Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Al-Hasani.
Selama ini banyak orang mendengar nama besar beliau, cerita – cerita
heroik yang terkait dengan kiprah perjuangannya yang cukup legendaries,
tulisan – tulisan yang telah dibukukan, tesis – tesis yang dibuat oleh
para mahasiswa untuk sekripsi kesarjanaannya, dll akan tetapi ketika
kita cermati diantara sekian tulisan atau cerita – cerita yang mengemuka
tersebut sepertinya belum pernah ada yang menyentuh biografi beliau
secara utuh.
Yang muncul baru pada sisi pro – kontra terhadap nilai perjuangan AOI (Angkatan Oemat Islam) Indonesia,
yaitu suatu organisasi kelaskaran perjuangan mempertahankan NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) yang pernah beliau pimpin, terlebih khusus
diakhir kancah tahun 1950-an.
Saya menganggap hal seperti diatas itu tidaklah seimbang. Karena
ketidaktahuan dan ketidak mengertian terhadap kepribadian Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tentu akan dapat menjadi penyebab salah
persepsi pada pola fikir dan pemahaman langkah dakwah yang diambil
beliau. Mudah – mudahan walau dalam ruang yang terbatas, tulisan ini
akan dapat menjadi bagian pembuka dari pengungkapan kesejarahan beliau
secara utuh di masa – masa selanjutnya.
Karena membahas tentang tokoh legendaries Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani ini bak tak mengenal musim. Nama beliau cukup harum serta
senantiasa hidup dihati sanubari para santri serta kaum muslimin di
sepanjang belahan bumi Nusantara ini, setidak – tidaknya sampai saat
kurun masa kini.
Nama dan Kelahirannya
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani adalah putera tertua dari pasangan
suami istri Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani dengan
Ummi Lathifah binti Muhammad Faqih bin Abdullah Faqih bin Iman ‘Ali bin
Nur ‘Ali.
Dari abahnya mengalir darah Rasulullah Saw melalui Syeikh As_Sayid Abdul
Kahfi Al-Hasani (pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu) yang
merupakan keturunan ke-10 dari Syeikh As_Sayid Abdul Qadir Al-Jilani
Al-Hasani.
Adapun lengkap nasabnya yang sampai ke pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi
Somalangu adalah ; Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman bin Ibrahim
(Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani) bin Muhammad bin Zaenal ‘Abidin bin Yusuf
bin Abdul Hannan bin Zakariya bin Abdul Mannan bin Hasan bin Yusuf bin
Jawahir bin Muhtarom bin Syeikh As_Sayid Muhammad ‘Ishom Al-Hasani
(Syeikh Abdul Kahfi Al-Awwal).
Ketika lahir, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani diberi nama “Mahfudz”
oleh abahnya. Sesudah mengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu beliau
dikenal pula dengan laqob “Romo Pusat” dan “Kyai Somalangu”. Istilah
Romo adalah merupakan ungkapan bahasa Jawa halus kromo inggil yang sama
artinya dengan Abuya atau Walidi dalam bahasa Arab. Adapun adanya
imbuhan Pusat dibelakangnya adalah karena pada masa tersebut beliau
merupakan sosok figur ulama harismatik yang menjadi pusat rujukan
(Al-Imam) dari para ulama – ulama lain setidak – tidaknya untuk wilayah
kabupaten Kebumen dan sekitarnya.
Sebutan itu muncul dengan sendirinya yang bermula dari kalangan
masyarakat lapis bawah karena hormat mereka pada beliau. Maklum saja
karena pada kurun waktu sebelum kemerdekaan RI wilayah kabupaten Kebumen
adalah daerah yang masyarakatnya berada dalam socia sistem keraton
Yogyakarta dan Solo.
Sementara kalangan santri sendiri memanggil beliau semenjak masih muda dengan sebutan “Syeikh Mahfudz”.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dilahirkan di komplek Pesantren
Al-Kahfi Somalangu pada malam 27 Rajab 1319 H bertepatan dengan 9
November 1901 M atau 27 Rejeb 1831 – Dal jatuh Mongso Kanem. Sebagian
sesepuh Jawa ketika beliau lahir ada yang memprediksikan bahwa kelak
setelah berusia diatas 30-an tahun, beliau akan jadi orang terhormat,
mempunyai jiwa rela berkorban, penampilannya cukup kharismatik
(simpati), mempunyai jiwa optimis, kuat dalam berprinsip, pandai
bergaul, membenci kepalsuan, akan mendapat ujian berat, namun dengan
kedewasaan dalam berfikir serta ketabahannya ia akan tetap mulia
dicintai kawan serta disegani lawan.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mempunyai 3 orang saudara kandung,
yaitu Syeikh As_Sayid Thoefur Al-Hasani dan Syarifah Ghonimah Al-Hasani
serta 6 saudara seayah lain ibu. Adapun keenamnya tersebut ialah Sayid
Quraisyin (di perjuangan AOI lebih dikenal namanya dengan sebutan KH Nur
Shodiq), Sayid Qumdari, Sayid Qomari, Sayid Qushashi, Sayid Quthubi dan
Syarifah ‘Aqidah.
Masa kanak – kanak dan Pendidikannya sampai usia remaja
Pada saat setelah dilahirkan, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sudah
menampakkan hal – hal yang terbilang luar biasa daripada bayi kecil pada
umumnya. Wajahnya tampan dan menampakkan sinar cahaya terang. Kulitnya
putih kemerah – merahan. Matanya tajam dan bercahaya kemilauan. Abahnya
memohon pada Allah Swt agar kelak ia terbebas dari perbuatan – perbuatan
radziiah (jelek). Oleh karenanya beliau diberi nama “Mahfudz”.
Ada ungkapan sederhana dari seoarang Habaib Ba’alawi keturunan Al-Haddad
yang tinggal di Kebumen. Beliau adalah Al-Habib Ali bin Abdullah
Al-Haddad. “Ketika kecil, saya sering diajak oleh abah saya ke
Somalangu. Lalu saya melihat wajah Syeikh Mahfudz tidaklah seperti para
Kyai pada umumnya. Sayapun bertanya kepada abah saya ; Bah, kok Syeikh
Mahfudz wajahnya seperti Jama’ah (istilah yg biasa dipakai keturunan
Hadhramaut apabila menyebut sesama ahlubaitin nabi Saw)?” kata Al-Habib
‘Ali bin Abdullah Al-Haddad, “Abah saya pun lalu menjawab ; Syeikh
Mahfudz itu memang Jama’ah. Sama seperti kita. Kalau dia dari Al-Hasani.
Sedangkan kita dari Al-Huseini”. Demikian penuturan Al-Habib ‘Ali bin
Abdulah Al-Haddad
Kisah sederhana ini mengungkapkan bahwa kesaksian terhadap harismatik
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani bukanlah hanya dongeng belaka.
Kenyataan itu bisa ditangkap oleh berbagai kalangan, baik kecil, muda
ataupun dewasa.
Diusia dini, ia telah amat menyukai belajar ilmu – ilmu agama islam.
Teman – teman yang sebayanya senantiasa diajaknya untuk mengikuti shalat
berjamaah dan mengaji. Beliau sangat fasih. Ia menamatkan pelajaran
Al-Qur’an dan jenis – jenis qiraahnya secara fasih dari abahnya
sendiri.
Dalam usia 7 tahun, beliau telah khatam Al-Qur’an dan hafal berbagai
suratan penting yang ada didalamnya. Ada yang bilang beliau setengah
hafal Al-Qur’an. Berbagai dalil – dalil naqli yang terkait dengan fiqh
‘ubudiah telah banyak dihafalnya dengan baik.
Tidak hanya Al-Qur’an, hadits Al-Arba’in Lin Nawawi-pun juga telah
beliau hafal. Kemana beliau pergi atau bermain, diriwayatkan Mahfudz
kecil senantiasa membawa catatan – catatan kecil atau korasan kitab
untuk dibaca diwaktu dia sempat.
Sehingga dikatakan, kawan – kawan sebayanya telah merasa sungkan ketika
bergaul dengan Mahfudz kecil. Namun mereka tetap menyukainya karena
selain menyenangkan dalam bertutur kata, Mahfudz kecil juga tidak
sombong dan amat dermawan.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tidak pernah mengenyam pendidikan
formal sekolah. Karena pada masa itu pendidikan formal hanya dimiliki
oleh kalangan kaum feodalis serta neo-Belanda. Untuk mengayakan dirinya
dalam hal pengetahuan umum, ia belajar kepada abahnya, mendengarkan
radio serta membaca koran yang dikisahkan dapat ia peroleh seminggu
sampai sebulan sekali.
Abahnya dapat pula menjadi guru pengetahuan umum selain pengetahuan
agama karena sang abah juga bertempat tinggal di tanah Hejaz (sekarang
Saudi Arabia). Sehingga ditingkat pergaulan beliau memang telah
mempunyai wawasan pengetahuan yang cukup luas bertaraf internasional.
Ketika usianya beranjak mencapai 16 tahun, Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani mulai diizinkan oleh abahnya untuk menambah bekal ilmu
pengetahuan agamanya di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur
yang waktu itu diasuh oleh KH Dimyathi.
Ada beberapa kisah unik yang sempat melegenda mengiringi keberadaan
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani di pesantren Tremas. Diantaranya,
ketika awal Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masuk ke pesantren ini, ia
sempat jadi bahan gunjingan dan tertawaan para santri lainnya.
Pasalnya, karena Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani datang dengan
mengenakan pakaian Gamis. Dan satu dua hari tinggal disana juga masih
tetap memakai Gamis. Padahal kebanyakan para santri waktu itu tidak ada
yang memakai baju Gamis. Bahan gunjingan ini maklum terjadi karena
mereka tidak mengetahui jika Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani itu masih
ahli baitin nabi Saw. Dimana tradisi mengenakan Gamis bagi ahlibait
adalah dipandang sebagai mengikuti sunnah rasul. Pemakaian Gamis ini
memang telah menjadi kesukaan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani semenjak
dari kecil, dirumah atau pergi bermain kemana saja.
Ceritanya, ketika beliau hendak pulang ke asrama dari berjamaah di
masjid, tiba – tiba kawan – kawan santri yang juga baru lepas jamaah
seperti paduan suara mentertawakan beliau. Akibat ini perasaan tidak
enak hati muncul pada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Beliau kemudian
menuju Bencet (alat untuk menentukan waktu shalat) di depan samping
masjid yang terbangun berbentuk tugu segi enam dengan tinggi kurang
lebih 1,5 meter dan berdiameter 1 meter. Dibedolnya bangunan itu dengan
sekali rengkuh serta dipanggulnya dan beliau letakkan sendiri persis
ditengah – tengah halaman masjid.
Kemudian apa yang terjadi? Para santri yang semula sempat mentertawakan
beliau tiba – tiba terdiam sehingga suasana menjadi senyap seperti tak
ada suara sedikitpun. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun bertanya
pada kawan – kawan santri, “Kenapa kalian hentikan tertawanya??” “Ayo
teruskan!!”. Ternyata tak ada sebutir katapun mampu keluar dari kawan –
kawan santri. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun ahirnya membawa
kembali Bencet tadi ketempat semula dimana ia membedolnya.
Ketika Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah kembali keasrama, para
santri yang semula berkerumun kemudian mendatangi Bencet yang telah
dikembalikan ketempat asal. Ajaibnya, ternyata tugu Bencet itu terpasang
seperti seolah – olah tidak pernah terjadi apa – apa padanya.
Subhanallah.
Kesaksian peristiwa ini sempat direkam oleh beberapa alumni Tremas yang
mengalami masa beliau di pesantren tersebut, seperti misalnya KH
Asy’ari, Damesan, Magelang, KH ‘Ali Ma’shum, Krapyak, Yogyakarta, KH
Hamid, Pasuruan dll.
Di Pesantren Tremas, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tinggal selama
kurang lebih 1,5 tahun. Disini beliau sempat menyusun dua buah kitab
yang diberi judul : Al-Fawaidus Sharfiyah (kitab sharaf) dan Al-Burhanul
Qathi’ (fiqh ‘ala madzhab As-Syafi’i). Dua buah kitab ini beliau
selesaikan pada bulan Ramadhan 1336 H (Juni 1918 M). Oleh KH Dimyathi,
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani juga sempat diminta untuk mengajar
rekan – rekannya di serambi masjid walau beliau baru sebentar
keberadaannya di pesantren tersebut.
Dari Tremas, beliau sempat singgah di Jamsaren, Solo selama beberapa
hari dan kemudian singgah di Pesantren Darussalam, Watu Congol,
Muntilan, Magelang. Di Watucongol, semula niat Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani hendak berguru menambah ilmu agamanya pada mbah Kyai Dalhar.
Akan tetapi mbah Kyai Dalhar menolak untuk mengajar beliau. Alasannya
karena mbah Kyai Dalhar merasa ilmunya masih sedikit.
Mungkin yang seperti ini hanya sikap tawadhu’nya mbah Kyai Dalhar saja
pada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Karena mbah Kyai Dalhar sempat
berguru kepada kakek Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani selama 8 tahun.
Mbah Kyai Dalhar malah meminta Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani agar
berkenan mengajar kitab yang telah disusunnya di Tremas. Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani pun sempat terkejut ketika mbah Kyai Dalhar
mengetahui hal ini. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya bersedia
dengan catatan mbah Kyai Dalhar berkenan untuk mendoakan beliau dan
keturunannya.
Dan tak dinyana kemudian selang pada generasi cucu keduanya akhirnya
terjadi pernikahan. Apakah ini hasil diantara doa keduanya? Wallahu’alam
bis shawab.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tinggal di Watucongol kurang lebih
sekitar 3 bulan. Setelah selesai mengajarkan kitab Fawaidus Sharfiyah
susunannya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun sempat terkejut ketika
mbah Kyai Dalhar mengetahui hal ini. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani
akhirnya bersedia dengan catatan mbah Kyai Dalhar berkenan untuk
mendoakan beliau dan keturunannya.
Dan tak dinyana kemudian selang pada generasi cucu keduanya akhirnya
terjadi pernikahan. Apakah ini hasil diantara doa keduanya? Wallahu’alam
bis shawab.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tinggal di Watucongol kurang lebih
sekitar 3 bulan. Setelah selesai mengajarkan kitab Fawaidus Sharfiyah
susunannya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian pulang kembali ke
Somalangu.
Menurut keterangan KH Ahmad Abdul Haq putra mbah Kyai Dalhar, pelajaran
Sharaf yang berasal dari kitab Fawaidus Sharfiyah karya Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani tersebut ahirnya menjadi pokok pelajaran sharaf di
Pesantren Watu Congol dari semenjak mbah Kyai Dalhar sampai dengan saat
beliau mulai mengampu pesantren.
Bahkan menurut beberapa orang murid mbah Kyai Dalhar seperti Mbah Kyai
Udin, Nglamat, Muntilan, Kyai Bakrin dan Kyai Hamim Muntilan, pelajaran
sharaf kitab Fawaidus Sharfiyah ini juga diajarkan di Pesantren
Tegalrejo, Magelang saat KH Khudhori mulai diperintahkan mbah Kyai
Dalhar untuk membuka pesantren tersebut.
Sayangnya kitab Fawaidus Sharfiyah dan Al-Burhanul Qathi’, keduanya
belum masuk cetak dari semenjak dibuat oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani. Dalam pembelajaran, beberapa murid mbah Kyai Dalhar,
metodenya masih dengan cara menurun tulisan. Mudah – mudahan dalam tempo
yang tidak terlalu lama, insyaallah kitab – kitab tersebut dapat
dihadirkan kembali dihadapan para santri sudah dalam bentuk edisi cetak.
Jika dibandingkan dengan kitab Amtsilatut Tashrifiyah, Jombang karya KH
Ma’shum bin Ali Maskumambang, kitab Fawaidus Sharfiyah ini terdapat
sedikit perbedaan. Hanya pada beberapa bagian nampak ada kesamaan
metodologi. Penulis belum mengetahui persis mana yang lebih dahulu
disusun diantara keduanya. Hanya saja menurut murid – murid mbah Kyai
Dalhar, saat kitab Fawaidus Sharfiyah dipakai di pesantren Watu Congol,
kitab Amtsilatut Tashrifiyah belum memasyarakat dan beredar di pesantren
– pesantren Dulangmas
(KH ‘Ali Ma’shum Krapyak, Yogyakarta berkata, “Mencari figure sekaliber
Syeikh Mahfudz bin Abdurrahman pada zamannya sangatlah sulit. Beliau
adalah orang yang – komplit – dan mempunyai Himmatun ‘Aliyah. Saya
sering menghadap dan meminta taushiah pada beliau”)
Diangkat Mursyid Thariqah As-Syadziliyyah
Ayah dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani yaitu Syeikh As_Sayid
Abdurrahman bin Ibrahim bin Muhammad bin Zaenal ‘Abidin Al-Hasani adalah
seorang yang ‘alim ‘allamah dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang
tauhid beliau berpegang pada faham aqidah ahlussunnah wal jama’ah
(Asy’ariyah wal Maturidiyyah). Dalam bidang fiqh beliau menganut madzhab
Malikyah. Sedang dalam tasawuf beliau mengikuti Thariqah
As-Syadziliyah.
Madzhab fiqh Malikiyah dipilih oleh Syeikh As_Sayid Abdurrahman
Al-Hasani karena semenjak usia muda beliau lebih sering tinggal di Saudi
Arabia (waktu itu masih bernama Hejaz). Di Indonesia beliau sering
tinggal secara temporer, seimbang dengan tinggalnya beliau di Saudi.
Kadang selama 6 bulan. Terkadang pula mencapai masa 1 tahun dan
berangkat kembali ke Hejaz bersamaan dengan waktu berangkatnya orang –
orang Indonesia menunaikan ibadah haji.
Sekalipun demikian, Syeikh As_Sayid Abdurrahman Al-Hasani menyarankan
puteranya, yaitu Syeikh As_Sayid Mahfudz untuk mengambil madzhab
Syafi’iyyah sebagai acuan madzhab fiqhnya. Sepertinya karena madzhab
tersebut adalah madzhab yang dipakai oleh mayoritas masyarakat muslim
Indonesia.
Kisah seperti ini menunjukkan bahwa dalam persoaan fiqh, ulama Somalangu
cukup toleran dan dapat memahami perbedaan kerangka istinbat. Yang
terpenting adalah dalam persoalan tauhid harus satu. Karena didalam fiqh
fihi qaulani adalah hal biasa. Sementara itu tidak demikian halnya
dalam soal aqidah.
Keadaan diatas sepertinya mempengaruhi pertimbangan sikap Syeikh
As_Sayid Abdurrahman untuk mengangkat Mahfudz muda menjadi mursyid
Thariqah As-Syadziliyah penerus beliau.
Tepatnya di usia yang masih 17 tahun, sepulangnya Syeikh As_Sayid
Mahfudz pulang dari Pesantren Watucongol, Muntilan beliau diangkat oleh
ayahnya menjadi mursyid Thariqah As-Syadziliyyah (1336 H/1918 M). Untuk
mengenang peristiwa ini, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyusun
sebuah kitab berjudul “Sirajul Qulub” (1337 H). Yaitu sebuah kitab yang
berisikan sejarah Syeikh As_Sayid Abil Hasan As-Syadzili ra dan faham
tasawufnya sampai dengan sanad silsilah ijazah kemursyidan yang sampai
kepada beliau.
Berangkat ke tanah Haram
Kemauan besar yang terdapat dalam diri Syeikh As_Sayid Mahfudz untuk
menimba ilmu sedalam mungkin sepertinya tak tercegah oleh kendala usia
dan prestasi yang telah dicapainya. Pada tahun 1337 H, Syeikh As_Sayid
Mahfudz berangkat ke tanah Haram (Makkah) untuk lebih memperdalam
keilmuan agamanya. Beliau beramal dengan hadits Rasulullah Saw ;
Artinya, “Dari Jabir, ia berkata ; bersabda Rasulullah Saw : – Sebagian
dari sumber ketaqwaan ialah belajarmu pada sesuatu yang engkau benar –
benar mengetahui bahwa engkau belum mengetahui -”. (Lih, Al-Mu’jamul
Kabir Lit Thabrani, bab Man Ismuhu Ibrahim, juz 6 hal 48).
Ditanah haram, beliau tinggal dirumah Syeikh As_Sayid Sa’id bin Muhammad
Babashol didaerah Misfalah. Dari Syeikh As_Sayid Sa’id bin Muhammad
Babashol, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memperoleh ijazah “Sirrul
Maulid”. Yaitu, suatu ijazah yang biasa berlaku di kalangan ahlulbait
dimana salah satu faedahnya adalah apabila “prosesi” tersebut dilakukan
sewaktu membaca maulid rasul (apapun bentuk maulidnya seperti
Al-Barzanji, Ad-Diba’i, Simtuth Duror dll) maka “Nur” Rasulullah Saw
akan memancar dalam majlis tersebut. Sehingga hadhirin yang mengikuti
pembacaan maulid dapat merasakan kekhusukan serta mahabbah yang mendalam
kepada Habibanal Musthafa Saw.
Itulah penjelasan yang penulis dapatkan dari abah penulis tentang apakah
ijazah sirrul maulid tersebut. Sayid 'afifuddin (cucu Syaikh Machfudh)
sendiri untuk pertama kalinya mendapat ijazah sirrul maulid dari guru
beliau yang bernama Syeikh As_Sayid Masyhud bin Muhammad Al-Hasani,
dimana Syeikh As_Sayid Masyhud Al-Hasani mendapatkannya dari Syeikh
As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani yaitu abah dari Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani.
Sewaktu keberangkatan pertama kalinya ketanah Haram ini, Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani sempat pula bertemu dengan Syeikh Mahfudz At-Turmusi.
Seorang tokoh ulama Indonesia yang sempat menjadi pengajar dan imam di
Masjidil Haram. Pada beliau, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat
sorogan kitab syarah Bafadhol sampai khatam.
Bai’atul Wilayah
Sudah menjadi kebiasaan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, beiau membagi
waktu malamnya menjadi dua bagian. Yang sebagian digunakan untuk
tadarus serta muthala’ah kitab. Sedangkan sebagian lagi digunakan untuk
berkhalwat serta mujahadah kepada Allah Swt hingga fajar menyingsing.
Sahrallayal (tidak tidur malam) merupakan kebiasaan beliau. Waktu
istirahat diambilnya saat qulailah, yaitu setelah shalat dzuhur sampai
dengan asar.
Kisahnya, ketika beliau tengah bermujahadah di masjidil Haram sesudah
menyelesaikan ibadah thawaf, tiba – tiba beliau dijumpai oleh seseorang
yang mengenalkan dirinya bernama “Ibnu ‘Alwan”. Begitu berjabat tangan,
tahulah Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan siapa beliau
berhadapan. Dialah nabiyullah Khidhr as. Seorang nabiyullah yang
bermohon kepada Allah Swt agar diperkenankan menjadi umat nabi Muhammad
Saw. Dan oleh Allah Swt doa beliau dikabulkan.
Sesudah wafatnya Rasulullah Saw Khatamul Anbiya, maka sebagai umat
Muhammad Saw yang terpilih, beliau atas izin Rasulullah Saw ditugaskan
oleh Allah Swt untuk membai’at para auliya pewaris dan penerus
perjuangan Habibina Muhammad Saw.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian pergi bersama Al-Khidr dalam
waktu yang cukup lama sehingga oleh teman – temannya tidak diketahui
kemana dan dimana beliau menempat. Menurut Syeikh As_Sayid Masyhud bin
Muhammad Al-Jilani Al-Hasani Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mendapat
tarbiyah dari Al-Khidhr yang diakhiri dengan bai’atul wilayah itu lama
masanya 101 hari. Sesudah tarbiyah dan bai’atul wilayah itu selesai,
beliau diperintahkan oleh Al-Khidr untuk segera pulang ke Jawa, karena
wilayahnya ditetapkan di Jawa (Somalangu).
Ini adalah suatu perjalanan serta pengalaman spiritual yang tak pernah
dirancang serta tergambarkan oleh beliau sebelumnya. Kisah ini penulis
ungkapkan dalam bentuk sederhana dengan tujuan bukan untuk kultus
individu namun lebih terarah agar pembaca kedepan dapat memahami
beberapa sikap yang mempengaruhi Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dalam
mengambil suatu keputusan.
Menikah
Sesudah kepulangannya dari tanah Haram, yaitu mulai tahun 1338 H, Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani membantu abahnya mengasuh Pondok Pesantren
Al-Kahfi Somalangu. Ketika usianya menginjak 33 tahun, Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani menikah dengan Syarifah Maidatul Mardhiyah binti
Abdullah Al-Muqri bin Al-Habib Muhammad bin Muhammad bin Muhsin
Al-Huseini. Nasab isteri beliau ini bersambung pada sadah Ba’alawi yang
tinggal di India melalui Al-Habib Burhan bin Nur ‘Alam bin Abdullah
Khan, Gujarat.
Jadi masih saudara (satu nasab)dengan Sunan Ampel.
Dari pernikahan tersebut, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dikaruniai 9
orang putera – puteri. Tiga diantaranya laki – laki. Dan 6 lainnya
adalah perempuan. Dari ketiga putera laki – laki hanya ada satu orang
puteranya yang menyambung keturunan beliau yaitu Sayid Chanifudin.
Lima tahun sesudah menikah, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kembali
berangkat ke tanah Haram. Kurang lebih sembilan bulan lamanya beliau
tinggal disana. Jalinan persahabatan dengan jama’ah ahlulbait baik yang
berasal dari Yaman, Suriah, Iran, Irak, India, Pakistan dan Hadhramaut
beliau rangkai waktu itu. Demikian pula yang berasal dari kawasan Asia
Tenggara seperti Pattani (Thailand), Tumasik (Singapura, merdeka th
1965) dan Malaya (Malaysia, merdeka th 1957). Oleh karenanya tidak
mengherankan jika sewaktu setelah beliau kembali lagi ke Somalangu
banyak sekali santri – santri yang berasal dari luar negeri datang dan
belajar di Pondok Pesantren Al Kahfi Somolangu
Dalam memimpin Pondok Pesantren Metode klasikal telah diterapkan pada
masa kepemimpinan beliau. Ada sebuah kisah yang mungkin dapat dijadikan
sebagai sebuah bagian dari cermin penerapan metodologi pendidikan ketika
beliau mengasuh pesantren. Dalam memimpin Pondok Pesantren Metode
klasikal telah diterapkan pada masa kepemimpinan beliau. Ada sebuah
kisah yang mungkin dapat dijadikan sebagai sebuah bagian dari cermin
penerapan metodologi pendidikan ketika beliau mengasuh pesantren.
Yaitu, kisah yang diceritakan oleh salah seorang warga masyarakat
bernama Subahwi (75 th). “Pada masa Syeikh Mahfudz, saya belajar di
madrasah pesantren tingkat ibtidaiyyah. Tempatnya di serambi masjid.
Yang diajarkan, selain dari ilmu – ilmu agama, saya juga telah menerima
pelajaran bahasa Belanda dan bahasa Arab. Bahasa pengantarnya memakai
bahasa Melayu yang kadang diselingi dengan bahasa Jawa.
Kurang lebih 3 bulan sebelum Jepang masuk ke Jawa, beliau mengumumkan
pada kami untuk belajar mata pelajaran tambahan yaitu bahasa Jepun
(Jepang, pen). Yang mengajar langsung beliau sendiri. Sehingga ketika
tentara Jepun datang ke Somalangu, kami dikumpulkan oleh beliau didepan
masjid untuk dipertemukan dengan tentara Jepun. Dan kami dapat menjawab
pertanyaan mereka dengan bahasa mereka. Akhirnya tentara Jepun itu pergi
dari Somalangu dan mereka merasa senang karena anak – anak sebaya saya
sudah bisa berbahasa Jepun sebelum mereka datang. Mereka tak pernah
menjajah Somalangu”.
Kisah diatas menunjukkan bahwa Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani benar –
benar mempunyai wawasan yang luas. Beliau bukan hanya mendalam dalam
bidang agama akan tetapi juga faham ilmu politik, strategi dan
penguasaan berbagai bahasa. Beberapa orang dekat beliau menceritakan,
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani itu mampu menguasi bahasa asing
seperti Arab, Belanda, English, Persi, Jepang dan Urdu dengan baik serta
fasih.
Dalam segi pengabdian ke masyarakat serta untuk mengefektifkan penerapan
ajaran islam dalam kehidupan sehari – hari, Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani memberikan waktunya dua kali seminggu mengajar masyarakat
awam. Mereka dibekali tuntunan aqidah ‘ala ahlissunnah wal jama’ah, fiqh
dan juga tasawuf. Kegiatan ini berlangsung tiap hari Selasa dan Jum’ah
Pagi. Untuk menyampaikan taushiahnya agar mudah diterima oleh
masyarakat, beliau juga sangat akomodatif terhadap budaya – budaya yang
tidak merusak sendi – sendi ajaran islam. Syeikh As_Sayid Mahfudz tak
sungkan – sungkan menyampaikan taushiahnya dalam bentuk irama kidung
macapatan Jawa. Karena nuansa psychologi masyarakat sebelum tahun 1945
adalah nuansa kultur keraton. Dan dengan cara itulah, pemahaman menjadi
mudah diserap oleh masyarakat.
Untuk menyemangatkan orang agar senang beribadah dan mengaji biasanya
beliau melagukan kidung – kidung pangkur. Jika meriwayatkan tarikh rasul
beliau melagukan irama Dandang gula. Dan apabila mengarahkan orang
untuk mencintai Allah Swt, Rasulullah Saw dan para Shalihin beliau
mengalunkan irama Asmaradana.
Jadi tidak benar pemberitaan yang menyebutkan bila Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani membenci kebudayaan Jawa.
Apabila ada suatu kasus pernah terjadi beliau tidak setuju terhadap
suatu tontonan tertentu, semestinya harus dianalisa dulu apa
penyebabnya. Bisa saja ketidak setujuan itu terjadi karena sang pelakon
membawakan suatu kisah yang dapat membahayakan pada aqidah umat. Jadi
sifatnya kasuistis. Tidak dapat digeneralisasi. Karena banyak bukti,
banyak sekali karya – karya beliau yang dimasukan dalam akulturasi
budaya Jawa. Insyaallah kelengkapan ini akan dirilis dalam edisi buku
biografi beliau secara lengkap yang dikeluarkan oleh Pondok Pesantren
Al-Kahfi Somalangu.
Membangun kultur dan perekonomian santri
Selain sebagai figure ulama, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani juga
seorang tokoh produktif yang dapat menjadi suri tauladan santri untuk
dapat survive dimanapun bilamana santri menempatkan diri.
Kebumen di tahun 1940-an adalah sebuah daerah yang masih cukup statis
dibidang perekonomian. Tingkat pendapatan perkapita masyarakatnya masih
teramat rendah. Apalagi jerat – jerat feodalisme sungguh masih
membelenggu kemajuan diperbagai sektor. Standar kemampuan seseorang
dibidang ekonomi masih diukur dengan seberapa besar jumlah luas lahan
baik kering atau basah (pertanian) serta hewan peliharaan yang mereka
miliki.
Ditengah – tengah situasi demikian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani
maju memberikan suri tauladan pada para santri, bagaimana mengatasi
stagnasi ekonomi dan membangun kultur budaya yang positif dalam nuansa
islami di masyarakat. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memulai dengan
menjalankan potensi – potensi ekonomi masyarakat yang belum terangkat
secara maximal di Kebumen pada masa itu. Diantaranya ialah pengolahan
kopra, industri minyak goreng, pemintalan benang, produksi madu, pabrik
rokok, perdagangan kayu jati baik dalam sekup regional maupun ekspor (ke
Malaya, Tumasik dan India) dan lain – lain. Jika salah satu roda usaha
penggerak perekonomian ini telah jalan serta ada orang lain dari
kalangan masyarakat yang mampu dan berkenan meniru beliau maka Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akan memilih mengalihkan diri pada bidang
lain yang belum tersentuh.
Dari sini menjadikan banyak orang semakin bersimpati pada sosok figure
beliau. Karena pada endingnya, hampir para ekonom dan saudagar –
saudagar ternama di Kebumen yang berada di perbagai penjuru sentra
ekonomi Kebumen dipastikan punya hubungan psychology dan sociology yang
baik dengan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Landasan kekuatan dan
pengembangan ekonomi yang dijiwai oleh semangat nasionalisme dan
dibangun secara bersama – sama oleh beliau dengan tokoh – tokoh ekonom
lainnya di Kebumen menyebabkan setiap pan kapitalis non pribumi gagal
menjajah ekonomi masyarakat Kebumen. Oleh karena itu bukanlah hal yang
mengada – ada serta sangat logis jika dikemudian hari pengaruh Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ini dapat masuk ke seluruh pelosok desa yang
ada di wilayah Kebumen. Beliau sepertinya menjadi figure fenomenal
pemersatu dan kebangkitan dari masyarakat Kebumen era tahun 1940 –
1945-an.
Pelopor Iptek Santri
Kalau pembaca mau lihat – lihat majalah “Keboemen Berdjoeang” sebelum
tahun 1950-an, maka pembaca akan menemukan sebuah data stastistik, di
Kabupaten Kebumen waktu itu baru ada satu buah pemilik mesin
penggilingan padi. Siapakah pemiliknya? Tiada ain yaitu Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani. Ya, mesin penggilingan padi yang beliau miliki saat
itu bukanlah berbentuk sebagaimana mesin penggilingan padi model
sekarang yang telah sarat dengan kemajuan teknologi. Mesin penggilingan
padi yang dimiliki oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, beliau
ciptakan sendiri teknologinya. Generator listriknya beliau peroleh
dengan memakai penampang lingkaran yang digerakkan oleh tekanan pegas
melalui pengolahan tenaga air. Mesin ini bila pada zaman sekarang dapat
digambarkan adalah sebuah jenis mesin teknologi tepat guna yang bekerja
dengan tanpa menggunakan bahan bakar minyak namun menggunakan air sumur.
Selain mampu menciptakan mesin penggilingan padi sebagai suatu cara dari
Syeikh As_Sayid Mahfudz A-Hasani untuk memotivasi santri agar dapat
berkarya dalam hal – hal yang bermanfaat bagi masyarakat luas, beliau
juga mampu menelorkan karya – karya teknologi yang sampai sekarang belum
diangkat untuk diketahui umum. Diantaranya yang penulis ketahui yaitu
seperti Mesin penjernih air (semacam Water Purefier namun dapat memilah
kandungan air, minyak, besi dan kuman secara tersendri), Lensa pembaca
hiroglif serta data arkeologi, Alat ketik dan komunikasi (semacam
Notebook namun keyboardnya terbuat dari jenis batuan) dengan menggunakan
Batery listrik alam dan lain – lain.
Aktif menyusun strategi kemerdekaan
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani selain mengasuh pesantren beliau juga
aktif berperan serta menyusun strategi kemerdekaan Indonesia dari tangan
penjajah. Keadaan ini timbul tak lepas dari hubungan akrab persahabatan
yang dijalin beliau dengan para ulama dan keprihatinannya terhadap
keadaan bangsa.
Tokoh yang sering berhubungan dengan beliau dalam masalah perjuangan
kemerdekaan ini adalah KH Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang sekaligus
pendiri organisasi Nahdhatul ‘Ulama. Antara keduanya sering saling
mengunjungi dan berkirim surat. Dalam pustaka di Ndalem terdapat
beberapa naskah surat – surat asli yang berasal dari KH Hasyim Asy’ari
kepada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani.
Insyaallah dalam buku sejarah biografi beliau yang dikeluarkan oleh
Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu akan diungkap serta diuraikan secara
lengkap. Jadi hubungan baik antara Tebu Ireng dengan Somalangu itu
terjalin bukan dimulai dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH
Wahid Hasyim (mantan Menag) akan tetapi justru dari beliau dengan KH
Hasyim Asy’ari.
Bahwasanya antara KH Wahid Hasyim berhubungan baik dengan Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memang benar. Akan tetapi jalinan
persahabatan itu dimulai dari ayah KH Wahid Hasyim. Bukan karena KH
Wahid Hasyim pernah bersama satu kurun Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani
di Pesantren Tremas. Sebab Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mondok di
Tremas tahun 1335 H/1917 M – 1336 H/1918 M, sementara KH Wahid Hasyim
dilahirkan pada 1 Juni 1914 M.
Jadi pada saat Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah pulang dari
Tremas, KH Wahid Hasyim baru berusia 4 tahun. Jelas mereka tidak pernah
satu kurun di Tremas, walau keduanya adalah sama – sama alumnus
pesantren tersebut. Mudah – mudahan tulisan saya ini dapat menjadi
koreksi pada tulisan – tulisan yang mengulas hubungan keduanya.
Perkenalan antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim
Asy’ari dimulai saat ada pertemuan akbar antara para alim ulama di
Ampel, Surabaya menjelang tercetusnya resolusi Jihad pertama. Beliau
adalah orang pertama yang mengusulkan agar KH Hasyim Asy’ari ditunjuk
sebagai pemimpin dan deklarator resolusi jihad. Hujah – hujah yang
beliau kemukakan sangat menarik perhatian peserta pertemuan.
Sehingga sesudah itu antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH
Hasyim Asy’ari terjalin hubungan yang cukup akrab. Setelah selesai
pertemuan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani diminta oleh KH Hasyim
Asy’ari untuk menemani beliau berkhalwat selama 40 hari di masjid Ampel,
Surabaya untuk memohon petunjuk pada Allah Swt terhadap langkah –
langkah tehnis yang sebaiknya dikerjakan.
Mendirikan badan kelasykaran AOI
AOI adalah singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Merupakan
sebuah badan kelasykaran perjuangan yang dibentuk dan didirikan dengan
tujuan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan
kelasykaran ini beranggotakan berbagai elemen umat islam yang ada
diwilayah Indonesia.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
penjajah Belanda yang dibackup oleh Sekutu ingin tetap menguasai
Indonesia. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sebagai seorang tokoh ulama
berpengaruh didaerah wilayah Dulangmas (Kedu, Magelang dan Banyumas)
waktu itu diminta oleh berbagai pihak untuk berkenan memimpin sebuah
badan kelasykaran perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Dimana pada
saat tersebut telah beredar khabar secara luas bahwa Belanda akan datang
kembali ke Indonesia bersama Sekutu sebagai pengganti pendudukan
Jepang. Atas permintaan ini, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian
melakukan istikharah dan meminta pertimbangan pada para sesepuh ulama.
Kesimpulan selanjutnya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya
berkenan memenuhi permintaan para tokoh masyarakat tersebut dengan
catatan setelah selesai perjuangan beliau akan kembali lagi ke pesantren
dan tidak akan campur tangan dalam urusan birokrasi kenegaraan.
Tepat pada hari Selasa, 27 Ramadhan 1364 H atau 4 September 1945,
diresmikanlah berdirinya suatu badan kelasykaran perjuangan
mempertahankan kemerdekaan RI yang diberi nama AOI sebagai sebuah
singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Badan kelasykaran ini
dibentuk dan didirikan hanya bersifat untuk antisipasi situasi kritis
semata dan sebagai respon baik pada anjuran pemerintah RI (Soekarno –
Hatta). Sebab pada situasi pasca proklamasi, kesatuan tentara nasional
belumlah mencukupi kebutuhan untuk dapat mempertahankan teritori negara
secara menyeluruh dari kemungkinan serangan kembali pihak penjajah. Oleh
karenanya, maka struktur organisasi AOI-pun dibuat dengan amat sangat
sederhana. Demikian pula Anggaran Dasar organisasinya.
Anggaran Dasar AOI hanya memuat 2 bab. Masing – masing ialah Bab I
berisikan tujuan dibentuknya AOI dan Bab II berisikan sikap dari badan
kelasykaran AOI.
Sikap organisasi AOI dituangkan dalam Anggaran Dasar, karena bagi AOI
sikap kelembagaan itu penting untuk dimengerti oleh setiap orang agar
mereka mengetahui bagaimanakah prinsip AOI sebenarnya dalam menanggapi
kemerdekaan RI.
Bagi AOI Kemerdekaan RI dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan UUD’45 sebagai dasar negaranya adalah harga mati (silahkan lihat
dan perhatikan dengan baik Anggaran Dasar AOI). AOI tidak dapat
berkompromi dengan para penjajah atau pembuat makar terhadap NKRI. Oleh
karenanya jelas sekali antara AOI dengan DI/TII terdapat perbedaan yang
mendasar. Dan tidak benar ada hubungan atau korelasi structural antara
organisasi AOI dengan DI/TII.
Benarkah AOI pemberontak?
Jika hendak mengulas bagian ini secara terperinci memang dibutuhkan
ruang yang tidak sedikit. Padahal tulisan ini fokus utamanya adalah
biografi ringkas dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Namun karena
bagian ini sering menjadi wacana dari perbagi pihak, maka penulis akan
ungkapkan secara implisit saja bagaimana sudut pandang yang penulis
ketahui mengenai wacana tersebut.
Untuk mengetahui apakah sebuah organisasi itu memberontak atau tidak
terhadap sebuah negara semestinya yang pertama – tama harus dilihat
dahulu adalah haluan atau tujuan organisasi tersebut. Dengan kata lain,
harus dilihat dahulu seperti apakah dan bagaimanakah Anggaran Dasar
serta Anggaran Rumah Tangga-nya. Dari berbagai buku yang pernah beredar
dan menulis tentang organisasi AOI, belum satupun buku yang penulis
temukan didalamnya ada yang memuat seperti apakah Anggaran Dasar AOI
apalagi sampai pada Anggaran Rumah Tangganya. Oleh karena itu
peng”hakiman” yang mereka buat menurut penulis secara ilmiah mengandung
cacat sejarah dan kurang proporsional. Sehingga objektivitas hasil
tulisannya bagi kalangan yang berfikir jadi amat diragukan.
Menurut Anggaran Dasarnya, AOI didirikan dengan tujuan untuk mengusir
penjajah serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan senantiasa
berada dibelakang pemerintah Republik Indonesia dengan Undang – Undang
Dasarnya yaitu UUD’45. Oleh karenanya tuduhan bahwa AOI melakukan
pemberontakan dan hendak mendirikan Negara Islam adalah fitnah politis
semata.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pernah ditanya oleh beberapa murid
beliau tentang pandangan islam dan negara. Beliau menjawab, “Islam tidak
harus berbentuk negara, akan tetapi islam harus hidup dalam setiap
negara”. Yang dimaksud adalah, bagi pandangan beliau ajaran islam tidak
mengharuskan suatu negara berlebel Islam. Namun para pemeluk islam (kaum
muslimin) wajib mewarnai kehidupan bernegara dengan menjalankan ajaran
agamanya secara baik dan benar dimanapun mereka berada.
Masih menurut Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, “Setiap umat islam
wajib secara ikhlas membela negaranya sendiri – sendiri dari penjajahan
bangsa lain”. Oleh karenanya untuk menunjukkan peran wajib umat islam
terhadap usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia maka beliau lalu
memberi nama badan kelasykaran yang didirikannya dengan nama Angkatan
Oemat Islam Indonesia yang masyhur disingkat dengan AOI.
Peran AOI dalam pengusiran penjajah di wilayah Dulangmas sangatlah besar
dibanding badan – badan kelasykaran lain. Pamor AOI naik dibanding yang
lain karena dukungan dan kepercayaan masyarakat yang luar biasa.
Dalam berbagai medan pertempuran anggota AOI senantiasa gagah berani
berada di garda terdepan. Saat peristiwa 10 November di Surabaya, AOI
juga mengirimkan pasukannya. Ketika peristiwa 10 November Surabaya
inilah salah seorang adik beliau lain ibu yang bernama Sayid Qushashi
Al-Hasani gugur menjadi Syuhada. Lasyakar AOI seperti tak mengenal takut
dan senantiasa pulang banyak membawa kemenangan dari medan laga. Yang
membuat semakin simpatinya masyarakat terhadap AOI, bukan hanya peran
kelasykaran saja yang dilakukan.
AOI juga melakukan perjuangan sosial dengan mengirimkan bantuan pangan
yang diatas namakan rakyat serta pemerintah RI ke India disaat negara
tersebut tengah mengalami krisis pangan. Oleh karenanya disisi lain
kecemburuan sosial terhadap AOI juga mulai muncul dari kalangan militer.
Puncaknya terjadi ketika setelah Belanda dan pemerintah RI melakukan
perjanjian Renvile serta perundingan konfrensi meja bundar, Den Hag yang
menghasilkan negara RI dirubah menjadi RIS serta UUD’45 diganti menjadi
UUD’50 dan TNI berubah menjadi APRIS.
Perserikatan dengan Belanda bagi AOI berarti penghianatan terhadap NKRI.
Dan juga amat bertentangan dengan Anggaran Dasarnya. Walaupun demikian
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyadari bahwa itu adalah bagian dari
proses politik. Oleh karenanya ketika pemerintah mengumumkan untuk
pembubaran badan – badan kelasykaran serta penggabungan kedalam APRIS,
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani walau dengan berat hati mengambil
langkah – langkah sbb :
Mengizinkan satu bataliyonnya (Bataliyon Lemah Lanang) yang dipimpin
oleh Sayid Quraisyin (KH Nur Shodiq) untuk bergabung dengan APRIS
(Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Bataliyon Lemah Lanang ini
setelah bergabung dengan APRIS berganti nama menjadi Bataliyon X yang
bermako di Kebumen.
Membubarkan sebagian besar anggota Bataliyon Himayatul Islam untuk
kembali lagi ke masyarakat. Dan sebagian kecilnya masih berada di
lingkungan asrama dengan maksud untuk menjaga keamanan masyarakat
bilamana dibutuhkan.
Sebenarnya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat keberatan ketika
adik lain ibu beliau yaitu Sayid Quraisyin menyatakan niatnya bergabung
ke APRIS. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyarankan agar beliau
tetap bersamanya saja kembali ke pesantren dan melepaskan diri dari
urusan kemiliteran atau birokrasi kepemerintahan.
Karena pandangan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pada masa – masa
transisi seperti saat tersebut, kalangan tokoh umat islam Indonesia
banyak yang belum siap menghadapi pergulatan politik kekuasaan
dikarenakan tingkat pengetahuan serta kematangan berfikir yang masih
lemah dibanding kaum neoliberalis yang sempat mengenyam pendidikan dari
bangsa penjajah. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengingatkan kepada
adiknya, “Apakah kamu telah siap dengan resikonya? Ketahuilah! Aku
melihat akan ada kejadian besar jika kamu nekad melakukannya”. Namun
peringatan ini tidak diindahkan oleh Sayid Quraisyin.
Apa yang menjadi kekhawatiran Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ahirnya
terbukti. Bermula ketika terjadi rasionalisasi dalam tubuh APRIS yang
menghendaki penggabungan anggota antara Bataliyon X APRIS dengan anggota
Bataliyon Lain yang berbeda fahamnya, Sayid Quraisyin sebagai komandan
Bataliyon X APRIS menolak keputusan tersebut. Penolakan ini sepertinya
menjadi entri point politik dari sebuah scenario besar yang telah
direncanakan oleh rival – rival politik para tokoh pejuang islam untuk
mengebiri jasa – jasa peranan mereka dalam kemerdekaan RI.
Suasana tegang menjadi semakin panas ketika ada seorang anggota
Bataliyon X dibunuh oleh Bataliyon Kuda Putih. Upaya permintaan dari
Bataliyon X agar anggotanya yang dibunuh dikembalikan, menjadi sebuah
isu besar yang diblow-up dan dikaitkan dengan AOI. Padahal secara resmi
AOI telah menginstruksikan kepada seluruh anggotanya untuk kembali ke
masyarakat. Dan hanya sisa sedikit orang saja yang berada di asrama
karena permintaan masyarakat untuk membantu keamanan warga dari tindak
kejahatan yang dapat ditimbulkan oleh suasana masih belum kondunsifnya
negara ketika itu. Dengan kata lain kejadian yang menimpa anggota
Bataliyon X APRIS dengan Bataliyon Kuda Putih bagi AOI sebenarnya
tidaklah ada kaitan yang mengikat.
Ditingkat pusat issu berkembang bahwa AOI akan memberontak kepada
negara. Pasalnya yang mengemuka karena Bataliyon X yang dikomandani oleh
Sayid Quraisyin (lebih dikenal dengan nama KH Nur Shodiq ketika itu)
berasal dari AOI. Dan pembangkangan yang dilakukan oleh Bataliyon X
dianalogkan sebagai hal yang tidak mungkin terjadi jika tidak dikomando
oleh bekas induk pasukannya yaitu AOI. Padahal antara Bataliyon X APRIS
dengan AOI secara structural telah terpisah, serta pula antara Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan Sayid Quraisyin terdapat pandangan
yang berbeda.
Ketika issu ini mengemuka tajam, pemerintah pusat mengirim dua orang
utusannya yaitu Jaksa Agung Mr Kasman Singodimejo dan Menteri Agama KH
Wahid Hasyim untuk mengklarifikasi kebenaran khabar berita tersebut.
Keduanya menemui Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani di Somalangu.
Sesampainya di Somalangu kedua pejabat diterima dengan baik oleh Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Mereka berdua disambut dengan kebesaran
umbul – umbul bendera merah putih. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani
mengajak keduanya untuk melihat orang – orang yang berada di asrama
sambil berkata, “Masa orang – orang desa seperti ini mau memberontak
negara.??”.
Hasil klarifikasi dua pejabat negara tersebut kemudian diumumkan melalui
jumpa pers yang diantara beritanya dimuat oleh surat kabar nasional
tanggal 12 Agustus 1950, dengan bahasa bahwa Menteri Agama KH Wahid
Hasyim menyatakan telah terjadi kesalah pahaman anatara AOI dan APRIS.
AOI tidak sama dengan DI. Menteri Agama menjamin bahwa AOI tidak akan
memberontak kepada negara.
Namun apa daya, klarifikasi dan jaminan yang dinyatakan oleh Menteri
Agama serta Jaksa Agung ternyata tidak digubris oleh junta militer
APRIS. Tak lama berselang, Bataliyon X APRIS diserang oleh beberapa
Bataliyon lainnya dari sesama APRIS. Ketika peristiwa ini terjadi Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masih melarang sisa – sisa anggota AOI dari
Bataliyon Himayatul Islam yang ada di Somalangu untuk terlibat dalam
pertempuran tersebut. Dan masih terngiang pula dalam telinga orang –
orang yang mengalami peristiwa itu, beliau berkata, “Itu yang bertempur
antara APRIS dengan APRIS”. Orang – orang yang dari luar Somalangu
sekalipun ia adalah mantan anggota Bataliyon Himayatul Isalam AOI oleh
beliau juga dilarang masuk Somalangu. Hal itu dilakukan demi untuk
menjaga jangan sampai terjadi penyusupan.
Pertempuran tidak seimbang antara Bataliyon X APRIS dengan beberapa
Bataliyon lainnya memaksa Bataliyon X mundur terdesak. Dalam situasi
demikian, meneroboslah masuk Sayid Quraisyin menghadap beliau. Padahal
para penjaga telah diperintahkan untuk menolak siapa saja yang datang
dan keluar dalam situasi demikian. Namun karena yang datang adalah adik
beliau maka tentu saja para penjaga menjadi sungkan karenanya. Sayid
Quraisyin minta bantuan kepada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani agar
berkenan membela orang – orang islam yang hendak dibunuh. “Menyerah atau
tidak mereka tetap saja akan dihabisi”, mengadu Sayid Quraisyin.
“Sebentar lagi mereka akan masuk Somalangu karena terdesak. Mohon
diizinkan dan dibantu”.
Pepatah Jawa mengatakan, “Tega larane ora tega patine”. Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani ahirnya luluh hati melihat sang adik yang seperti
kebingungan. Beliau kemudian memanggil orang – orang yang masih
bersamanya didepan masjid. Syeikh As_Sayid Mahfudz berkhutbah yang
intinya, bahwa sekarang ada orang – orang islam didekat kita yang tengah
dikejar – kejar hendak dibunuh. Hukumnya wajib berjihad membantu
menyelamatkan mereka serta menjaga muruah umat islam. Karena yang tengah
dihadapi adalah bangsa sendiri dan diantara mereka juga banyak yang
muslim maka beliau serukan haram hukumnya menembak atau membunuh mereka
lebih dahulu. Untuk itu, kepada siapa saja yang memegang senjata dan
hendak menembakkan atau mengayunkan senjatanya wajib membaca kalimah
syahadatain lebih dahulu. Jika lawan menjawab dengan bacaan syahadat
maka haram untuk menembak atau mengayunkan senjatanya dan wajib bagi
kita untuk mundur menghindari. Namun jika lawan ternyata tidak menjawab
syahadatain kita maka dibolehkan untuk menembak atau mengayunkan
senjata. Inilah kehati – hatian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dalam
persoalan hukum.
Sungguh kental nian nuansa politisnya, orang yang membela dan berjuang
sepenuh hati demi tegaknya kemerdekaan RI dituduh sebagai pemberontak,
sedangkan yang berserikat dengan penjajah dianggap sebagai pahlawan.
Dimana keadilannya? Mungkin benarlah orang yang berkata dinegeri ini
apapun bisa didapat dan dicari. Hanya satu yang sulit ditemukan dan
dicari, yaitu keadilan. Tapi sebagai muslim yang baik kita harus yakin,
bahwa Allah Swt Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Ia punya rencana. Dan
rencana-Nya adalah rencana yang sangat Adil.
Terjadinya perang Baratayuda
Sebenarnya terjadi dengan gerakan Angkatan Oemat Islam (AOI) sejauh ini
belum terekspos ke publik. Di bangku sekolah menengah, dalam IPS Sejarah
maupun PSPB, kita 'dicekoki' AOI tak lebih dari sekedar pemberontakan,
'cabang' DI/TII untuk kawasan Jawa Tengah bagian selatan.
Pemahaman sejenis juga bisa dilihat pada para peneliti yang pernah
menggeluti persoalan AOI, misalnya alm. Kuntowijoyo (1970) ataupun tesis
Danar Widayanta di UI (judulnya Angkatan Oemat Islam 1945 - 1950 :
Studi Tentang Gerakan Sosial di Kebumen).
Pusat Penerangan TNI -sebagai lembaga resmi yang menghabisi AOI- bahkan memberikan simplifikasi menggelikan.
Dalam Diorama Museum Waspada Purbawisesa
Disebutkan,
AOI mulai melakukan rapat-rapat rahasia pada Mei 1950 sebagai persiapan
perlawanan terhadap pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) yang
dianggap sudah dipengaruhi tokoh-tokoh komunis.
Dari rapat itulah kemudian Batalyon Lemah Lanang, Batalyon 423 dan
Batalyon 426 (ketiga batalyon ini awal mulanya berasal dari Laskar
Hizbullah Sabilillah) mulai mengganggu keamanan di Kedu Selatan.
Tentu saja ini rancu dan menggelikan, mengingat sebagian besar tokoh
komunis sudah dihabisi pasca kudeta setengah hati di Madiun, September
1948. Dari cerita perjalanan hidup Letkol. Untung a.k.a Kusman (yang
pernah saya paparkan di sini), ataupun kisah Dipa Nusantara Aidit, kita
tahu tokoh2 komunis baru mulai bermunculan pasca 1950.
KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) menyebut pemberontakan AOI muncul akibat
kebijakan pimpinan militer (APRIS) pasca pengakuan kedaulatan 27
Desember 1949 yang menghendaki peleburan laskar-laskar perlawanan ke
dalam APRIS setelah usainya Perang Kemerdekaan.
Namun, peleburan itu disertai embel2, hanya orang2 yang mendapat
pendidikan "Sekolah Umum Belanda" saja yang bisa menduduki jabatan
komandan batalyon.
Dalam fitnahan mereka Syekh Mahfudz Abdurrahman Alhasany dikatakan
berminat terhadap kedudukan komandan batalyon ini, yang akan dibentuk
dan bermarkas di Purworejo.
Namun Syekh Makhfudz terhadang oleh ketiadaan ijazah yang dipunyainya
dan karena itu beliau memilih mengobarkan pemberontakan, terlebih ketika
jabatan yang diincarnya jatuh ke anak muda ingusan bernama Ahmad Yani.
Dalam uraian berikut, akan kita lihat bahwa alasan semacam ini juga simplistik.
Merujuk penuturan KH Afifuddin Chanif al-Hasani dan KH Musyaffa Ali
-masing-masing cucu dan menantu Syekh Mahfudz- akar masalah AOI
sejatinya terletak pada kebijakan Rera (restrukturisasi dan
rasionalisasi) yang dikumandangkan kabinet Hatta pada 1948 atas usulan
Wakil Panglima Besar AH Nasution.
Dalam program Rera ini, laskar-laskar perlawanan akan digabungkan
menjadi satu ke dalam TNI dan diciutkan personalianya hingga tinggal
setengah dari semula. Prioritas ditujukan pada mereka yang mendapatkan
pendidikan militer zaman Hindia Belanda maupun Jepang.
Sebagai pimpinan badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, dengan massa
+/- 10.000 orang dan punya potensi massa tambahan 30.000 orang,
Syekh Mahfudz risau dengan kebijakan diskriminatif ini mengingat
mayoritas massa AOI memiliki tingkat pendidikan formal rendah dan
berbasis pesantren sehingga berpotensi tereliminir karena tak punya
ijazah.
Meski sebagian besar massa AOI semula merupakan petani, tak pelak bahwa
perjalanan Perang Kemerdekaan telah menarik sebagian diantaranya untuk
bermobilitas vertikal menjalani karir militer.
Keresahan bertambah mengingat pada 1948 itu Indonesia justru masih
berhadapan dengan ancaman kekuatan NICA, yang bagi Syekh Mahfudz sangat
nyata, mengingat sebagai ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen)
yang berkedudukan langsung di bawah Bupati Kebumen,
Beliau langsung berhadapan dengan pasukan NICA di garis demarkasi Sungai
Kemit, Gombong timur. Sehingga menurut beliau tidaklah bijak menggagas
Rera justru ketika ancaman nyata menghadang di depan mata.
Di diagonal yang berseberangan, keresahan yang sama juga dihadapi faksi
sosialis-komunis yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR)
pimpinan Amir Syarifuddin di Madiun.
Namun FDR memilih menyelesaikannya dengan mengobarkan kudeta setengah
hati Madiun Affair yang gagal pada September 1948, peristiwa yang
menguras energi lasykar-lasykar rakyat dan TNI terlalu banyak untuk
menumpasnya.
Penumpasan FDR ini membuat Syekh Makhfudz dan PPRK semakin yakin NICA
tinggal menunggu waktu saja untuk menjebol garis demarkasi Sungai Kemit
dan menyerbu jauh ke Yogyakarta sebagai ibukota RI.
Keresahan Syekh Mahfudz terbukti ketika NICA menggelar kampanye militer
Doorstot naar Djokdja pada 18 Desember 1948, yang berhasil menawan
Soekarno-Hatta, menghancurkan kabinet Hatta dan membuat TNI serta
lasykar-lasykar tercerai berai.
Ini menginisiasi masa Perang Kemerdekaan II yang sekaligus membenamkan
ide Rera ala Nasution. Dalam periode inilah peranan AOI kian menanjak
dalam percaturan politik dan militer di Jawa Tengah.
Perang usai seiring penandatanganan pengakuan kedaulatan di Istana
Rijswik, 27 Desember 1949, sebagai realisasi Konferensi Meja Bundar.
Ini sekaligus menandai berdirinya RIS (Republik Indonesia Serikat)
dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) sebagai
tentara nasionalnya.
Pembentukan APRIS membawa konsekuensi tersendiri bagi AOI seiring
kembali mencuatnya isu Rera. Dalam pandangan Danang Widayanta, tawaran
APRIS agar AOI bergabung kedalamnya melalui Rera yang diskriminatif
berpotensi menghasilkan sedikitnya empat ancaman :
Ancaman eksistensi organisasi, ancaman kehilangan posisi sosial
ekonomis, ancaman kehilangan posisi politis dan ancaman kehilangan
posisi budaya.
Ini menghasilkan kondisi AOI tidak lagi otonom, tidak lagi merasa aman
dalam posisinya dan frustrasi dengan masa depannya. Ini yang membuat
Syekh Mahfudz menolak bergabung.
Namun dari penuturan KH Afifuddin dan KH Musyaffa, atas bujukan KH
Nursodik dan KH Sururudin (keduanya pimpinan AOI) sebenarnya Syekh
Mahfudz telah bersedia berunding dengan APRIS untuk membicarakan kemana
AOI hendak diarahkan, mengingat jasanya yang demikian besar.
Perundingan mengerucut pada kompromi dengan pembentukan Batalyon Lemah
Lanang, yang khusus menampung massa AOI yang diseleksi sendiri oleh
Syekh Mahfudz. Syekh Mahfudz sendiri, dengan usianya yang telah mencapai
49 tahun, tidak berminat mengejar posisi komandan batalyon, mengingat
dengan kedudukannya sebagai "Rama Pusat", dengan massa AOI dan Thoriqoh
Syadzaliyah yang diampunya, beliau sudah menempati posisi natural
leader yang kharismanya melampaui batas-batas kabupaten, mengingat
pesona AOI juga terasakan hingga Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas,
Cilacap dan Purworejo, melebihi formal leader Bupati Kebumen yang waktu
itu dijabat R.M. Istikno Sosrobusono. Meski demikian, Kuntowijoyo
menyebut Syekh Mahfudz memiliki pandangan apolitis, karena itu tak heran
beliau membenci partai politik, termasuk Masyumi.
Tapi persoalan tak usai meski Batalyon Lemah Lanang sudah dibentuk.
Sebagai batalyon yang beranggotakan para santri, yang dalam perang
kemerdekaan mengumandangkan perang suci (jihad) kepada NICA yang
dilabeli kafir,
Batalyon Lemah Lanang mengalami gegar budaya ketika harus berbaur dengan
unit2 lain dalam APRIS yang notabene sebagian besar berisi perwira
hasil didikan Militaire Academie Hindia Belanda.
Lebih lagi perwira2 itu umumnya berasal dari kelas bangsawan Jawa, yang
sejak kecil dijejali pandangan "Islam adalah problem" warisan Sultan2
dan Sunan2 Mataram.
Batalyon Lemah Lanang dianggap kaku dalam berprinsip, radikal dan
memiliki sudut pandang selalu hitam putih, sementara Batalyon Lemah
Lanang sendiri menganggap unit2 di tubuh APRIS banyak mengadopsi
kebiasaan kaum kafir Belanda dan banyak faksi didalamnya yang atheis.
Beberapa unit yang dianggap atheis adalah Batalyon Sudarsono dan Ahmad
Yani di Purworejo, disamping Brigade X / Garuda Mataram yang dipimpin
Soeharto di Yogyakarta.
Gegar budaya ini makin melebar dan meluas hingga keluar dari skup
Batalyon Lemah Lanang. Sampai akhirnya terjadi ejek2an berujung tawuran
antara pemuda2 AOI dengan anggota Batalyon Sudarsono, yang menyebabkan 1
pemuda AOI terbunuh. Akibatnya AOI bereaksi dan inilah yang ditanggapi
Kol. M. Sarbini di Magelang sebagai indikasi AOI hendak memberontak,
sehingga diperintahkanlah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani menggempur
Somalangu.
Tidak tepat jika AOI disebut memberontak.
Dalam penuturan KH Afifuddin, KH Musyaffa dan Ibu Zubaidah (keponakan
Syekh Mahfudz,), hingga menjelang 1 Agustus 1950 tersebut Syekh Mahfudz
sama sekali tidak menyiapkan konsep2 untuk mendirikan negara tersendiri
sebagaimana dilakukan SM Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Meski pernah membicarakan wacana wilayah "Kapoetihan" -semacam Kauman
yang diperluas, tempat kediaman orang-orang saleh yang digambarkan
menempati daratan sebelah timur Sungai Luk ulo hingga perbatasan
Purworejo- namun tak ada pembicaraan lebih lanjut,
Apalagi yang bersifat operasional semacam menyiapkan proklamasi, konstitusi dan angkatan perang tersendiri.
Syekh Mahfudz sendiri juga tidak menyiapkan suatu perangkat kaderisasi
ataupun suatu exile government andaikata Somalangu sewaktu-waktu
diserbu.
Beberapa pertemuan memang berlangsung dengan pimpinan Batalyon 423 dan
426 (keduanya sama-sama berasal dari lasykar Hizbullah Sabilillah),
namun itu lebih ditujukan pada bagaimana mengantisipasi persoalan di
antara sesama lasykar Hizbullah Sabilillah akibat kebijakan Rera yang
diskriminatif. Tidak ada pertemuan dengan utusan DI/TII, baik dari
Kartosuwiryo sendiri maupun dari wakilnya di Jawa Tengah : Abdul Fattah.
Sedikit mengulas sejarah
Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Somolangu mengambil inisiatif
berpartisipasi dengan membantu Kesultanan Utsmaniyah Turki (Turki
Ottoman). Dalam peperangan di Turki.
Namun panggung sejarah Somolangu dalam konteks Indonesia Modern, lebih
terpapart ketika terjadi peristiwa Angkatan Oemat Islam (AOI) yang
menggetarkan pada 1950.
AOI ini badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, didirikan tahun 1945,
beranggotakan ± 10.000 orang dari Kebumen timur, Purbalingga, Wonosobo
dan Purworejo yang menjadi anggota jaringan tarekat Syadzaliyah yang
berpusat di pesantren al-Kahfi Somolangu.
Koordinasi dilakukan oleh Syekh Mahfudz Abdurrahman Alhasany pengasuh
ponpes saat itu, yang digelari "Rama Pusat", dengan pelaksana teknisnya
KH Sururudin. KH Sururudin ini bapake K.H. Nashiruddin al-Manshur
(mantan bupati kebumen)
Badan ini lalu bergabung dalam pasukan Hizbullah-Sabilillah yang
dibentuk ulama-ulama Indonesia dalam upaya mempertahankan proklamasi 17
Agustus 1945 dan sempat bertempur habis2an melawan tentara Inggris dan
NICA dalam Palagan Ambarawa dan Peristiwa 10 November 1945 Surabaya.
Ketangguhannya teruji ketika AOI (sebagai badan terbesar) berhasil
mencegah Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947 bergerak ke Yogya
sehingga memaksa Panglima NICA, Jendral Spoor dan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda yang baru, Dr. H.J van Mook, membikin garis demarkasi di
Sungai Kemit - Gombong, guna menghindari jatuhnya korban tentara NICA
lebih besar.
Memang garis van Mook ini bobol dalam kampanye militer Doorstot naar
Djokdja alias Agresi Militer II 18 Desember 1948, namun pasukan khusus
NICA menghadapi perlawanan sangat gigih pejuang Hizbullah-Sabilillah
bersama TNI, yang jejak2nya muncul sebagai Palagan Sidobunder, Monumen
Kemit dan juga Monumen Jembatan KA Luk Ulo (di barat RSU Kebumen).
Meski berhasil menguasai Kebumen dengan bermarkas di Gedung Gembira
(dekat Stasiun KA Kebumen), pasukan elit Gajah Merah dan Anjing Hitam
NICA tidak pernah bisa menganeksasi Somolangu, walaupun pondok itu hanya
berjarak 2 km dari jalan utama Kebumen - Purworejo. Demikian juga
tentara kolonial Hindia Belanda, seabad sebelumnya, yang tak pernah bisa
mengontrol Somolangu meski telah mendirikan Benteng Wonosari (sebagai
bagian dari sistem benteng stelsel ala de-Kock) di era Perang
Diponegoro, yang letaknya bahkan hanya berseberangan sungai terhadap
pesantren al-Kahfi.
Meski bertempur bersama, pada periode 1947 - 1948 ini bibit2
pertengkaran AOI dan TNI mulai muncul. TNI - yang didominasi priyayi2
Jawa abangan - menganggap AOI lebih sering menimbulkan masalah,
pandangan yang mungkin diturunkan dari Amangkurat I (yang pernah
membantai ± 6.000 ulama Kajoran di alun-alun Plered pasca konflik dengan
Pangeran Pekik).
Yel2 "Allahu Akbar" yang diteriakkan AOI kala melakukan serangan
dianggap membuat tentara NICA lebih mudah mengenali sasarannya.
Sementara AOI - yang puritan dan mencoba melakukan purifikasi meski
tidak seradikal Wahhabi - menganggap perilaku anggota TNI itu 'tidak
Islami.' Ada isu pula, pasca Perang Kemerdekaan, AOI dianggap hendak
mendirikan suatu "Keputihan", yakni wilayah orang2 saleh yang lokasinya
mulai dari Sungai Lukulo hingga batas Kebumen - Purworejo. Namun, walo
bermasalah dengan TNI, AOI -khususnya Syekh Mahfudz- menjadi pendukung
bahkan berhubungan sangat erat dengan Presiden Soekarno. Soekarno
sendiri pula yang menjanjikan AOI "tidak akan diapa-apakan. "
Pertengkaran makin menjurus parah pasca Konferensi Meja Bundar, dimana
TNI dan badan2 kelasykaran harus dilebur ke dalam APRIS (Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat).
TNI menghendaki AOI diseleksi sebelum memasuki APRIS, sementara Syekh
Mahfudz menghendaki AOI langsung masuk. Sebagai kompromi dibentuklah
Batalyon Lemah Lanang untuk mengakomodasi pemuda2 AOI yang berminat
masuk APRIS.
Namun Batalyon ini terasing, terisolir dan tidak disukai di kalangan APRIS yang mayoritas berasal dari TNI.
Namun pertengkaran dengan TNI berubah menjadi permusuhan terbuka di
akhir Juli 1950 kala beberapa personel TNI menggebuki anggota Batalyon
Lemah Lanang sampai tewas.
Aksi itu dibalas pada 31 Juli saat pemuda2 AOI gantian menggebuk
personel TNI yang sedang lewat dengan jipnya, juga sampai tewas.
Peristiwa ini dianggap sebagai perlawanan, sehingga sore itu juga Syekh
Mahfudz diminta datang menghadap Kol. Sarbini di Markas APRIS Magelang.
Syekh berjanji esok paginya akan datang menghadap, mengingat hari itu
sudah sore dan transportasi sulit. Namun APRIS menganggapnya sebagai
pembangkangan sehingga pagi 1 Agustus 1950 itu juga APRIS sudah
mengepung Somolangu dan Syekh Mahfudz diultimatum untuk menyerah.
Maka bisa dibayangkan bagaimana kagetnya Syekh Mahfudz ketika Somalangu
dikepung rapat pada pagi hari 1 Agustus 1950 dan tanpa ba-bi-bu langsung
digempur ala manuver blitzkrieg, tanpa sempat menyiapkan diri.
Baratayuda pun terjadi
Akibatnya tak ada lagi bangunan di Somalangu dan desa2 disekitarnya
menjadi merah berkuah darah, hancur lebur digempur bangsa sendiri.
APRIS mengerahkan pasukan besar bersandi "Kuda Putih" (kelak menjadi Yon
404 /Para Banteng Raiders) dibawah pimpinan Kol. Achmad Yani dengan
tugas melakukan stelling,
menghancurkan segala jenis bangunan yang berdiri di Somolangu dan
sekitarnya tanpa peduli apapun isinya. 1.000-an orang tewas hanya di
hari itu, dengan total korban keseluruhan 2.000-an jiwa selama perang
saudara berkobar 3 bulan.
M. Sarbini dan Achmad Yani mengumumkan AOI terkait dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo di Jawa Barat,
Hal yang tak masuk di akal mengingat Syekh Mahfudz tidak kenal dan tidak
pernah berhubungan dengan Kartosuwiryo, baik secara langsung ataupun
lewat wakilnya di Jawa Tengah (Abdul Fattah, yang mengobarkan perlawanan
di Brebes - Tegal - Pemalang). M. Sarbini juga memindahkan ibukota
kabupaten ke Karanganyar dan mengorganisir ulama2 Kebumen barat,
sehingga muncul nama K.H. Umar Nasir Candi dan K.H. Makmur Tejasari yang
"memberikan" legitimasi menggempur Somalangu.
Batalyon Lemah Lanang dan Pasukan Kuda Putih terlibat baku tembak jarak
dekat nan dahsyat di sekitar lokasi Mapolres Kebumen sekarang. Konon
demikian brutal aksi pasukan Kuda Putih, sehingga Syekh Makhfudz
mengucapkan 'kata kutuk' : kelak Achmad Yani bakalan mati menyedihkan.
Bahkan masjid kuno berusia lebih 500 tahun (sekarang) peninggalan Syekh Abdul Kahfi Awwal pun ikut rusak.
Tak ada tempat yang tak terbakar, hingga segala macam jejak tertulis
mulai dari arsip2 AOI hingga kitab2 dan kitab suci al-Qur'an pun
hangus.
Tak ada kata yang cocok untuk mendeskipsikan keadaan demikian selain
pembantaian teramat keji, yang bisa disetarakan dengan Pembantaian
Srebrenica 1995 di Bosnia-Herzegovina.
Akibat kebrutalan ini dan demi menghindari korban lebih besar, Syekh
Makhfudz memutuskan menyingkir dari Kebumen dan berhijrah ke barat,
tempat dimana Bandayudha leluhurnya merantau. Namun pada kontak senjata
di Gunung Selok (Srandil) Cilacap, Syekh tertembak, meninggal dan
dimakamkan di tempat itu.
Menjadi ironi bahwa di kemudian hari Gunung Selok ini justru menjadi
tempat pertapaan favorit politisi dan petinggi2 militer, termasuk sang
big-boss - Soeharto, yang sampe2 membangun helipad khusus.
Jika kemudian sisa-sisa Batalyon Lemah Lanang memilih untuk bergabung
dengan sisa-sisa DI/TII Abdul Fattah, sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC
(Merapi Merbabu Complex) di kaki Gunung Slamet, pilihan ini diambil
pasca tertembak dan wafatnya Syekh Mahfudz di Gunung Selok, Cilacap.
Karena sudah kepalang tanggung difitnah.
Dengan kondisi organisasi AOI berantakan, pemimpin tertingginya wafat
dan tak ada yang kader bisa menggantikan kharismanya, dengan Somalangu
dan Kebumen timur sudah diobrak-abrik amunisi APRIS, tanpa ada tawaran
rekonsiliasi dan amnesti agar bisa kembali ke masyarakat sebagai orang
baik-baik, serta jikalau menyerah pun akan masuk Nusakambangan tanpa
diadili (seperti dialami ratusan massa AOI yang memilih menyerah), maka
dalam pandangan saya tak ada pilihan lain yang logis rasional kecuali
menyelamatkan diri, bergabung dengan saudara senasib sepenanggungan dan
terus bertempur, meski tak jelas lagi bertempur untuk apa.
Pembantaian Somalangu menandai satu babak baru di kalangan pemerintah
RIS / NKRI tentang bagaimana menyikapi dan menyelesaikan perbedaan
pendapat dengan cara hantam kromo (main pukul rata).
Pasca AOI, di Jawa Tengah, giliran MMC digempur. Di Jawa Timur, satu
Batalyon pimpinan KH Yusuf Hasyim (saat itu berpangkat Lettu) pun turut
diberangus dengan tuduhan DI/TII dan komandannya ditahan berbulan-bulan
tanpa diajukan ke pengadilan. Di Kalimantan Selatan, Ibnu Hadjar dengan
KRJT-nya (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas) dilucuti dan dituduh DI/TII
pula.
Sementara di Sulawesi Selatan, usulan Abdul Qahhar Muzakar agar
lasykar-lasykar asal Sulawesi Selatan yang telah dihimpun menjadi satu
dalam KGSS (Keluarga Gerilja Soelawesi Selatan) direkrut ke dalam APRIS
dengan nama Brigade Hasanuddin ditolak dan digempur seperti AOI.
Ini menyisakan trauma dan dendam berkepanjangan. Maka tidak heran jika
Dr. Tgk Muhammad Hasan di Tiro, ketika mendirikan Gerakan Atjeh Merdeka
pada 1976, merujuk terjadinya "pembantaian oleh bangsa sendiri" sebagai
latar belakang.
Yang jelas, pasca AOI, aparat administrasi Kebumen maupun Jawa Tengah
tidak belajar lebih jauh dari peristiwa AOI dan lebih memilih melakukan
isolasi sosiologis-politis dengan labelisasi "ekstrim kanan" dan "bagian
DI/TII" kepada sisa-sisa AOI, garis keturunan Syekh Mahfudz, maupun
penduduk Somalangu dan sekitarnya, tanpa tawaran rekonsiliasi.
Dengan bupati2 yang mayoritas militer aktif, berasal dari luar Kebumen,
tidak belajar lebih lanjut tentang sosiologi masyarakat setempat,
terkooptasi dengan pola pemikiran Orde lama dan Orde baru yang
berpandangan kaku dan main hantam kromo, ini berpuncak pada munculnya
peristiwa kelam selanjutnya : Kerusuhan 7 September 1998. Sisa-sisa AOI
memang tidak terlibat dalam peristiwa ini, bahkan barisan ulama yang
dulu berafiliasi ke AOI justru menjadi penengah yang berhasil
meminimalisir jumlah korban.
Namun AOI masih menjadi isu sensitif hingga dekade 1970-an. dari cerita
(alm) K.H. Durmuji Ibrohim -pengasuh ponpes Lirap hingga 1989- di awal
dekade 1970-an itu beliau bersama-sama ulama-ulama kritis Kebumen
lainnya sempat diamankan di Makodim selama beberapa bulan.
Karena isu AOI kembali menghangat dan dikelompokkan ke dalam kutub
"ekstrem kanan". Ada juga upaya pengingkaran, yang berlangsung secara
sistematis hingga masa kepemimpinan Amin Sudibyo di Kebumen. sebagai
contoh, hari lahir Kebumen ditetapkan 1 Januari karena masalah ini,
meski banyak bukti menunjukkan sebaiknya menggunakan tanggal berdirinya
kadipaten Sruni atau Somolangu sebagai acuan waktu berdirinya Kebumen,
karena merujuk runtutan (time-seriesnya) memang seharusnya demikian.
Kejadian itu jika diamati karena kecemburuan pihak tentara militer pada
waktu itu.. mengingat laskar santri kebanyakan ahli agama yang berpegang
teguh pada ideologi ahlu sunah wal jamaah
Dari sekian banyak laskar santri yang di fitnah dan di Bumi hanguskan
itu semua orang Nahdhiyyin yang pada masa merebut kemerdekaan gigih
melawan penjajah.
Sekiranya semua itu kita jadikan pelajaran