Pangeran Diponegoro lahir sekitar 1785. Dengan Nama Pangeran Ontowiryo.
Pangeran ini merupakan putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III yang
memerintah pada tahun 1811 hingga 1814.Ibunya bernama, Raden Ayu
Mangkarawati, yang merupakan keturunan Kyai Ageng Prampelan, ulama yang
sangat disegani di masa Panembahan Senapati saat mendirikan kerajaan
Mataram.
Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta,
salahsatu dari Walisongo di Jawa Timur. Saat masih kanak-kanak,
Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bahwa ia akan
menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir.
Kondisi kraton ketika itu penuh dengan intrik dan persaingan akibat
pengaruh Belanda. Sebab itulah sejak kecil Diponegoro yang bernama asli
Pangeran Ontowiryo dikirim ibunya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya,
Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil,
Pangeran Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya,
menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para
santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan
berpakaian wulung. Diponegoro belajar mengenai Islam kepada Kyai
Taptojani, salahsatu Ulama Besar yang bermukim di dekat Tegalrejo.
Menurut laporan residen Belanda pada tahun 1805, Taptojani mampu
memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan
anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di
Surakarta, Taptojani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya
Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro
belajar Islam dengan serius. Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati kesempurnaan.
Ada banyak hal tentang Diponegoro yang mencerminkan nilai-nilai Jawa
desa: di sini orang berpikir tentang kekuatan fisik, kebiasaannya untuk
berjalan dengan kaki telanjang (tidak hanya ketika berziarah), dan
partisipasinya sekali setahun dalam panen raya padi di tanah miliknya di
selatan Yogya. Kehati-hatiannya dalam menggunakan uang, yang
sampai-sampai membuat terkesan orang Belanda yang kikir, dan kecermatan
mengadministrasi dan mengurus tanah-tanahnya, suatu hal yang tidak umum
dilakukan di kalangan keraton Jawa tengah bagian selatan pada waktu itu,
juga istimewa. Begitu juga ketajaman ekspresinya, kemuakannya pada
sifat angkuh dan suka pamer, kedekatannya dengan alam, dan cintanya pada
binatang peliharaan.
Pangeran Diponegoro sendiri menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M. Ambyah.
Latar belakangnya adalah untuk menjadi Raja yang memutuskan dan
mengangkat adalah orang Belanda. Diponegoro tidak ingin dimasukkan
kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di
Parangkusuma. Pada suatu ketika Pangeran Diponegoro bicara kepada dua
teman pesantren nya.
“Rakhmanudin
dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan
padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun
seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya
sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa
lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa.”
Pangeran Diponegoro menjelaskan tentang peranan dan tanggungjawab Ratu Adil dalam
menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya di masa-masa perubahan
yang disebabkan oleh politik ganda dan revolusi industri di Eropa serta
tatanan kolonial baru di Jawa; pentingnya mengombinasikan otoritas
spiritual dan duniawi dalam sosok pemimpin. Diponegoro mengeksplorasi
peranan Ratu Adil sebagai
penjaga tatanan moral masyarakat, dan sebagai penjamin penghormatan
atas peranan Islam dalam masyarakat Jawa. Ia juga menunjukkan
nilai-nilai universal Islam sebagai sebuah agama namun tetap mengakui
peran agama-agama dan sistem kepercayaan lain, khususnya pengaruh
penting dari nenek moyang dan spiritual wali Jawa.
Pendidikan Diponegoro membuatnya mampu diterima di berbagai komunitas
yang berbeda meliputi dunia peradilan, pedesaan, pesantren, dan mereka
yang terlibat dalam perdagangan jarak jauh (termasuk Arab dan China).
Pandangan dunia Diponegoro juga mencakup suatu pendapat yang sangat
jelas hingga hari ini mengenai bagaimana orang-orang Muslim Jawa
seharusnya hidup dalam zaman dominasi imperium Barat. Bagi Diponegoro,
tidak seperti kebanyakan orang Muslim Indonesia dewasa ini, jawaban atas
ini semua rupanya terletak pada menjalankan perang suci dan
pengembangan karakter yang jelas tegas antara wong Islam (orang Islam), orang Eropa kapir laknatullah (kafir yang dilaknat oleh Allah), dan kapir murtad (orang Jawa yang memihak Belanda).
Diponegoro dan para komandan seniornya memberikan perhatian yang cukup
detail untuk melestarikan budaya dan bahasa Jawa dalam menghadapi
serangan budaya Barat dan pembentukan tatanan kolonial baru pasca
Januari 1818 negara Hindia Timur Belanda. Diponegoro bersikeras pada
penggunaan bahasa Jawa, khususnya kromo inggil,
dan adopsi penggunaan pakaian Jawa oleh tawanan perang Belanda. Tapi
dia mengombinasikan tuntutan budaya spesifik tersebut dengan analisis
yang luas dan praktis pada hubungan Jawa-Belanda dengan memberikan
penawaran kepada kolonialis Belanda tiga pilihan:
(1) mereka memeluk agama Islam, dalam hal ini posisi administratif atau militer mereka akan ditingkatkan;
(2) mereka kembali ke negara mereka di mana hubungan antara Jawa dan
Belanda akan tetap sebagai saudara dan teman; atau terakhir
(3) jika mereka ingin tetap di Jawa, mereka diminta untuk membatasi diri
untuk tinggal di dua kota di Pantai Utara Jawa—yaitu Batavia, ibukota
kolonial, dan Semarang bekas pusat Pemerintahan Pantai Utara Jawa.
Di sana mereka akan ditawarkan kesempatan untuk terus melakukan
perdagangan dan hubungan komersial dengan Jawa asalkan mereka membayar
produk Jawa sesuai dengan harga di pasar internasional—terutama indigo,
kopi, gula dll—dan juga membayar sewa yang tepat untuk setiap tanah yang
mereka tinggali atau dibangun pos perdagangan di atasnya. Visi
Diponegoro melihat sebuah masa depan yang terglobalisasi, di mana
Nusantara akan menjadi bagian dari jaringan perdagangan dan arus modal
internasional.
Diponegoro hidup dalam suatu dunia yang semakin terbelah, antara mereka
yang siap menyesuaikan diri dengan rezim Eropa yang baru dan mereka yang
melihat tatanan moral Islam sebagai “bintang pedoman” dalam masyarakat
yang telah kehilangan tambatan tradisionalnya. Keputusannya untuk
memberontak pada bulan Juli 1825 adalah karena tuntutan keadaan waktu
itu. Ia tidak punya pilihan lain. Dalam melakukannya ia benar-benar
bersikap seperti ungkapan “kemuliaan kegagalan” (the nobility of failure) dalam tradisi samurai Jepang, yaitu kemampuan untuk tetap setia pada cita-cita meskipun tahu akan kalah atau menemui ajalnya.
- Arti Penting Perang Jawa
Perang yang terjadi dalam satu wilayah kedaulatan negara dalam sejarah militer disebut perang kecil (small war). Pemberontakan, revolusi atau perang saudara adalah bentuk dari aksi politik dalam perang kecil. Perang kecil (Oorlog) dalam arti sebagai sebuah kampanye militer yang dilakukan oleh tentara reguler terhadap kekuatan militer bukan reguler. Formatnya digelar sebagai aksi penumpasan pemberontak (Java Oorlog, Atjeh Oorlog), penaklukan atau aneksasi wilayah, atau aksi penghukuman atas penghinaan kedaulatan.
Teori tersebut mendasari pandangan Belanda terhadap perlawanan
Diponegoro dan umatnya sebagai aksi politik yang dilakukan oleh orang
Jawa untuk merebut kembali kedaulatannya. Ada tiga indikasi untuk sampai
pada kesimpulan tersebut:
Pertama, memiliki ideologi (ideological asset), yaitu jihad, berperang untuk mendirikan negara yang berkeadilan berdasarkan agama Islam.
Kedua,
memiliki organisasi dan kondisi lingkungan yang mendukung, pemimpinnya
mampu mengeksploitasi emosi masyarakat dengan tema yang abstrak.
Ketiga,“pemberontak”
amat menguasai medan. Pemberontakan Diponegoro juga merupakan
kelanjutan dari perang antarkelompok feodal masyarakat Jawa pada abad
ke-19, yang disebut sebagai permanent warfare.
Dari aspek kultural, perang Jawa juga merupakan bentuk penolakan
terhadap sistem budaya asing, termasuk sistem militer. Hal ini terlihat
dalam susunan organisasi militer pasukan Diponegoro yang berkiblat pada
Turki Utsmani untuk semakin menajamkan antipati terhadap budaya Barat.
Perang Jawa (1825-1830) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan
sejarah Indonesia pada umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman
modern. Itulah masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintah kolonial
Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar
Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak
daerah lain di sepanjang pantai utara Jawa terkena dampak pergolakan
itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari seluruh penduduk Jawa,
terpapar oleh kerusakan perang; seperempat dari seluruh lahan pertanian
yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000
orang.
Demi memastikan kemenangan pahitnya atas orang Jawa, karena banyak
korban yang jatuh, Belanda harus membayar dengan sangat mahal: sebanyak
7.000 serdadu pribuminya dan 8.000 tentara asli Belanda tewas; dan biaya
perang yang harus mereka keluarkan mencapai sekitar 25 juta gulden
(setara dengan 2,2 miliar dolar AS saat ini).
Setelah berakhirnya perang, Belanda secara tak terbantahkan menguasai
pulau Jawa dan sebuah fase baru pemerintah kolonial Belanda dimulai
dengan diberlakukannya “sistem tanam paksa” (cultuur stelsel) pada tahun 1830-1870 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (menjabat antara 1830-1834).
Kekalahan Diponegoro pada tahun 1830 membuka jalan bagi pengenalan
‘Cultivation System’ yang digulirkan oleh Johannes van den Bosch
(1830-1877), dimana produk Jawa dibeli oleh negara kolonial Belanda
dengan harga tetap yang rendah dan kemudian dijual di pasar dunia sesuai
dengan harga internasional, sebuah sistem yang memberikan penghasilan
bersih kepada Belanda sebesar 832.000.000 gulden (setara dengan USD75
miliar uang hari ini) sehingga meringankan beban transisi negara
tersebut menuju ke ekonomi industri modern. Perkembangan pasca-Perang
Jawa semakin membenarkan keprihatinan Diponegoro atas ketidakadilan
perdagangan antara Jawa dan kekuasaan kolonial Belanda.
Dengan demikian, perang ini menandai berakhirnya sebuah proses yang
mematang sejak periode Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels
(1808-1811). Termasuk perubahan sejak dari era Serikat Perusahaan Hindia
Timur atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), 1602-1799, ketika
kontak-kontak antara Batavia dan kerajaan-kerajaan di Jawa tengah bagian
selatan telah terjalin diantara para pejabat setingkat duta besar
sebagaimana layaknya terjadi di antara negara-negara berdaulat, menuju
periode “puncak kolonial” ketika para raja akhirnya menduduki posisi
sebagai bawahan atau subordinat terhadap kekuasaan kolonial Eropa.
Perang Jawa juga memberikan daya dorong untuk sebuah proses yang masih
akan bergulir sendiri dalam Indonesia modern, yaitu intergrasi
nilai-nilai Islam ke dalam identitas Indonesia masa kini.
- Jalannya Peperangan
- Penyiapan kekuatan
Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV adalah masa keemasan masuknya
pengaruh budaya Eropa di Jawa. Pada 16 Desember 1822, Sultan
Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak saat makan. Kemungkinan dia
diracun. Kemudian pemerintah Hindia Belanda mengangkat RM Menol yang
masih berusia 2 tahun sebagai Sultan Hamengkubuwono V.
Tiadanya kepemimpinan yang kuat dan disegani telah membuat wibawa
keraton menjadi hilang sehingga tingkah laku para pejabat pemerintahan
Hindia Belanda semakin menjadi-jadi, semakin mudah keluar masuk keraton
dan mengadakan hubungan gelap dengan puteri-puteri keraton. Skandal seks
dan perselingkuhan merebak di kalangan keluarga para bangsawan dan
keluarga kalangan keraton. Korupsi, penyalahgunaan jabatan dan pemerasan
rakyat meluas. Tanah-tanah milik kerajaan (Kroonsdomein)
yang subur disewakan kepada orang Eropa atau orang Cina yang mendapat
dukungan dari para bangsawan keraton serta Residen pemerintah kolonial
Belanda. Pungutan pajak dan pungutan bea lainnya semakin
ditingkatkan—tanpa mengindahkan akibat yang semakin membebani kehidupan
rakyat—dengan semakin memperbanyak gerbang pajak (Tol Poorten) yang disewakan kepada orang-orang Cina.
Hal ini membuat prihatin Pangeran Diponegoro, sehingga menginspirasikan dirinya untuk membentuk negara (balad) Islam.
Pangeran Diponegoro ini merupakan anak tertua dari Sultan
Hamengkubuwono III. Pangeran Diponegoro menolak diangkat menjadi
Pangeran Adipati/Putera Mahkota, sebagai penggantinya dia menunjuk RM
Ambyah. Penolakan dinobatkan menjadi putera Mahkota ini dikarenakan
Pangeran Diponegoro kecewa terhadap ayahandanya (Sultan Hamengkubuwono
III) yang dinilainya telah melakukan perbuatan durhaka terhadap
orangtuanya sendiri karena membantu Belanda. Pangeran Diponegoro tidak
menyetujui sikap Sultan Hamengkubuwono III yang melakukan pemakzulan
terhadap kakeknya (Sultan Hamengkubuwono II) dan bersikap lemah terhadap
tekanan pemerintah Hindia Belanda serta mengadopsi gaya hidup sekuler
yang kebarat-baratan.
Masa muda Pangeran Diponegoro dijalaninya dengan berkelana dari masjid
ke masjid dan berguru dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Kebiasaan itu membuatnya memiliki banyak guru (kyai, ulama) dan hubungan
yang luas dengan komunitas santri.
Pengembaraannya di kalangan komunitas santri disertai pendalamannya atas
sejarah Nabi Muhammad SAW telah mengubah sikap dan gagasannya tentang
masyarakatnya. Situasi dan kondisi masyarakat Jawa masa itu
dipersepsikannya identik dengan masyarakat Arab jaman pra Islam.
Sehingga ia merasa berkewajiban mengubahnya menjadi masyarakat Islami
yang berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW.
Gagasannya itu hanya dapat dicapai melalui perang Sabil terhadap orang
kafir. Pendirian Pangeran Diponegoro semakin teguh dan secara simbolik
untuk menegaskan idealisme sikapnya itu ia mulai menanggalkan pakaian
Jawa dan menggantinya dengan pakaian jubah dan surban yang serba putih.
“Saya bukan Diponegoro, saya adalah Ngabdul Khamid.
Pergaulannya dengan yang luas dengan komunitas santri dan petani
memudahkannya untuk memperoleh simpati, dukungan dan legitimasi
kepemimpinan dari masyarakat, apalagi ia adalah salah seorang keturunan
Sultan. Tekad untuk menegakkan hukum Islam di Jawa semakin kuat karena
hubungannya yang akrab dengan para pemimpin bawahan, demang, bekel, kyai
dan ulama, terutama Kyai Mlangi, Kyai Kwaron, dan Kyai Taptojani.
Pangeran Diponegoro selama 12 tahun mempersiapkan diri seandainya
terjadi perang Sabil yang dicita-citakannya. Tegalrejo merupakan suatu markplaats, yaitu
tempat “menjual dan membeli” gagasan, konsep ideologi, politik,
kenegaraan, budaya, militer, rencana strategi dan aksi; tempat
berkumpulnya pemimpin masyarakat ketika di Kesultanan Yogyakarta terjadi
kekosongan kepemimpinan; Tempat Diponegoro memperoleh basis
legitimasinya melalui permufakatan sukarela dari kelompok yang
berkepentingan.
Diponegoro mendapatkan dukungan dari dua basis utama, yaitu dari
kalangan komunitas santri dan pendukung berbasis kedaerahan. Para santri
merupakan komunikator terdepan bagi penyampaian ide dan gagasan tentang
negara Islam, perang sabil, dan masyarakat jahiliyyah. Mereka adalah
kelompok yang memiliki jaringan luas di masyarakat.
Dalam tradisi pesantren, seorang santri yang tamat belajar wajib
menjalankan semacam “inisiasi”, yaitu menggembara dari satu tempat ke
tempat lain, untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain (dakwah).
Pangeran Diponegoro memanfaatkan anggota komunitas religius untuk
menjaga dan memelihara kontak-kontak hubungan dengan para pendukungnya
di daerah-daerah yang jauh seraya mendorong pihak-pihak lain untuk ikut
bergabung dalam perang sabil.
Selain komunitas santri, pendukung Diponegoro berasal dari lintas
daerah, dengan tingkatan mutu tempur pasukan yang bertingkat. Menurut
Diponegoro:
“Penduduk Madiun bagus dalam bertahan terhadap serangan pertama, namun
setelah itu mereka tidak banyak berguna. Penduduk Pajang juga terkenal
pemberani, tetapi tidak lama setelah itu kondisinya sama seperti yang
tadi. Penduduk Bagelen lebih baik, itu kalau bertempur di daerahnya
sendiri. Jika mereka harus bertempur di luar daerahnya, mereka kalah
dengan cepat. Tetapi penduduk Mataram terbaik diantara semua; mereka
bertarung dengan gigih dan tahu bagaimana harus prihatin dan tabah
menghadapi penderitaan akibat perang.”
Setelah sekian lama mempersiapkan diri dan menggalang dukungan,
pendirian Diponegoro semakin teguh setelah mengalami beberapa peristiwa
yang menyinggung kehormatan pribadi dan pelanggaran terhadap norma-norma
kehidupan Jawa dan Islam. Ditambah lagi beban kehidupan yang makin
berat bagi masyarakat lapisan bawah. Ia akhirnya mengambil keputusan
untuk berbuat sesuatu, yaitu merebut kembali pulau Jawa.
Usaha menyongsong perang Jawa dimulai dengan mempersiapkan gua Selarong
sebagai tempat awal untuk konsolidasi kekuatan laskar tempur para
pengikutnya, membangun pabrik-pabrik mesiu yang tersembunyi dan tersebar
di beberapa tempat, antara lain: desa Geger di sebelah selatan kota
Yogyakarta, daerah Gunung Kidul, desa Parakan, desa Kembangarum di
daerah Kedu, Menoreh dan beberapa tempat lainnya. Menyebar telik sandi
yang menyamar sebagai abdi pembantu rumah tangga, pekatik pemelihara
kuda peliharaan, di lingkungan Keraton maupun di kediaman Patih
Danurejo, Residen, Sekretaris Residen, Asisten Residen, para Ningrat
yang dianggap sebagai sahabat para pejabat pemerintah Hindia Belanda,
dan orang-orang lain yang dianggap sebagai lawan (musuh) dari
cita-citanya mendirikan negara Islam, serta dilakukannya pembelian padi
secara besar-besaran oleh masyarakat pada pertengahan 1825.
Kemudian pada pertengahan Juli 1825, terjadi insiden pemancangan patok
batas rencana pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur
transportasi jalan baru dan penutupan jalan masuk ke kediamannya di
Tegalrejo. Insiden itu membuat Pangeran Diponegoro merasa sudah tiba
saatnya bagi dirinya untuk mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu
dengan memobilisasi kekuatan pasukan laskar tempur sebagai awal Perang
Sabil merebut kembali pulau Jawa yang tujuan akhirnya menegakkan hukum
Islam.
Sejak terjadinya insiden pancang dan penutupan jalan dari Yogyakarta ke
Tegalrejo, kediaman Diponegoro dijaga oleh 1.500 orang pengikutnya.
Mereka terpengaruh berita bahwa Diponegoro akan ditangkap. Pada 21 Juli
1825, residen akhirnya memerintahkan satu detasemen pasukan yang
dipimpin oleh asisten residen, Chevallier, untuk menangkap Diponegoro.
Kedatangan pasukan tersebut disambut dengan perlawanan dari pengikut
Diponegoro.
Dalem Tegalrejo
dikepung, dihancurkan, dan dibakar. Diponegoro kemudian lari ke
Selarong, sebuah desa strategis yang berada di kaki bukit kapur, kurang
lebih 9 km dari Yogyakarta. Di sana, diam-diam telah lama dipersiapkan
sebagai markas besar. Pada akhir Juli 1825, di Selarong telah berkumpul
beberapa orang bangsawan Yogyakarta, serta utusan dari Kraton Surakarta
antara lain Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegoro, Pangeran Panular,
Adiwinoto Suryodipuro, Kyai Mojo, Pangeran Ronggo, Pangeran Surenglogo.
Pangeran Suryo Kusumo, Raden Suryo Muhammad. Diponegoro memerintahkan
Tumenggung Joyomenggolo, Bahuyuda dan Hanggowikromo untuk memobilisasi
orang-orang di desa sekitar Selarong dan bersiap melakukan perang. Ia
juga membuat perencanaan strategis dan langkah-langkah taktis untuk
melakukan serangan.
Secara garis besar, strategi Diponegoro adalah merebut dan menguasai
seluruh wilayah Kesultanan, lalu mengusir Belanda dan orang Cina keluar
dari wilayah Kesultanan Yogyakarta. Nagara, terutama
keraton Yogyakarta, sebagai sasaran strategis yang harus diduduki
dengan mengepungnya dari semua penjuru. Pemberontakan lokal disulut
untuk memecah kekuatan lawan dan kekuatan pihak-pihak yang membantu
lawan.
Selanjutnya, Diponegoro mengambil beberapa langkah untuk mencapai tujuan strategisnya:
- Menyerbu nagara (Keraton Yogyakarta) dan mengisolasinya untuk mencegah datangnya pasukan bantuan dari luar Yogyakarta.
- Mengirim pesan yang berisi perintah untuk memerangi orang Eropa dan Cina. Pesan itu disampaikan kepada para pemimpin pasukan ke seluruh wilayah Kesultanan; Kedu, Bagelen, Banyumas, Serang, dan wilayah Monconegoro Timur. Ia mengirim pesan yang sama kepada para demang di perbatasan Kesultanan dan Kesunanan. Diponegoro kemudian mengangkat pemimpin daerah melalui surat keputusan pengangkatan resmi yang disebut Piagem.
- Menyusun daftar bangsawan yang dianggap sebagai lawan dan melindungi mereka yang membantu.
- Membagi wilayah Kesultanan menjadi beberapa daerah perang, serta mengangkat komandan wilayah dan komandan pasukan, juga melantik beberapa pembantu utama.
- Menyusun pasukan pengawal keraton yang terdiri atas enam korps, yaitu Pasukan Mantirejo, Pasukan Daeng, Pasukan Nyutro, Pasukan Mandung, Pasukan Ketanggung, dan Pasukan Kanoman.
Struktur organisasi, hierarki, dan susunan tugas masing-masing korps tidak meniru model Barat, tetapi meniru model organisasi Janissari,
yaitu pasukan elit kekhilafahan Turki Utsmani abad ke-16, yang
disesuaikan dengan kondisi Jawa. Untuk menjalankan strategi perlawanan,
Diponegoro menggunakan hierarki Turki untuk kepangkatan pasukannya. Ali
Pasha setara komandan divisi diadopsi menjadi Alibasah. Di bawahnya,
Pasha setara komandan brigade menjadi Basah. Kemudian setara komandan
batalyon adalah Dulah, yang diadopsi dari istilah kepangkatan Agadulah.
Untuk setara komandan kompi diambil istilah Seh.
Struktur pimpinan perlawanan Diponegoro meliputi dari yang tertinggi
Manggolo Yudo Prang (Sultan Ngabdulkamid Herucokro Kabirul Mukminim
Sayidin Panotogomo Senopati ing Ngalogo Sabilullah) yaitu Pangeran
Diponegoro sendiri. Panglima Tentara adalah Alibasah Ngabdul Mustapa
Sentot Prawirodirjo. Komandan untuk kewilayahan perang (mandala) Pajang,
Yogyakarta, dan Bagelen, berturut-turut Alibasah Kasan Besari, Alibasah
Sumonegoro, dan Pangeran Suryo Kusumo.
Perang Diponegoro sebagai perang rakyat meluas di sebagian wilayah Jawa.
Saleh menuangkan catatan Letnan Gubernur Jenderal LPJ (Viscount) du Bus
de Gissignies yang menyebutkan adanya pasokan senjata untuk pasukan
Diponegoro melewati pantai selatan (Samudra Hindia) di sekitar wilayah
muara Sungai Progo.
Pada 9 Agustus 1828, diketahui ada sebuah padewakang, kapal Bugis,
bersama sejumlah besar perahu kecil berangkat dari muara Sungai Progo ke
arah daratan. Peristiwa ini diduga sebagai penyelundupan senjata untuk
pasukan Diponegoro. Siapa yang membantu penyelundupan senjata untuk
pasukan Diponegoro sampai sekarang belum terungkap. Dari Turki hanya
digunakan istilah hierarki kepangkatan tentara Diponegoro.
Melihat persiapan yang begitu matang, selama beberapa tahun Diponegoro telah melakukan aksi conspiracy of silence karena
dalam waktu yang relatif singkat mampu memobilisasi kekuatan. Ia dengan
sengaja mempersiapkan diri untuk melakukan perebutan kekusaan politik
di Kesultanan Yogyakarta. Hal ini dimulai saat ia menolak pencalonan
sebagai putra mahkota olehJohn Crawfurd pada tahun 1812 hingga menolak
tawaran Residen Baron de Salis untuk menjadi Sultan pada tahun 1822.Sikap tersebut menjadi bukti bahwa ia mempunyai pendirian dan ideologi tersendiri tentang negara dan sistem kenegaraan.
Tujuan perang Diponegoro
Banyak penutur sejarah yang mengatakan bahwa perang Diponegoro dipicu
oleh perang dinasti antara kasultanan Mataram dan Surakarta dan masalah
patok kuburan leluhurnya yang dilanggar. Pemikiran sejarah haruslah
logis, kata Hacket Fischer, agar mencegah kekeliruan penuturan sejarah.
Logikanya, butuh lebih dari itu untuk melangsungkan perang panjang yang
dampaknya hingga menguras anggaran belanja sebuah negara.
Faktor yang mendukung keberlangsungan perlawanan Diponegoro menjadi demikian hebatnya:
- Perang Diponegoro bertujuan mempertahankan kedaulatan negara.
Kegiatan perlawanan militer Diponegoro adalah dalam kerangka penegakan Balad al Islam (hukum islam dijadikan hukum negara).
Ada tiga indikasi yang menunjukkan Perang Diponeogoro bertujuan mempertahankan negara:
- Memiliki ideologi (sumber ideologi) berperang untuk mendirikan negara yang Berkeadilan yang Berdasarkan Agama Islam. Aksi kolektif militer Diponegoro jelas bertujuan untuk mendirikan balad (negara) Islam yang sekaligus merupakan bentuk reaksi penolakan terhadap perluasan pengaruh kapitalisme atau liberalisme yang dianggap mengganggu sistem sosial dan keagamaan di Tanah Jawa.
Perjuangan masyarakat Jawa di bawah kepemimpinan Diponegoro dilandasi oleh alasan yang lebih filosofis, yaitu jihad fi sabilillah.
“Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri
Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda
yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.”
Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya.
“Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi”
(Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk
menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah
Jawa)”
- Memiliki organisasi dan kondisi masyarakatnya yang mendukung. Kepemimpinannya mampu mendidik masyarakat, memupuk semangat, dan memberikan tujuan. Implikasi positifnya Pangeran Diponegoro memiliki Hegemoni Politik di wilayahnya.
Dengan latar belakang ideologis, diiringi dengan kondisi sosial ekonomi
saat itu yang penuh dengan kezaliman, semakin memudahkan Diponegoro
untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Kondisi tersebut antara lain:
Pertama, wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda,
Kedua, pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak,
Ketiga, kekurangadilan di masyarakat Jawa,
Keempat, aneka intrik di istana,
Kelima, praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar,
Keenam, kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda.
Pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama, santri dan
para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. 108 kyai, 31 haji, 15
Syeikh, 12 penghulu Yogyakarta, dan 4 kyai guru yang turut berperang
bersama Diponegoro.
Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan
massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan
santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran
Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus,
berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut.
- Bentuk penolakan terhadap kedaulatan sistem asing yang batil. Di samping itu sistem organisasi militer Pangeran Diponegoro- yang berkiblat ke Sistem militer Kekhalifahan Turki Usmani menunjukkan sikap hubungan formal bilateral antar dua kekuasaan politik. Terkait dengan kedaulatan, ada hubungan politik antara Pangeran Diponegoro dengan Khalifah di Turki. Bulkiyo yang berasal dari istilah Bolzuk atau divisi pasukan elite Turki Usmani Janissari abad ke-16, juga digunakan sebagai nama korps pasukan elite Diponegoro.
- Kekuatan motivasi dan kecakapan para pemimpin perang Diponegoro dalam mengelola aksi-aksi untuk mencapai tujuan.
Kemampuan para pemimpin perang Diponegoro dalam menggali dan mengolah
emosi masyarakatnya agar tetap berkeyakinan terhadap perjuangan,
merupakan salah satu faktor pendukung hingga peperangan bisa berlangsung
lama. Secara umum kecakapan itu tercermin dari munculnya strategi baru
sebagai balasan untuk strategi Stelsel Benteng. Strategi langsung yang
mengandalkan keunggulan jumlah tentara yang diterapkan Diponegoro
sebelumnya sudah tidak efektif kemudian digantikan dengan strategi
atrisi (die Ermatung Strategie). Strategi penggerogotan mengubah sifat perangnya menjadi perang jangka panjang.
Jihad Diponegoro
Dalam pandangan Diponegoro dan pasukannya, perang yang mereka lakukan
melawan Belanda dan sekutunya adalah sebuah jihad, yaitu berperang
melawan kaum kafir yang telah melakukan penyerangan, pengusiran, dan
perampasan terhadap umat Islam, dan juga berperang melawan orang-orang
murtad, yaitu orang Islam yang membantu orang kafir dalam memusuhi dan
melakukan agersi terhadap umat Islam. Dalam masa itu, kata sabil dan sabilillah yang mempunyai makna spesifik, digunakan untuk menggantikan kata jihad.
Kata sabil maupun sabilillah merupakan sebutan ringkas dari kata jihad fi sabilillah yang secara khusus kata ini bermakna melakukan peperangan melawan orang kafir.
Di samping itu, penggunaan kata sabil maupun sabilillah dianggap lebih mudah pengucapannya dalam bahasa Jawa daripada kata jihad fisabilillah. Pengucapan
istilah-istilah asing dalam bahasa Jawa seringkali disingkat dengan
cara mengambil kata yang paling belakang atau menggandengkan dua kata
tersebut dan diucapkan sesuai dengan lidah orang Jawa. Hal ini juga
dilakukan oleh Diponegoro sebagai contoh, Gerad Baron Nahuys (nama
Residen Yogyakarta tahun 1816 – 1822) cukup ditulis dengan Nahuys, John
Crawfurd diucapkan dengan Karepet, Abu Bakar dilafalkan Bubakar,
Abdurrahim menjadi durahim, serta Ali Pasya menjadi Libasah atau basah.
Penggunaan kata sabil dan sabilillah juga
erat kaitannya dengan struktur penulisan Babad Diponegoro yang
menggunakan macapat. Seperti telah diketahui bahwa penulisan macapat
mempunyai aturan yang ketat terutama berkaitan dengan jumlah suku kata
(guru wilangan) dan rima (guru lagu). Penggunaan kata jihad fisabilillahyang
mempunyai suku kata yang panjang dan agak sulit diucapkan orang Jawa,
dirasakan sangat menyulitkan dalam penyusunan macapat yang mempunyai
aturan suku kata dan rima. Oleh karena itu, kata sabil dan sabilillah
digunakan sebagai kependekan dari kata Jihad fisabilillah.
Di dalam Babad Diponegoro terdapat kurang lebih 59 kata sabil dan
sabilillah yang mempunyai pengertian berperang melawan orang kafir.
Antara lain dalam tembang Girisan berikut:
Mas Lurah aris katanya
“Bok ayo sabil kewala
Iki Jumungah dinanya
Mapan hiwih aprayoga”
Jeng Sultan kendel sakala
Mangkana osiking drinya
“Wus bener Mas Lurah ika
Nging sun tan rinilan suksma,
Sadina iki sirnaa
Pan aja kongsi kadawa”
Kanjeng Sultan angandika
Mring Pangeran Dipanagara
Heh Kulup prajurit ika
Saanane tuturana
Yen sun arsa sabil iya”
Kanjeng Sultan apan biya…!
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Mas Lurah dengan bijaksana berkata
Ayo kita sabil saja
Hari ini hari Jumat
Hari baik untuk berperang
Sultan (Abdul Hamid) berhenti sejenak
Dalam batinnya berkata
“Benar perkataan Mas Lurah
Jiwa saya rela
Hari ini juga
Jangan sampai tertunda
Sultan kemudian berkata
Kepada Pangeran Diponegoro III (putera Diponegoro)
Wahai ananda, prajurit
Yang ada hendaknya diberitahu
Kalau saya hendak berperang
Sultan karena saran ini….
Kata sabil yang digunakan dalam tembang di atas bermakna berperang
melawan kafir (Belanda). Kalimat “Bok ayo sabil kewala” mempunyai
pengertian mari kita berperang dengan orang kafir saja dan tidak perlu
mundur.
Selain itu, pasukan yang meninggal dalam jihad disebut dengan meninggal
dalam sabil (prapta sabil/sabilullah). Diponegoro menggunakan kata sahid
untuk orang-orang Islam dari kalangan masyarakat sipil yang menjadi
korban perang. Penggunaan kata sahid ini merupakan pemberian penghargaan
Diponegoro yang besar kepada umat Islam yang tidak terlibat langsung
dalam peperangan. Bantuan umat Islam sangat besar bagi keberlangsungan
perjuangan Diponegoro yang mempergunakan sistem gerilya.
Diponegoro menggunakan Al Quran sebagai dasar ideologi untuk berjihad.
Sebagian besar kata Al Quran dalam Babad Diponegoro menunjukkan makna Al
Quran sebagai landasan dalam berjihad. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al
Quran yang membahas jihad dalam artian perang melawan orang kafir,
Diponegoro meminta kepada penasihat utamanya, yaitu Kyai Keweron dan
Kyai Mojo, untuk menjabarkan dan menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di
dalam Babad, Diponegoro mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui seluruh
isi Al Quran dan takut apabila salah dalam menafsirkannya.
Secara umum, Babad Diponegoro tidak menunjukkan dengan terperinci
ayat-ayat Al Quran yang dijadikan dasar dalam jihad. Diponegoro hanya
mengungkapkan bahwa perjuangan yang dilakukannya didasarkan atas
menjalankan perintah untuk menjalankan ayat qital dalam Al Quran.
Ngantepi Islamnya samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Quran pan ayat Katal
Namung sing Rabulngalamin
Ing akerat punika
Tetepa ingkang sinuwun
Semua orang memegang teguh Islam
Menjalankan perintah dalil
Ayat Qital dalam Al Quran
Hanya kasih Rabbul’alamin
Di akhirat lah
Yang tetap dimohon
Jihad yang dilakukan oleh Diponegoro bertujuan untuk menegakkan agama
Islam di Jawa. Hal ini terlihat dalam surat balasan yang ditulis oleh
Diponegoro kepada Jenderal de Kock yang menanyakan maksud dan tujuan
Diponegoro:
“Dhateng ingkang saudara
Jenderal de Kock ri sampunnya
Tabe kawula punika
Dene Jengandika tanya
Menggah Karsane ki Harya
Estu yen darbe karsa
Rumiyin lan sapunika
Nging luhuring kang agama
Ing Tanah Jawi sadaya
Kalamun estu andika
Tan makewedi punika
Mring agamane akar ya
Islame ing Tanah Jawa
Pan inggih purun ki Harya
Dhame lawan Jengandika
Nanging Anedha pratandha
Kepada Saudara
Jenderal de Kock
Saya mohon maaf
Jika anda bertanya
Apa keinginan Aryo (Diponegoro)
Sungguh bila punya keinginan
Hanya untuk meninggikan agama
Di seluruh tanah Jawa
Jika anda benar-benar
Tidak membuat kesulitan
Kepada agama
Islam di tanah Jawa
Maka Aryo bersedia
Berdamai dengan anda
Tetapi, meminta bukti
Selain menegakkan Islam, jihad Diponegoro juga mempunyai misi untuk
mendirikan negara Islam di tanah Jawa. Secara implisit hal itu
disampaikan oleh Diponegoro kepada Kyai Penghulu yang hendak berangkat
ke Mekkah menunaikan ibadah haji seperti yang dituturkan dalam pupuh
Dandanggula (VII) berikut ini:
Syukur kaki dika jangji
Lamun besuk dika prapteng Mekah
Poma aywa muleh-muleh
Matia aneng ngriku
Yen manira antuk kang kardi
Dika kabar-kabarna
Lan dika nunuwun
Pandongane para imam
Muga kula oleha supangat Nabi
Lan kaliraning Allah
Den kuwatno manglawan mring kapir
Lan den banget andika nenedha
Sujud ing kakbahtolahi
Nunuwa ing Hyang Agung
Lestarine kang tanah Jawa
Dadya balad agama
Kaki laman estu
Wonten pitulung Hyang Suksma
Ki Pangulu den rikat andika mulih
Ki pangulu aturnya….
Syukurlah kalau begitu ananda, kamu harus janji
Jika kamu sudah tiba di Mekah
Sungguh jangan pulang-pulang
Jika perlu wafatlah di sana
Jika saya mendapat apa yang diperjuangkan
Kamu kabarkan
Dan kau pintakan
Doa kepada para imam
Semoga saya mendapat syafaat Nabi
Dan ridlo Allah
Dikuatkan melawan orang kafir
Dan kamu mohonkan dengan sungguh-sungguh
Saat sujud di Ka’bah
Mohonlah kepada Tuhan
Lestarinya tanah Jawa
Menjadi balad agama
Wahai ananda, jika benar-benar
Ada pertolongan Tuhan
Ke Pengulu, cepat-cepat Anda pulang”
Ki Pengulu berkata….
Dari kutipan di atas terlihat bahwa keinginan Diponegoro adalah
berdirinya balad agama yang lestari di tanah Jawa. Balad agama yang
dimaksud adalah sebuah negara di tanah Jawa yang berlandaskan syariat
Islam. Keinginan ini tidak hanya murni keinginan Diponegoro, tetapi
menjadi keinginan dari pembantu dan pengikutnya juga. Indikasi itu
terlihat dari saran Mangkubumi untuk mengangkat Diponegoro menjadi
Sultan atas perintah Dari Makkah dengan gelar Sultan Abdulhamid
Herucokro Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatur Rasul ing Tanah
Jawa.
Adapun sasaran dari jihad Diponegoro adalah dua kelompok, yaitu
orang-orang kafir dan murtad. Yang dimaksud kafir adalah orang Belanda
yang notabene adalah non Muslim dan telah melakukan penyerangan dan
penjajahan terhadap umat Islam. Sedangkan kata murtad ditujukan kepada
orang-orang Muslim Indonesia yang membantu Belanda dalam memerangi
Diponegoro dan pasukannya serta melakukan kegiatan penindasan kepada
rakyat.
Dalam babad Diponegoro terdapat kurang lebih 96 kata kafir dan 70 kata
murtad yang konteksnya adalah musuh orang-orang Islam dalam peperangan.
Diantaranya seperti diungkapkan dalam tembang pangkur berikut ini:
Budhal saking sela Mirah
Sampun prapta ing sawetning Pragi
Mesanggrahan senjati
Mangsah nulya prapta
Kapir lan murtad apan langkung kathahipun
Dhateng ira mara tiga
Nanging datan den tangledi
Berangkat dari Selamira
Sampailah di sebelah timur Pragi
Dan kemudian singgah di Senjati
Kemudian musuh datang
Kafir dan murtad dengan jumlah yang banyak
Datang dengan dibagi tiga
Tetapi tidak dihiraukan
Secara kronologis, istilah kafir dan murtad ini digunakan setelah
penyerbuan pasukan Belanda dan Yogyakarta ke Tegalrejo. Sebelum
peristiwa tersebut, istilah kafir tidak digunakan meskipun pasukan
Inggris dan Sepoy pernah melakukan penyerbuan ke wilayah keraton
Yogyakarta. Istilah kafir dan murtad ini muncul ketika ideologi jihad
telah dirumuskan oleh Diponegoro bersama dengan ulama-ulama yang
mendampinginya.
Pemberian label kafir dan murtad serta Islam sangat diperlukan untuk
membedakan siapa pembela agama dan siapa musuh agama. Diponegoro membuat
peraturan bahwa yang menjadi pasukannya harus beragama Islam dan
menunjukkan perilaku dan atribut Islam. Pasukan Diponegoro yang berasal
dari keturunan Tionghoa yang turut bagian dalam melawan Belanda,
diwajibkan untuk masuk Islam serta diharuskan memotong rambut kuncir
yang menunjukkan identitas orang Cina. Sebagai gantinya, pasukan
Diponegoro menggunakan atribut bercorak keislaman yakni surban.
Ideologi anti kafir dan murtad yang keras di kalangan pasukan Diponegoro
tercermin dalam penggunaan bahasa, khususnya yang berkaitan dengan
kematian pasukan musuh. Diponegoro tidak segan-segan menyebut musuh yang
mati di medan perang dengan nama bangke (bangkai) yang biasanya digunakan untuk hewan.
Jalannya peperangan
Tepat tiga minggu sesudah insiden penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro melakukan penyerbuan terhadap nagara Yogyakartadari
segala penjuru dengan kekuatan 6.000 pasukan, dimana pasukan ini
terdiri dari tiga kolone: Kolone pertama dipimpin oleh Pangeran Abu
Bakar, saudara dari Diponegoro yang juga seorang putra dari Sultan III.
Pasukan pertama ini bergerak dari arah timur dan menyerbu Dalem Pakualaman. Mereka menghancurkan jembatan Kali Code, membakar perkampungan orang-orang Cina dan Eropa
Kolone kedua dipimpin oleh Pangeran Adinegoro. Mereka berhasil menguasai
jalan penghubung Yogya – Magelang - Surakarta. merusak gerbang-gerbang
pajak.
Kolone ketiga di bawah pimpinan Pangeran Blitar, bergerak dari arah
selatan dan menguasai jalan raya Bantul. Pasukan ini berusaha merebut
keraton. Rumah para bupati (tumenggung) yang dianggap lawan dirusak,
dijarah, dan dibakar.
Dalam penyerbuan tersebut, pasukan Diponegoro juga menjarah
gudang-gudang logistik dan mengangkutnya ke luar kota. Penjarahan ini
mengakibatkan sebagian besar penduduk Yogyakarta menderita kekurangan
bahan makanan.
Sultan Hamengkubuwono V berhasil diselamatkan dan diberi pengawalan
ketat di benteng Vredenburg. Sedangkan Keraton Yogyakarta berhasil
dipertahankan oleh pasukan Pengawal Keraton yang dipimpin oleh Mayor
Wironegoro, tanpa menimbulkan kerusakan berarti.
Setelah dibakar, nagara Yogyakarta
tidak diduduki oleh pasukan Diponegoro, melainkan hanya diisolasi.
Pasukan Diponegoro memblokade semua jalan masuk ke kota dan berjaga-jaga
di pinggir kota. Praktis, Yogyakarta menjadi kota mati dan kekurangan
pangan. Tawanan dan barang-barang rampasan dibawa ke Selarong. Pasukan
Diponegoro berhasil menduduki Yogyakarta selama tujuh hari.
Serbuan terhadap nagara yang strategis berdampak luas. Para peserta conspiracy of silence,
terutama para tumenggung dan demang bawahan, melakukan mobilisasi
pasukan untuk melakukan perang. Akibatnya, dalam waktu singkat hampir
seluruh wilayah Kesultanan bergolak. Satu-satunya kekeliruan strategi
pasukan Diponegoro adalah mereka tidak sepenuhnya menduduki nagara. Terutama keraton yang menjadi simbol kekuasaan, sekalipun objek vital lainnya berhasil direbut.
Perang kemudian berkobar meluas ke segala penjuru tanah Jawa. Laskar
tempur pengikut Pangeran Diponegoro tak mudah ditaklukkan, sebab di dada
mereka terpendam Bara Api Semangat Perang Sabil. Tak kurang usaha licik
untuk menundukkannya dengan menawarkan tahta dan status tanah perdikan
kepada Pangeran Diponegoro. Namun bujuk rayu tawaran tahta dan uang yang
terbukti ampuh dalam menyelesaikan pemberontakan Ningrat Jawa pada
masa-masa sebelumnya ini tak membuat bergeming pendirian Pangeran
Diponegoro dari tujuannya mendirikan negara Islam.
- Strategi Belanda menghadapi Diponegoro
Banyak kesulitan yang harus dihadapi oleh Belanda pada awal masa perang
Jawa (1825-1827). Mulai dari jumlah pasukan yang hanya 3 resimen (satu
resimen infanteri, satu resimen huzar, dan satu resimen artileri),
ditambah legiun Mangkunagoro yang jumlahnya sekitar 1.800 orang.
Pasukannya tersebut juga tidak mengenal medan (terrain) dengan
baik. Tidak ada peta yang lengkap dan hampir semua peta yang tersedia
berada dalam kondisi buruk dan cacat. Padahal sebagian besar wilayah
Kesultanan Yogyakarta berbukit-bukit. Pasukan yang sebagian besar tidak
mengenal medan menjadi faktor penghambat mobilitas. Kondisi cuaca juga
tidak menguntungkan karena musim kemarau dan hujan berganti tidak
menentu. Selain itu, karakter pemberontak yang mereka hadapi terkenal
pemberani dan fanatik. Mereka amat membenci orang Eropa dan Cina.
Jenderal H.M. de Kock, yang ditugaskan sebagai Komisaris Pemerintah
untuk Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, menyusun plan de champagne (rencana kampanye) untuk menumpas pemberontakan. Plan de champagne tersebut terdiri atas:
- Membuat persekutuan dengan Sunan Surakarta dan Mangkunagoro untuk mengisolasi Diponegoro.
- Merebut sasaran strategis, yaitu nagara Yogyakarta, dari tangan pemberontak untuk mengembalikan kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda dan kewibawaan Sultan.
- Mengamankan jalur komunikasi darat yang strategis antara Surakarta-Klaten dan Klaten-Yogyakarta.
- Mengamankan jalur komunikasi darat Semarang-Salatiga dan Salatiga-Surakarta.
- Mengamankan jalur komunikasi darat di pantai utara antara Semarang-Rembang
- Mengamankan jalur komunikasi darat Pekalongan-Semarang
- Membebaskan daerah-daerah milik Kesultanan yang direbut dan
diduduki oleh pemberontak, seperti Serang, Ngawi, dan Madiun.
- Membebaskan daerah milik Pemerintah Hindia Belanda di Demak,
Rembang, Jabarangkah (Karesidenan Pekalongan), Banyumas, Kedu, dan
Bagelen sampai batas sungai Bogowonto.
- Memanggil pasukan-pasukan yang beroperasi di luar Jawa dan
menetapkan garis awal di beberapa pelabuhan pendaratan di Pantai Utara.
- Merekrut spion dan orang-orang yang dipercaya untuk mencari informasi tentang lawan.
Selama 1825-1827, de Kock terus
melakukan operasi militer dengan beberapa sasaran strategis. Ia
melakukan operasi militer dengan lima pendekatan langsung, yaitu:
- Membuat persekutuan dengan Sunan Surakarta dan Mangkunagoro
untuk mengisolasi Diponegoro, baik secara militer maupun politis, untuk
membentuk pendapat umum bahwa pemberontakan adalah sebuah perbuatan
jahat.
- Mengikat persahabatan dengan musuh-musuh Diponegoro—para
pangeran di Kesultanan Yogyakarta—agar tidak membantu Diponegoro,
sekalipun bersikap pasif.
- Merebut kembali daerah-daerah Kesultanan Yogyakarta yang
diduduki oleh pengikut Diponegoro. Menegakkan kembali keamanan dan
pemerintahan agar pajak-pajak dapat dipungut dan perekonomian dapat
berjalan kembali secara lancar.
- Menggiring pasukan pemberontak ke daerah antara Sungai Progo dan Bogowonto sebagai killing area.
- Menangkap pemimpin tertinggi pemberontak, yaitu Diponegoro sebagai “center of gravity”.
Selain itu, de Kock juga menyebarkan seruan kepada pengikut Diponegoro
bahwa ia akan memberikan pengampunan kepada mereka yang dengan sukarela
menyerahkan diri. Ia juga menulis surat kepada Diponegoro dan Mangkubumi
yang berada di Selarong. Diponegoro segera merundingkan isi surat itu
dengan Pangeran Mangkubumi dan Kyai Mojo, kemudian memerintahkan kepada
Pangeran Joyokusumo dan Pangeran Suryenglogo untuk menulis surat balasan
yang secara tegas menolak berdamai.
Setelah menerima surat balasan, de Kock segera memerintahkan pasukan
kolose kedua untuk menyerbu Selarong, tetapi desa Selarong telah kosong.
Para pimpinan pasukan Diponegoro telah berpencar meninggalkan Selarong
menuju ke pelbagai arah. Kegagalan dalam penyerbuan Selarong tersebut
membuat perang menjadi semakin berlarut-larut. Perkiraan de Kock yang
membiarkan lawan berperang dengan cara perangnya sendiri sampai
kehabisan logistic ternyata keliru. Karena prajurit-prajurit Diponegoro
ternyata mampu bertahan hanya dengan makan nasi kering dan garam. Dapat
dikatakan, operasi pengejaran (marching, fighting, camping) selama 1825-1827 yang diprakarsai oleh Jenderal de Kock telah gagal menangkap Diponegoro.
Pada pertengahan tahun 1827, Jenderal De Kock mulai merintis jalan
perundingan dengan menugaskan seorang pengusaha berkebangsaan Inggris
(William Stavers) dan seorang pengusaha keturunan Arab (Ali Chalif)
untuk berunding serta menawarkan kepada Pangeran Diponegoro untuk
memilih tanah di mana saja yang diinginkannya asal bersedia menghentikan
peperangan.
Menjawab tawaran Jenderal De Kock itu, Pangeran Diponegoro menjawab ia mau menghentikan peperangan dengan syarat : Pertama, semua orang Belanda harus memeluk agama Islam. Kedua, wilayah pesisir utara Jawa dikembalikan kepada Kesultanan. Ketiga,
orang Belanda boleh tinggal di Jawa tetapi tidak boleh melakukan
aktivitas perdagangan. Tujuan peperangan tidak lain adalah untuk
memuliakan agama Islam.
Perang perlawanan rakyat semesta yang dipimpin Pangeran Diponegoro ini
pun terus berkobar. Perang yang panjang dan melelahkan bagi kedua belah
pihak.
Operasi Stelsel Benteng (1827-1830)
Selama perang berlangsung pemerintah Hindia Belanda terpaksa harus
membangun lebih dari 250 buah benteng untuk mendukung strategi perang
Stelsel Benteng. Menerapkan strategi politik berupa Blokade Politik,
Isolasi Politik, politik Belah Bambu (Stick and Carrot), Politik Adu Domba (Devide Et Empera).
Dibarengi penelitian sosio budaya untuk menguak titik kelemahan
kekuatan Laskar Diponegoro yang dilakukan oleh ilmuwan orientalis ahli
urusan Pribumi dan orang Jawa (Roorda van Eysinga).
Mereka juga mendatangkan bala bantuan pasukan koninklijke leger expedisi yang
didatangkan langsung dari negeri Belanda. Selain itu, untuk menambah
jumlah pasukannya, Belanda kemudian merekrut prajurit dari Afrika dan
Pantai Gading—yang kemudian dikenal sebagai Belanda hitam. Serta pasukan
dari Korea Belanda juga memobilisasi pasukan bantuan prajurit Pribumi
dari berbagai daerah (Hulptroepen),
antara lain : Legiun Mangkunegoro, Pasukan Kasunanan Surakarta, Manado
dan Gorontalo (pimpinan Hasan Monwarfa), Buton (pimpinan Raja Haji
Sulaiman), Alfoeren Halmahera, Tidore, Ternate, Sumenep Madura, Badung
Bali, dan dari beberapa daerah lainnya. mendatangkan tentara yang
bermarkas di Sulawesi hingga total kekuatannya mencapai 23.000 personel.
Perang ini telah menguras keuangan pemerintah Hindia Belanda yang
mengeluarkan biaya perang hingga tak kurang dari 25.000.000 Gulden (Rp
127 Milyar). Biaya perang yang sangat besar untuk ukuran masa itu.
Konsekuensi finansial yang besar untuk strategi Stelsel Benteng hingga
Belanda menyebut Perang Diponegoro sebagai groote onheilen (bencana besar) bagi administratif Kolonial. Defisit anggaran mereka sampai f18.000.000
Gulden (sekitar Rp 92 Milyar). Dan tahun 1827 saja tidak kurang dari
3000 orang serdadu Eropa tewas di hadapan kedigdayaan Tentara Islam
Diponegoro.
Gagalnya strategi mobilitas merupakan pengalaman yang berharga. De Kock
selama ini banyak terfokus untuk menangkap pimpinan pemberontak. Ia kini
mencoba untuk melakukan cara pendekatan pribadi dengan para tumenggung
beserta bawahannya. Operasi-operasi militer intensif bukan semata-mata
untuk menghancurkan lawan atau merebut daerah lawan, tetapi juga
sekaligus mengucilkan para pemimpinnya. Berbeda dengan perang umum,
pihak lawan dalam perang kecil tidak memiliki center of gravity sehingga
sulit untuk menentukan sasaran pokok. Salah satu cara menghancurkannya
adalah dengan merebut milik yang paling berharga bagi mereka,to capture whatever they prize most.
Bagi de Kock, para pimpinan lawan adalah sesuatu yang amat berharga.
Mereka dibujuk dan diajak berbicara untuk menyelesaikan permusuhan
secara damai. Berunding dengan lawan tidak berarti mengurangi kehormatan
dan kewibawaan pemerintah karena karakter orang Jawa ternyata sulit
diperhitungkan. Mereka seringkali terlihat sebagai orang yang lamban dan
pemalas, namun ternyata mereka adalah gerilyawan yang tangguh.
Dari hasil pemikiran dan pengalaman di lapangan, de Kock memperbaiki
kesalahan strategi mobilitasnya. Pada tahun 1827, ia memutuskan untuk
melaksanakan strategi baru, yaitu strategi Stelsel Benteng. Strategi ini
meliputi dua aspek, yaitu aspek strategi dan aspek sistem persenjataan
yang menyatukan pasukan dengan senjatanya. Dalam strategi ini, benteng,
meriam dan pasukan menjadi unsur pokok ofensif-defensif. Benteng menjadi
tidak terpaku dalam satu wilayah (statis), tetapi dinamis.
Dalam teori strategi, Stelsel Benteng disebut sebagai strategi tidak
langsung. Sebab, penguasaan wilayah agar pasukan dapat memperoleh
kebebasan bergerak esensinya. Pasukan harus berada sedekat mungkin
dengan lawan untuk memecahkan konsentrasi pasukan lawan, sehingga
benteng sebagai pangkalan pasukan harus dibangun sedekat mungkin dengan
daerah penduduk lawan. Operasi-operasi militer yang berupa patroli
taktis ofensif dilakukan secara teratur. Gunanya untuk mendesak lawan ke
suatu “killing area”,
yaitu daerah antara Sungai Projo dan Bogowonto, yang merupakan daerah
yang dijaga secara ketat dengan mendirikan benteng-benteng untuk
mempersempit lawan dan mencegah penerobosan lawan ke luar wilayah, serta
mendisorganisasi kekuatannya.
Pelaksanaan strategi benteng disertai beberapa pedoman dan operasi yang harus ditaati oleh setiap prajurit, seperti larangan (forbidances)
bagi pasukan untuk tidak membakar desa (rumah, lumbung-lumbung pangan
dan rumah ibadah), menangkap ternak (lembu, kerba dan kambing),
menghancurkan panen juga persediaan makanan atau lumbung-lumbung pangan.
Perbuatan-perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan sikap antipati dan
permusuhan yang berujung perlawanan.
Pasukan juga diharuskan berhubungan langsung dengan masyarakat agar
mereka merasa terlindungi. Merebut simpati masyarakat amat esensial
dalam strategi ini. Inilah sebuah strategi yang menggabungkan
beberapaaspek militer ofensif-defensif dengan aspek kultural, psikologi
dan ekonomi.
Secara ringkas, konsepsi Stelsel Benteng adalah penguasaan teritorial
atau penaklukan total. Penguasaan teritori merupakan tujuan pokok, sebab
jika keamanan ditegakkan, diharapkan perekonomian rakyat akan pulih dan
pajak-pajak bisa dipungut kembali. Aspek kultural yang disosialisasikan
kepada tentara adalah menghormati kepercayaan dan budaya setempat.
Aspek psikologi terutama untuk melunakkan sikap fanatik (dwiepziek) lawan.
Konsepsi Stelsel Benteng dimaksudkan
untuk memperbaiki kualitas daya tempur pasukan Jendral de Kock yang
merasa malu atas kegagalan selama perang dua tahun. Dapat dikatakan,
strategi itu adalah kekuatan baru setalah gagasan membagi Kesultanan
Yogyakarta ditolak oleh Menteri Koloni dan Kelautan, Elout, pada April
1827 atas nama Raja Belanda.
Operasi sosial dilakukan oleh Belanda dengan mengerahkan para bangsawan pemilikapanage ke
medan perang dengan tugas utama mempengaruhi masyarakat agar tidak
melakukan “perbuatan jahat”. Istilah “berandal” juga dipopulerkan di
masyarakat.
Operasi psikologi dilakukan oleh Belanda dengan mengangkat kembali
Sultan Sepuh (Sultan Hamengkubuwono II) pada Agustus 1826. Pengangkatan
ini membawa pengaruh besar terhadap sebagian bangsawan yang berpihak
pada Diponegoro. Pangeran Mangkudiningrat, adalah salah satu pimpinan
pasukan di Sambiroto yang meninggalkan Diponegoro. ia menghubungi
Residen Kedu, van Valck, untuk menyatakan keinginannya menghentikan
permusuhan dengan meminta imbalan apanage di
Kaliabu Pada 1 Desember 1826, sekalipun permohonannya ditolak,
Mangkudiningrat tetap menyerah. Menyerahnya Mangkudiningrat
menginspirasi Belanda untuk membuat surat tawaran yang berisi ajakan
untuk berdamai dan menghentikan permusuhan juga disampaikan kepada para
pimpinan pasukan Diponegoro lainnya. Pangeran Notoprojo dan Pangeran
Serang berhasil dibujuk.
Belanda juga melakukan operasi teritorial sebagai upaya menjauhkan
Diponegoro dari rakyat. Karena tanpa dukungan rakyat, pasukan
Diponegoro akan terisolir dan hanya dianggap sebagai berandal atau
gerombolan perampok. Tujuan utamanya adalah untuk memikat hati rakyat,
membina perkawanan, dan merebut teritori secara damai, yang berguna
untuk mempersempit ruang gerak lawan. Belanda berusaha merebut simpati
rakyat dengan membentuk opini dan sikap antipati terhadap pasukan
Diponegoro.
Operasi teritorial dilakukan dengan dua cara, persuasif dan intimidasi.
Cara persuasif dilakukan untuk meyakinkan rakyat bahwa tentara Belanda
tidak berperang atau memusuhi orang Jawa, tetapi hanya mencari
Diponegoro dan Kyai Mojo serta pengikutnya. Cara kedua dilakukan dengan
intimidasi. Bila ada orang yang menolak memberikan informasi kepada
pasukan Belanda, seluruh penduduk akan dianggapberandal dan desa akan dibakar. Para kuli dan tukang rumput (untuk kuda) juga tidak akan dibayar upahnya.
Strategi Stelsel Benteng ini memaksa pasukan Diponegoro untuk berpencar
menjadi kelompok-kelompok kecil. Keadaan ini bukan tanpa resiko.
Komunikasi diantara para pimpinan pasukan Diponegoro menjadi terhambat.
Masing-masing akhirnya mengambil inisiatif sendiri tanpa menunggu arahan
komando dari panglima tertinggi, yaitu Diponegoro. Destabilisasi mulai
terjadi di tubuh pasukan Diponegoro. Menurut Carley, ada tiga indikator
utama terjadinya destabilisasi sebuah jaringan, yaitu berkurangnya
aliran informasi, kesulitan untuk mencapai konsensus umum, dan
berkurangnya efektivitas pelaksanaan tugas secara keseluruhan.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk melakukan bujukan dan rayuan
kepada beberapa tokoh kunci pasukan Diponegoro. Tawaran pengampunan
atau negosiasi penyelesaian permusuhan secara damai pun dilakukan oleh
Belanda. Untuk mengantisipasinya, Diponegoro memutuskan tidak seorang
pun boleh bertemu dengan Residen Kedu, van Valck.
Menurunnya perlawanan pasukan Diponegoro ditandai dengan menyerahnya
pemimpin spiritual perjuangan, Kyai Mojo pada tahun 1829. Tak berapa
lama, panglima utama Diponegoro Sentot Alibasya dan Pangeran Mangkubumi,
menyusul menyerah.
Ketidaksamaan tujuan mulai terjadi diantara para pimpinan pasukan
Diponegoro. Salah satunya adalah antara Diponegoro dengan Kyai Mojo.
Perdebatan besar terjadi antara Diponegoro dan Kyai Mojo pada Agustus
1827 tentang hakikat kekuasaan politik. Kyai Mojo, menurut Diponegoro,
menantang posisinya sebagai Sultan Herucokro dengan memintanya membagi
kekuasaan menjadi empat bagian, yaitu kekuasaan Ratu (Raja), wali (penyebar agama), pandita (yang terpelajar di bidang hukum), dan mukmin (orang
yang percaya). Mojo menyarankan agar Diponegoro memilih satu saja dari
empat fungsi di atas. Jika Pengeran Diponegoro memilih menjadi ratu, Kyai Mojo
mengatakan ia sendiri akan mengambil kekuasaan wali dan akan
menjalankan kekuasaan agama secara mutlak. Namun, Diponegoro menolak
pembagian kekuasaan semacam itu. Bagi Diponegoro, ia adalah Khalifah
Nabi Allah dalam perang suci di Tanah Jawa, dimana kekuasaan poitik dan
agama berada di tangannya.
Perdebatan berlarut-larut ini ternyata sulit diselesaikan. Fakta bahwa
Kyai Mojo menjadi kekuatan ideologi pendorong di balik perang dan
intelektual Diponegoro yang tidak mudah didikte menciptakan keadaan
dimana sulit dicari titik temu.
Karakter keras kepala dan yakin akan pendapatnya sendiri membuat Kyai
Mojo sempat membuat keputusan sendiri tanpa sepengetahuan Diponegoro.
Pada awalnya ia diinstruksikan oleh Diponegoro untuk kembali ke Pajang,
namun kemudian mengambil inisiatif untuk bertemu dengan Letnan Kolonel
Wironegoro (pihak Belanda) dan membuat perjanjian terpisah dengan
Belanda.
Perubahan sikap Kyai Mojo, yang merupakan tokoh spiritual pasukan
Diponegoro, terjadi akibat terbujuk muridnya, Kyai Dadapan (yang
berkhianat memihak Belanda) dalam pertemuan tersebut Kyai Mojo
mengajukan beberapa permintaan dan syarat, yaitu keluarganya
diperbolehkan ke Pajang dengan hak-hak khusus, pengakuan dirinya sebagai
penata agama di Keraton, serta mendapat pengawalan sebuah barisan
pasukan berkuda. Wironegoro menyanggupi semua permintaan Kyai Mojo
apabila ia bersungguh-sungguh ingin menghentikan perang.
Sayangnya Kyai Mojo tidak menyadari bahwa Belanda bersikap jauh lebih
lunak kepada para ningrat yang menyeberang ke pihak mereka, tetapi tidak
kepada santri terkemuka seperti dirinya yang mereka anggap sebagai
pihak yang paling bertanggungjawab mengobarkan fanatisme agama dalam
perang.
Inisiatif Kyai Mojo ini membuat Diponegoro marah. Perbuatan Kyai Mojo
dinilai sebagai perbuatan nista dan perbuatan orang yang takut mati. Ia
dianggap telah menghina rekan-rekannya yang gugur dalam perang sabil
dalam rangka menegakkan agama Islam.
Dene banget karya nistha
tulusuran luru urip
tuture ngelmu tan kena
wus titah lamun tan keni
ginugu ujarneki
ngulama apa ran iku
Sungguh perbuatan yang nista
berkelana hanya ingin hidup (takut mati)
ilmunya tidak bisa
perintahnya tidak bisa
diteladani kata-katanya
ulama macam apa dia
Diponegoro menegaskan, bahwa ia tidak pernah mengijinkan Kyai Mojo untuk bertemu siapa pun.
Mangkono maneh ki Maja
Bicara tan sun lilani
Lamun tan wani jurit
Angur konen bali iku
Demikian Kyai Mojo
Tidak saya ijinkan berunding
Jika tidak berani berperang
Lebih baik kembali
Setelah peristiwa tersebut, Kyai Mojo berusaha bertemu dengan Diponegoro
untuk meminta Maaf tetapi permintaan tersebut ditolak oleh
Diponegoro.karena situasi yang tidak menentukan dan membahayakan Kyai
Mojo serta pasukan nya. Akhirnya, Kyai Mojo berserta pasukannya kemudian menuju Pajang.
Mengetahui hal itu, pasukan Letnan
Kolonel Le Bron de Vexela yang telah mengintai Kyai Mojo dengan cepat
mengikuti gerak Kyai Mojo. Pada 11 November 1828 dini hari, mereka
melakukan pencegatan dan menyergap pasukan Kyai Mojo di tepi Barat
Sungai Bedog. Kemudian, Kyai Mojo dan pengikutnya dibawa ke Salatiga.
Keberhasilan Belanda menangkap Kyai Mojo dan pasukannya membuat pasukan
Diponegoro yang masih tersisa semakin terkepung di daerah sempit antara
Kali Progo dan Kali Bogowonto. Di situ, strategi Belanda untuk membangun
benteng-benteng darurat untuk melindungi dan mempertahankan
wilayah-wilayah yang baru saja dibebaskan oleh pasukan mereka mulai
mempersulit Diponegoro dan para panglimanya dalam pasokan makanan dan
logistik tempur lainnya. Kesulitan-kesulitan juga mulai dirasakan dalam
memungut pajak untuk membiayai pasukan.
Pada awal perang, Diponegoro mengorganisasi kebijakan pajaknya sendiri
di daerah-daerah yang berhasil direbut. Hal ini meliputi pajak tanah dan
cukai di pasar-pasar setempat.Tugas-tugas militer dan tugas-tugas
administratif sungguh-sungguh dipisahkan. Kadang-kadang, bupati yang
diangkat Pangeran ikut dalam pertempuran, namun mereka kebanyakan
diarahkan untuk memainkan peran administratif. Orang-orang yang dipilih
Diponegoro untuk jabatan keuangan tersebut ditarik dari pejabat-pejabat
priayi senior keraton yang pernah mengabdi pada kesultanan dalam jabatan
yang sama. Namun bagi komandan militer, Diponegoro menerapkan kriteria
yang berbeda. Di sini, kriterianya adalah keberanian pribadi dan
keperkasaan dalam pertempuran. Dalam pandangan Pangeran, keberanian pada
dasarnya adalah sifat orang muda.
Namun pada Desemebr 1828, dengan semakin sulitnya pendanaan yang dialami
oleh pasukan tempur, membuat Sentot Prawirodirjo meminta agar diberi
kuasa untuk memimpin seluruh kekuatan pasukan Diponegoro di medan
tempur, sekaligus diizinkan untuk menarik pajak secara langsung.
Hal ini mengganggu batin Diponegoro, yang sadar bahwa perannya sebagai
Ratu Adil mestilah menjamin kebijakan pajak yang ringan, dan tersedianya
sandang pangan yang murah. Pangeran takut jangan-jangan rakyat
kebanyakan bakal tertindas jika Sentot Prawirodirjo—yang terkenal suka
hidup boros—diizinkan memegang dalam satu tangan tanggungjawab militer
dan pemerintahan.
“Jika orang yang memegang pedang juga nyambi memegang uang, bagaimana [ini]? Apakah tidak semakin kapiran (terbengkalai)?
Akhirnya, dengan rasa enggan Diponegoro setuju untuk memerintahkan pajak
pasar bulanan dibagi antara Sentot Prawirodirjo dan dirinya, dengan dua
pertiga untuk Sentot Prawirodirjo dan sepertiga untuk Pangeran
pribadi.Pangeran Diponegoro cukup menyesali keputusannya tersebut.
Segera sesudah Belanda membangun dengan cepat sebuah benteng baru yang
besar di Nanggulan, di tepi jalan antara Sentolo dan Kalibawang, Sentot
tidak bereaksi cukup cepat karena sibuk dengan urusan keuangan.
Ketika panglima muda ini memerintahkan serangan dengan kekuatan penuh,
benteng Belanda sudah terlampau kuat untuk ditembus dan ia menderita
kekalahan besar pada awal Januari 1829.
Pertengahan 1829, suplai makanan semakin menipis. Pejabat-pejabat lokal
yang semula mendukung Diponegoro sekarang berbalik menentangnya. Banyak
yang mengungsi ke wilayah yang berada di bawah kendali benteng Belanda,
karena keamanan dirasa lebih terjamin dan kesempatan ekonomi lebih baik.
Perilaku culas dari sebagian pejabat pasukan Diponegoro serta kebijakan
Belanda untuk merebut hati rakyat dengan memberikan bajak dan benih
gratis kepada mereka yang mau pindah ke wilayah Belanda, mendorong para
petani dan keluarga mereka tetap betah tinggal di dekat benteng
tersebut. Ikatan kerjasama dan saling percaya antara pasukan Diponegoro
dan penduduk desa setempat sudah rusak. Tanpa adanya dukungan rakyat
tidaklah mungkin dilancarkan perang gerilya yang berhasil.
Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro,
sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829
Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi),
Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi,
tetapi hasilnya nihil.
Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran
Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk
membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran
Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda.
Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa
oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan
Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan
pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.
Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan
Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran
Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura,
Pangeran Suryakusuma, dan Kanjeng Pangeran Dipasana. Semuanya masih
mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro. Menyerahnya secara
berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat
melumpuhkan pasukan Diponegoro.
Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang
disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat,
yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah
berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini
telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat
yang diajukan oleh Alibasah cukup berat, yaitu:
- Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000
- Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan
Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan
persenjataan dan pakaian seragam
- Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api
- Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah
Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa
- Mereka bebas menjalankan agamanya
- Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak
- Diizinkan pasukannya memakai surban
Tawar-menawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829
di Imogiri, antara delegasi Ali basah dengan delegasi Belanda, yang
hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi
Hindia Belanda di Batavia.
Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain
berisi: “…saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius
bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha menyenangkan hati Alibasah,
karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah
dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita …..
seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena
sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila
Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada
kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan
dari pada kita.”
Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia
Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktober 1829, antara lain berbunyi:
“Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De
Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin
dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah
dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak
pemberontak.”
Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan
bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh
Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk
segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000 dan 200 pucuk senjata untuk
dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah
komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah
wewenang sultan. Syarat-syarat lainnya seluruhnya dipenuhi.
Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23
Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk
menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan
pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock
dengan upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali basah dan puluhan Pangeran
dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan
tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal
sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Diponegoro
sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat
meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia
harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di
medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara.
Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda
terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan
Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan
Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus
ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara
lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro
yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa
tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda.
Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung
Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro
sendiri).
Pada akhir 1829, posisi Diponegoro beserta sisa pasukannya telah
diketahui secara jelas. Namun de Kock tidak memerintahkan penyerbuan
untuk membunuh Diponegoro. Ia sadar pengaruh Diponegoro masih besar di
masyarakat Jawa. Hal ini terbukti saat ia mengumumkan sayembara untuk
menangkap Diponegoro, hidup atau mati, dengan hadiah uang, tak seorang
pun yang menanggapi. Sebagai pribadi dan sebagai seorang prajurit, de
Kock ingin mengakhiri perang dengan kesatria tanpa menjadikan Diponegoro
sebagai pahlawan. Kematian Diponegoro hanya akan membuat orang Jawa
menganggap orang Belanda sebagai musuh—sesuatu yang sangat ingin
dihindarinya.
Dengan alasan tersebut, ia akhirnya memilih untuk memperdaya dan
membujuk Diponegoro keluar dari kantong pertahanannya secara damai untuk
kemudian menangkapnya. De Kock berusaha mengeksploitasi nilai-nilai
budaya dan karakter kesatria bangsawan Jawa yang ada pada diri
Diponegoro. Salah satu nilai kesatria yang dianggap luhur adalah
“seorang kesatria pantang ingkar terhadap janji”. Karena itu, ia
memerintahkan Kolonel Cleerens untuk terus melakukan aksi tipu daya
terhadap Diponegoro sampai ia mengucapkan janjinya.
Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus
saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu
Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18
Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.
Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus
dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti
Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil
yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830
telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro dengan Kolonel
Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di
Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen.
Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro
menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai
posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock.
Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia.
Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan
pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka.
Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua
belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan
dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan
perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang
tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di
Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang
ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan
suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda
karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama
sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock
terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya
jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.
Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam
bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.-
Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang
ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro
di tempat penginapan perundingan di Magelang.
Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal de Kock telah memberikan perintah
rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat
pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan
Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila
perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap!
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung
Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung
Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa
sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini
menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai
dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30 pagi Diponegoro dengan
stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung
keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock
dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De
Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu
Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah
Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock
disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers
dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.
Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda
lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin
pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan
Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap
saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh
Jenderal De Kock.
Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan
Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah
memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak
diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan
dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara
moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.
Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan
untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi
menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan.
Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras
untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan
panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika tuan
menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan
di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan
baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik
kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya
kami datang kemari.”
Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan
yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka
akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara
lain: “Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan
mengatur agama Islam di pulau Jawa”. Mendengar jawaban ini Jenderal De
Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan
mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa
tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat
dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.
Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan
Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda sampai besok, berarti
kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi
guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa
perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan
stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: “Kalau begitu,
tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.”
Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : “Jika demikian,
maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan
kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila
perundingan ini gagal.”
Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka peperangan akan
berkobar lagi.” Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan jantan,
mengapa tuan takut berperang?”
Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du
Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta
seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro
dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.
Menyadari telah tertipu, Diponegoro kemudian menyatakan diri
bertanggungjawab atas pecahnya peperangan. Namun ia tetap menolak
menyerah dan menyatakan lebih baik mati.
Pan wus yekti nora nana maning
Begja pinatenan
Ingsun tan nedya gumingsir
Sesungguhnya tidak ada lagi
Sekalipun dihukum mati
Saya tidak akan menyerah
Dalam kondisi emosional, Diponegoro sempat berpikir untuk membunuh
Jenderal de kock. Namun niat tersebut ia urungkan mengingat akibatnya
kurang baik.
Pan sansaya enget tyasnya Sri Bupati
Lamun matenana
Ingsun marang jendral iki
Nora becik temahira
Terpikir oleh Sri Raja
Seandainya membunuh
Jenderal
Tidak baik akhirnya.
Kesadaran itu membuatnya bersikap pasrah terhadap takdir. Ia memutuskan
untuk meninggalkan Tanah Jawa karena tidak ada yang dimilikinya lagi di
sana. Keputusan itu juga untuk menghormati mereka yang gugur dalam
peperangan karena membela dan melaksanakan perintah.
Tujuan diponegoro mencapai cita-cita ini terus dilakukannya, meski ia
tahu bahwa ia akan kalah. Bukan keberhasilan mencapai tujuan ini yang
menjadi fokus utama Diponegoro.. Baginya, konsisten dalam menjalani
proses adalah sebuah kemenangan tersendiri.
Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya (Kyai Mojo) dibawa
ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang
terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada
tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota
Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia
kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh lima
tahun.
Perang ini juga memberi dampak yang cukup dahsyat pada keluarga dan
keturunan Diponegoro. Bertahun-tahun lamanya keluarga Pangeran
Diponegoro dikucilkan dan diasingkan oleh kalangan keraton karena
tindakan perjuangan perlawanan Pangeran Diponegoro tersebut. Kondisi ini
baru pulih setelah Diponegoro mendapatkan pengakuan sebagai Pahlawan
Nasional pada tanggal 6 November 1973.
Pasca kemenangan di perang Diponegoro, Belanda mulai melakukan
demiliterisasi di kalangan masyarakat Jawa. Kekhawatiran terhadap
munculnya jiwa keprajuritan bangsa Jawa membuat pemerintah kolonial
Hindia Belanda mengeluarkan strategi baru. Untuk melemahkan kekuatan
Jawa, selain diadakan tanam paksa, pasukan keraton juga
didemobilisasikan.
Selanjutnya, keraton dipisahkan dari rakyat dengan cara menghapus tanah
lungguh para bangsawan/pejabat keraton dan juga menghapus tanah-tanah
mancanegara. Dengan dihapusnya tanah lungguh, berarti para bangsawan
tidak lagi memiliki basis di pedesaan. Akibat lebih jauh, tradisi dan
potensi militer kerajaan menjadi lumpuh. Semangat, kemampuan, dan
keterampilan prajurit terus merosot.
Terlebih lagi dengan dihapusnya tradisi Seton (pisowanan hari Sabtu)
pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830-1858) di Surakarta. Sejak
itu, prajurit Jawa benar-benar kehilangan arena berlatih yang juga
sekaligus ajang pencarian bakat militer. Untuk semakin menggerus jiwa
keprajuritan bangsa Jawa, satu-satunya kerajaan yang diberi kesempatan
oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memelihara tentara yang
agak lengkap hanya Mangkunegaran, yang dinilai loyal dan tidak
membahayakan.
Di tengah kebuntuan perkembangan militer secara fisik, Belanda juga
mengembangkan konsep ksatria Jawa, yang aktualisasinya tidak lagi
berhubungan dengan organisasi kemiliteran. Sejalan dengan ide
kepriyayian, maka ide kstaria yang ditanamkan lewat wayang dan piwulang
itu lebih ditekankan pada segi moral dan etika.
Sejak itu, dunia keprajuritan Jawa hidup dalam bayangan. Kebesaran,
kemegahan, keperkasaan prajurit dan ksatria Jawa hanya tinggal kenangan,
yang tersimpan dalam catatan sejarah, naskah babad, kronik, atau cerita
tutur, tempat bangsa Jawa bernostalgia pada kebesaran masa lampau.
Aliran darah prajurit dan tradisi ksatria pada bangsa Jawa seolah-olah
lenyap tinggal bekas-bekasnya
KESIMPULAN
Dalam ranah sejarah strategi militer, perang Diponegoro ini meninggalkan
jejak sejarah yang monumental. Penerapan taktik strategi militer
Stelsel Benteng yang memadukan antara manuver kolone dengan pembangunan
benteng, disertai dengan strategi Blokade Politik, Isolasi Politik,
politik Belah Bambu, Politik Adu Domba, dibarengi penelitian
sosio-budaya oleh ilmuwan orientalis, oleh Pemerintah Hindia Belanda
untuk selanjutnya terus dipakai untuk memandamkan perlawanan
pemberontakan di berbagai pelosok Nusantara. Termasuk pula di antaranya
untuk menjinakkan perlawanan rakyat Aceh.
Perang Diponegoro ini pada hakekatnya adalah manifestasi dari konflik laten di antara bangsawan Jawa, sebuah Permanent Warfare yang
beraspek politik dan budaya. Kekalahan Pangeran Diponegoro bermakna
ideologis di mana gagalnya realisasi gagasan Pangeran Diponegoro
membentuk Balad Islam dan menjadi Khalifah Islam di tanah Jawa.
Diskursus tentang negara (balad) Islam
di tanah Jawa sudah ada dari jaman Pangeran Diponegoro. Bahkan bukan
sekadar wacana, melainkan bagaimana untuk mempertahankannya. Perang
Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin
oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar
berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang
berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar
belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang
memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at
Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan
dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti
yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan
politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa.
Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena
tujuan dan metodenya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak
seimbang, baik manpower,
persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang
sebagian besar membantu Belanda yang kafir; disamping tipu muslihat yang
licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda.
Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak
kepribadian penguasa kolonial Barat di Indonesia, baik Portugis-Kristen
Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.
Jika sekarang diskursus tentang negara Islam kembali hangat, mestinya
umat tidak perlu merasa heran. Berarti ada yang memelihara kesinambungan
perjuangan islam di tanah Jawa sesudahnya, sebagai sebuah upaya
rekonstruksi sejarah dan mengembalikan visi dan misi Islam kembali ke
jalurnya. Yang harus menjadi pertanyaan adalah siapa yang menjadi
pelanjut perjuangan itu kini?