DICERITAKANLAH PADA JAMAN DAHULU ADA SEORANG BERNAMA RANGGA PESU. KETIKA MUDANYA IA BERNAMA RADEN WASITA. IA SEORANG KETURUNAN BAYAT .PADA SUATU HARI RADEN WASITA DIPAKSA AYAHANDANYA MENIKAH DENGAN SEORANG PUTRI KEDIRI YANG BERASAL DARI DAERAH GUNUNG KELUT. ADA DUA ORANG, PUTRI BERASAL DARI GUNUNG KELUT INI, YANG SEORANG CANTIK RUPANYA SEDANG SEORANG YANG LAIN CACAT TUBUHNYA. OLEH KARENA SALAH TAFSIR, MENGIRA BAHWA PUTRI GUNUNG KELUT CACAT TUBUHNYA, MAKA RADEN WASITA MENOLAK. IA DIMARAHI TETAPI IA TETAP PADA PENDIRIANNYA, TIDAK MAU MENIKAHINYA. AKHIRNYA IA DIUSIR DAN PERGILAH IA DENGAN BERSEDIH HATI, KE ARAH TIMUR TANPA TUJUAN YANG JELAS UNTUK BUNUH DIRI. KEMUDIAN TIBALAH IA PADA SEBUAH TEMPAT DI KEDUNG. TANAH DAERAH ITU SUBUR DAN KEHIDUPAN PENDUDUKNYA TERLIHAT TENTERAM DAN DAMAI. NAMA LENGKAP DAERAH ITU ADALAH KEDUNG BAKUNG. KETIKA ITU YANG MENJADI RAJA ADALAH MENAK SOPAL. RADEN WASITA MENGHADAP MENAK SOPAL MENANYAKAN DAERAH HUTAN YANG PALING ANGKER YANG PASTI MATI JIKA MANUSIA MENDEKATINYA.
Menak
Sopal memberi petunjuk bahwa hutan yang paling angker adalah di daerah
selatan Kedung Bakung, ditandai oleh pohon benda. Sejenis pohon kluwih
atau sukun. Ada dua batang pohon benda yang tinggi dan besar tegak
berdampingan di hutan yang angker itu. Kemudian berangkatlah Raden
Wasita menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Menak Sopal. Ia sudah
diingatkan, jika menuju kehutan yang dikehendaki itu agar tidak
melewati arah timur, sebab di sebelah timur terdapat banyak rawa, tetapi
melalui arah Barat yang mudah dilalui. Raden Wasita mendengar apa yang
dikatakan itu, lewat melalui arah barat. Perjalanan Raden Wasita harus
melalui duri yang kedap di hutan belantara yang amat lebat dan angker,
manusia yang mendekat akan mati. Hutan itu adalah tempat makhluk halus,
seperti banaspati, jin, setan, gendruwo. Tetapi ketika ia tiba di situ
makhluk-makhluk halus itu malahan melarikan diri ketakutan. Ia menetap
di situ karena menginginkan kematian. Tetapi keinginannya itu belum
diijinkan oleh Yang Maha Kuasa.
Pada
suatu hari Raden Wasita naik ke puncak sebuah gunung, naik melalui
lerengnya, dengan merangkak-rangkak, akhirnya ia sampai di puncak gunung
itu. Gunung itu bernama gunung Tunon, sekarang disebut Manikara.
Setelah tiba di puncak gunung itu, Raden Wasita amat terkejut, sebab ia
tidak mengira sama sekali bahwa ia di puncak gunung itu akan di jumpai
seorang puteri yang sedang bertapa. Puteri itu buta dan sedang hamil,
sehingga timbullah rasa belas kasihannya. Raden Wasita kemudian
mengawasi dan menunggui sampai puteri itu melahirkan. Ketika puteri itu
akan melahirkan, dibawanya turun dari puncak gunung itu. Sesudah bayi
itu lahir dan sesudah 40 hari putri itu dibawa kembali ke puncak gunung
Tunon tersebut. Tempat terjadinya peristiwa itu sekarang masih ada dan
oleh penduduk sekitarnya tempat itu tetap diperingati dan disebut
punden atau tempat yang keramat.
Dikisahkanlah
pada suatu hari dari puncak gunung itu Raden Wasita melihat daerah di
sebelah Barat, yaitu termasuk daerah Panaraga, nampak sebuah telaga
yang jernih airnya, dan berkilauan. Telaga itu adalah tempat mandi para
bidadari. Raden Wasita,.selaku orang muda ingin mengetahui siapa
bidadari yang mandi di telaga itu, tetapi ia harus berhati-hati dalam
mendekatinya. Ia pun mencari akal, dan keputusannya adalah mencari
tempat untuk “ngenger” di daerah di sekitar telaga.
Raden
Wasita berhasil “ngenger mbok Randa Kuning”. Ia tidak hanya diterima,
tetapi diakui sebagai anak oleh janda tua itu. Pekerjaannya setiap
harinya selain bertani, juga menggembalakan kambing. Dan pekerjaan kedua
ini agaknya adalah kesempatan yang baik bagi Raden Wasita untuk dapat
mendekati telaga-telaga itu. Setiap menggembala, kambingnya dibentak
dan diarahkan mendekati telaga itu. Raden Wasita berhasil menyelinap dan
dapat mendekati telaga itu, bahkan berhasil mendekati tempat para
bidadari yang sedang mandi di telaga itu, Ia mencuri pakaian para
bidadari yang sedang mandi itu, tetapi ketahuan Raden Wasita dikutuk
oleh para bidadari itu agar menjadi tugu, dan Raden Wasita pun menjadi
tugulah, tidak dapat bergerak lagi. Kemudian para bidadari itu mengambil
pakaian mereka, dan kembali ke Kayangan.
Raden
Wasita telah menjadi tugu, tegak di tengah-tengah padang. Embok Randa
Kuning kebingungan mencari anaknya yang belum pulang pulang juga. Karena
itu ia mencarinya dengan memperhatikan kambingnya yang
mengembik-embik. Sesudah ditemukan ia tercenggang karena Raden Wasita
telah menjadi tugu. Embok Randa kemudian memohon kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa agar anaknya dapat kembali hidup seperti semula. Permohonannya
ternyata dikabulkan. Raden Wasita kembali seperti semula lalu pulanglah
ia bersama embok dan kambingnya.
Dengan
pengalaman- itu rupanya ia tidak, bosan-bosan juga mencari akal
bagaimana supaya ia dapat mencuri pakaian para bidadari yang sedang
mandi di telaga itu. Pada suatu hari Raden Wasita pun menggembalakan
kambingnya di tepi telaga itu. Kali ini ia berhasil mencuri pakaian
seorang bidadari, tetapi ketahuan juga dan ia pun melarikan diri. Tiba
di dekat rumahnya ia menyelinap bersembunyi. Sang bidadari disongsong
oleh embok Randa lalu ditanyai, “Siapakah engkau ini ?” Mengapa engkau
berlari-lari tanpa pakaian ? Apakah engkau tidak malu ?’ Bidadari itu
menjawab dan minta dikasihani. “Aduh, Embok, saya sedang mandi di
telaga itu lalu pakaian saya dicuri seseorang. Orang itu saya kejar
sampai di sini tetapi tidak saya temukan. Apakah Embok tahu orang itu ?”
Demikianlah sang Bidadari mengharapkan belas kasih kepada Embok Randa.
Timbullah rasa kasihan Embok Randa, lalu dipinjaminya baju, kain, dan
lain-lain kepada bidadari itu, dan ditawarkan kepadanya untuk mau
tinggal bersamanya.
Akhirnya
Bidadari itu mau ikut kepadanya, dan oleh Embok Randa ia diangkat
menjadi anak. Kemudian bertemulah ia dengan Raden Wasita yang akhirnya
menjadi jodohnya. Pada suatu hari Raden Wasita bersama istrinya, sang
Bidadari naik ke gunung Manikara atau gunung Tunon dengan maksud dapat
menemui seseorang yang ada di gunung Tunon yang sudah lama tidak
bertemu. Setelah berada di situ ia merasa betah di situ lalu menetap
di.gunung Tunon. Beberapa lama kemudian Raden Wasita ketamuan seorang
pemuda bernama Jigang Jaya, yaitu putra Menak Sopal. Jigang Jaya
menceritakan bahwa oleh ayahnya, Menak Sopal ia dipaksa kawin. Ia tidak
mau menerima kehendak ayahnya, kemudian ia diusir dari rumahnya.
Jigang
Jaya lari ke selatan yaitu menuju ke puncak gunung Tunon. Kehadiran
Jigang Jaya diterima oleh Raden Wasita dan dianggap sebagai saudaranya
sendiri dan disuruh tinggal bersama-sama di gunung Tunon itu. Jigang
Jaya menyanggupinya. Tiada lama kemudian dinikahkan oleh Raden Wasita
dengan puteri Kedung Gali.
Sekarang
kedung itu masih bernama Kedung Gali terletak di daerah Kampah. Setelah
hidup bersama dengan puteri Kedung Gali, Jigang Jaya sekeluarga pindah
menetap pada sebuah tempat bernama Kedung Sangkal. Tempat ini sekarang
disebut Ngudalan, menjadi tempat penyeberangan. Tempat itu merupakan
“sendang” kecil yang airnya jernih dan selalu mengalir dan tidak pernah
kering baik di musim kemarau maupun di musim hujan. Kembalilah kini
kepada Raden Wasita yang tinggal di gunung Tunon. Kehidupannya di gunung
Tunon tidak tenteram. Setelah be-rembug dengan keluarganya
diputuskanlah untuk pindah tempat tinggal. Mereka pindah ke sebuah
tempat bernama Pesu. Di situ Raden Wasita menemukan kebahagiaan. Para
tetangga senang semuanya kepadanya. Oleh karena itu Raden Wasita
mendapat kehormatan. Ia diangkat menjadi pimpinan mereka menjadi
“Rangga” di Pesu. Oleh sebab itu ia disebut Rangga Pesu. Kehidupannya
bertambah tenteram dan baik.
Pada
suatu hari sang Bidadari pergi ke sungai dengan maksud mencuci popok
anaknya, karena ia mempunyai anak kecil. Ketika itu ia sedang masak.
Sang suami disuruh menunggu rumah. Setelah istrinya pergi, timbullah
pikiran pada Raden Wasita “E … La . . ., apa sebabnya ia memasak nasi
seolah-olah amat dirahasiakan. Mengapa padi yang ber-lumbung-lumbung
tidak berkurang juga”. Maka ketika ia membetulkan nyala api pemasak,
dandang yang ia pakai untuk memasak nasi itu dibuka. Terlihatlah dalam
kukusan pada dandang itu bukannya nasi melainkan padi yang masih
bertangkai. “Oh …. begitulah cara istriku memasak nasi, dengan padi
yang” masih utuh, pikirnya”. Selanjutnya tutup dandang dikembalikan
seperti semula, diatur baik-baik supaya tidak ketahuan. Sesudah pulang
dari sungai mencuci-cuci, istrinya menuju ke dandangnya. Kiranya padinya
masih utuh belum berubah menjadi nasi. Bertanyalah sang Istri pada sang
Suami, “O . . . . Pak, apakah engkau membuka dandang ini ?” Dengan
tergagap-gagap sang Suami menjawab, “Ti . . . Ti . . . dak, tetapi ingin
tahu,” demikian jawabnya.
Lama-lama
sang Suami pun mengaku, bahwa ia telah menengok dandang dengan maksud
ingin mengetahui isinya. “Dengan kejadian ini engkau sebagai laki-laki
telah berani membuka isi dandang, maka berarti kerahasiaan sudah tidak
ada lagi. Oleh sebab itu engkau harus membuat lesung, antan dan
sebagainya. Sekarang padi tidak bisa lagi menjadi nasi, tetapi harus
menjadi beras dulu dengan cara menumbuk dengan alat-alat itu”.
Rangga
Pesu kemudian membuatkan alat-alat yang digunakan untuk menumbuk padi
menjadi beras. Sampai sekarang tempat itu masih ada yaitu di dukuh Pesu
di daerah desa Karangreja, Kecamatan Kampah dan terdapat peninggalan
berujud arca, antan dan lesung.
Pada
suatu hari di dukuh tersebut diselenggarakanlah bermacam-macam
keramaian, di antaranya adalah dengan bunyi-bunyian yang ditimbulkan
oleh antan yang dipukulkan ke lesung yang bunyinya amat riuh. Karena
lesung dan antan, timbunan padi di lumbung pun makin menipis dan
akhirnya habis. Dan demikianlah terus berjalan dari lumbung yang satu
ke lumbung yang lain. Selanjutnya istri Rangga Pesu membersihkan lumbung
itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia ketika melihat lipatan pakaian
yang indah. Sesudah diamati ternyata pakaian itu adalah miliknya dahulu
yang hilang. Ia pun bertekad akan mengenakan pakaian itu kembali dengan
maksud akan kembali ke langit. Ia merasa di dunia ini harus mandi
keringat, bekerja keras, sedangkan di surga ia bersenang-senang dengan
puteri lainnya. Padahal ia hidup bersama dengan Rangga Pesu telah
mendapatkan tiga orang anak.
Pada
suatu malam duduklah Rangga Pesu dengan isterinya. Kesempatan baik ini
digunakan oleh isterinya untuk berpamitan kembali ke Kayangan. Rangga
Pesu sesungguhnya tidak mengijinkan, mengingat ketiga orang anaknya
masih memerlukan perawatan. Lalu berkatalah sang Istri kepada sang
Suami, “Anakku yang terkecil engkau embunkan saja setiap pagi. Pendek
kata boleh atau pun tidak aku akan kembali ke langit.”
Sang Bidadari pun kembalilah ke Kayangan dan Rangga Pesu harus memelihara anaknya yang masih kecil-kecil.
Anak
yang terkecil sesuai dengan pesan istrinya setiap pagi diembunkan di
tengah halaman. Dalam merenungi nasibnya dan memikirkan mengapa istrinya
berpamitan pulang ke langit itu, tiba-tiba ia terkejut. Ia ingat
pakaian istrinya yang disembunyikan di lumbung. Dengan cepat Rangga Pesu
lari ke lumbung dicarinyalah pakaian itu dari lumbung yang satu ke
lumbung yang lain, tetapi tidak ditemukan. Akhirnya sadarlah Rangga Pesu
bahwa pakaian itu telah dapat ditemukan oleh istrinya, sehingga
istrinya kemudian berpamitan untuk kembali ke Kayangan. Berkatalah ia
dalam hatinya, “Kalau begini betapa repotnya aku. Aku adalah seorang
laki-laki dan harus memelihara tiga orang anak yang masih kecil-kecil.
Bagaimana sebaiknya aku ini ?”
Pertanyaan itu bergema terus menerus sampai berhari-hari.
Terdengarlah
oleh Rangga Pesu berita angin bahwa di daerah selatan yaitu di Gua
Ngerit ada seorang putri sedang bertapa. Menurut cerita dari mulut ke
mulut ia adalah seorang bidadari yang turun ke bumi “Kira-kira ia adalah
ibunya anak-anak ini yang sedang bertapa di situ. Ada kemungkinan dia
tidak diterima di Kayangan lalu ia bertapa di situ,” demikian kata
hatinya. Akhirnya bulatlah tekadnya akan memperistri sang petapa itu.
Rangga Pesu pun berangkat menuju ke Gua Ngerit.
Dan
setelah beberapa lama kemudian akhirnya Rangga Pesu menikah dengan
wanita pertapa tersebut.Keduanya membimbing ketiga anak dengan berbagai
ilmu kedigdayaan dan mengabdi pada Kesultanan di bawah Kadipaten
Ponorogo.