Ki Ageng Mangir (Raden Djoko Humbul Wonoboyo) adalah Putra Kyai Ageng
Bondan Surati bin Prabu Browidjoyo. Yang berarti masih trah Mojopahit.
Beliau diislamkan oleh Ki Juru Mertani dan Roro Sekar Pembayun dalam misi dakwah tingkat tinggi dan demi kemaslahatan Mataram.
Pengislaman Ki Ageng Mangir ini dibiaskan oleh beberapa pihak terutama
pihak penjajah Belanda melalui para ahli sejarahnya, ini tidak aneh
karena ada kepentingan penjajah untuk meredam karakter Panembahan
Senopati sebagai salah satu Wali penyebar Islam di Jawa.
Sebagai contoh Babad Mangir sebagai sumber sejarah tak pernah diketahui
siapa penulisnya, Tembok makam dimana (katanya) Mangir dimakamkan adalah
dibangun di abad 18 pada saat pemerintahan Hamengkubuwono II /III ,
siapa yang menulis babad Mangir pastilah mengacu pada model makam yang
berada dibawah tembok tersebut, jadi babad Mangir disosialisasikan oleh
penulisnya pada saat atau setelah perang Diponegoro, sama dengan kisah
perang Bubat, kira kira antara tahun 1825 - 1835.
Gabungan tentara Mangir dibawah Ki Ageng Mangir dan tentara Mataram akan
sangat memperkuat kejayaan Mataram, oleh karena itu adipati para
penentang Mataram berkolaborasi menciptakan intrik politik untuk memecah
kekuatan Mangir Mataram yang telah diikat oleh perkawinan Ki Ageng
Mangir - Roro Pembayun. Mereka menggunakan tangan Raden Ronggo untuk
menjadi mata mata sekaligus eksekutor bagi Ki Ageng Mangir, tokoh yang
kisahnya sengaja dikaburkan.
Secara logika Ki Mondoroko atau Ki Juru Mertani adalah murid langsung Kanjeng Sunan Kalijaga, seorang waliyullah besar,
Ki Juru Mertani pasti tak akan mengizinkan cucu keponakan kesayangannya
menikah dengan seorang yang non Muslim. Panembahan Senopati sudah
mengizinkan Ki Ageng Mangir menjadi menantu sekaligus sekutu Mataram
yang sangat kuat. Saking dekatnya Ki Ageng Mangir diijinkan masuk
kekamar pribadi Panembahan Senopati, ditempat pasholatan Panembahan
Senopati, namun ada juga oknum lain yang bisa masuk ke kamar pribadi
Senopati yaitu Raden Ronggo yang juga putra Panembahan Senopati,terpicu
oleh berita kesaktian Mangir dan dengan sengaja mencobanya raden Ronggo
menghantam Ki Ageng Mangir DENGAN WATU GATHENG dari belakang saat Ki
Ageng Mangir sedang sholat, ki Ageng Mangir gugur dengan kepala pecah
bersimbah darah, adakah yang lebih masuk akal dari cerita ini?
Akibat tewasnya Ki Ageng Mangir, Panembahan Senopati murka dan secara
rahasia menyuruh beberapa orang kepercayaannya bersama Ki Patih Rogoniti
adik ki Ageng Mangir membunuh Raden Ronggo diluar benteng Mataram,
dalam suatu perkelahian yang fair Raden Ronggo tewas oleh tusukan tombak
naga Baru Klinthing (dalam sejarahnya raden Ronggo wafat setelah
melawan seekor Naga). Padahal maksudnya adalah Nogo baru klinthing.
Jejak dan makam Ki Patih Rojoniti tercatat di dusun Cangkring Srandakan
Bantul termasuk makam keturunannya Kyai Muntahal di Patihan Srandakan
Bantul yang menurunkan Lurah Kerto Pengalasan, salah satu panglima
perang Pangeran Diponegoro
Berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati
disebarluaskan oleh para musuh Mataram dalam usaha mendiskreditkan
reputasi Panembahan Senopati raja Mataram Islam sebagai orang yang
kejam, suka ingkar janji, penuh tipu muslihat, padahal kejadian yang
sebenarnya adalah sebuah upaya menutup-nutupi sejarah PENGISLAMAN KI
AGENG MANGIR OLEH PEMBAYUN DAN KI JURU MERTANI ATAS PERINTAH RESMI
PANEMBAHAN SENOPATI,
Watu Gilang bukan singgasana kerajaan, tetapi batu pipih tempat
peshalatan, adalah aneh mendeskripsikan tempat shalat dan singgasana
raja, tidak mungkin singgasana kerajaan berwujud batu pipih setinggi 30
cm, dan sangat tidak akal orang yang duduk bersila membunuh dengan cara
membenturkan kepala ketempat duduknya, jadi Ki Ageng Mangir tidak pernah
dibenturkan kepalanya disinggasana raja dihadapan para bupati.
Oleh karena cerita ini sudah mengandung unsur unsur perpecahan maka oleh
para Sejarahwan Belanda cerita ini tidak pernah dikutik-kutik, cerita
ini serupa dengan kisah perang Bubat dan cerita adipati Ukur yang
menyebabkan dendam sejarah antara suku Sunda dan Jawa yang tujuannya
adalah jelas agar rakyat Sunda mendapat musuh abadi, kisah yang sama
dipakai untuk mencegah pengaruh Diponegoro di Jawa Barat, modusnya
adalah adu domba.
Lalu kisah makam yang terbelah juga tidak masuk akal karena makam
kotagedhe dibangun oleh kerabat Hamengkubuwono II dan III, bukan sejak
Ki Ageng Mangir wafat
Sebagai pahlawan Mataram Roro Pembayun yang telah mengandung anak Ki
Ageng Mangir , diungsikan ayahandanya ketempat kakeknya Ki Penjawi di
bumi Pati, kelak anak itu lahir sebagai Ki Lurah Bagus Wanabaya yang
bersama ibundanya sempat berguru kepada Pangeran Benawa bin Joko Tingkir
di Kendal, putra Ki Ageng Mangir ini juga seorang veteran perang yang
bertempur melawan VOC di Jepara 1618 bersama Tumenggung Bahurekso dan
sahabatnya Ki Kartaran atau Ki Jepra (dimakamkan di Kebun Raya Bogor)
selanjutnya ikut berperang dengan VOC Batavia sebagai komandan tentara
Sandi Mataram di Batavia 1620 - 1629. Keberhasilan unitnya membunuh Jan
Pieter Zoen Coen gubernur Jendral VOC dan mempersembahkan kepala JP Coen
kehadapan Sultan Agung melalui Panembahan Juminah mampu menghentikan
niat Sultan Agung menghajar kembali Batavia, dan memusatkan usahanya
membangun kejayaan Mataram, terbukti hingga wafatnya Sultan Agung di
tahun 1645, VOC Belanda tak pernah berani berperang dengan Mataram. Para
Trah dan keluarga Mataram terus menerus melindungi dan memelihara
silaturahmi dengan para keturunan Mangir yang bermuara pada Roro
Pembayun. Pada kenyataannya para keturunan Ki Ageng Mangir banyak
berperan dalam membantu eksistensi kerajaan Mataram pada abad
berikutnya, bahkan sampai abad modern ini,
Bahwa peninggalan Ki Ageng Mangir di Mangiran berupa lingga yoni, candi
dan sebagainya tidak serta merta menyatakan bahwa Ki Ageng Mangir masih
Hindu setelah menjadi menantu Panembahan Senopati, Sebab seperti
kebanyakan keturunan Prabu Brawijaya Ki Ageng Mangir akhirnya masuk
Islam, hanya kenapa keislaman Mangir ini ditutup tutupi oleh cerita
sejarah yang cenderung tendensius menyudutkan Panembahan Senopati
sebagai raja Islam Mataram pertama diwilayah Jawa Tengah bagian selatan.
Pertanyaan inilah yang harus kita jawab, ada apa dengan upaya menutup -
nutupi pengislaman mangir di abad 16 ini dengan sebuah babad karangan
anonim ?
Trah Mangir mempunyai ciri ciri yang ambigu atau mendua namun selalu
mengambil jalan keras saat memutuskan untuk bertindak, ciri trah juga
selalu menjadi tokoh pemberontak yang teguh dan kemampuan olah pikir
atau olah seni yang sangat mumpuni : lihat saja jejak Trah Mangir
seperti Untung Suropati, Pramudya Ananta Tur, Raden Saleh,
SM.Kartosuwiryo atau bahkan Basuki Abdullah yang meninggal secara
tragis ditikam seorang maling amatir yang kepergok Basuki Abdullah saat
mencuri dirumah pelukis ternama itu, kebanyakan Trah mencantumkan nama
nama bangsawan atau pahlawan sebagai kebanggan, trah Mangir
menyembunyikan perjuangan dan jatidiri , persis seperti pengorbanan Ki
Ageng Mangir.
Banyak sejarah yang di putar balikkan oleh kaum penjajah dengan tujuan
mendiskriminasi tokoh tertentu.. terutama dalam hal penyebaran Islam di
masa lalu dan juga untuk mengoyak persatuan yang ada di kalangan
rakyat.
Bahkan di pedesaan pada masa penjajahan oleh kalangan penjajah kesenian
pun di tumpangi unsur politik penggelapan sejarah. Diantaranya pada
kesenian kethoprak di bikin lakon yang mengulas tentang sejarah yang di
putar oleh Belanda.. Diantaranya tentang Ki Ageng Mangir, kamandoko.
Baron sekeber.dll
Dan sampai saat ini pun masih banyak sejarah yang di putar balikkan oleh para penulis yg tidak mengetahui tentang sejarah.