Di dalam karaton banyak ditemukan berbagai macam lambang dalam segi
kehidupan, dimulai dari bentuk dan cara mengatur bangunan, mengatur
penanaman pohon yang dianggap keramat, mengatur tempat duduk, menyimpan
dan memelihara pusaka, macam pakaian yang dikenakan dan cara
mengenakannya, bahasa yang harus dipakai, tingkah laku, pemilihan warna
dan seterusnya. Karaton juga menyimpan dan melestarikan nilai-nilai
lama, mengenal folkfor dan beberapa mitos.
Mitos yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan
komunitas karaton adalah mitos Kanjeng Ratu Kidul. Kedudukan mitos itu
sangat menonjol, karena tanpa mengenal mitos Kanjeng Ratu Kidul, orang
tidak akan dapat mengerti makna dari tarian pusaka Bedhoyo Ketawang,
yang sejak Paku Buwana X naik tahta, setiap setahun sekali tarian itu
dipergelarkan. Tanpa mengenal mitos itu makna Panggung Sangga Buwana
akan sulit dipahami, demikian pula mengenai tahayul yang dikenal rakyat
sebagai lampor.
Terdapat berbagai macam versi mitos Kanjeng Ratu Kidul antara lain
berdasarkan cerita pujangga Kyai Yosodipuro. Di kerajaan Kediri,
terdapat seorang putra Raja Jenggala yang bernama Raden Panji Asmoro
Bangun yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah
kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh
yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur
panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat
kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seto
sebagai rajanya.
Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Asmoro Bangun
melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih tersebut ikut
terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut yaitu Prabu
Banjaran Seto merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan
langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya
yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Asmoro Bangun sehingga
menjadikan dirinya bertambah sakti.
Retnaning Dyah Ratu Hayu adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta
yang kemudian menikah dengan Raden Panji Asmoro Bangun yang selanjutnya
dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa
Kliwon lahirlah putri yang bernama Dyah Dewi Angin Angin Pada saat
kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan
semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang
Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita
tercantik dijagad raya.
Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat
atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang
dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Angin Angin atau Ratu Pagedongan
dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya
tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu
Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak
pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah
sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang
dapat mengalahkannya).
Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri
Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh
wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh
pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping
tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung
(hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu
dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut
Selatan.
Kekuasaan Ratu Kidul di Laut Selatan juga tertulis dalam serat Wedotomo yang berbunyi:
Wikan wengkoning samodra,
Kederan wus den ideri,
Kinemat kamot hing driya,
Rinegan segegem dadi,
Dumadya angratoni,
Nenggih Kangjeng Ratu Kidul,
Ndedel nggayuh nggegana,
Umara marak maripih,
Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda.
Yang artinya :
Mengetahui/mengerti betapa kekuasaan samodra, seluruhnya sudah
dilalui/dihayati, dirasakan dan meresap dalam sanubari, ibarat digenggam
menjadi satu genggaman, sehingga terkuasai. Tersebutlah Kangjeng Ratu
Kidul, naik ke angkasa, datang menghadap dengan hormat, kalah wibawa
dengan raja Mataram.
Ada kisah lain dari masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menceritakan
bahwa pada jaman kerajaan Pajajaran, terdapat seorang putri Raja yang
bernama Dewi Suhita yang buruk rupa dan mengidap penyakit kulit bersisik
sehingga bentuk dan seluruh tubuhnya jelak tidak terawat.Oleh karena
itu, Ia diusir dari kerajaan oleh saudara-saudaranya karena merasa malu
mempunyai saudara yang berpenyakitan seperti dia. Dengan perasaan sedih
dan kecewa, sang putri kemudian bunuh diri dengan mencebur ke laut
selatan.
Pada suatu hari rombongan kerajaan Pajajaran mengadakan slametan di
Pelabuhan Ratu. Pada saat mereka tengah kusuk berdoa muncullah si putri
yang cantik dan mereka tidak mengerti mengapa ia berada disitu, kemudian
si putri menjelaskan bahwa ia adalah putri kerajaan Pajajaran yang
diusir oleh kerajaan dan bunuh diri di laut selatan, tetapi sekarang
telah menjadi Ratu mahluk halus dan menguasai seluruh Laut Selatan.
Selanjutnya oleh masyarakat, ia dikenal sebagai Ratu Kidul.
Di zaman Mataram kuno pun juga ada mitos Serupa.. ada seorang putri pada
Masa Rakai Panangkaran yang ingin berkuasa.. dan atas sabda Rakai
Panangkaran Putri Tersebut di suruh menjadi Ratu di laut Kidul dan
pergilah putri tersebut serta masuk ke samudra.
Yang pasti ada kerajaan ghoib di bawah laut dan di pimpin oleh seorang
Putri.. dan jumlah semua istana di sana ada sembilan yang masing2 di
pimpin oleh seorang Ratu... adapun kepercayaan masyarakat terkadang
berlebihan dan mengkultuskan mitos yang ada. Dikarenakan adanya riwayat
yang sangat di yakini oleh masyarakat tentang kebenaran mitos tersebut.
Dari cerita-cerita mitos tentang Kanjeng Ratu Kidul, jelaslah bahwa
Kanjeng Ratu Kidul adalah penguasa lautan yang bertahta di Laut Selatan
dengan kerajaan yang bernama Karaton Bale Sokodhomas.
Mitos Pertemuan Kangjeng Ratu Kidul Dengan Penembahan Senopati
Sebelum Panambahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan
tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Dalam laku tapabratanya, beliau
selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan
mengayomi rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam cerita, pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli,
sampai di tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai Opak dan sungai
Gajah Wong di dekat desa Plered dan sudah dekat dengan Parang Kusumo,
Laut Selatan tiba-tiba terjadilah badai dilaut yang dasyat sehingga
pohon-pohon dipesisir pantai tercabut beserta akarnya, ikan-ikan
terlempar di darat dan menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah
mendidih. Bencana alam ini menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul yang
kemudian muncul dipermukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana
alam tersebut.
Dalam pencariannya, Kanjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang
bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak lain
adalah Sang Panembahan Senopati. Pada waktu Kanjeng Ratu Kidul melihat
ketampanan Senopati, kemudian jatuh cinta. Selanjutnya Kanjeng Ratu
Kidul menanyakan apa yang menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga
melakukan tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan bencana alam di
laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan keinginannya
Kanjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai Penguasa di Laut Selatan
dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kanjeng Ratu Kidul menyanggupi
untuk membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan
dengan syarat, bila terkabul keinginannya maka Panembahan Senopati
beserta raja-raja keturunannya bersedia menjadi suami Kanjeng Ratu
Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan Kanjeng Ratu Kidul
namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara Panembahan Senopati dan
keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi kesepakatan itu
maka alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup kembali.
Adanya perkawinan itu mengandung makna simbolis bersatunya air (laut)
dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air
sedangkan raja Mataram dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya
adalah dengan bersatunya air dan bumi maka akan membawa kesuburan bagi
kehidupan kerajaan Mataram yang akan datang.
Menurut sejarah bahwa Panembahan Senopati sebagai raja Mataram yang
beristrikan Kanjeng Ratu Kidul tersebut merupakan cikal bakal atau
leluhur para raja Karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu maka
raja-raja karaton Surakarta sesuai dengan janji Panembahan Senopati
yaitu menjadi suami dari Kanjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya, raja
Paku Buwana III selaku suami Kanjeng Ratu Kidul mendirikan Panggung
Sangga Buawana sebagai tempat pertemuannya. Selanjutnya tradisi
raja-raja Surakarta sebagai suami Kanjeng Ratu Kidul berlangsung terus
sampai dengan raja Paku Buwana X. Alkisah Paku Buwana X yang merupakan
suami Ratu Kidul sedang bermain asmara di Panggung Sangga Buwana. Pada
saat mereka berdua menuruni tangga Panggung yang curam tiba-tiba Paku
Buwana X terpeleset dan hampir jatuh dari tangga tetapi berhasil
diselamatkan oleh Kangjeng Ratu Kidul. Dalam kekagetannya itu Ratu Kidul
berseru : “Anakku ngGer…………..” (Oh……….Anakku). Apa yang diucapkan oleh
Kangjeng Ratu Kidul itu sebagai Sabda Pandito Ratu artinya sabda Raja
harus ditaati. Sejak saat itu hubungan mereka berdua bukanlah sebagai
suami istri lagi tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak, begitu pula
terhadap raja-raja keturunan Paku Buwana X.
PANGGUNG SANGGA BUWANA DAN MITOSNYA
Secara mistik kejawen, Panggung Sangga Buwana dipercaya sebagai tempat
pertemuan raja-raja Surakarta dengan Kanjeng Ratu Kidul, oleh karena itu
letak Panggugu Sangga Buwana tersebut persis segaris lurus dengan jalan
keluar kota Solo yang menuju ke Wonogiri. Konon, menurut kepercayaan,
hal itu memang disengaja sebab datangnya Ratu Kidul dari arah Selatan.
Pada puncak bangunan Panggung Sangga Buwana yang berbentuk seperti topi
bulat terdapat sebuah hiasan seekor naga yang dikendarai oleh manusia
sambil memanah. Menurut Babad Surakarta, hal itu bukan sekedar hiasan
semata tetapi juga dimaksudkan sebagai sengkalan milir. Bila
diterjemahkan dalam kata-kata sengkalan milir itu berbunyi Naga Muluk
Tinitihan Janma, yang berarti tahun 1708 Jawa atau 1782 Masehi yang
merupakan tahun berdirinya Panggung Sangga Buwana (Naga=8, Muluk=0,
Tinitihan=7, dan Janma=1)
Arti lain dari sengkalan milir tersebut adalah: 8 diartikan dengan
bentuknya yang segi delapan, 0 yang diartikan dengan tutup bagian atas
bangunan yangberbentuk seperti topi, 7 adalah manusia yang mengendarai
naga sambil memanah dan 1 diartikan sebagai tiang atau bentuk
bangunannya yang seperti tiang.
Namun demikian, sebenarnya nama Panggung Sangga Buwana itu sendiri juga
merupakan sebuah sengkalan milir yang merupakan kependekan dari kata
Panggung Luhur Sinangga Buwana. Dari nama tersebut lahir dua sengkalan
sekaligus yang bila diterjemahkan akan didapati dua jenis tahun yaitu
tahun Jawa dan tahun Hijryah. Untuk sengkalan tahun Hijryah, Panggung
berarti gabungan dua kata, PA dan AGUNG. Pa adalah huruf Jawa dan Agung
adalah besar berarti huruf Jawa Pa besar yaitu angka delapan. Sedangkan
Sangga adalah gabungan kata SANG da GA yang merupakan singkatan dari
Sang atau sembilan dan Ga adalah huruf Jawa atau angka Jawa yang
nilainya satu. Serta kata Buwana yang artinya dunia, yang bermakna angka
satu pula. Dengan demikian menunjukkan angka tahun 1198 Hijryah.
Kemudian untuk sengkalan tahun Jawa kata Panggung Luhur Sinangga Buwana.
Panggung juga tediri dari PA dan AGUNG yang berarti huruf Jawa Pa besar
sama dengan 8. Luhur mempunyai makna tanpa batas yang berarti angka 0.
Sinangga bermakna angka 7 dan Buwana bermakna angka 1. Shingga bila
digabungkan mempunyai arti yang sama yaitu tahun 1708 Jawa. Kedua tahun
tersebut, baik tahun Jawa dan Hijryah bila dimaksukkan atau
dikonversikan ke tahun Masehi sama-sama menunjukkan angka 1782, saat
pembangunan panggung tersebut.
Pada Panggung Sangga Buwana masih didapati sebuah sengkalan milir yang
pada jaman penjajahan Belanda dirahasiakan adanya. Sebab diketahui
sengkalan terakhir ini berupa sebuah ramalan tentang tahun kemerdekaan
Indonesia, sehingga jelas akan menimbulkan bahaya apabila diketahui oleh
Belanda. Selain itu yang namanya ramalan memang tidak boleh secara
gegabah diumumkan, mengingat ketakaburan manusia yang dapat ditaksirkan
akan mendahului takdir Tuhan.
Sengkalan rahasia yang dimaksud adalah terletak pada puncak atas
panggung yang telah disinggung yaitu Naga Muluk Tinitihan Janma. Bentuk
dari hiasan tersebut adalah manusia yang naik ular naga tengah beraksi
hendak melepaskan anak panah dari busurnya, sedangkan naganya sendiri
digambarkan memakai mahkota. Hal ini merupakan
Sabda terselubung dari Sunan PB III yang kemudian ketika disuruh
mengartikan kepada seorang punjangga karaton Surakarta yang bernama Kyai
Yosodipuro, juga cocok yaitu ramalan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia
adalah tahun 1945.
Naga atau ular diartikan melambangkan rakyat jelata dan mahkotanya
berarti kekuasaan. Dengan demikian keseluruhan sosok naga tersebut
menggambarkan adanya kekuasaan ditangan rakyat jelata. Dan gambarkan
manusia yang mengendarainya dengan siap melepaskan anak panah diartikan
sebagai sasaran, kapan tepatnya kekuasaan berada ditangan rakyat.
Sebenarnya sosok manusia mengendarai naga tersebut dipasang juga untuk
mengetahui arah mata angin dan tiang yang berada dipuncaknya dan
digunakan untuk penangkal petir. Hal tersebut oleh Kyai Yosodipuro
dibaca sebagai sengkalan juga yaitu keblat Rinaras Tri Buwana. Keblat =
4, Rinaras = 6, Tri = 3 dan Buwana = 1 atau tahun 1364 Hijryah, bila
dimasukan atau dikonversikan ke tahun Masehi akan menjadi 1945 yang
merupakan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Sayangnya bangunan Sangga
Buwana beserta hiasan asli dipuncaknya itu pernah terbakar dilalap api
tahun 1954, tetapi hingga sekarang kepercayaan masyarakat dan legenda
akan bangunan tersebut tidak pernah punah sehingga mereka tetap
menghormati dan menghargainya dengan cara selalu melakukan upacara
sesaji atau yang lazim disebut caos dahar pada setiap hari Selasa Kliwon
atau Anggoro Kasih, setiap malam Jumat dan saat menjelang
upacara-upacara kebesaran karaton.
Bangunan Panggung Sangga Buwana apabila dilihat sebagai sumbu dari
bangunan karaton secara keseluruhan yang menghadap ke arah utara, maka
semua Bangunan yang berada di sebelah kiri Panggung Sangga Buwana
mempunyai hubungan vertikal dan yang sebelah kanan mempunyai hubungan
horisontal. Hubungan vertikal tersebut yaitu hubungan kepada Tuhan Yang
Maha Esa sebagai kegiatan spiritual misalnya : bangunan Jonggring
Selaka, Sanggar Palanggatan, Sanggar Segan, Mesjid Bandengan, Mesjid
Pudyasana, Mesjid Suranatan, Mesjid Agung, Gereja Protestan Gladag dan
Gereja Katolik Purbayan. Sedangkan hubungan horizontal yaitu kegiatan
duniawi manusia misalnya Pasar Gading, Pasar Kliwon, Pasar Gedhe, dan
sebelah timur lagi terdapat sarana transportasi Begawan Solo.
Panggung Sangga Buwana juga mempunyai arti sebagai penyangga bumi
memiliki ketinggian kira-kira 30 meter sampai puncak teratas. Didalam
lingkungan masyarakat Solo terdapat sebuah kepercayaan bahwa
bangunan-bangunan yang berdiri di kota Solo tidak boleh melebihi dari
Panggung Sangga Buwana karena mereka sangat menghormati rajanya dan
mempercayai akan kegiatan yang terjadi di puncak bangunan tersebut
sehingga apabila ada bangunan yang melanggarnya maka akan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
BENTUK PANGGUNG SANGGA BUWANA
Bentuk fisik dari Panggung Sangga Buwana adalah segi delapan atau
hasta walu dalam istilah Jawa. Bentuk yang segi delapan itu diartikan
sebagai hasta brata yang menurut filosifi orang Jawa adalah sifat
kepepimpinan, jadi diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat yang
demikian. Filsafat Jawa selalu berorientasi pada alam karana dengan alam
mereka dapat menikmati hidup dan merasakan komunikasi batin manusia
dengan Sang Pencipta. Orang Jawa juga mempercayai bahwa apabila bangunan
yang tidak menghiraukan alam lingkungan maka bangunan tersebut akan
jauh dari situasi manusiawi.
Ajaran hasta brata atau delapan laku yang merupakan ajaran kepemimpinan
bagi setiap manusia. Dari ajaran tersebut diharapkan setiap pemimpin
mempunyai sifat-sifat seperti watak kedelapan unsur alam yaitu:
1. Matahari yang diartikan sebagai seorang pemimpin harus dapat menjadi sumber hidup orang lain.
2. Bulan mengartikan penerangan dalam kegelapan.
3. Bintang sebagai petunjuk arah bagi yang tersesat
4. Bumi yang maksudnya seorang pemimpin yang baik harus kuat menerima beban hidup yang diterimanya.
5. Mendhung diharapkan sebagai pemimpin tidak mempunyai sifat yang tidak pilih kasih.
6. Api yang berarti mematangkan yang mentah
7. Samodra/Air dimaksudkan bahwa pemimpin harus dapat memahami segala kebaikan dan keburukan
8. Angin yang apabila berada dimanapun juga harus dapat membawa kesejukkan.
Seorang pemimpin yang dihormati oleh rakyatnya karena rakyat
mengharapkan dengan hadirnya pemimpin yang mempunyai sifat demikian maka
mereka pasti akan hidup rukun, tentram dan damai sejahtera.
Dari bentuk fisik bangunan Panggung Sangga Buwana juga melambangkan
sebagai simbol lingga yang yang berdampingan dengan yoni yaitu Kori
Srimanganti. Dalam kepercayaan agama hindu, lingga dan yoni melambangkan
Dewa Shiwa atau Dewa Kesuburan. Simbol lingga dan yoni juga terukir
atau terekam dalam bentuk ornamen di Kori Srimanganti yang berarti bahwa
sebagai perantara kelahiran manusia yang juga mengingatkan hidup dalam
alam paberayan senantiasa bersikap keatas dan kebawah serta ke kanan dan
ke kiri. Hal ini semua mengandung arti bahwa manusia harus selalu ingat
adanya Yang Menitahkan dan sekaligus mengakui bahwa manusia hanya
sebagai yang dititahkan. Sedangkan ke kanan dan ke kiri dapat diartikan
manusia selalu hidup bermasyarakat.
Panggung Sangga Buwana yang melambangkan lingga diartikan juga sebagai
suatu kekuatan yang dominan disamping menimbulkan lingga-yoni yang juga
merupakan lapisan inti atau utama dari urut-urutan bangunan Gapura
Gladag di Utara hingga Gapura Gading di Selatan. Lingga dan yoni
merupakan kesucian terakhir dalam hidup manusia, hal ini kemudian
menimbulkan sangkang paraning dumadi yaitu dengan lingga dan yoni
terjadilah manusia. Jadi dengan kata lain kesucian dalam hubungannya
dengan filsafat bentuk secara simbolik dapat melambangkan hidup.
Panggung yang dilambangkan sebagai lingga dan Srimanganti sebagai yoni,
juga merupakan suatu pasemon atau kiasan goda yang terbesar. Maksudnya,
lingga adalah penggoda yoni, dan sebaliknya yoni merupakan penggoda
lingga. Seterusnya, panggung dan kori itu juga merupakan lambang yang
bisa diartikan demikian: seorang lelaki dalam menghadapi sakaratul maut,
yaitu ketika ia hampir berangkat menuju ke hadirat Tuhan, ia akan
sangat tergoda oleh wanita atau sebaliknya. Begitu pula sebaliknya
wanita, ketika dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa ia pun sangat tergoda
atau sangat teringat akan pria atau kekasihnya. Begitulah makna yang
terkandung atau perlambang yang terkandung di dalam Panggug Sangga
Buwana bersama Kori Srimanganti yang selalu berdekatan.
FUNGSI PANGGUNG SANGGA BUWANA
Versi lain mengatakan bahwa Panggung Sangga Buwana ditilik dari segi
historisnya, pendirian bangunan tersebut disengaja untuk mengintai
kegiatan di Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada disebelah timur
laut karaton. Memang tampaknya, walaupun karaton Surakarta tuduk pada
pemerintahan Belanda, keduanya tetap saling mengintai. Ibarat minyak dan
air yang selalu terpisah jelas kendati dalam satu wadah. Belanda
mendirikan Benteng Vastenburg untuk mengamati kegiatan karaton,
sedangkan PB III yang juga tidak percaya pada Belanda, balas mendirikan
Panggung Sangga Buwana untuk mengintai kegiatan beteng.
Namun tak-tik PB III sempat diketahui oleh Belanda. Setidaknya Belanda
curiga terhadap panggung yang didirikan itu. Dan ketika di tegur, PB III
berdalih bahwa panggung tersebut didirikan untuk upacara dengan
Kangjeng Ratu Kidul semata tanpa tendensi politik sedikitpun.
Lantai teratas merupakan inti dari bangunan ini, yang biasa disebut
tutup saji. Fungsi atau kegunaan dari ruang ini bila dilihat secara
strategis dan filosofis atau spiritual adalah:
Secara strategis, dapat digunakan untuk melihat Solo dan sekitarnya.
Untuk dapat melihat kota Solo dari lantai atas panggung dan tidak
sembarangan orang yang dapat menaiki, ada petugas yang memang bertugas
untuk melihat dengan menggunakan teropong atau kadang-kadang raja
Surakarta sendiri yang melakukan pengintaian. Pada jaman dulu raja
sering naik keatas untuk melihat bagaimana keadaan kota, rakyat dan
musuh.
Segi filosofi dan spiritualnya, Panggung Sanggga Buwana merupakan salah
satu tempat yang mempunyai hubungan antara Kengjeng Ratu Kencono Sari
dengan raja Jawa setempat. Hal yang memperkuat keyakinan bahwa raja-raja
Jawa mempunyai hubungan dengan Kangjeng Ratu Kidul atau Kangjeng Ratu
Kencono Sari yang dipercaya sebagai penguasa laut dalam hal ini di Laut
Selatan dan raja sebagai penguasa daratan, jadi komunikasi didalam
tingkatan spiritual antara raja sebagai penguasa didaratan dan Kangjeng
Ratu Kencono Sari sebagai penguasa lautan dikaitkan dengan letak
geografis Nusantara sebagai negara maritim.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang tutup saji ini digunakan sebagai:
- tempat meditasi bagi raja, karena letaknya yang tinggi dan ruang ini memberikan suasana hening dan tentram
- tempat meraga sukma bagi raja, untuk mengadakan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul.
- tempat untuk mengawasi keadaan atau pemandangan sekeliling karaton.
Pada lantai teratas digunakan untuk bersemedi raja dan pertemuan dengan
Kanjeng Ratu Kidul terdapt dua kursi yang diperuntukkan bagi raja (kursi
sebelah kiri) dan Ratu Kidul (kursi sebelah kanan) yang menghadap ke
arah selatan. Arah orientasi dari bangunan ini adalah ke selatan; pintu
masuk dari arah selatan dengan tujuan untuk menghormati Kanjeng Ratu
Kidul sebagai penguasa Laut Selatan. Diantara dua buah kursi terdapat
sebuah meja yang digunakan untuk meletakkan panggageman Kanjeng Ratu
Kidul didalam sebuah kotak. Pangageman tersebut diganti setiap tahun
menjelang acara Jumenengan Raja.
Menurut cerita, pada saat mengadakan pertemuan dengan raja, Kanjeng Ratu
Kidul mengenakan pakaiannya dan seketika itu juga beliau berwujud
seperti manusia. Setelah pertemuan selesai, Kanjeng Ratu Kidul kembali
ke alamnya dengan sebelumnya mengembalikan ageman yang dikenakannya ke
dalam kotak.
Didalam ruang tutup saji yang berdiameter kira-kira 6 meter, pada bagian
tepat ditengah ruangan terdapat kolom kayu yang secara simbolis
menunjukkan bahwa segala kegiatan yang dilakukan di tutup saji mempunyai
hubungan dengan Tuhan. Kayu yang digunakan adalah kayu jati yang
berasal dari hutan Donoloyo yang dianggap angker bagi orang jawa.
Itulah sedikit tentang bangunan di lingkungan Kraton Solo yang penuh
dengan filsafat dan adapun mengenai mitos Kanjeng Ratu Kidul itu tidak
sembarangan orang bisa mengetahui dan memahami. Banyak masyarakat yang
merasa bisa ketemu dan memanggil Kanjeng Ratu... itu mustahil karena
hanya orang2 tega Mataram yang terpilih yang bisa beliau temui.
Dan kita sebagai orang yang beriman hendak nya menyakini bahwa ALLOH Tlh
menciptakan Makhluk yang kita Manusia tidak bisa melihat nya. Dan jin
yang diciptakan itu bisa berubah bentuk sesuai dengan keinginan mereka.
Serta harus jeli dalam menelaah mitos dan sejarah. Dan alangkah lebih
bijak jika kita melihat dengan kaca mata iman.