Setiap kehidupan yang mawana tentu mempunyai alamnya masing masing…baik
itu kehidupan mahkluk didaratan diudara maupun dilautan…masing masing
dengan dunianya..(alamnya)….tiadalah kita mengetahui ..bagaimana hakekat
dari suatu keadaan kehidupan mahkluk mahkluk tersebut tanpa kita
menyelami dan memasuki alam dari kehidupannya itu...didalam olah
kepribadian..diterangkan....jika hakekat seluruh alam adalah diri
kita..maka tiada yang diluar itu…memahami yang dluar itu hakekatnya
adalah memahami yang di dalam diri ini…...owah gingsirnya bathin kita
sangat berpengaruh pada kehidupan ARASY-mikro dan makro-kosmos ..jagad
agung ..jagad alit..dialam raya ini....menyelam sedalam dalamya kedalam
samudra minang kalbu..yang didalamnya terdapat beraneka ragam kehidupan
mikro makro kosmos mahkluk segenap sagung dumadi…mencebur kedalamnya dan
luruh bagai menyatu mampu lebur didalam setiap kehidupan..betapa kita
semakin mampu mengenal diri kita yang hakekatnya adalah hidup didalam
semua kahanan...setiap sesuatu yang nampak dihadapan kita ..hakekatnya
gambaran pancaran wujud dari sebagian pribadi kita yang nampak …bagai
bercermin didalam diri …CERMIN DIRI akan kembali memantulkan biasnya
sesuai dengan owah gingsirnya bathin kita…...PANEMBAHAN
SENOPATI….mencapai puncak sholatul ilmi-nya…..ketika beliau tafakur dan
tadabur….terkenal dengan istilah SEDAKEP SALUKU TUNGGAL….mencapai
kehampaan diri dan menemukan hakekat hidup yg sebener benernya tentang
DIRI dan PRIBADI……….yang mampu mengguncang istana DASAR SAMUDRA BIRU…
WAHYU PANEMBAHAN SENOPATI
Setelah bersemedi di tengah samudera pantai Parangritis memohon kepada
Gusti Allah agar dirinya diizinkan untuk menjadi raja di tanah jawa,
Senopati lalu berjalan di atas air menuju darat, jalannya bagaikan
berjalan diatas tanah saja hebatnya selama bersemedi ditengah samudera
badannya tidak basah walau diterjang ombak berkali-kali. Begitu dekat
dengan bibir pantai alangkah terkejutnya dia melihat Sunan Kalijaga
berdiri disana. Dia lalu bersujud dan memohon ampun karena telah berani
menyombongkan diri dengan ilmunya itu..
Sunan Kalijaga lalu berkata "Bangunlah hai putera Ki Gede Pamanahan,
janganlah menuruti kelemahan hati yang menyuarakan keserakahan,
enyahkanlah bisikan setan itu, bangkitlah hai murid Jaka Tingkir!".
Senopati lalu bangkit, Sunan Kalijaga kemudian bertanya padanya "apakah
benar kau sangat ingin menjadi raja yang menguasai tanah jawa ini?",
Senopati mengangguk perlahan, Sunan Kalijaga bertanya lagi "meskipun itu
berati kau harus berhadapan dengan guru sekaligus ayah angkatmu Sultan
Hadiwijaya dan berperang dengan seluruh negeri Pajang yang selama ini
menjadi negeri tumpah darahmu dan tempat alamrhum ayahmu mengabdi?",
Senopati lalu menundukan kepalanya, tubuhnya berguncang, air matanya
meleleh lalu pelan berkata "Hamba selalu memohon petunjuk kepada Gusti
Allah namun belum mendapatkan petunjuknya, mungkin Gusti Allah
memberikan petunjuknya lewat Kanjeng Sunan", Sunan Kalijaga tersenyum
lalu kembali membuka mulutnya "Baiklah Senopati akan kuberikan pelajaran
yang amat tinngi dari Kanjeng Rasul untuk mencapai kebahagian dunia dan
akhirat"..
Sunan Kalijaga menghela nafas sebelum memberikan wejangannya, lalu
sambil duduk diatas sebuah batu karang dia memulai wejangannya kepada
Senopati "Perang itu sesungguhnya hanyalah suatu alat penghancur untuk
menghilangkan kerusakan yang disebabkan oleh kebhatilan, diganti dengan
yang baru. Timbulnya suatu peradaban itu adalah karena perombakan dar
yang silam yang manusia rusak sendiri. Agama Islam lahir sebagai agama
penutup, tidak akan ada lagi agama yang diridhai oleh Gusti Allah selain
Islam, Kitab suci Al Qur'an lahir sebagai pelengkap dari semua kitab
suci sebelumnya yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Memang sudah menjadi
takdir Hyang Maha Kuasa kalau semua pemeluk kitab sebelum Al Qur'an itu
akan selalu memusuhi para pemeluk agama Islam jika mereka menolak untuk
masuk Islam, dan diantara para pemeluk Islam pun akan selalu muncul
perbedaan, hal itu dikarenakan terbatasnya daya berpikir manusia yang
tidak akan pernah bisa menyingkap takdir Illahi"..
Sambil memandang ke arah laut Sunan Kalijaga menyedekapkan tangannya
lalu melanjutkan ucapannya "Tanpa persengketaan manusia tidak akan
bergairah untuk hidup lebih maju. Tanpa perangpun semua mahluk akan
menemui ajal yang telah digariskan. Setelah itu diganti dengan manusia
yang baru untuk meneruskan sisa pekerjaan yang telah mati. Demikianlah
seterusnya seperti alam raya yang terus bergerak gberputar tak pernah
diam, demikian pula pikiran manusia setiap detik bergerak terus tak
pernah berhenti. Manusia sebagai tempat roh akan mengalami masa bayi,
kanak-kanak, dewasa sampai kemudian mati, bagi yang tawakal berserah
diri kepada Gusti Allah tidak akan goncang hatinya. Walaupun tidak
perang, alam akan merusak dan menghancurkan kehidupan agar manusia
menjadi sadar, bahwa dia tak berkuasa apa-apa di dunia ini. Pandanglah
kehidupan di sekitar kesultanan Pajang anakku, mereka itu adalah
manusia-manusia yang tak menyadari asalnya dan diperbudak oleh khayalan.
Perjalan hidup manusia tidak bisa tetap, bagaikan alam, ada terang dan
gelap, ada panas dan dingin, berubah-ubah sesuai kehendak Hyang Maha
Kuasa. Usia hidup dialam ini kasar ini tak ubahnya seperti kedipan mata
cepatnya bila dibandingkan dengan usia alam yang berjuta-juta tahun.
Oleh sebab itu terimalah segala derita ataupun semua cobaan dengan
ikhlas nerima kepada yang telah digariskan oleh Gusti Allah.".
Sunan Kalijaga lalu mengelus-elus jenggotnya "Atma atau roh itu tak
dapat dihancurkan dengan kekuatan apapun, tak dapat dilihat, tak dapat
dipikirkan, tak bisa berubah sifatnya. Tak bisa dibunuh walaupun jasad
yang menjadi temaptnya bersemayam dihancurkan. Semua mahluk pada
permulaannya tidak tampak, setelah melalui nafsu birahi antara pria dan
wanita diasatukan, barulah dibentuk dalam rahim. Setelah dilahirkan
barulah nampak, semenjak kecil hingga tua bangka, mereka tak menyadari
bahwa mereka berasal dari tak tampak yaitu tiada. Kematian menjadi momok
ketakutan bagi yang tak mengenal atmanya. Orang seringkali
memperbincangkan tentang roh, meskipun demikian hanya beberapa orang
saja yang mengerti pada sifat abadi itu. Ada dan tiada sama saja bagi
siapa yang sesungguhnya mengetahui sajatining kebenaran. Yang menguasai
manusia dialam lahir ilaha pancaindra, sedangkan Atma adalah pendukung
raga seluruhnya. Lahirnya pancaindra setelah menjelma menjadi manusia,
sedangkan atma sudah ada sebelum manusia lahir kedunia. Tetapi janganlah
menyekutukan atma dan pancaindra, karena didalam pancaindra itu
terdapat nafsu-pikiran, itikad persaan dan akal. Siapa yang beritikad
baik pikirannyapun akan tenang, nafsunya dapat terkendalikan,
perasaannya akan lebih tajam, dan akalnyapun akan lebih cerdas. Siapa
yang dapat mengendalikan seluruh panca indranya dan memusatkan akal
budinya terhadap atma untuk bersujud berserah diri kepada Illahi, dialah
yang akan menemukan kebahagiaan sejati nan abadi dunia-akhirat. Illahi
adalah yang tak ada habis-habisnya dan tertinggi yang meniptakan alam
semesta dengan segala isinya, Adhi Atma adalah roh suci yang bersemayam
dalam diri manusia, setan adalah nafsu negatif yang menimbulkan nafsu
keduniawian. Siapa yang mengingat bahwa Gusti Allah adalah yang paling
esa berkuasa, maka dialah yang mengetahui kebenaran..
Deru ombak menggetarkan tempat itu, semakin lama semakin pasang, namun
Sunan Kalijaga meneruskan wejangannya " Orang yang sempit pikirannya
menganggap Illahi itu hanya bersifat tidak kelihatan dan beranggapan
Illahi itu omong kosong belaka yang tidak masuk akal, padahal Illahi ada
dimana-mana dalam segala bentuk dan kekal sifatnya yang memberikan daya
berpikir pada seluruh manusia. Bukan Ilmu ataupun kesaktian fisik yang
bisa menuntun kejalan yang manunggal di Jalan Illahi, karena ilmu tanpa
disertai budi, dan kesaktian lahir adalah kesombongan dan kemurkaan. Dia
yang beriman, bertaqwa, dan bertwakal kepadanya dan berikhtiar
mempersatukan dia dengan Illahi sambil menjalankan kebajikan, dan
menyebarkan ajaran Illahi dia akan mencapai sifat yang diridhai Gusti
Allah untuk menjadi Khalifah Umatnya. Apa yang disebut prikebajikan
adalah rendah hati, jujur, sabar, dapat melepaskan pikiran dan hawa
nafsu keduniawian, dan tidak menyimpan kebencian. siapa yang melihat
bahwa benda yang saling bunuh dan bukan rohnya, siapa yang mengakui
segala yang terjadi akibat kesalahannya sendiri dialah yang nerima.
Bangkitlah engkau Senopati anakku! Kalahkanlah semua musuh-musuhmu!
Karena engkau adalah alat untuk melenyapkan angkara murka dan membentuk
kehidupan yang baru di tanah jawa ini! .
Sesungguhnya tanpa peranmu pun orang-orang Pajang yang berlindung
dibawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya sudah mati, karena diliputi oleh
benci dan dendam. Mereka orang-orang yang berlindung dibawah kekuasaan
Sulta Hadiwijaya untuk melampiaskan hasrat serakahnya seperti
serigala-serigala yang terkurung api, sebentar lagi hangus terbakar.
Janganlah bersedih hati menghadapi ujian ini Senopati, semua yang
kukatakan ini adalah Ilapat dari Gusti Allah demi memberimu petunujuk
atas permohonanmu kepada Gusti Allah siang dan malam, wahyu keprabon
untuk memimpin umat di tanah jawa ini telah berpindah dari Sultan
Hadiwijaya kepadamu karena Pajang telah rusak oleh orang-orang yang
serakah. Namun ketahuilah Mataram akan berumur pendek dari mulai engkau,
anak dan cucumu, cucumu akan menjadi raja yang sangat kaya, mataram
akan mencapai puncak kejayaannya, namun Mataram akan rusak oleh cicitmu
karena bersekutu dengan orang-orang asing bertubuh tinggi-besar,
berkulit putih, berambut seperti rambut jagung yang akan menyengsarakan
seluruh umat di tanah jawa ini. kerusakan Mataram akan ditandai dengan
muculnya bintang kemukus setiap malam, sering terjadi gerhana matahari
dan gerhana bulan, Gunung Merapi sering bergolak dahsyat"..
Senopati mengankat kepalanya "Yang kanjeng Sunan wejangkan benar-benar
meresap dalam sanubariku, hamba bersyukur ternyata Gusti Allah
mengabulkan permohonan Hamba dan alamarhum ayahanda. Namun yang belum
saya mengerti mengapa di jagat ini begitu banyak aliran kepercayaan?"
Sunan Kalijaga Menjawab " Sumbernya hanya satu seperti sumber air gunung
yang sangat bersih tanpa ada kotoran mengalir kebawah. Lalu beranak
sungai dihulu, dialirkan kesetiap arah untuk dipergunakan macam-macam
keperluan seperti minum, mencuci, mengairi sawah, dan lain-lain sehingga
kotor sulit dibersihkan kembali. Begitupun pengertian tentang Tuhan,
siapa yang memuja Allah SWT dia akan pergi kepada Gusti Allah, siapa
yang memuja Dewa dia akan pergi kepada Dewa, siapa yang memuja Jin dia
akan pergi kepada Jin, siapa yang memuja Leluhur dia akan Pergi kepada
Leluhurnya. Namun tetaplah semua akan kembali kepada satu sumbernya
yaitu sang maha pencipta Gusti Allah SWT, La Illa Haillallah tiada tuhan
selain Allah. Ada pula orang-orang yang menyerahkan hartanya sebagai
bakti kepada Illahi, Namun dibalik hatinya ia meminta kembalinya yang
lebih besar, itu namanya murka, ada orang yang berpura-pura memuja
Illahi nmun mengharapkan upah, dia tidak akan sampai kepada Illahi.
Begitulah pengertian tentang Tuhan, diolah beraneka ragam hasil
pengertian akal tanpa budi, iman, dan Taqwa. Tidak demikian dengan orang
yang beriman dan bertaqwa, dia akan terus menuju mencari sumbernya. Dia
tidak akan terpengaruh oleh kesibukan dan nikmat duniawi yang tercipta
darisetan pembawa hawa nafsu yang merusak. Dia akan senantiasa tenang,
karena ia sadar bahwa semua pergolakan disebabkan oleh setan. Bagaikan
orang yang berjalan di lorong gelap gulita yang menemukan pelita,
demikianlah orang yang berserah diri kepada Gusti Allah SWT"..
Senopati lalu bangun, Sunan Kalijaga lalu mengajaknya pulang ke Mataram
"Mari anakku aku ingin melihat rumahmu dan kota yang telah engkau
bangun", Senopati menjawab "Mari kanjeng Sunan". Setelah sampai Sunan
Kalijaga memerintahkan Senopati untuk memagari rumahnya dan membangun
tembok dari batu bata disekitar Kota Gede dengan memberi petunjuk lewat
air doanya "Senopati anakku, bila kelak engkau hendak membangun tembok
benteng Kota Gede ikutilah tempat dimana aku mengikuti air tadi, nah
selamat tinggal anakku, aku hedak pulang ke Kadilangu". Senopati lalu
membangun tembok kota mengikuti saran yang Sunan Kalijaga sampaikan.
Wejangan itupun diresapinya hingga kelak tiba saatnya ia menjadi raja
sekaligus penyebar agama islam di tanah jawa ini..
S I N O M
01
Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa
brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.
(Contohlah perbuatan yang sangat baik, bagi penduduk di tanah Jawa, dari
seorang tokoh besar Mataram, Panembahan Senopati, berusaha dengan
kesungguhan hatinya, mengendapkan hawa nafsu, dengan melakukan olah
samadi, baik siang dan malam, mewujudkan perasaan senang hatinya bagi
sesama insan hidup)
02
Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben
mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing
kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah
cegah dhahar, lawan nendra.
(Saat berada dalam pertemuan, untuk memperbincangkan sesuatu hal dengan
kerendahan hati, dan pada setiap kesempatan, di waktu yang luang
mengembara untuk bertapa. Dalam mencapai cita-cita sesuai dengan
kehendak kalbu, yang sangat didambakan bagi ketentraman hatinya. Dengan
senantiasa berprihatin, dan memegang teguh pendiriannya menahan tidak
makan dan tidak tidur.)
03
Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana,
mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya
tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata
kataman wahyu dyatmika.
(Setiap kali pergi meninggalkan rumah (istana), untuk mengembara di
tempat yang sunyi. Dengan tujuan meresapi setiap tingkatan ilmu, agar
mengerti dengan sesungguhnya dan memahami akan maknanya, Ketajaman
hatinya dimanfaatkan guna menempa jiwa, untuk mendapatkan budi pikiran
yang tulus, Selanjutnya memeras kemampuan (acara untuk mengendalikan
pemerintahan, dengan memegang teguh pada satu pedoman) agar mencintai
sesama insan. (Pengerahan segenap daya olah semedi) dilakukannya di tepi
samudra. Dalam semangat bertapanya, yang akhirnya mendapatkan anugerah
Illahi, dan terlahir berkat keluhuran budi)
04
Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing
driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu
Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan
Wong Agung Ngeksiganda.
(Setelah mengetahui yang terkandung dalam samudra, dengan berjalan
mengelilingi sekitarnya, merasakan kesungguhan yang terkandung di dalam
hatinya. Untuk dapat digenggam, sehingga berhasil menjadi raja.
Tersebutlah Kanjeng Ratu Kidul keluar menjulang mencapai angkasa,
mendekati datang menghadap dan memohon dengan suara halus, karena kalah
wibawa dengan tokoh besar dari Mataram)
05
Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan,
ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus
tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken
janggut suku jaja.
((Kanjeng Ratu Kidul) memohon dengan sangat, untuk dapat mempererat
hubungan dalam kedudukannya di alam ghaib. Pada saat sedang mengembara
di tempat yang sunyi, ia selalu bersedia dan tidak akan ingkar janji,
terhadap kehendak (Kanjeng Senopati) yang telah ditentukannya. Yang
diharapkannya hanyalah memohon ridho-NYA berkat olah tapanya, meskipun
harus bersusah payah membanting tulang.)
06
Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen
amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung
Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada
wibawa.
((Kanjeng Ratu Kidul) berjanji dan berikrar, bahwa hingga keturunannya
(Kanjeng Panembahan Senopati) kelak dikemudian hari. Demikianlah
keturunan bangsawan besar, bila sedang menempa diri untuk mencapai
kesempurnaan budi/batin. Tentu akan berhasil dan cepat terkabul, apa
saja yang dikehendakinya. Tokoh besar Mataram, anugerahnya masih tampak
hingga kini, Turun temurun keturunannya mulia dan berwibawa.)
07
Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan
lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing
sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.
(Yang memerintah di tanah Jawa menjadi raja, para ksatria yang melebihi
daripada yang lain. Mereka tidak lain adalah keturunan Panembahan
Senopati, yang pantas untuk dijadikan panutan dalam perbuatan baiknya.
Disesuaikan dengan kemampuannya, pada keadaan yang akan datang.
Sesungguhnya memang tidak akan dapat menyamai keadaan pada masa lalu.)
08
Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman
mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad
Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mampir masjid, ngajap-ajap
mukjijat tibaning drajat.
(Meskipun tidak memuaskan tapi masih lebih baik bila dibandingkan,
dengan yang hidupnya tanpa laku prihatin. Namun pada jaman yang akan
datang, yang digemari para anak muda, hanya sekedar meniru perbuatan
Nabi. Rasulullah (yang ditetapkan oleh Tuhan) sebagai panutan dunia,
selalu dijadikan sandaran menyombongkan diri. Setiap singgah ke masjid,
mengharapkan mukjizat dapat derajat (kedudukan tinggi).)
09
Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning
ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng
masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum
ngumandhang cengkok palaran.
(Terus menerus tiada hentinya mendalami masalah syari'at, tanpa
mengetahui inti sarinya. Ketentuan yang dijadikan sandaran peraturan di
dalam agama Islam. Serta suri tauladan dari masa lampau yang dapat
dipergunakan untuk memperkuat suatu hukum, dengan bertingkah laku
berlebihan di dalam masjid agung. Bila berkhotbah seperti sedang nembang
Dhandhanggula, suaranya berkumandang mengalun dengan cengkok Palaran.)
10
Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan
panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus
cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh
pangangkah yekti karamat.
(Bila engkau memaksakan diri meniru ajaran, yang dilaksanakan Kanjeng
Nabi. Oh anakku! Terlalu jauh jangkauan langkahmu, dari dasar
kepribadianmu tidak akan tahan uji, nak! Karena engkau adalah orang
Jawa, sedikit saja sudah cukup. Janganlah berkeinginan mendapat pujian,
lalu meniru perbuatan layaknya orang fakih. Asalkan engkau tekun dalam
mengejar cita-citamu pasti akan mendapatkan rahmat pula.)
11
Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata,
tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk,
durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa
mulang putra.
(Alangkah baiknya mencari nafkah, karena telah ditakdirkan hidup miskin,
lebih baik mengabdi pada raja, untuk bertani atau berdagang.
Demikianlah menurut pendapatnya, dan menurut pendapat orang yang sangat
bodoh, serta belum mengerti bahasa Arab. Sedangkan pengetahuan tentang
bahasa Jawa saja tidak tamat, walaupun demikian tetap memaksakan diri
mengajar anak-anaknya.)
12
Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama,
maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk,
pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang
gya tininggalan.
(Karena ketika masih muda dulu, walaupun hanya sebentar pernah mengalami
perasaan tertarik pada soal agama. Bahkan berguru juga tentang ibadah
haji, rahasianya yang menjadi pendorong utama terhadap maksud hati.
Sangatlah takut pada ketentuan, yang berlaku pada akhir jaman kelak.
Namun belajarnya belum sampai selesai telah terburu mengabdi, bahkan
acapkali tidak sempat bersembahyang karena sudah dipanggil majikan.)
13
Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas
ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh
solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha
dadi kaum temah nista.
((Menghadap) kepada orang yang memberi nafkah, bila terlalu lama
datangnya pasti mendapat marah. Sehingga membuat kacau balau perasaan
hati, layaknya kiamat setiap hari. Apakah berat kepada Tuhan atau
rajanya. Tingkah perbuatannya menjadi ragu-ragu, lama kelamaan terpikir
di dalam hati. Karena terlahir sebagai anak seorang terhormat, bila
ingin menjadi penghulu tentulah tidak pantas.)
14
Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana,
pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna
kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa
boga.
(Demikian pula untuk menjadi khotib atau juru agama, juga tidak patut
karena tidak punya wewenang jabatan tersebut. Lebih baik berpegang
teguh, pada ketentuan kewajiban hidup. Menjalankan adat istiadat
leluhur, sesuai dengan yang dijalankan oleh para leluhur, sejak jaman
dahulu kala hingga kini. Keputusannya tidak lain hanyalah mencari nafkah
hidup)
15
Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri
prakara, wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan
tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa
papariman ngulandara.
(Salahnya sendiri jika tidak memerlukan sesuatu, yang patut menjadi
pegangan hidup. Kehidupan yang patut dilengkapi dengan tiga macam
syarat, ialah kekuasaan, harta, dan kepandaian. Bila sampai terjadi sama
sekali tidak memiliki, salah satu dari tiga syarat tersebut, akhirnya
akan menjadi orang yang tidak berguna, dan masih berharga daun jati yang
sudah kering. Akhirnya hina papa menjadi pengemis, yang pergi tidak
tentu arah tujuannya.)
16
Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing
Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing
rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran
tapa tapaking Hyang Sukma.
(Yang telah arif bijaksana melaksanakannya, dalam merangkum tanda-tanda
kebesaran Tuhan yang terdapat di alam semesta. Pada akhir inti jiwanya,
akan tampak jelas tanpa dihalangi tabir. Maka jiwa pun terbuka dengan
jelas, hingga tampak jelas dari jauh seluruh peredaran jaman. Hingga
seolah-olah tidak terbatas dan bertepi. Demikianlah yang dapat dikatakan
bertapa dengan cara berserah diri secara mutlak ke haribaan kebesaran
Tuhan.)
17
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala
mangsa,masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun,
susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag
agama.
(Demikianlah insan yang telah mencapai tingkat utama, yang kebiasaannya
menyatu di tempat yang sunyi. Serta setiap saat berulangkali mempertajam
olah budinya, dan sikap lahiriyahnya tetap berpegang, pada ketentuan
jiwa ksatrianya yang rendah hati. Serta tahu benar menyenangkan hati
sesama insan, dan sudah tentu dapat dikatakan insan yang serba baik,
serta senang sekali pada ajaran agama.)
18
Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata,
nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk,
ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge
mring makrifat.
(Pada masa mendatang tidaklah demikian adanya, gejala yang timbul pada
kawula mudanya. Bila mendapat petunjuk yang benar, sama sekali tidak
mengindahkannya. Selalu menuruti kehendak hatinya sendiri, bahkan
kakeknya pun hendak digurui. Dengan mengandalkan gurunya, seorang
pandita pejabat kerajaan yang arif bijaksana, serta memahami benar
tembang Pucung yang mengarah pada uraian ma'rifat.)
Kisah Sang Panembahan
KINANTHI :
(1) Alon tindak kalihipun, Senapati lan sang dewi, sedangunya
apepanggya, Senapati samar ngeksi, mring suwarna narpaning dyah, wau
wanci nini-nini.
Perlahan jalan keduannya, Senopati dan sang Dewi, selama mereka bertemu,
Senopati sebenarnya tidak tahu jelas bagaimana wajah rupa sang Dewi,
seperti terlihat nenek-nenek tadi.
(2) Mangke dyah warnane santun, wangsul wayah sumengkrami, Senapati
gawok ing tyas, mring warna kang mindha Ratih, tansah aliringan tingal,
Senapati lan sang dewi.
Lalu nanti wajah rupa sang Dewi berubah kembali lagi sangat menarik
hati, Senopati terpesona hatinya melihat kecantikan si Dewi seperti
Ratih, mereka saling mencuri pandang selalu, Senopati dan sang Dewi.
(3) Sakpraptanira kedhatun, narpeng dyah lan Senapati, luwar kanthen
tata lenggah, mungging kanthil kencana di, Jeng Ratu mangenor raga,
Senapati tansah ngliring.
Setelah sampai di istana, keduanya sang senopati dan Dewi melepas
genggaman tangan kemudian duduk, di atas bunga kanthil emas, Jeng Ratu
menggeliatkan badannya, senopati selalu melihatnya dengan mencuri
pandang.
(4) Mring warnanira Jeng Ratu, abragta sakjroning galih, enget sabil
jroning driya, yen narpeng dyah dede jinis, nging sinaun ngegar karsa,
mider wrin langening puri.
Melihat pada kecatikan Ratu, mendadak galau/gelisah di dalam hatinya,
teringat bahwa si Dewi bukan sejenis manusia, menjadi hilang
keinginannya, Senopati berkeliling melihat-lihat keasrian taman puri si
Dewi.
(5) Udyana asri dinulu, balene kencana nguni, jaman purwa kang
rinebat, Gathutkaca lan wre putih, bitutaman dirgantara, bale binucal
jeladri,
Keasrian/keindahan taman dipuja-puja, ranjang emas kuno, jaman ketika
Gathutkaca dan kera putih merebutkannya, berkelahi di angkasa, ranjang
terlempar ke samudera.
(6) Dhawah teleng samodra gung, kang rineksa sagung ejim, asri
plataran rinengga, sinebaran gung retna di, widuri mutyara mirah,
jumanten jumrut mawarni.
Jatuh di tengah-tengah samudera raya, yang dijaga oleh mahluk halus,
halaman yang asri, bertebaran intan-intan megah, mutiara merah, dan
bermacam-macam batu jamrud.
(7) De jubine kang bebatur, grebag suwasa kinardi, sinelan lawan
kencana, ing tepi selaka putih, sinung ceplok pan rinengga, rukma
tinaretes ngukir.
Lantainya agak tinggi, dengan hiasan emas, ditepinya emas putih, berbentuk bunga-bunga mekar dan hiasan berukir-ukiran
(8) Tinon renyep ting pelancur, rengganing kang bale rukmi, sumorot
sundhul ngakasa, gebyaireng renggan adi, surem ponang diwangkara,
kasorotan langen puri.
Terasa sejuk berkilauan, hiasan di ranjang terlihat bercahaya yang
sampai menyentuh angkasa, gemerlap cahaya megah, matahari terlihat
meredup terkena sorotan cahaya dari puri si Dewi.
(9) Gapurane geng aluhur, sinung pucak inten adi, sumorot mancur
jwalanya, lir pendah soroting awi, yen dalu kadi rahina, siyang latriya
pan sami.
Gapura tinggi megah, diatas puncak berhias intan sangat indah,
memancarkan cahayanya, seperti sinar matahari, jika malam seperti siang,
siang dan malam menjadi sama.
(10) Sigeg rengganing kadhatun, wau ta Sang Senapati, kelawan sang
narpaning dyah, tan kena pisah neng wuri, anglir mimi lan mintuna,
nggennya mrih lunturireng sih.
Cukup dulu cerita dalam keadaan istana si Dewi, tadi tersebut sang
senopati, dan sang Dewi, tidak bias dipisahkan, seperti Mimi dan
Mintuno, mereka saling membuka hati.
(11) Yen tinon warna Jeng Ratu, wus wantah habsari swargi, tuhu Sang
Dyah Wilutama, kadya murca yeng ingeksi, sakpolahe karya brangta, ayune
mangrespateni.
Ketika terlihat wajah sang ratu, sudah melebihi wajah Dewi Habsari di
surga, sama persis seperti sang Dewi Wilutama, keluar terlihat tingkah
lakunya membangkitkan birahi, kecantikannya menawan hati.
(12) Kadigbyaning warna sang rum, ping sapta sadina salin, ayune tan
kawoworan, terkadhang sepuh nglangkungi, yen mijil pradanggapatya, lir
dyah prawan keling sari.
Sang Ratu mempunyai kesaktian berubah wujud, berubah 7 kali sehari,
kecantikan yang terpancar sempurna, terkadang sangat tua, jika terdengar
musik tingkah laku si Dewi berubah enjadi seperti gadis kelingsari.
(13) Yen sedhawuh jwaleng sang rum, lir randha kepaten siwi, yen
praptaning lingsir wetan, warna wantah widadari, tengange lir dyah
Ngurawan, Kumuda duk nujwa kingkin.
Apabila sedang memberi perintah, seperti janda yang anaknya meninggal,
ketika menjelang ufuk timur muncul wujud berubah seperti bidadari,
seperti dewi dari Kurawa, berkuda seperti sedang susah.
(14) Lamun bedhug kusuma yu, mirip putri ing Kedhiri, yen lingsir lir
Banowatya, lamun asar pindha Ratih, cumpetingsapta sadina, yen latri
embah nglangkungi.
Ketika tabuh bedug, mirip putrid di kedhiri, ketika matahari terbenam
seperti Banowati, ketika asar berubah seperti Dewi Ratih, 7 kali sehari,
ketika malam semakin bertambah cantik.
(15) Lawan sinung sekti punjul, dyah lawan samining ejim, warna wigya
malih sasra, mancala putra pan bangkit, mila kedhep ing sakjagad,
sangking sektining sang dewi.
Serta mempunyai kesaktian tinggi, Ratu dengan sesama mahluk halus, mampu
berubah wujud 1000 kali, bias berubah menjadi laki-laki, sehingga
berada di seluruh dunia, karena sangat saktinya sang Dewi.
(16) Sinten ingkang mboten teluk, gung lelembut Nungsa Jawi, pra ratu
wus teluk samya, mring Ratu Kidul sumiwi, ajrih asih kumawula, bulu
bekti saben warsi.
Siapa yang tidak tunduk, seluruh mahluk halus dan bangsa manusia di
Jawa, para Raja-raja sudah takluk semua, hanya kepada Ratu Kidul saja,
mereka takut dan mengabdi, memberi pengabdian setiap tahun.
(17) Ngardi Mrapi Ngardi Lawu, cundhuk napra ing jeladri, narpa Pace
lan Nglodhaya, Kelut ngarga miwah Wilis, Tuksanga Bledhug sumewa, ratu
kuwu sami nangkil.
Gunung Merapi dan gunung Lawu, bermahkota di samudera, Raja Pace dan
Nglodhaya, Gunung Kelut dan gunung Wilis, Mata air sembilan Bledug dan
Ratu Kuwu semua hadir.
(18) Wringinpitu Wringinrubuh, Wringin-uwok, Wringinputih, ing
landheyan Alas Ngroban, sedaya wus kereh jladri, Kebareyan Tegal layang,
ing Pacitan miwah Dlepih.
Beringin, Beringin tumbang, Beringin besar, Beringin putih, di
tengah-tengah alas Ngroban, semua sudah dikuasai samudera, Kebareyan
tegal laying, di Pacitan serta Dlepih.
(19) Wrata kang neng Jawa sagung, para ratuning dhedhemit, sami atur
bulubektya, among Galuh kang tan nangkil, kereh marang Guwatrusan, myan
Krendhawahana aji.
Merata di seluruh Jawa, para Raja-raja mahluk halus, semua memberi
pengabdian, hanya Galuh yang tidak hadir, diperintah oleh Guwatrusan,
menghadapi Krendhawahana aji.
(20) Wuwusen malih Dyah Kidul, lawan Risang Senapati, menuhi kang
boja-boja, minuman keras myang manis, kang ngladosi pra kenyendah,
sangkep busana sarwa adi.
Menceritakan kembali tentang Ratu Kidul dengan sang senopati, lengkap
dengan makanan, minuman keras dan minuman manis, yang melayani para
gadis-gadis yang berpakaian bagus-bagus.
(21) Bedhaya sumaos ngayun, gendhing Semang munya ngrangin, weh kenyut
tyasnya kang mriksa, wileting bekso mrak ati, keh warna solahing beksa,
warneng bedhaya yu sami.
Para penari bedhaya maju kedepan, musik gending semang berbunyi nyaring,
yang melihatnya membuat rasa hati tenteram, gerakannya menawan hati,
bermacam-macam gerakan penari.
(22) Senapati gawok ndulu, mring solahe dyah kang ngrangin, runtut
lawan kang bredangga, wilet rarasnya ngrespati, acengeng dangu tumingal,
de warneng dyah ayu sami.
Senopati terheran-heran terpesona melihat gerakan-gerakan yang gemulai,
sesuai dengan alunan irama musik, irama tembangnya menentramkan hati,
sampai lama terpana melihatnya, wajah dewi-dewi yang cantik-cantik.
(23) Tan lyan kang pineleng kayun, mung juga mring narpa dewi,
brangteng tyas saya kawentar, de sang dyah punjul ing warni, kenyataning
waranggana, sorote ngemas sinangling.
Tiada yang lain yang dipikirkan hanya di depannya, juga hanya kepada
Ratu Kidul, hatinya semakin berdebar-debar, karena sang Dewi lebih
unggul kecantikannya dibandingkan penyanyi, Dewi bercahaya seperti emas
dicuci.
(24) Wuyunging driya sinamun, tan patya magumbar liring, tan pegat
sabil ing nala, wau Risang Senapati, enget yen dene jinisnya, dyah narpa
tuhuning ejim.
Senopati menutup-nutupi asmara dalam hatinya, tidak terus mengumbar
pandangannya hanya sebentar-bentar saja memandang Ratu, tidak berhenti
pula perang dalam bathin hatinya, sang senopati teringat bahwa Ratu
Kidul bukan dari golongan sejenisnya, sang Ratu yang sebenarnya adalah
mahluk halus/jin.
(25) Rianos jroning kung, kagugu saya ngranuhi, temah datan antuk
karya, nggenira mrih mengku bumi, nging narpeng dyah wus kadriya, mring
lungite
Senapati.Dalam perasaan senopati terdalam, mengikuti rasa penasaran,
agar berhasil tujuan, untuk menguasai bumi, akan tetapi sang Ratu sudah
tahu, dengan apa yang dipikirkan senopati.
(26) Ngunandika dalem kalbu, narpaning dyah ing jeladri, “ Yen ingsun
tan nggango krama, nora kudu dadi estri, enak malih dadi priya, nora na
kang mejanani.
Berbicara dalam hati, sang Ratu di samudera, “Jika saya tidak perlu
menikah, tidak harus menjadi permaisuri, lebih baik mejadi laki-laki,
tidak ada yang mempengaruhi.
(27) De wis dadi ujar ingsun, anggon sun wadad salamining, ngarsa-arsa
pengajapan, temah arsa ngapirani, sunbekane mengko jajal, piyangkuhe
ngadi-adi.
Sudah menjadi sumpah saya, berniat untuk menyendiri selamanya,
menanti-nanti pengharapan, akan menjadi merepotkan, nanti aku mencoba,
keangkuhannya menjadi-jadi.
(28) Wong agunge ing Metarum, dimene lali kang nagri, krasan aneng jro
samodra”, kawentar mesem sang dewi, tumungkul tan patya ngikswa,
Senapati tyasnya gimir.
Orang besar di Mataram, agar lupa dengan negaranya, kerasan (suka
tinggal) di samudera”, sang Dewi mengumbar senyum, kepala menunduk
dengan mata menoleh sedikit melihat senopati, hati Senopati menjadi
penasaran.
(29) Duk liniring mring sanging rum, tambuh surasaning galih, wusana
lon anandika, “Dhuh wong ayu karsa mami, wus dangu nggoningsun ningal,
mring langene ing jro puri,
Mencuri pandang kepada sang Dewi yang harum, menjadi tidak menentu
perasaannya, sambil berbicara halus “Duh putri cantik yang kuinginkan,
sudah lama aku memandang, kepada keindahan dalam puri,
(30) Pesareyanta durung weruh, kaya ngapa ingkang warni”, nging dyah
“Tan sae warninya, yen kedah sumangga karsi, sinten yogi ndarbenana, lun
mung darmi anenggani.”
Tempat tidurmu belum tahu, seperti apa kelihatannya tempat tidurmu itu”,
Ratu menjawab, “Tidak bagus wujudnya, jika harus melihatnya terserah
Anda, siapa yang pantas memiliki, saya hanya sekedar menjaga saja.”
(31) Wusira gya jengkar runtung, Sang Sena lan narpa dewi, rawuh
jrambah jinem raras, alon lenggah sang akalih, mungging babut pan
rinengga, Seapati gawok ngeksi.
Segera mereka beranjak bersama, sang senopati dan sang Dewi, datang ke
tempat tidur yang nyaman, keduanya duduk pelan-pelan, diatas permadani
yang rapi, Senopati terheran-heran melihatnya,
(32) Warneng pajang sri kumendhung, tuhu lir suwargan ngalih, sang
dyah matur marang priya, “Nggih punika ingkang warni, tilemane randha
papa, labet tan wonten ndarbeni.”
Bermacam-macan hiasan Sri Kumendhung dipajang, terasa seperti syurga
berpindah, Sang Ratu berbicara pada sang senopati, “Ya begini lah
wujudnya, tempat tidur si janda yang sengsara, karena tidak ada yang
memiliki,”
(33) Kakung mesem nglingira rum, ”Anglengkara temen Yayi, ujare wong
randha dama, ing yektine angluwihi, kabeh purane pra nata, tan padha
puranta Yayi.
Senopati tersenyum sambil melirik si Dewi yang harum, “Kasihan sekali
kamu Dik, katamu hanya seorang janda tapi kenyataanya melebihi semua
istana, tidak ada yang menyamai istana dinda.
(34) Pepajangan sri kumendhung, ingsun tembe nggonsun uning,
pesareyan warna endah, pantes lawan kang ndarbeni, warna ayu awiraga,
bisa temen ngrakit-ngrakit.
Hiasan Sri Kumendhung, baru kali ini aku melihatnya, tempat tidur serba
indah, pantas sesuai yang memilikinya, bentuk yang sangat cantik, pandai
sekali merangkainya.
(35) Baya sungkan yen sun kondur, marang nagari Matawis, kacaryan
uningeng pura, cacatira mung sawiji, purendah tan nganggo priya, yen
darbea kakung becik.
Aku menjadi malas pulang ke negeri Mataram, setelah melihat-lihat
istana, rasa kecewa hanya satu, lebih bagus tidak ada lelaki, jika ada
yang memiliki pria baik.
(36) Wanodyane dhasar ayu, imbang kakunge kang pekik, keng runtut bisa
mong garwa, wonodyane bekti laki, tur dreman asugih putra”, Senapati
denpleroki.
Dasarnya wanitanya cantik seimbang dengan pria yang baik, yang setia
kepada isteri, wanitanya juga setia pada suami, juga suka mempunyai anak
banyak”, Senopati melirik menggoda dengan matanya.
(37) Dyah merang lenggah tumungkul, sarwi mesem turira ris, “Sae boten
mawi priya, mindhak pinten tyang akrami, eca mung momong sarira, boten
wonten kang ngrego-ni.
Sang Dewi duduk dengan kepala menunduk, sambil tersenyum berbicara
halus, “Bagus tidak memiliki suami, bertambah apa orang bersuami, enak
sendirian saja, tidak ada yang mengganggu
(38) Eca sare glundhung-gundhung, neng tilam mung lawan guling, lan
tan ngronken keng ladosan”, Senapati mesem angling, “Bener Yayi ujarira,
enak lamban sira Yayi.
Enak tidur sendiri berguling kesana kemari, diatas tikar bersama guling,
dan tidak ada yang harus dikerjakan”, Senopati terlihat tersenyum,
Benar dinda katamu, enak sendirian kamu dinda.
(39) Mung gawoke Nimas ingsun, na wong ledhang aneng gisik, tur
priya kawelas arsa, lagya rena wrin in jladri, semang ginendeng pineksa,
kinon kampir mring jro puri.
Hanya heran saya kepada dinda, ada seorang lelaki di pesisir pantai,
apalagi pria yang meminta belas kasihan, sedang melihat samudera, malah
digandeng paksa, disuruh mampir/ singgah ke dalam puri.
(40) Jeng Ratu kepraneng wuwus, merang tyas wetareng lungit, kakung
ciniwel lambungnya, mlerok mesem datan angling, Senapati tyasnya
trustha, wusana ngandika aris.
Sang Ratu terpana akhirnya, hatinya merasa tersentuh, lelaki itu dicubit
perutnya, melirik tersenyum menggoda senopati, menyentuh hati senopati,
selanjutnya berbicara lembut.
(41) ”Ya sun pajar mirah ingsun, nggon sun praptaneng jeladri, labet
sun anandhang gerah, alama tan antuk jampi, kaya paran saratira, usadane
lara brangti.“
Ya aku ini berbicara secara mudahnya saja, aku datang ke samudera karena
sedang sakit, sudah lama tidak mendapat obat, seperti apa syaratnya
obat sakit asmara.
(42) Mider ing rat nggon sun ngruruh, kang dadi usadeng kingkin, tan
lyan mung andika mirah, pantes yen dhukum premati, bisa mbirat lara
brangta, tulus asih marang mami.”
Aku sudah keliling dunia untuk berusaha, yang menjadi penawar sakit
tidak lain hanya kamu, pantas jika dihukum, yang bisa menyembuhkan sakit
asmara, kasih sayang tulus kepadaku.”
(43) Sang dyah maleruk tumungkul, uning lungit Senapati, nging tansah
ngewani priya, mangkana usik sang dewi, “Wong iki mung lamis ujar,
sunbatanga nora slisirSang
Dewi cemberut menunduk, sambil memandang Senopati, tapi selalu berani
dengan lelaki, demikian goda sang Dewi kepada senopati, “ Anda ini hanya
berbicara bohong, perkiraan saya tidak lah salah.
(44) Minta tamba ujaripun, pan dudu lara sayekti, lara arsa madeg
nata, ewuh mungsuh guru darmi, wus persasat ingkang yoga, kang amengku
Pajang nagri.”
Meminta obat katanya, tapi tidak sungguh-sungguh sakit, sakitnya karena
berkehendak mejadi Raja, tidak enak bermusuhan dengan sesama guru, sudah
dititahkan yang memegang kekuasaan negeri Pajang.”
(45) Wusana dyah matur kakung, “Kirang punapa sang pekik, kang
pilenggah ing Mataram, lelana prapteng jeladri, tan saged lun sung
usada, nggih dhateng keng gerah galih.
Akhirnya sang Dewi berbicara kepada senopati, “Kurang apakah sang
pangeran tampan, yang menduduki Mataram, berkelana sampai samudera,
tidak bisa menyembuhkan yang menjadi sakit hatinya.
(46) Yekti amba dede dhukun, api wuyung ingkang galih, mangsi dhatenga
palastra, tur badhe nalendra luwih, kang amengku tanah Jawa, keringan
samining aji.
Sungguh saya bukan dukun, api asmara yang anda pikirkan, tidak mungkin
menyebabkan kematian, apalagi akan menjadi Raja dari para raja-raja,
yang menguasai tanah jawa, ditakuti oleh sesame raja.
(47) Kang pilenggah ing Matarum, mangsi kirangana putri, ingkang
sami yu utama, kawula estri punapi, sumedya lun mung pawongan, yen
kanggea ingkang cethi.
Yang menduduki Mataram tidak mungkin kekurangan wanita, yang
cantik-cantik dan utama, kaum wanita yang bagaimanapun, tersedia para
nyai, jika dibutuhkan secara pasti.
(48) De selamen lamban ulun, kepengin kinayan nglaki, kang tuk bulu
bekti praja, labet blilu tyang pawestri, tan wigya mangenggar priya,
labet karibetan tapih.
Selama saya menyendiri, pernah mempunyai keinginan bersuami, yang
berbakti kepada kerajaan, karena malas seorang wanita, tidak pandai
terhadap pria, karena terlilit kain.
(49) Lamun kanggeya wak ulun, kalilan among anyethi, ngladosi Gusti
Mataram”, wau ta Sang Senapati, sareng myarsa sebdeng sang dyah,
kemanisan dennya angling.
Meskipun badan saya dibutuhkan, diijinkan hanya untuk berbakti kepada
Gusti Mataram,” Sang Senopati mendengarkan perkataan Dewi sambil
menikmati melihat kemanisan Ratu Kidul.
(50) Saya tan deraneng kayun, asteng dyah cinandhak ririh, sang
retna sendhu turira, “Dhuh Pangeran mangke sakit, kadar ta arsa punapa,
srita-sritu nyepeng driji.
Semakin lama tidak bisa ditahan lagi hati Senopati, tangan Dewi dipegang
pelan-pelan, sang Ratna Dewi berkata lembut manja, “Dhuh Pangeran nanti
sakit, sebetulnya pangeran mau apa, tiba-tiba meremas-remas jari tangan
saya.
(51) Asta kelor driji ulun, yen putung sinten nglintoni, nadyan wong
agung Mataram, mangsi saged karya driji”, kakung mesem lon delingnya,
“Dhuh wong ayu sampun runtik.
Jari tangan saya kecil-kecil, jika patah siapa yang akan mengganti,
meskipun orang besar Mataram tidak mungkin menciptakan jari tangan”,
Senopati tersenyum sambil berkata pelan, “Dhuh wanita cantik jangan
marah.
(52) Nggon sun nyepengasteng masku, Yayi aja salah tampi, mung yunu
ing sotyanira”, dyah narpa nglingira aris, “Yen temen nggen uning sotya,
sing tebih andene keksi
Saya memegang tanganmu, dinda jangan sampai salah terima, hanya mau
melihat cincinmu”, Lalu Dewi berkata halus, “Jika benar Anda hanya mau
melihat cincin saya, bisa melihat dari jauh saja.
(53) Yekti dora arsanipun, sandinya angasta driji, yektine mangarah
prana, ketareng geter ing galih, dene durung mangga karsa, paring jangji
sih mring cethi.”
Pasti bukan kehendak sesungguhnya, berpura-pura memegang jemari, pasti
berkehendak sesuatu, terlihat jelas dipikiran, beri lah janji cinta
kasih yang pasti.”
(54) Kakung mesem sarwi ngungrum, swara rum mangenyut galih,
narpaning dyah wus kagiwang, mring kakung asihnya kengis, esemnya
mranani priya, Senapati trenyuh galih.
Senopati merayu dengan bernyanyi sambil tersenyum, suaranya merdu
menggugah hati, Ratu cantik sudah terpesona, kepada senopati cintanya
terbuka, senyum ratu menawan pria, Senopati tersentuh hatinya.
(55) Narpaning dyah lon sinambut, pinangku ngras kang penapi, sang
dyah tan lengganeng karsa, labet wus katujweng galih, jalma-jalma dera
ngantya, pangajapan mangke panggih,
Sang Dewi disambut perlahan, diletakkan diatas pangkuan senopati, sang
Dewi tidak menolak keinginan, yang tertuju kepada kekasih hati,
terpenuhi keinginan mahluk-mahluk itu.
(56) Lan titisnya Sang Hyang Wiku, kang mengkoni ngrat sekalir,
Senapati nir wikara, karenan mring narpa dewi, tansah liniling
ngembanan, de lir ndulu golek gadhing.
Dan titisan Sang Hyang Wiku, yang menguasai dunia, Senopati tanpa
halangan, kehendak kepada sang Dewi, saling melihat mesra dalam
pangkuan, seperti boneka golek gadhing.
(57) Binekta manjing jinem rum, tinangkeban ponang samir, kakung
ndhatengaken karsa, datansyah bremara sari, mrih kilang mekaring puspa,
kang neng madya kuncup gadhing.
Dibawa masuk ke tempat tidur yang harum, tertutup kain selendang,
senopati mendatangkan hasrat, selalu mesra, kepada ratu yang seperti
bunga sedang mekar, yang berada ditengah kuncup gading.
(58) Jim prayangan miwah lembut, neng jrambah sami mangintip, mring
gusti nggen awor raras, kapyarsa pating kalesik, duk sang dyah katameng
sara, ngrerintih sambate lalis.
Jin setan parahyangan serta mahluk halus, mereka mengintip, kepada gusti
yang bercinta, terdengar saling berbisik, ketika sang Ratu terkena
tajam, mengadu merintih
(59) Kagyat katemben pulang yun, sang dyah duk senanira nir,
nggeladrah rempu ning tilam, ukel sosrah njrah kang sari, kongas ganda
mrik mangambar, bedhahe pura jeladri.
Terkejut ketika sang Dewi kehilangan selaput daranya, pecah membanjiri
di tempat tidur, sanggul rambutnya menjadi berantakan, tercium bau
semerbak harum, rusaknya pura samudera.
(60) Dyah ngalintreg neng tilam rum, jwala nglong kerkatira nir,
Senapati wlas tumingal, sang dyah lin sinambut ririh, sinucen dhateng
patirtan, wusira gya lenggah kalih.
Dewi terbaring lemah di tempat tidur harum, selaput daranya hilang,
Senopati memandang dengan belas kasihan, sang Dewi diambilnya
pelan-pelan, lalu keduanya duduk.
(61) Dyah sareyan pangkyan kakung, tan pegad dipunarasi, mring kakung
Sang Senapatya, nyengkah ngeses sang retna di, raket sih kalihnya sama,
penuh langen ngasmara adi.
Dewi tiduran diatas pangkuan Senopati, tidak henti-hentinya diciumi oleh Senopati, keduanya saling dekap erat, penuh cinta.
(62) Cinendhak rengganing kidung, pasihane sang akalih dugi ngantya
sapta dina, Senapati neng jeladri, ing mangke arsa kondura, marang
prajanya Matawis.
Irama kidung yang pendek, kemesraan keduanya sampai tujuh hari, Senopati
tinggal di dalam samudera, yang nanti akan pulag ke kerajaan Mataram.
(63) Kakung nabda winor rungrum, “Dhuh mas mirah ingsun Gusti, ya sira
karia arja, ingsun kondur mring Matawis, wus lama aneng samodra, mesthi
sun diarsi-arsi,
Senopati berbicara dengan bernyanyi, “Dhuh emas merahku, ya semoga kamu
bahagia, aku pulang ke Mataram, sudah lama di samudera, pasti aku sudah
ditunggu-tunggu,
(64) Marang wadyengsun Matarum, wus dangu tugur ing nagri”, narapaning
dyah sareng myarsa, yen kakung mit kondur nagri, sekala manca udrasa,
druwaya badra dres mijil.
Oleh rakyatku di Mataram, sudah lama menjaga negeri”, Dewi mendengarkan
sambil merasa sedih jika senopati pamit pulang ke negerinya, menangis
sedih, Rembulan menjadi menangis deras.
(65) Dereng dugi onengipun, mring kakung kemangganing sih, alon lengser
sangking pangkyan, udrasa sret dennya angling, “Kaya mengkono Rasane
wong tresno dentimbangi.
Belum sampai yang di pikirannya, kepada senopati yang dicintai,
perlahan-lahan turun dari pangkuan, terdengar isak tangis Ratu, “
Seperti ini lah rasanya mencintai yang dibandingkan.
(66) Kaya timbang tresnaingsun, yen sun bisa nyaput pranti, myang
nguja sakarsanira, mesthi kanggo nggonsun nyethi”, kakung uning wus
kadriya, mring udrasa sang retna adi.
Seperti membandingkan cintaku, seandainya aku bisa memberi, menuruti
semua kehendakmu, pasti saya berguna”, Senopati sudah tahu dalam hati,
atas tangisan sang Ratna.
(67) Lon ngudhar paningsetipun, cindhe puspa pinrada di, dyah
sinambut gya ingemban, binekta mider kuliling, marang kebon petamanan,
kinidung ing pamijil.
Pelan-pelan melepas kain setagen, berhias bunga-bunga emas, Dewi
disambut diemban/diangkat, dibawa keliling-keliling ke kebun taman
sambil dinyanyikan oleh Senopati