Mungkin
awalnya sebuah Keris hanyalah menjadi sebuah senjata tikam atau sabet.
Tetapi kemudian orang membuat keris memiliki kegaiban di dalamnya,
menjadi senjata yang berbeda dengan jenis senjata lain, memiliki suatu
kegaiban sebagai senjata tarung sekaligus sebagai alat keselamatan dari
serangan gaib.
Seiring
perkembangan jaman, di pulau Jawa khususnya, pada jamannya, selain
faktor kegaibannya, sebuah keris menjadi lambang derajat pemiliknya,
lebih dari sekedar senjata perang / tarung, yang dibuat khusus oleh empu
pembuatnya untuk si pemilik keris. Fisik keris, kegaiban / tuah dan
tingkat kesaktiannya oleh si empu disesuaikan dengan kondisi si pemesan
sesuai batas kemampuan si empu.
Keris
tidak ditampilkan sebagai alat kegagahan, karena dibawa dengan
diselipkan di belakang pinggang. Bila keris hanya menjadi sebuah alat
kegagahan, hanya menjadi sebuah senjata tarung atau senjata tikam, tidak
mungkin keris akan dibuat sangat indah bentuknya atau beraksesoris
mewah, bila akhirnya hanya akan menjadi sebuah senjata yang berlumuran
darah.
Pada
awalnya, di tanah jawa (kerajaan masa silam) keris diciptakan hanya
untuk memberikan tuah perlindungan gaib, kesaktian, dan wibawa
kekuasaan. Keris adalah sebuah benda yang menjadi kebanggaan masyarakat
pada umumnya dan juga menjadi lambang status / derajat pemiliknya. Keris
menjadi "keharusan" untuk dimiliki oleh para Pejabat, baik Raja,
keluarga kerajaan atau bangsawan, orang-orang kaya, para Senopati sampai
prajurit (prajurit biasanya menggunakan jenis tombak maupun Pedang),
Adipati / Bupati sampai lurah desa. Di kalangan masyarakat umum-pun
hampir semua orang laki-laki ingin memiliki Keris, terutama mereka yang
memiliki ilmu Beladiri dan orang-orang tua yang menghayati Spiritual
Kejawen.
Di
pulau Jawa khususnya, pada jamannya, keris merupakan lambang derajat
pemiliknya, lebih daripada sekedar sebuah senjata perang / tarung. Ada
aturan-aturan yang harus dipatuhi di masyarakat tentang cara mengenakan
keris dan jenis-jenis keris yang boleh dimiliki oleh seseorang. Seorang rakyat biasa tidak boleh mengenakan keris yang diperuntukkan untuk seorang lurah. Seorang raja juga tidak boleh mengenakan keris yang diperuntukkan untuk seorang senopati.
Bila
ada seseorang memiliki keris yang derajatnya lebih tinggi dari
kedudukan dirinya di masyarakat, maka orang itu tidak akan menyimpannya
untuk dirinya sendiri. Begitu
juga bila seseorang memiliki keris yang peruntukkannya untuk kelas
derajat yang lebih rendah, biasanya akan diberikannya kepada orang lain
yang lebih pantas untuk memilikinya.
Kehormatan
pribadi seseorang bukan hanya ditentukan oleh status keningratan atau
jabatan, kemewahan atau kekayaan, tetapi terutama juga adalah
kepantasannya dalam berperilaku dan berpenampilan, kepantasannya dalam
mengenakan busana dan pusaka, dan kepantasannya dalam menempatkan diri
di dalam pergaulan dan di masyarakat, sesuai derajatnya masing-masing.
Keberadaan
sebuah keris bersifat pribadi. Keris menjadi lambang kehormatan pribadi
dan harga diri seseorang. Keris diakui sebagai sesuatu yang menyatu
dengan pribadi pemiliknya, sehingga sebuah keris milik seseorang akan
sangat dihormati, sama seperti menghormati manusia pemiliknya, sehingga
keris seseorang dapat diterima dan diakui untuk mewakili kehadiran
seseorang sebagai pengantin pria yang berhalangan hadir dalam acara
pinangan atau perkawinan, atau mewakili kehadirannya dalam acara penting
kekeluargaan, dan keris seorang raja dapat mewakili kehadiran sang raja
dalam acara kenegaraan. Dan dalam setiap upacara formal, seseorang yang
terpandang atau berderajat tinggi akan jatuh martabatnya /
kehormatannya jika menghadiri upacara tersebut tanpa mengenakan keris.
Keris
menjadi kelengkapan "wajib" untuk dikenakan sebagai busana kehormatan
dalam acara-acara resmi Kenegaraan, kekeluargaan, perkawinan, dan acara
ritual kerohanian, seperti acara ruwatan, selametan, bersih desa, dsb.
Demikianlah,
keris memiliki status tersendiri di masyarakat dan menjadi unsur
penting dalam budaya dan kehidupan sehari-hari, lebih daripada sekedar
sebuah senjata tarung.
Pada
jaman itu seorang empu keris adalah juga seorang spiritualis dan pemuka
Agama karena itu sebuah keris yang diterima seseorang dari seorang empu
keris akan sangat dihargai dan juga 'dikeramatkan', lebih daripada
sekedar jimat dan senjata, karena berisi doa-doa keselamatan dan
kesejahteran dari seorang spiritualis / pemuka Agama untuk si pemilik
keris dan menjadi lambang diturunkannya restu Tuhan kepada si Manusia
pemilik keris untuk keberkahan.
Dengan
demikian, lebih daripada sekedar sebuah senjata, keris juga secara
psikologis menjadi lambang kerohanian dan kedekatan hati dengan Tuhan.
Karena itulah sang pemilik keris akan benar-benar menjaga dan memelihara
kerisnya, bahkan akan 'mengeramatkan'-nya, lebih daripada sekedar
sebuah senjata atau jimat. Keris menjadi sarana kedekatan hati dengan
Tuhan dan juga menjadi sarana pemujaan kepada Tuhan. Karena itu sang
pemilik keris akan selalu menjaga kelurusan hati, tekun beribadah,
menjaga moral dan budi pekerti dan sikap ksatria. Itulah sebabnya
orang-orang yang hidup dalam dunia kejahatan, yang menjadi penyamun,
perampok, dsb, orang-orang golongan hitam, biasanya tidak memakai keris,
tetapi menggunakan senjata jenis lain.
Mengenai
kelengkapan dan kemewahan hiasan / perabot keris adalah tergantung pada
akan diberikan kepada siapa keris itu nantinya, tergantung pada status
pribadi si pemilik keris di masyarakat. Selain kesanggupan untuk
membayar biaya pembuatan keris, status pribadi itulah yang menentukan
kepantasan keris yang akan dikenakannya. Semakin tinggi status kedudukan
sang pemilik keris, maka akan semakin lengkap dan mewah hiasan
kerisnya.
Sesuai
status pemiliknya di masyarakat (dalam pembuatannya masing-masing keris
sudah disesuaikan dengan status pemiliknya di masyarakat), keris
mempunyai status dan kelas sendiri-sendiri sebagai berikut :
1- Keris Pusaka Kerajaan.
Tingkatannya:
(1) Keris Pusaka Keraton
Adalah
keris dan pusaka-pusaka lain yang maksud dan tujuan pembuatannya adalah
untuk menjadi lambang kekuasaan dan kebesaran sebuah keraton.
(2) Keris Pusaka Kerajaan
Adalah
keris dan pusaka-pusaka lain yang oleh pemerintahan kerajaan dijadikan
lambang kekuasaan dan kebesaran kerajaan atau diandalkan untuk
mengamankan Kerajaan dari gangguan kerusuhan, pemberontakan atau
serangan gaib.
Keris-keris
jenis tersebut di atas biasanya disimpan di dalam ruang pusaka kerajaan
dan tempatnya disendirikan, terpisah dari pusaka-pusaka yang lain dan
baru akan dikeluarkan bila ada upacara-upacara kerajaan atau bila
terjadi situasi yang mendesak dan berbahaya.
Pusaka
Kerajaan berbentuk tombak dan Payung Kebesaran, yang juga merupakan
lambang kebesaran sebuah kerajaan, biasanya diletakkan berdiri di
belakang Singgasana Raja.
Dalam
kategori Pusaka Kerajaan ini termasuk juga, sesuai tingkatannya
masing-masing, pusaka-pusaka yang menjadi lambang kekuasaan dan
kebesaran sebuah Keraton Kadipaten atau kabupaten.
Keris
Keraton dan Keris Pusaka Kerajaan agak sulit membedakannya. Orang harus
memiliki spiritualitas yang tinggi untuk bisa membedakan kandungan
wahyu di dalam masing-masing keris untuk bisa membedakan mana yang
adalah Keris Keraton dan mana yang bukan Keris Keraton tetapi dijadikan
Pusaka Kerajaan dan diperlakukan sama seperti sebuah Keris Keraton.
Dalam
pengertian Keris Keraton, pusaka yang tujuan pembuatannya adalah untuk
menjadi lambang kebesaran sebuah keraton, terkandung di dalamnya apa
yang biasa disebut sebagai Wahyu Keraton.
Jenis-jenis
pusaka itu tidak boleh dipakai oleh sembarang orang, termasuk walaupun
ia adalah anak seorang raja. Hanya orang-orang yang sudah menerima wahyu
Keraton / Keprabon saja yang boleh memakainya, sehingga wahyu di dalam
orang itu dan wahyu dari kerisnya akan mewujudkan sebuah sinergi
kegaiban, yang kegaibannya tidak akan bisa disamai oleh jenis-jenis
Pusaka lain.
Contoh
Keris Keraton adalah Keris Nagasasra dan Keris Sabuk Inten, sepasang
keris yang pernah menjadi lambang kebesaran keraton Majapahit. Sepasang
keris itu, menurut sejarahnya, juga pernah digunakan untuk membersihkan
wilayah kerajaan Majapahit pada saat terjadi wabah penyakit sampar yang
menyerang rakyatnya.
Setelah
masa kerajaan Majapahit berakhir dan kekuasaan pemerintahan berpindah
ke kerajaan Demak, sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten juga ikut di
boyong dan dipindahkan ke Demak, dijadikan lambang kebesaran kerajaan
Demak, tetapi sayangnya, di Demak itu wahyu kerisnya tidak bekerja.
Contoh
pusaka yang dijadikan Pusaka Kerajaan adalah pusaka Bende Mataram yang
digunakan oleh kerajaan Mataram (Panembahan Senopati) untuk menaikkan
semangat tempur prajurit Mataram, tetapi sekaligus ditujukan untuk
merusak psikologis prajurit musuh, pada saat akan berperang melawan
prajurit kerajaan Pajang dan pasukan Brang Wetan. Dan akhirnya perang
pun tidak terjadi. Dengan kemenangan mutlak.
Contoh
lainnya adalah pusaka tombak Kyai Plered yang dijadikan pusaka lambang
kerajaan Mataram, sebuah pusaka yang diberikan Secara turun temurun dari
Kyai Ageng Tarub sampai kepada Sutawijaya sebagai bekal untuk
mengalahkan Raden Arya Penangsang, yang kemudian mengantarkan Sutawijaya
menjadi penguasa Mataram (Panembahan Senopati).
2. Keris Raja.
Keris Raja ada 3 macam, yaitu :
(1) Keris yang menjadi pegangan / piyandel Sang Raja sehari-hari (bersifat pribadi dan dipakai oleh Sang Raja sehari-hari).
(2) Keris yang merupakan keharusan untuk dimiliki oleh seorang Raja (biasanya dikenakan dalam upacara-upacara Kerajaan)
(3) Keris yang diberikan / dipersembahkan oleh orang lain (Empu) kepada Raja sebagai pengabdian
Selain yang sehari-hari dipakai oleh sang raja, keris-keris lainnya disimpan dalam ruangan pusaka kerajaan.
3. Keris keluarga Kerajaan / Bangsawan, Bupati / Adipati.
Jenis ini adalah keris-keris yang memiliki tanda / bentuk tersendiri sesuai statusnya.
Contohnya
adalah keris-keris ber-luk lima, keris pulanggeni atau keris pandawa,
keris-keris berdapur Nagasasra dan keris-keris Singa Barong.
Keris-keris tersebut secara umum
disebut Keris Keningratan yang hanya boleh dimiliki oleh Raja,
keluarga Raja dan kerabat kerajaan, bangsawan adipati / bupati dan
keluarganya (kalangan Ningrat).
Selain mereka, bahkan para Menteri
Kerajaan, panglima, senopati dan prajurit, tumenggung, demang dan lurah,
dan orang-orang kaya, yang tidak memiliki garis kebangsawanan dan bukan
kerabat kerajaan, tidak boleh memilikinya, apalagi rakyat biasa.Keris-keris berdapur Nogo sosro hanya patut dimiliki oleh seorang Raja dan anggota keluarga Raja saja.
Keris-keris berdapur singa barong untuk kelas di bawahnya, yaitu untuk Adipati / bupati dan keluarganya.
4. Keris untuk menteri dan pejabat kerajaan, panglima, senopati dan prajurit.
Keris-keris ini memiliki tanda khusus
yang melambangkan status mereka di kerajaan dan biasanya memiliki
hiasan-hiasan / simbol yang melambangkan derajat mereka.
5. Keris untuk orang-orang kaya (yang bukan kerabat kerajaan), tumenggung, demang dan lurah.
Biasanya memiliki hiasan-hiasan yang melambangkan derajat mereka.
6. Keris milik seorang panembahan /
spiritualis dan keris milik seorang raja atau keluarga raja yang sudah
mandito (meninggalkan keduniawian).
Biasanya ber-luk 7 atau 9.
Biasanya bentuknya sederhana dan tidak memiliki hiasan-hiasan mewah sesuai kondisi mereka yang sudah meninggalkan keduniawian.
7. Keris untuk ksatria dan rakyat biasa.
Biasanya tidak memiliki hiasan-hiasan yang mewah, sesuai budaya dan
kebiasaan mereka untuk merendahkan hati. Keris yang khusus dibuat untuk
para ksatria, pesilat dan pendekar dunia persilatan biasanya sederhana
bentuknya, dan tidak menunjukkan kesan angker, tetapi memiliki kesaktian
gaib yang tinggi dan mengandung energi gaib yang tajam. Keris-keris
jenis ini biasanya aktif berinteraksi dengan kebatinan pemiliknya,
walaupun kerisnya tidak dikeluarkan dari sarungnya.
Keris untuk rakyat biasa, sesuai status
pemiliknya, biasanya tuah utama keris-keris tersebut bukan untuk
kesaktian, kekuasaan atau wibawa, tetapi untuk perlindungan gaib,
ketentraman keluarga, kerejekian dan kesuburan. Keris untuk rakyat biasa
biasanya pembuatannya dilakukan secara masal oleh sang empu, karena
tidak bersifat pesanan khusus, dan yang melakukan penempaannya adalah
para cantrik-cantriknya.
Sesuai jenis dan kelas keris-keris tersebut di atas, para empu
pembuatnya pun terbagi-bagi sesuai kelasnya masing-masing yang diterima
dan diakui di masyarakat dan di lingkungan perkerisan, yaitu Empu
Kerajaan, Empu kelas menengah dan Empu desa.
Sesuai status dan kelas keris di atas,
kemampuan para Empu keris dalam membuat keris yang sesuai dengan
masing-masing jenis dan kelas keris di atas pun terbagi-bagi sesuai
kualitas masing-masing empu keris yang ditentukan berdasarkan kelas /
tingkatan kualitas wahyu ilham yang sudah diterima oleh masing-masing
empu keris, tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan pribadi manusia
sang empu keris dalam membuat keris.
Para Empu Di masa lalu selalu berhati-hati dalam menentukan bahan dan garapan serta tempat untuk membuat Pusaka.