA. Maka
secara totalitas dia sibuk dengan kesaksian [ al-Musyahadah] dan
keinginan kuat [Himmah]. Dan sama sekali tidak pernah berpaling dari
keduanya, sampai-sampai dia tidak memiliki kesempatan untuk membenahi
lahiriyahnya dalam bentuk-bentuk ibadah atau tidak sempat melihat
batinnya. Baginya segala sesuatu yang di kerjakannya tampak suci.
Sebagian kaum sufi mengatakan :
وان طر فى موصول برء يته وان تبا عد عن مثواى مثوا ه
“ Sesungguhnya batas akhirku adalah dengan melihatNYA,sekalipun aksis [posisi]-NYA kian lama kian jauh dari aksis-ku.
Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an, firmanNYA :
قل ان كنتم تحبو ن الله فاتبعو نى يحببكم الله ويغفرلكم د نو بكم والله غفو ررحيم العمران
“ Katakanlah: “ jika kamu[benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku.
niscayaAllah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” Allah Maha pengampun
lagi Maha penyayang.” [ qs.Ali imran [3] : 31 ].
Imam Qusyairi mengatakan bahwa Mahabbah [cinta] adalah nikmat yang
berupa kecintaan Allah kepada hambaNYA yang DIA kehendaki secara khusus.
Apabila nikmat tersebut untuk semua hambaNYA secara umum maka di
namakan rahmat.
GAMBARAN CINTA AHLI MAHABBAH
Raja Andalusia, Al-Hikam bin Hisyam bin Abdurrahman Ad-Dakhil, bersyair :
karena cinta……. Ia menjadi hamba, padahal sebelumnya ia adalah raja.
Kegirangan istana tiada lagi menyertai. Ia dipuncak gunung menyendiri
sendiri pipi tertempel di tanah berdebu. Seakan bantal-bantal sutra
untuk bertumpu. Begitulah kehinaan menimpa orang merdeka. Jika cinta
melanda, ia laksana hamba sahaya.
Junaid al-baghdadi, mengartikan kata yang bernilai sufistik ini dengan
masuknya sifat-sifat Zat yang di cintai mengganti apa yang ada di dalam
jiwa sang pencinta, mendorong seorang pencinta untuk tidak mengingat
selain Zat tersebut serta melupakan dan mencampakkan secara total
sifat-sifat yang dulunya melekat pada dirinya.
Ibnu Arabi dalam puisi-puisi pemandu rindu mengisahkan manakala jiwa
berpisah dengan raga, ia selalu bernostalgia dan rindu pada perpaduan
itu, meskipun pada hakekatnya mereka berdua, namun tampak sebagai satu
pribadi. Kerinduan itu tidak lain karena jiwa memperoleh pengetahuan dan
apa saja yang ada dalam kehidupan melalui raga. Namun,karena sifat jiwa
yang halus,lembut dan bersifat cahaya, maka tidak dapat di lihat oleh
mata. Bila tidak karena rintihan raga, maka takkan pernah terasa
kesaksian jiwa. Inilah gambaran jiwa ataupun keadaan hati.
Syeikh Ibnu Atho’illah bermunajat, “ Ya illahi, alam benda ini telah
mendorong aku untuk pergi kepada-MU dan pengetahuanku terhadap
kemurahan-MU itulah yang memberhentikan aku untuk berdiri di depan
pintu-MU.
Rabi’ah al-adawiyah seorang sufi dari Bashrah ketika berziarah kemakam
Rosulullah saw pernah mengatakan Maafkan aku ya Rosul, bukan aku tidak
mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang
Lain,karena telah penuh cintaku hanya kepada Allah swt .“ tentang cinta
itu sendiri Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari
segala hal yang di cintainya [ bukan berarti Rabi’ah tidak cinta kepada
Rosul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa
cinta kepada Allah adalh bentuk integrasi dari semua bentuk cinta
termasuk cinta kepada Rasulullah ].
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Saiyidina Husain [cucu Rosulullah
saw] bertanya kepada ayahnya [saiyidina Ali], “ apakah engkau mencintai
Allah ? Ali menjawab, “ ya”. Lalu Husain bertanya lagi, “apakah engkau
mencintai kakek dari ibu?” Ali menjawab kembali,”ya”. Husain bertanya
lagi, “ apakah engakau mencintai aku dan ibuku? Ali menjawab “ya”.
Terakhir, Husain yang polos itu bertanya,” Ayahku,bagaimana Engkau
menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” kemudian saiyidina Ali
menjelaskan,”Anakku, pertanyaanmu hebat sekali! Cintaku pada kakek dari
ibumu, ibumu dan kamu sendiri adalah karena cinta kepada Allah swt.
Setelah mendengar jawaban dari ayahnya Husain jadi tersenyum ngerti.
Rumusan cinta Rabi’ah termaktub dalam do’anya, “ Ya Allah, jika aku
menyembah-MU karena takut neraka maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika
aku menyembahmu berharap surga, maka campakkanlah aku dari sana, tapi
jika aku menyembah- MU karena Engkau semata, maka janganlah Engkau
sembunyikan keindahan-MU yang abadi. “ dalam Al-Qur’an Allah swt
berfirman :
ومن الناس من يتخد من دو ن الله اندادا تحبو نهم كحب الله والدين امنو اشد حبا الله البقراه
“ Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada
Allah swt.[ hatinya tertutup untuk mencintai selain-NYA].” [qs. Al
baqarah [2] : 165 ]
Demikianlah sekelumit sejarah para pecinta Allah swt yang perjalanannya
begitu menyayat jiwa, penuh onak dan duri dalam setiap langkahnya tapi
tidak menyurutkan keinginan besarnya untuk bertemu dengan-NYA. para
KEKASIH ALLAH SWT jiwanya terjaga dari hal-hal yang dapat menyeret
keimanannya, dengan ilmu pengetahuannya yang merasuk di dalam dada
mengkristal bagaikan batu karang. Para KEKASIH Allah musuhnya tak
terkira banyaknya dan sahabatnya hanya sedikit. Itulah SUNNATULLAH.
Cepat susul barisan mereka mumpung masih ada kesempatan, renungkanlah firman Allah swt di bawah ini :
قل ان كا ن ابااؤ كم وابنا ؤكم واخوا نكم وازوا جكم وعشيرتكم واموال اقتر
فتموها وتجا رة تخشون كسا دها ومسكن ترضونها احب اليكم من الله ورسوله وجها
د فى سبيله فتربصوا حتى ياء تي الله بامره والله لا يهدى القوم الفسقين
اتوبه
“ katakanlah : jika bapak –bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu,
istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu kwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan
RosulNYA dari jihad di jalan NYA [ mencari keridhoan-NYA]. Maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNYA. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. “ [ qs. At-Taubah [9] : 24 ].
“ katakanlah : “ jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,saudara-saudaramu
,istri-istri kaum keluargamu , harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu kuwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rosul-NYA dari jihad di jalan-NYA [mencari keridhoan-NYA]. Maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-NYA. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. “ [qs. At-Taubah [9] : 24]