Akhir akhir ini kita semua mengenal Nama Bacan hanya jenis batu mulia
yang di jual belikan di berbagai daerah dan berbagai bentuknya. Tanpa
kita mencari Bacan itu sebenarnya apa dan kok batu tersebut dinamakan
dengan nama itu.
Ada baiknya kita mengetahui jejak sejarah masa lalu di wilayah Pulau Bacan kabupaten Halmahera tersebut.
Sejarah Kabupaten Halmahera Selatan berawal dari sejarah tentang
“Jazirat al-Mulk”yaitu nama kepulauan di ufuk timur bagian utara dari
kepulauan Indonesia. Istilah“Jazirat al-Mulk” yang diberikan para
saudagar Arab ini mempunyai arti: negeri raja-raja. Selain itu, dikenal
juga, istilah“Jazirah tuil Jabal Mulku“ dengan Pulau Halmahera sebagai
pulau induk dari di kawasan ini.
Dari kata Muluk dan Mulku inilah yang kemudian menjadi Moluco menurut
ucapan dan ortografi orang Portugis, Moluken menurut orang Belanda dan
terakhir orang Indonesia sendiri disebut Maluku.
Catatan sejarah tentang “Jazirah tuil Jabal Mulku“ berlanjut dengan
kemunculan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di
Maluku) yang terdiri atas:
1. Kesultanan Bacan
2. Kesultanan Jailolo
3. Kesultanan Tidore
4. Kesultanan Ternate
Bacan,arti harfiahnya adalah:(mem-) baca. Kesultanan Bacan adalah suatu
kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku.
Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang
bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup
luas hingga ke wilayah Papua. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo,
Misool dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi
pemerintahan kerajaan Bacan.
Sultan Ternate yaitu Sultan Musaffar Syah menyatakan bahwa makna dari“
bacan” atau “membaca” adalah memasukkan sesuatu, atau usaha sadar yang
dilakukan seseorang untuk memasukkan sesuatu ke dalam otaknya untuk
menjadipengetahuan. Makna tersebut tidak bisa dilepaskan juga dengan
tugas dan fungsi Sultan
Bacan dalam Kesultanan Moloku Kie Raha yaitu: memasok logistik. Bacan
dalam beberapa manuskrip sejarah sering juga ditulis sebagai Bachian,
Bachanatau Batjan; dan diduga sudah eksis sejak tahun 1322. Kesultanan
Bacan berpusat di Pulau Bacan. Wilayah Kesultanan Bacan pada saat
jayanya cukup luas, yaitu dari Maluku hingga ke wilayah Papua.Banyak
kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain berada di
bawah administrasi pemerintahan Kesultanan Bacan pada masa jayanya.
Pengaruh bangsa Eropa pertama di Pulau Bacan diawali oleh Portugis yang
kemudian membangun benteng pada tahun1 558. Bernevald Fort adalah
benteng Portugis yang masih utuh berdiri di Pulau Bacan sampai sekarang.
Pada tahun16 09 benteng ini diambil alih oleh VOC
yang menandai awal penguasaan Hindia Belanda di Pulau Bacan. Pada tahun1
889 sistemmo narki Kesultanan Bacan diganti dengan sistem
kepemerintahan di bawah kontrol Hindia Belanda.
Pulau Bacan tidak hanya mempunyai peran dalam produksi cengkeh dan pala
pada masa itu, akan tetapi juga menjadi pusat kontrol atas produksi dan
distribusi cengkeh dan paladi Ternate, Tidore, Moti, Makian dan
Halmahera.
Awal Mula Kerajaan Bacan
Berbeda dengan Ternate dan Tidore yang banyak menghiasi rekaman-rekaman
kesejarahan, Bacan tidak banyak memiliki catatan historis. tidak pernah
menulis secara rinci mengenai Bacan, dibandingkan ketika menulis tentang
Ternate atau Tidore. Bahkan, ilustrasi Valentijn tentang Makian dan
Jailolo jauh lebih rinci dari pada Bacan dalam buku tersebut.
Kedudukan awal Kerajaan Bacan bermula di Makian Timur, kemudian
dipindahkan ke Kasiruta lantaran ancaman gunung berapi Kie Besi.
Kebanyakan rakyat Bacan adalah orang Makian yang ikut dalam evakuasi
bersama rajanya.
Menurut perkiraan, Kerajaan Bacan didirikan pada 1322. Tidak jelas
bagaimana proses pembentukannya, tetapi bisa ditaksir sama dengan
kerajaan-kerajaan lainnya di Maluku, yakni bermula dari pemukiman yang
kemudian membesar dan tumbuh menjadi kerajaan.
Raja pertama Bacan, menurut hikayat Bacan, adalah Said Muhammad Bakir,
atau Said Husin, yang berkuasa di gunung Makian dengan gelar Maharaja
Yang Bertakhta Kerajaan Moloku Astana Bacan, Negeri Komala Besi Limau
Dolik.
Raja pertama ini berkuasa selama 10 tahun, dan meninggal di Makian. Pada
1343, bertakhta di Kerajaan Bacan Kolano Sida Hasan. Dengan bekerja
sama dengan Tidore, Sida Hasan berhasil merebut kembali Pulau Makian dan
beberapa desa di sekitar pulau Bacan dari tangan Raja Ternate, Tulu
Malamo.
Mata Rantai Penguasa Bacan
Kronik Bacan menyebutkan bahwa Sida Hasan naik takhta menggantikan ayahnya Muhammad Hasan.
Pada masa Sida Hasanlah terjadi evakuasi ke Bacan. Orang-orang Makian
yang dievakuasi ke Bacan menempati kawasan Dolik, Talimau dan Imbu-imbu.
Raja yang berkuasa di Bacan setelah itu adalah Zainal Abidin. Kronik Bacan tidak menjelaskan kapan Sida
Hasan maupun Zainal Abidin berkuasa.
Kemungkinan besar eksis raja atau raja-raja tertentu sebagai mata rantai
yang hilang antara masa Sida Hasan dan Zainal Abidin, karena Sida Hasan
dikabarkan bertakhta pada 1343,
sementara Zainal Abidin pada 1522. Dan hanya tercatat bahwa Zainal
Abidin memiliki dua putera, masing-masing Kaicil Bolatu dan Kaicil
Kuliba. Kaicil Bolatu dikatakan memerintah Negeri Besi (Makian).
Ketika Zainal Abidin wafat, Bolatu kembali ke Kasiruta dan menjadi raja
di sana dengan gelar Bayanu Sirullah, sementara Kuliba kembali ke Negeri
Besi dan menjalankan
pemerintahan di sana. Tetapi, pemerintahannya dirasakan kurang baik oleh
rakyat dan, karena itu, mereka pindah ke Tidore serta diterima kerajaan
tersebut.
Bayanu Sirullah kemudian digantikan oleh Sultan Alauddin I, dan setelah
itu tampuk Kesultanan Bacan dipegang Sultan Muhammad Ali, ayah angkat
Sultan Babullah dari Ternate.
Pemerintahan Muhammad Ali kemudian dilanjutkan Sultan Alauddin II
(1660-1706). Sultan Awaluddin I dan II dikenal sebagai "Sultan
Dubo-dubo", lantaran memiliki postur tubuh yang Jangkung.
Pada masa pemerintahan Alauddin II, Ternate mengembalikan seluruh pulau
Makian kepada Bacan. Alauddin II lalu mengangkat adiknya, Kaicil Musa,
untuk menjalankan pemerintahan Kesultanan Bacan di Makian
Tetapi, pada masa Alauddin II ini juga terjadi skandal yang
menghebohkan: penjualan pulau Obi oleh Sultan Bacan kepada Kompeni
seharga 800 ringgit.
Dikabarkan bawah Alauddin II pernah berkunjung ke Ambon bersama Kapita Lautnya.
Pada 25 Februari 1660, Sultan Alauddin II bersama Kapita Laut Panunusa
menumpang dua juanga dan mendarat di Hila, Ambon. Di sini Alauddin II
bertemu dengan Salahakan Ternate yang ditempatkan di Ambon serta
penguasa Kompeni, Huistart.
Ketika Alauddin II wafat, para bobato Kesultanan Bacan mengangkat Kaicil
Musa sebagai penggantinya. Sultan Bacan ini bergelar Sultan Malikiddin.
Pemerintahan Makian yang ditinggalkan Kaicil Musa, karena
pengangkatannya sebagai Sultan Bacan, diserahkan kepada Kaicil
Tojimlila, yang kemudian wafat di pulau tersebut.
Setelah Sultan Malikiddin meninggal dunia, ia digantikan Kaicil Kie,
yang ketika bertakhta menyandang gelar Sultan Nasruddin. Nasruddin
mengangkat Kaicil Lewan untuk memerintah Makian. Tetapi, masa
pemerintahan Kaicil Lewan merupakan masa pemerintahan Kesultanan Bacan
yang terakhir di Makian.
Sejak saat itu, Makian dianeksasi Ternate dan kekuasaan Bacan tidak pernah lagi kembali ke sana.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa setelah Sultan Alauddin II wafat, ia
digantikan kakaknya Sultan Musom, yang kemudian digantikan oleh
puteranya Mansur. Sultan Mansur dinobatkan pada 19 Juli 1683. Ia adalah
seorang sultan yang cerdas dan memiliki kekuatan fisik yang luar biasa.
Ia juga memiliki keterampilan pandai emas yang dimanfaatkan untuk
membuat perhiasan emas perak bagi Kesultanan Bacan. Pemerintahannya
dijalankan dengan ketat, dan ia berupaya mendidik rakyatnya untuk tidak
bermalas-malasan.
Sultan Mansur digantikan adiknya Musom, yang sebelumnya menjabat sebagai Jogugu (1709).
Ketika bertakhta, Musom berusia 50 tahun. Tetapi, kualitas pribadi Musom
berbeda dari Mansur. Ia tidak secerdas Mansur serta berperangai pemarah
dan pendendam. Pada masa pemerintahannya berjangkit wabah cacar yang
menewaskan ribuan orang. Rakyat Bacan yang sebelumnya tercatat 12.000
jiwa, setelah wabah cacar tinggal 10.000 jiwa. Itulah sebabnya, Sultan
Musom juga digelari "Raja tanpa rakyat."
Yang diketahui sebagai pemegang tampuk kekuasaan Bacan setelah itu
adalah Sultan Tarafannur. Di masa pemerintahan Tarafannur, Bacan
memperoleh lima daerah baru yang masuk ke dalam wilayah kekuasaannya,
masing-masing Gane, Saketa, Obi, Foya dan Mafa (Halmahera Barat).
Pada masa ini pula, Sangaji Gane membawa puterinya bernama Talimal ke
Bacan untuk menjadi Ngofamanyira. Talimal adalah perempuan pertama
Maluku yang menjadi Ngofamanyira.
Tarafannur kemudian digantikan oleh Muhammad Sahaddin.
Kelembagaan Adat dan Sosial Bacan
Ketika Portugis tiba di Maluku (1512), Bacan merupakan salah satu dari
empat kerajaan besar yang ada di Maluku. Dalam jajaran kesultanan
Maluku, Bacan merupakan satu-satunya kesultanan yang berpenduduk
heterogen. Sejak evakuasi kerajaan ini dari Makian, penduduk Bacan
terdiri dari berbagai suku, terutama suku Makian, Galela dan Tobelo.
Penduduk asli Bacan hanya berjumlah sedikit. Bahkan, pada 1850 penduduk
Bacan asli tinggal 400 orang.7 Tiap suku dipimpin kepalanya
masing-masing dan menggunakan bahasanya sendiri-sendiri. Keadaan multi
etnis ini diterima Kerajaan Bacan sebagai suatu hal yang wajar.
Lembaga-lembaga adat dan sistem pemerintahan Bacan hampir sama dengan
yang ada di Kesultanan Ternate dan Tidore. Satu-satunya perbedaan yang
tampak adalah di Kesultanan Bacan terdapat lembaga Sekretaris Kesultanan
yang mendampingi Sultan dalam urusan pemerintahan.
Ia menata administrasi kesultanan, terutama surat keluar-masuk dari dan untuk kesultanan.
Di Kesultanan Bacan, terdapat tiga strata atau kedudukan sosial:
Pertama: Sultan dan anggota keluarganya. Di masa lalu, penguasa Bacan
disebut Koasa Ompu, yang menyandang gelar sultan dan oleh rakyat
biasanya disebut Jou Kolano. Anggota keluarga laki-laki dalam derajat
pertama disebut Kaicil ("pangeran") dan perempuan disebut Boki
("puteri"). Laki-laki yang berhubungan darah dengan Sultan memegang
suatu jabatan yang disebut "Dede."
Kedua: Rakyat jelata disebut Bala. Mereka yang telah menganut agama
disebut "orang soasio", dan yang belum disebut "soa nyagimoi."
Ketiga: Bujangan atau lajang disebut soa ngongare. Pada zaman dahulu, dalam klasifikasi soa ngongare termasuk pula budak.
Kelembagaan Pemerintahan Bacan
Pemerintahan Kesultanan Bacan dijalankan oleh Sultan dengan sejumlah aparatur pemerintah yang dapat dirinci sebagai berikut:
1. Bobato Dalam, dengan sebutan dan hierarki militer seperti Mayor
(khusus untuk dano), Kapiten Ngofa (khusus untuk dano), Kapita Kie
(bangsawan tinggi), empat orang Letnan,
masing-masing dua Letnan Ngofa dan dua Letnan Kie. Di bawah Letnan ada
Alfiris dan Sersan yang mengawal pos penjagaan Sultan, kemudian Kabu
yang mengenakan baju
panjang dan ikat kepala hitam sewaktu menjalankan tugasnya.
2. Bobato Luar, yang menjalankan pemerintahan, khususnya dari kelompok
soasio, misalnya Jogugu yang dibantu para Hukum (hakim) dan Kimalaha
Sapanggala yang mengemban
tugas dari Sultan untuk mengepalai Soa Sanani. Tugas Hukum Kesultanan Bacan tidak berbeda dari tugas seorang kepala polisi.
3. Bobato Akhirat, yaitu pejabat-pejabat agama Islam yang terdiri dari
Kalem (Qodhi Kesultanan) di pusat kesultanan, dibantu sejumlah Imam,
Khatib dan Moding.
Ketiga jabatan terakhir ini juga terdapat di daerah-daerah. Dalam
beberapa hal, Imam bekerja sama dengan Hukum. Sebagai perpanjangan
tangan Jogugu, Imam membentuk pengadilan untuk menyelesaikan sengketa
perdata atau menjatuhkan hukuman pidana. Dalam kasus pidana, eksekusi
baru bisa dilaksanakan setelah memperoleh izin dari Residen. Approbasi
(izin) ini mulai dijalankan setelah Belanda mereorganisasi pemerintahan
Maluku sebagai
sebuah keresidenan yang berpusat di Ternate.
Disamping ketiga kelompok bobato di atas, terdapat juga jabatan-jabatan kesultanan lainnya yang penting, yaitu:
1. Kapita Laut, sebagai panglima militer.
2. Kapala Bangsa, salah seorang dari suku Soasio yang ditugaskan sultan sebagai penanggung jawab atau pelaksana kesultanan.
3. Imam Juru Tulis, Khatib Juru Tulis dan Moding Juru Tulis.
4. Imam Ngofa, Khatib Ngofa dan Dano.
Lembaga Kapita Laut pada awalnya adalah penguasa atas alat-alat
transportasi laut milik kesultanan sewaktu terjadi penaklukan atau
pemadaman pemberontakan.
Dalam keadaan semacam itu, individu tidak dibolehkan memiliki
perahu-perahu besar (juanga), karena semua juanga berada di bawah
pengawasan kesultanan yang dikoordinasi oleh Kapita Laut. Tetapi, dari
sekian banyak lembaga tersebut,
Pemerintah Belanda hanya mengakui lembaga-lembaga berikut:
1. Kapita Laut.
2. Jogugu.
3. Kalem dan bawahannya.
4. Hukum.
5. Kimalaha Sapanggala.
Berbeda dengan Ternate dan Tidore, di mana sultan memiliki hak
prerogatif mengangkat jogugu dan pejabat-pejabatan kesultanan lainnya,
di Bacan hak prerogatif untuk pengangkatan semacam itu tidak dimiliki
sultan. Di Bacan, pejabat-pejabat kesultanan dipilih langsung oleh
rakyat menurut sebuah aturan yang ditetapkan sultan. Alasan dibalik
pemilihan ini adalah pejabat-pejabat tersebut membawa perintah-perintah
kesultanan kepada rakyat dan tidak boleh melawan lembaga-lembaga dan
adat-istiadat negeri.
Bacan dan VOC
Pada 7 Nopember 1653, Bacan membuat perjanjian dengan Kompeni tentang
ekstirpasi cengkih. Pada 1660, Bacan bersama Ternate dan Tidore
menandatangani sebuah perjanjian tentang batas-batas teritorial
masing-masing kesultanan. Dalam perjanjian ini, Bacan diakui hak dan
kedaulatannya atas Laiwui, Sembaki, Bacan Tua, Salap, Macoli, Wuiyama,
Turongara, Piga Raja, Bariati dan Taspa. Kompeni sendiri mengakui
batas-batas wilayah Bacan tersebut.
Kesultanan Bacan, selain menguasai seluruh kepulauan Bacan dan Obi, juga
memiliki daerah taklukan berupa beberapa desa di Seram – yakni
Lisabata, Hatuwe, Saway, Laulata, Poputa, Bowur, Tulusy, Soleman dan
Hatilen – serta di Papua. Pada 1672, penduduk desa-desa di Seram meminta
kepada Gubernur Kompeni di Ambon agar mereka berada langsung di bawah
pemerintahan Kompeni Belanda, karena buruknya pelayanan Kesultanan
Bacan. Komisaris
Kompeni Padtbrugge menyetujui usul tersebut dan selama 35 tahun
berikutnya daerah kekuasaan Bacan di Seram itu langsung berada di bawah
pemerintahan Kompeni.
Baru pada 1707, Sultan Muhammad Sahiddin dari Bacan meminta agar Kompeni
mengambalikan daerah ini. Gubernur Ambon mengabulkan permintaan
tersebut dan kembalilah wilayah Seram itu ke pangkuan pemerintahan
Bacan. Untuk keperluan serah terima wilayah ini, Sultan Muhammad
Sahiddin mengutus putera mahkotanya.
Pada 1676 Sultan Bacan membuat pernyataan tentang integrasi daerah Obi
di bawah Kompeni. Hal ini tidaklah berarti bahwa Obi telah dilepaskan
Bacan dan menjadi bagian dari administrasi Kompeni. Dalam kenyataannya,
Obi tetap menjadi daerah Kesultanan Bacan, tetapi berada di bawah
perlindungan Kompeni. Jadi, pada 6 Mei 1682, Sultan Bacan menyetujui
bantuan Kompeni atas beberapa kampung di Obi seperti Gamano, Belang
Bilato dan Tapa Salila.
Peninggalan Kesultanan Bacan
Masjid Kesultanan Bacan
Masjid ini berlokasi di desa Amasing-Bacan, masjid ini dibangun sekitar
tahun 1901 masehi diatas lahan seluas 6.020 Meter persegi dengan ukuran
bangunan masjid 29,9 x 24 Meter. Arsitektur pembangunan masjid ialah
arsitek dari Jerman bernama Cronik Van Hendrik yang pada masa
pemerintahan sultan Muhammad Sadek. Tinggi Bangunan masjid dari dasar
pondasi sampai ujung kubah ialah 12,850 Meter dan terdapat satu pintu
gerbang dengan 17 pintu masuk keruang masjid. Di bagian dalam terdapat 4
buah tiang Kabbah, satu buah mimbar, 1 kamar tempat sholat Sultan
disebelah kanan mimbar Utama. Konstruksi bangunan menggunakan baha dasar
kayu, batu, Pasir, dan kapur. Pada bagian depan masjid terdapat
bangunan balai pertemuan yang dipergunakan oleh para baboto negeri untuk
memebahas permasalahan peribadatan dan kemasyarakatan.
Pemugaran pertama dilakukan pada tahun 1960 masehi masa pemerintahan
Sultan Usman Syah, dengan melakukan penggantian atap sirap ke atap seng
dan membangun lima buah corong pada dasar kubah untuk menyebarkan
kumandang azan. Tahun 2001 masa pemerintahan Sultan Gahral Syah,
dilakukan perluasan bangunan mencapai ukuran 12,45 x 24,15 meter.
Pengurus masjid ini seluruhnya berjumlah 45 orang dengan dipimpin oleh 1
orang Qodhi dan 4 Imam. Setiap imam masing-masing membawahi 2 Khatib
dan Muadzin.
Memang ada berbagai versi tentang kapan berdirinya dan lain halnya yang
tidak saya mengerti . Silahkananda cari dari sumber lainnya atau mau
datang langsung ke pulau bacan , pulau yang indah nan eksotis tempat
saya di besarkan .
Nun incana gunung sibela
Nun incana kali mandaong
Di situ tampana mama nag papaku
situ tampana dangang lara ...
lanjutanya ku sudah lupa ...
bagi yang tau mhon dilanjutin ya lagunya ..